Xenofanes

filsuf Yunani pra-Sokrates (k.570–k.478 SM)
(Dialihkan dari Xenophanes)


Xenofanes dari Kolofon adalah seorang filsuf yang termasuk ke dalam Mazhab Elea. Menurut tradisi filsafat Yunani, ia adalah pendiri Mazhab Elea dan guru dari Parmenides.[1][2] Selain sebagai filsuf, ia terkenal sebagai seorang penyair.[2] Pemikiran-pemikiran filsafatnya disampaikan melalui puisi-puisi.[2] Selain tema-tema filsafat, ia menulis puisi dengan tema-tema tradisional, seperti cinta, perang, permainan, dan sejarah.[2] Ia juga berani mengkritik Homeros dan Hesiodos, penyair Yunani yang terkenal pada waktu itu.[3][4][5]

Infobox orangXenofanes

Edit nilai pada Wikidata
Nama dalam bahasa asli(grc) Ξενοφάνης ὁ Κολοφώνιος Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran560 SM Edit nilai pada Wikidata
Kolofon Edit nilai pada Wikidata
Kematian478 SM Edit nilai pada Wikidata (81/82 tahun)
Sirakusa Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaDeisme Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
SpesialisasiFilsafat Edit nilai pada Wikidata
Pekerjaanfilsuf, elegist (en) Terjemahkan, penulis, epigrammatist (en) Terjemahkan, penyair, teolog Edit nilai pada Wikidata
PeriodeFilsafat pra-Sokrates Edit nilai pada Wikidata
AliranFilsafat pra-Sokrates dan Filsafat kuno Edit nilai pada Wikidata
MuridParmenides Edit nilai pada Wikidata

Karya filsafatnya dalam bentuk puisi telah hilang.[1] Pada masa kemudian, karya itu diberi nama "Perihal Alam" (Concerning Nature).[1]

Riwayat Hidup

sunting

Xenofanes berasal dari Kolophon, Ionia, di Asia Kecil.[2][4] Dikatakan di dalam salah satu fragmen puisinya sendiri bahwa ia meninggalkan kota asalnya pada usia 25 tahun.[2] Ia meninggalkan kota tersebut setelah Kolophon direbut bangsa Persia pada tahun 545 SM.[2][3] Dengan demikian ia lahir sekirar tahun 570 SM.[2] Kemudian dikatakannya pula bahwa ketika ia menulis puisi tersebut, ia telah berusia 67 tahun.[2] Diketahui Xenofanes berusia di atas 100 tahun, Karena itu, tahun kematiannya diperkirakan sekitar tahun 480 SM.[2]

Setelah meninggalkan kota Kolophon, ia melakukan perjalanan ke banyak tempat.[4] Ada beberapa sumber kuno menyebutkan ia pernah menetap di kota Messina dan Katania di pulau Sisilia.[4] Selain itu, ia juga pernah singgah di Malta, Pharos, dan Syrakusa.[3] Akhirnya ia tiba di Elea, Italia Selatan, dan menetap di sana.[3] Diketahui bahwa Xenofanes mengarang suatu syair ketika kota Elea didirikan pada tahun 540 SM.[4]

Pemikiran

sunting

Tentang Pengetahuan

sunting

Xenofanes menyatakan bahwa manusia tidak dapat mendapatkan pengetahuan yang mutlak.[6] Akan tetapi, di saat yang sama, manusia harus mencari pengetahuan tersebut walaupun hanya berupa suatu kemungkinan.[6] Hal itu ditunjukkannya melalui dua fragmen berikut:

"Dewa-dewi tidak menyatakan segala sesuatu kepada manusia sejak awalnya, tetapi setelah waktu berlalu, manusia menemukan banyak hal dengan cara mencarinya sendiri."(fragmen 18)[7]
"Tidak ada manusia yang pernah melihat ataupun mengetahui kebenaran tentang dewa-dewi serta semua hal yang kukatakan. Karena jika ada orang yang berkata mengetahui semuanya, maka sebenarnya ia tidaklah tahu, melainkan hanya mempercayai tentang segala sesuatu."(fragmen 34)[7]

Fragmen 18 menunjukkan kemungkinan mencari pengetahuan melalui penelitian.[7] Sedangkan fragmen 34 menolak kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan yang mutlak, setidaknya untuk hal-hal yang menurut Xenofanes sulit.[7] Oleh karena itu, perlu dibedakan antara kebenaran, pengetahuan, dan kepercayaan.[7]

