Tudung manto merupakan salah satu pelengkap pakaian adat bagi perempuan Melayu berupa penutup kepala. Asal nama tudung manto memiliki dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan tudung manto berasal dari kata tudung dan mentok (tudung yang berasal dari Kampung Mentok, Siak, Gelam). Sedangkan pendapat lain menyatakan tudung manto berasal dari kata tudung dan manto (mantu atau menantu).[1]Tudung manto terbuat dari benang khusus yang bernama kelingkan. Biasanya, tudung ini bermotif bunga dan memiliki panjang 150-200cm serta lebar 70-80cm. Tudung ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WbTb) oleh Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015. Selain itu, tudung manto terpilih sebagai salah satu motif wastra untuk desain paspor yang diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2024, mewakili kain dari Kepulauan Riau.

Kain penutup kepala ini dikenakan bersamaan dengan baju kurung. Kain ini juga sering disandingkan dengan jilbab karena sebagian besar masyarakat Melayu memeluk Islam. Kain penutup kepala ini wajib dipakai oleh perempuan yang telah bersuami dalam acara adat karena simbol bahwa seorang menantu harus tahu cara “menutup malu” bagi suaminya serta menjaga kehormatan seluruh keluarganya. Kini tudung manto dapat digunakan oleh siapa saja. Biasanya digunakan saat acara adat seperti pernikahan atau tunangan . Tudung manto juga sering digunakan oleh Lembaga Adat Melayu.

Sejarah Perkembangan

sunting

Tidak diketahui secara pasti asal mula tudung manto karena tidak ditemukan manuskrip kuno yang menjelaskan tudung manto secara spesifik. Namun, pemakaian tudung manto pernah disebutkan dalam naskah Sulalaltus Salatin yaitu "Dinihari tadi ia bertemu dengan Hang Nadim membawa seorang perempuan bertudung, dibawanya naik ke jong Nakhoda Saiyid Ahmad, dilayarkannya jalan ke Melaka.” (A. Samad Ahmad, 258 : 2008).

Referensi

sunting
  1. ^ admin (2015-09-22). "TUDUNG MANTO". Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau. Diakses tanggal 2024-12-11.