Waai, Salahutu, Maluku Tengah

desa di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku

Waai atau Wai adalah negeri di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Waai
Hunimua Risinai Waitutuitu Labuhan Saheut
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenMaluku Tengah
KecamatanSalahutu
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Etimologi

sunting

Nama negeri ini berasal dari kata wai yang bahasa lokal bermakna "air" atau "sungai". Negeri ini dinamakan berdasarkan dua sungai yang berhulu di Gunung Salahutu. Negeri Waai sendiri terletak di antara kedua sungai tersebut dan mendapatkan nama daripadanya.[1] Salah satu di antara sungai itu, saat siang hari airnya seperti berwarna keperak-perakan, sehingga dinamai waiselaka.

Kondisi wilayah

sunting

Waai merupakan negeri pesisir yang terletak di tepian Selat Haruku. Negeri Kailolo di Pulau Haruku berada di seberang Negeri Waai dan dipisahkan oleh selat yang sudah disebutkan sebelumnya. Waai termasuk ke dalam wilayah yang dikenal sebagai Leihitu walaupun secara administrasi bukan bagian dari kecamatan yang bernama sama.

Luas wilayah pertuanan negeri ini mencapai 7.500 hektare,[2] yang terdiri dari pesisir, gunung, dataran rendah, rawa, hutan, perbukitan, perkebunan rakyat, dan permukiman. Titik tertingginya adalah Gunung Salahutu, dengan ketinggian 1.086 mdpl, yang sekaligus merupakan titik tertinggi di Pulau Ambon.

Batas-batas

sunting

Berikut adalah batas-batas negeri ini.[2]

  • Sebelah utara berbatasan dengan Negeri Liang
  • Sebelah timur berbatasan dengan Selat Haruku.
  • Sebelah selatan berbatasan dengan Negeri Tulehu.
  • Sebelah barat berbatasan dengan Gunung Salahutu.

Gunung Salahutu sendiri merupakan pertemuan perbatasan antara pertuanan Liang, Waai, Tulehu, serta Morella dan Mamala.

Demografi

sunting

Waai merupakan salah satu dari sedikit negeri Sarane di Jazirah Leihitu. Penduduk asli Waai semuanya beragama Kristen Protestan. Terdapat beberapa puluh kepala keluarga beragama Islam di pertuanan Waai. Mereka semua adalah penduduk pendatang atau migran informal bersuku bangsa Buton yang sudah lama mendiami sebagian pesisir Negeri Waai atas izin pemerintah negeri. Penduduk asli mendiami wijk atau sektor, sementara penduduk pendatang mendiami dusun yang dipimpin oleh kepala dusun.

Hubungan sosial

sunting

Negeri ini mengangkat pela dengan banyak negeri, seperti Suli, Kaibobo, dan Morella.[3] Acara panas pela antara Kaibobo dengan Waai biasanya dihadiri Raja Negeri Passo, Hutumuri, maupun Suli sebagai saksi adat. Namun, dalam perkembangan berikutnya, pela Waai dengan Kaibobo melibatkan Suli, sehingga ketiganya menjadi satu kesatuan pela. Kesatuan ketiga negeri ini terlihat dalam bentuk tiga tungku batu di pesisir pantai Ambon. Tiga tungku ini kemudian dipahami sebagai persatuan dari raja atau pemerintahan adat, gereja atau agama, dan pemerintahan sipil. Kebetulan sekali, ketiga negeri pela beragama Kristen Protestan.

Hubungan dengan Morella ada yang menyebutnya sebagai ikatan pela, ada juga yang menyebutnya ikatan gandong alias berasal dari satu kandungan dan bersaudara secara darah. Morella terlibat aktif dalam pemulangan masyarakat Waai yang mengungsi karena konflik horizontal 1999, yang dalam konflik tersebut, Negeri Waai hancur dan terbakar hampir sepenuhnya oleh serangan yang berasal dari Liang maupun Tulehu. Morella juga terlibat dalam renovasi gereja dan rekonstruksi Waai. Negeri beragama Islam tersebut rutin mengundang Waai untuk menghadiri acara Pukul Manyapu yang diadakan setiap Idul Fitri di Morella. Selain Waai, Kaibobo dan Soya yang ber-pela dengan Morella juga diundang dan keempat negeri sering berparade bersama.

Suli, Waai, Tulehu, Tial, dan Tengah-Tengah semuanya berasal dari satu uli yang sama dalam bingkai Kerajaan Tanah Hitu, yakni Uli Solemata yang berkedudukan di Tulehu. Masyarakat kelima negeri se-uli ini mengaku sebagai orang basudara.[3] Jadi, Suli bukan cuma berkedudukan sebagai saudara pela, melainkan saudara se-uli atau persekutuan.[3]

Ada pula sumber yang menunjukkan bahwa Waai memiliki ikatan pela dengan Negeri Samasuru di Pulau Seram. Tuturan di Samasuru menyebutkan bahwa pela kedua negeri diikat setelah masyarakat Samasuru menolong orang Waai yang kecelakaan di laut. Namun, di Waai, hubungan pela ini jarang dan hampir tidak lagi diceritakan turun-temurun, sehingga akhirnya dilupakan.[3] Masyarakat Samasuru pun hanya mengingat cerita pela ini samar-samar dan perlahan turut melupakannya.

Di antara seluruh negeri tetangga, hanya Liang yang dianggap bukan sebagai orang basudara. Waai dan Liang selain berbeda agama dan dulu berbeda uli, terlibat dalam sengketa perbatasan negeri. Masyarakat Waai masih mengingat penyerangan yang dilakukan oleh Liang saat konflik 1999 silam, walaupun hubungan kedua negeri tidak pernah memanas lagi dan tidak pula terjadi bentrokan fisik. Liang dan Waai berbeda pandangan pula soal sejarah. Menurut Liang, mereka berbatasan dengan Tulehu dan Waai adalah orang Liang yang masuk Kristen dan mendirikan negeri di pertuanan Liang. Sebaliknya, menurut Waai, sebagian orang Liang adalah orang Waai yang menolak masuk Kristen dan pindah ke utara, tinggal di liang-liang gua.

Referensi

sunting
  1. ^ John Pieris 2004, hlm. 87.
  2. ^ a b John Pieris 2004, hlm. 86.
  3. ^ a b c d John Pieris 2004, hlm. 88.

Daftar pustaka

sunting
  • Pieris, John (2004). Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Analisis Kritis Aspek: Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Keamanan, Edisi I. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 86-88.