Ubi kelapa

marga umbi-umbian
(Dialihkan dari Uwi)

Ubi kelapa[4][5] atau ubi kenduduk (Dioscorea alata) adalah tanaman umbi-umbian yang bisa dimakan dan paling digemari daripada spesies lainnya dari genus Dioscorea.[4] Ubi kelapa, ubi pasir (Dioscorea pentaphylla), dan gembili (D. aculeata) lebih aman dimakan daripada gembolo (D. bulbifera) dan gadung (D. hispida).[6]

Ubi kelapa
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Monokotil
Ordo: Dioscoreales
Famili: Dioscoreaceae
Genus: Dioscorea
Spesies:
D. alata
Nama binomial
Dioscorea alata
Sinonim

Referensi:[1][2][3]

  • Dioscorea atropurpurea Roxb.
  • D. globosa Roxb.
  • D. purpurea Roxb.
  • D. sativa Del.
  • D. vulgaris Miquel

Dalam bahasa-bahasa daerah, umbi ini disebut dengan ubi saja, uwi, uwi legi,[6] uwi manis, uwi kelapa,[7] uwi ungu,[8] huwi,[2] lame (Sulawesi), ubi (Bali), lutu (Banda), ima (Ternate), heli (Ambon)[9] same (Makassar dan Bugis),[1] palulu luwangu (Sumba).[10] Dalam Bahasa Inggris, umbi ini disebut yam.

Deskripsi

sunting

Ubi kelapa merupakan perdu yang memanjat dan dapat mencapai ketinggian 3-10 m.[4] Tumbuhan ini semusim. berumah 2, memanjat, sistem perakarannya berserabut.[2] Umbinya beragam, bulat, pipih panjang, bercabang, atau menjari. Ubi kelapa dinamai berdasarkan bentuk umbinya. Kulit umbi berwarna coklat hingga coklat-kehitaman. Kulit umbi beralur kasar. Daging umbinya ada yang putih ungu atau warna gading. Daging umbinya berlendir.[8] Bunganya berwarna dua macam, yang jantan berwarna kuning/kuning kehijauan, sementara yang betina berwarna kuning saja. Perbungaannya majemuk, terletak di ketiak daun, bulir jantan tersusun rapat dengan ukuran 1-3 cm, sementara betina tidak. Panjangnya 12-50 cm, mahkotanya hijau, panjangnya ± 2 mm.[1] Batangnya bersayap 4,[4] memanjat ke kanan, tidak berduri tetapi kadang kala kasar atau berbintik di bagian dasar, bersudut 4 dan berwarna hijau sampai keunguan. Daunnya berbentuk bulat telur, tunggal, berseling di bagian dasar, berhadapan dibagian atas, agak seperti anak panah atau melonjong seperti tombak, hijau terang atau sering kali agak keunguan.[2] Berukuran 15-20 cm × 10-15 cm. Bentuk pertulangannya melengkung, dan licin.[1]

Bisa dibedakan dengan gembili. Yang mana, umbi gembili lebih kecil dengan daun yang berselang-seling. Juga bisa dibedakan dengan Dioscorea floridana Bartl. dan D. quaternata (Walt.) Gmel., yang tumbuh di dataran banjir (floodplain) dengan daun yang berbentuk perisai dengan panjang setidaknya 15 cm.[3]

Persebaran & ekologi

sunting
 

Aslinya berasal dari Asia Tenggara.[3] Lalu tersebar ke India, Semenanjung Malaya, dan Pasifik.[4] Lagi, oleh orang Portugis dan Spanyol ke Amerika pada tahun 1500-an. Catatan terbaru menunjukkan, ia tersebar pula ke Florida dibawa oleh tukang bunga. Ia juga dinaturalisasikan ke utara Florida dalam jumlah banyak. Juga, di selatan Florida bisa didapati di wilayah pesisir.[3] Di Karibia, ditanam sebagai spesies yang penting.

Di wilayah Purwodadi, sebagaimana yang dikutip dari website Kebun Raya Purwodadi, bahwasanya di Purwodadi ubi kelapa yang tumbuh di sana ada yang memang dibudidayakan, ada juga yang tumbuh liar.[8]

Kegunaan

sunting

Di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam dan juga Papua Nugini dianggap sangat penting sebagai makanan. Di Kepulauan Banggai, ubi kelapa merupakan makanan pokok masyarakat, selain itu juga ubi kelapa masih digunakan dalam barter barang dengan masyarakat luar. Umbi dan kuncup daunnya setelah dimasak dengan berbagai cara dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan. Umbinya dapat diproses sebagai tepung atau serpihan/potongan-potongan tipis; merupakan sumber tepung minor. Kultivarnya dengan umbi yang berwarna ungu digunakan dalam pembuatan es kream dan permen.Di Papua Nuigini, digunakan juga dalam upacara adat.[2] Umbi memiliki rasa yang hambar dengan tekstur umbi pulen. Dibudidayakan untuk bahan pangan.[8]

Di Afrika Barat dan Filipina, umbi dari ubi kelapa dipergunakan untuk industri pembuatan pati dan alkohol. Salah satu kultivarnya digunakan untuk membuat es krim. Di musim kemarau, ia disimpan di tempat kering, di atas perapian dekat dapur, ataupun disimpan dengan abu.[4]

Dalam pengobatan tradisional Sumba, akar ubi kelapa dengan kepleng [Sumba:rau kabungggulu] (Stephania japonica), bawang putih, umbi jeringau [Sumba:hikiluare] (Acorus calamus) direbus dalam air bersih hingga mendidih dan diminum 2-3 kali sehari, sebanyak segelas.[10]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "Dioscorea alata L" (PDF). Departemen Kesehatan. 14 November 2001. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-12-06. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  2. ^ a b c d e "Dioscorea alata L". Prohati. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  3. ^ a b c d "Dioscorea alata L.", Salinan arsip (PDF) (dalam bahasa Inggris), FLEPPC, hlm. 29–30, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-10-17, diakses tanggal 2013-04-22 
  4. ^ a b c d e f Sastrapradja, Setijati; Soetjipto, Niniek Woelijarni; Danimihardja, Sarkat; Soejono, Rukmini (1981). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi:Ubi-Ubian 7:103. Jakarta:LBN - LIPI bekerja sama dengan Balai Pustaka.
  5. ^ (Indonesia) Arti kata Ubi kelapa dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  6. ^ a b Soeseno, Slamet (1985). Sayur-Mayur untuk Karang Gizi. hal.107-108. Jakarta:Penebar Swadaya.
  7. ^ "Ubi kelapa (Dioscorea)". Sistem Informasi Plasma Nutfah Pertanian. Diakses tanggal 22 April 2013. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ a b c d "Uwi Ungu (Dioscorea alata L.)". Kebun Raya Purwodadi - LIPI. 16 June 2013. Diakses tanggal 22 April 2013. 
  9. ^ Crawfurd, John (2017). Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik, Hukum dan Ekonomi. 1. Diterjemahkan oleh Zara, Muhammad Yuanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 271. ISBN 9786022584698. 
  10. ^ a b Hidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. hal.183 & 318. Jakarta:Penebar Swadaya. ISBN 978-489-944-5.

Pranala luar

sunting