Tentang "Satu yang Meliputi Semua"

sunting

Xenofanes menentang cara pandang orang Yunani pada waktu itu terhadap dewa-dewi.[4] Ia memberikan kritik terutama kepada Herodotos dan Hesiodos yang memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat Yunani.[2][4] Menurut kedua penyair itu, dewa-dewi melakukan pelbagai perbuatan yang memalukan, seperti pencurian, zina, dan penipuan satu sama lain.[2][4] Di sini, Xenofanes membantah antropomorfisme dewa-dewi, maksudnya penggambaran dewa-dewi dalam rupa manusia.[4] Menurut Xenofanes, manusia selalu menaruh sifat-sifat manusia kepada dewa-dewi sesuai kehendak mereka.[2][4] Misalnya saja, dewa-dewi dilahirkan sebab manusia juga dilahirkan, dan bahwa dewa-dewi memakai pakaian, suara, dan rupa seperti manusia.[2][4] Xenofanes memberikan argumentasi sesuai bukti yang ia temukan:

"Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentunya kuda akan menggambarkan dewa-dewi menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan dewa-dewi menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan menggambarkan tubuh dewa-dewi serupa dengan tubuh mereka."[2][4][7]
"Orang Etiopia mempunyai dewa-dewi yang berkulit hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang-orang Thrake mengatakan bahwa dewa-dewi mereka bermata biru dan berambut merah.""[4][7]

Xenofanes dapat menyimpulkan bahwa antropomorfisme terhadap dewa-dewi tidaklah tepat sebab ia telah melakukan perjalanan ke berbagai tempat dan melihat pelbagai kepercayaan mereka.[5] Karena itu, ia menjadi yakin bahwa semua itu bukanlah konsep dewa-dewi yang tepat.[5] Ia menyatakan bahwa sebenarnya hanya ada "Satu yang meliputi Semua".[3] Maksudnya di sini serupa dengan konsep "Tuhan" namun tidak sama dengan monoteisme sebab ia juga menyebutnya dalam bentuk jamak.[4]

Menurut Xenofanes, "yang Satu meliputi Semua" ini tidak dilahirkan dan tidak memiliki akhir, artinya bersifat kekal.[3][4] Hal ini berbeda dengan konsep dewa-dewi yang dilahirkan dan dapat mati.[4] Ia tidak menyerupai makhluk duniawi mana pun, baik manusia ataupun binatang.[5] Ia juga tidak memiliki organ seperti manusia, tetapi mampu melihat, berpikir, dan mendengar.[3][4][5] Ia juga senantiasa menetap di tempat yang sama namun menguasai segala sesuatu dengan pikirannya saja.[3][4][5]

Tentang Alam Semesta

sunting

Xenofanes berpendapat bahwa matahari berjalan terus dengan gerak lurus, dan setiap pagi terbitlah matahari baru.[4] Gerhana disebabkan matahari jatuh ke dalam lubang.[4] Ia juga memandang bintang-bintang sebagai awan-awan yang berapi sehingga bersinar ketika malam.[3] Sinar itu seperti batu bara yang memerah dan ketika pagi hari api dari awan itu padam kembali.[3] Segala sesuatu dipandang berasal dari bumi, dan bumi pula yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu.[2] Manusia berasal dari bumi dan air.[2] Sedangkan laut adalah sumber dari segala air dan juga angin.[2] Samudra yang luas menghasilkan awan-awan, angin, dan juga sungai-sungai.[2] Pelangi dipandang sebagai awan yang berwarna-warni.[2]

Kemudian bumi berada dalam proses peredaran terus-menerus.[2][4] Tanah menjadi lumpur, lalu menjadi air laut.[4] Sebaliknya, laut menjadi lumpur, lalu menjadi tanah.[4] Untuk membuktikan teori ini, Xenofanes menunjukkan bahan bukti empiris, yakni fosil-fosil kerang laut.[2][4][5] Fosil-fosil tersebut berada dalam batu.[4] Hal itu menunjukkan bahwa dulu batu tersebut merupakan lumpur.[2][3][4]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c T.V. Smith, ed. 1956. Philosophers Speaks for Themselves: From Thales to Plato. Chicago, London: The University of Chicago Press. P. 14-15.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w (Inggris)Jonathan Barnes. 2001. Early Greek Philosophy. London: Penguin. P. 40-47.
  3. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris)Edward Zeller. 1957. Outlines of the History of Greek Philosophy. New York: Meridian Books. P. 57-60.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z K. Bertens. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 39-42.
  5. ^ a b c d e f g (Inggris)Albert A. Avey. 1954. Handbook in the History of Philosophy. New York: Barnes & Noble. P. 13.
  6. ^ a b (Inggris)Ted Honderich (ed.). 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford, New York: Oxford University Press. P. 927.
  7. ^ a b c d e f g (Inggris)Richard McKirahan. 2003. "Presocratic Philosophy". In The Blackwell Guide to Ancient Philosophy. Christopher Shields, ed. p. 5-26. Malden: Blackwell Publishing.

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting