Zenon dari Kition

filsuf Yunani Kuno
(Dialihkan dari Zeno of Citium)

Zenon Kition (bahasa Yunani: Ζήνων ὁ Κιτιεύς, Zēnōn ho Kitieŭs) (334 SM - 262 SM) adalah filsuf Yunani dari Kition (bahasa Yunani: Κίτιον), Siprus.[1] Zenon lahir pada tahun 334 SM.[2] Zenon adalah pendiri aliran atau mazhab filsafat Stoa.[1][3][4][5] Zenon datang dari Kition ke Athena pada tahun 312/311 SM untuk mempelajari filsafat di bawah Xenocrates, murid dan keponakan Plato.[4] Para pengikut ajaran Zenon disebut Zenonians.[4] Zenon dan dua rekannya, Chrisippus, dan Cleanthes dari Assos dijuluki sebagai Stoa mula-mula (Early Stoa).[5]

Zenon dari Kition.

Perjalanan Intelektual Zenon

sunting

Zenon sangat terinspirasi oleh Socrates dalam hal etika dan keberanian, terutama dipengaruhi oleh peristiwa kematian sukarela Socrates yang ia anggap sebagai martir.[3] Hal ini akan mempengaruhi cara berpikir mazhab Stoikisme, sebuah sekolah yang ia dirikan, yaitu bahwa kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, terlebih jika kematian yang dilakukan dengan sukarela demi kebaikan.[3] Selain itu, Zenon sangat dipengaruhi oleh filsafat Sinisisme atau Cynic yang dikembangkan Crates dalam hal kemerdekaan manusia memilih cara hidup, bukan patuh pada aturan hukum, melainkan taat pada keteraturan alam, sebab hukum yang tertinggi adalah hukum alam yang diatur oleh sang ilahi.[4] Dalam pengaruh Crates, Zenon menuliskan gagasan bagaimana hidup dalam dunia politik saat itu, bukunya berjudul Republik.[4] Ciri dari ajaran sinisisme itu adalah anti-kemapanan, yaitu jalan hidup yang menyatu dengan alam, mirip seperti cara hidup anjing (canine).[4]

Warisan mazhab Sinisisme dalam diri Zenon tampak dalam beberapa proposal, misalnya membolehkan incest, manusia tidak perlu senjata dalam hidup bernegara, dan beberapa gagasan lainnya.[6]:

  • Ia membuktikan tidak bergunanya pendidikan umum;[6]
  • Ia mengatakan semua yang bukan orang baik adalah musuh-musuh pribadi dan publik, budak, orang yang memisahkan satu sama lain, orang tua dari anaknya, saudara dari saudaranya, sanak saudara dari sanak saudaranya, ketika - sekali lagi, dalam Republik- ia hanya memuji warga negara, sahabat, keluarga, dan kebebasan (hasilnya adalah bahwa, berdasarkan premis Stoa, orang tua dan anak adalah saling memusuhi; karena mereka tidak bijak);[6]
  • Ia menetapkan doktrin, seperti dalam Republik, bahwa wanita seharusnya dimiliki bersama;[6]
  • Bahwa kuil dan pengadilan atau gimnastik seharusnya tidak dibangun di kota;[6]
  • Tentang penciptaan uang ia mengatakan, "tidak boleh dianggap bahwa pembuatan uang akan dipakai untuk pertukaran atau perjalanan ke luar negeri;[6]
  • Ia juga meminta agar para wanita mengenakan baju yang seragam, yaitu tidak menutupi satu pun bagian tubuhnya.[6]

Pedoman atau prinsip hidup menuju kebahagiaan dan kebaikan diukur dari kebajikan dan moralitas, bukan dari sistem hukum sebuah negara atau pemerintahan.[4] Ada pun gagasan lain yang mempengaruhi pilihan hidup anti-kemapanan Zenon, adalah dari Deodorus Cronus dan Stilpo, seorang pemimpin sekolah Megarian.[4] Warisan dari keduanya, seorang yang bijak adalah yang merasa cukup-diri (self-sufficient), tidak membutuhkan kawan (sangat mandiri), terbebas dari hasrat memiliki, dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang dapat mengambil kebahagiaanya dari hidup bijak, dia tidak dapat diombang-ambingkan oleh peristiwa buruk yang biasanya disebut sebagai kejahatan.[4]

