Wangsa Sanjaya adalah indikasi suatu dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Wangsa ini, bersama-sama dengan Wangsa Syailendra memerintah di Kerajaan Medang.

Asal-usul

sunting

Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732.

Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui Sanjaya adalah penerus raja Jawa Sanna, menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjarakunja di daerah India, dan mendirikan Shivalingga baru yang menunjukkan membangun pusat pemerintahan baru.Menurut penafsiran atas naskah Carita Parahyangan yang disusun dari zaman kemudian, Sanjaya digambarkan sebagai pangeran dari Galuh yang akhirnya berkuasa di Mataram. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Sena/Sanna/Bratasenawa, raja Galuh ketiga. Sena adalah putra Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa, raja Sunda. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.

Saat Tarusbawa meninggal pada tahun 723, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rakryan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Secara garis besar kisah dari Carita Parahyangan ini sesuai dengan prasasti Canggal.

Rakai Panangkaran dikalahkan oleh dinasti pendatang dari Jawa, atau India, atau Sumatera yang bernama Wangsa Sailendra. Berdasarkan penafsiran atas Prasasti Kalasan (778 M), pada tahun 778 raja Sailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana memerintah Rakai Panangkaran untuk mendirikan Candi Kalasan.

Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh Wangsa Sailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya, pada tahun 840–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang.

Teori yang menolak

sunting

Poerbatjaraka menolak keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena Sanjaya sendiri adalah anggota Wangsa Sailendra. Dinasti ini mula-mula beragama Hindu, karena istilah Sailendra bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk Siwa.

Selain itu, istilah Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan istilah Sailendrawangsa ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Ligor, prasasti Kalasan, dan prasasti Abhayagiriwihara.

Poerbatjaraka berpendapat bahwa, Sanjaya telah memerintahkan agar putranya, yaitu Rakai Panangkaran pindah agama, dari Hindu menjadi Buddha. Teori ini berdasarkan atas kisah dalam Carita Parahyangan bahwa Rahyang Sanjaya menyuruh Rahyang Panaraban untuk berpindah agama. Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah “raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah Rakai Panangkaran sendiri.

Carita Parahyangan memang ditulis ratusan tahun sesudah kematian Sanjaya. Meskipun demikian, kisah di atas seolah terbukti dengan ditemukannya prasasti Raja Sankhara yang mengisahkan tentang seorang pangeran bernama Sankhara yang pindah agama karena ayahnya meniggal dunia akibat menjalani ritual terlalu berat. Sayangnya, prasasti ini telah hilang dan tidak jelas angka tahunnya, serta tidak menyebutkan nama ayah Sankhara tersebut.

Jadi, teori Poerbatjaraka menyebutkan bahwa hanya ada satu dinasti saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Hindu Siwa. Sejak pemerintahan Rakai Panangkaran, dinasti Sailendra terpecah menjadi dua. Agama Buddha dijadikan agama resmi negara, sedangkan cabang Sailendra lainnya ada yang tetap menganut agama Hindu, misalnya seseorang yang kelak menurunkan Rakai Pikatan.

Kalender Sanjaya

sunting

Meskipun istilah Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, namun istilah Sanjayawarsa atau “Kalender Sanjaya” ditemukan dalam prasasti Taji Gunung dan prasasti Timbangan Wungkal.

Kedua prasasti tersebut dikeluarkan oleh Mpu Daksa dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya, sang pendiri kerajaan. Tahun 1 Sanjayawarsa sama dengan tahun 717 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 717 ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, ataukah tahun berdirinya kerajaan.

Daftar para raja Medang sebelum Dyah Balitung yang tertulis dalam prasasti Mantyasih menurut teori Bosch adalah daftar para raja Wangsa Sanjaya, sekaligus juga silsilah keluarga mulai dari Sanjaya sampai Balitung.

Para raja tersebut antara lain sebagai berikut.

Sejarawan Slamet Muljana berpendapat lain. Menurutnya, daftar tersebut bukan silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar para raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Pendapatnya itu berdasarkan atas julukan Rakai Panangkaran dalam prasasti Kalasan, yaitu Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Jadi menurutnya tidak mungkin apabila Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya.

Analisis Slamet Muljana terhadap beberapa prasasti, misalnya prasasti Kelurak, prasasti Nalanda, ataupun prasasti Kayumwungan menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra, sementara sisanya adalah anggota Wangsa Sanjaya, kecuali Rakai Kayuwangi yang berdarah campuran. |pub

Raja sesudah Balitung

sunting

Raja sesudah Dyah Balitung adalah Mpu Daksa yang memperkenalkan pemakaian “Kalender Sanjaya” untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli sang pendiri kerajaan. Selain itu, kemungkinan besar Daksa juga merupakan cucu Rakai Pikatan sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Telahap.

Daksa digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong, yaitu putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Tidak diketahui dengan pasti apakah Tulodhong ini merupakan keturunan Sanjaya atau bukan.

Menurut sejarawan Boechari, pemerintahan Tulodhong berakhir akibat pemberontakan Dyah Wawa, putra Rakryan Landhayan. Dalam hal ini juga tidak dapat dipastikan apakah Wawa keturunan Sanjaya atau bukan.

Raja selanjutnya bernama Mpu Sindok yang diperkirakan sebagai cucu Mpu Daksa. Jika benar demikian, maka Mpu Sindok dapat disebut sebagai keturunan Sanjaya pula, meskipun ia dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.

Lihat pula

sunting

Daftar pustaka

sunting