Sistmatika berpikir Zenon yang tertuang dalam ajaran Stoikisme dipengaruhi oleh tradisi Akademia Aristoteles, sekaligus kembali pada prinsip Heraklitos, yaitu berdasar pada logika, fisika (gerak alam), dan etika.[7] Seperti kata Herakilos, bahwa yang dari fisik (materi, alam), selalu menariknya melalui pekerjaan tanpa kompromi dan keluar dari gagasan bahwa semua makhluk individu di dunia ini hanya manifestasi dari satu dan substansi utama yang sama dan bahwa ada hukum yang mengatur jalannya alam dan yang seharusnya mengatur tindakan manusia.[7] Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran Plato dan Aristoteles yang memuja dunia ide, sebab bagi Zenon, ukuran pertama adalah alam, materi yang diatur oleh Sang Ilahi.[7] Nyata bahwa ajaran Stoa sangat mendasarkan kehidupan manusia pada alam dan Allah sebagai acuan tindakan manusia.[7]

Dalam beberapa hal, Zenon tampak tidak setuju dengan ajaran Sinisme (Cynic), ia tampak lebih dekat dengan Plato, yaitu di mana ia mendukung cita-cita Plato dalam politik persahabatan dan kerukunan, yang menonjolkan pendidikan kebaikan moral, bahwa orang bijak akan mencintai orang muda yang berdasarkan penampilannya memanifestasikan anugerah kebaikan.[6] Zenon menganggap cinta sebagai tuhan yang melahirkan persahabatan dan kebebasan, dan juga kerukunan, namun hanya itu saja.[6] Itulah mengapa dalam Republik ia mengatakan bahwa cinta adalah Tuhan, sebagai penolong keamanan kota. (Aethenus 561)[6] Zenon memandang bahwa pengetahuan hanya dimiliki oleh orang bijak, dan membentuk kerukunan- di dalam kondisi persahabatan.[6]

Zenon menjawab tantangan pergumulan manusia pada zamannya, yang tampak jelas bertentangan dengan Plato, sebab ia sangat dipengaruhi mazhab Sinisisme yang mengatakan, "Anda tidak perlu pendidikan filsafat yang luas; obat dari penyakit bagi manusia ada di tangan Anda, praktikkan kebaikan![6]

 
Zeno, portrayed as a medieval scholar in the Nuremberg Chronicle

Karya Zeno menunjukkan beberapa prinsip dalam etika yang mendasarkan diri pada keteraturan dunia yang diperintah langsung oleh Allah,[4]

  • On Universe, On Substance, On Vision;
  • On Life that Accords with Nature;
  • On Impulse;
  • On Human Nature;
  • On Passions;
  • On Appropriate Actions;
  • On Law;
  • On Greek Education
  • Lima Buku tentang Homeric Problems, Hesiod's Theogony.[4]

Dia juga terkenal sebagai orang yang fasih dalam karya sastra puisi dan guru.[7] Salah satu anekdot kepada orang yang senang bicara ketimbang mendengar adalah, "Kita ini memiliki dua telinga dan satu mulut, jadi sudah seharusnya kita mendengar lebih banyak daripada bicara!"[4]

Kematian dan Kenangan atas Zenon

sunting

Zenon mencetuskan Stoa sebagai tempat belajar yang menerima siapa saja sebagai warga, bahkan orang asing.[4] Banyak juga orang Athena yang menjadi pendengarnya.[4] Ketika ia meninggal, diperkirakan tahun 262 SM, penghormatan yang ditujukan kepadanya berupa kumuran di halaman Akademi dan Lyceum, tempat orang-orang menimba ilmu dan berolah raga.[4] Surat keputusan penghormatan itu berbunyi,

Semenjak Zenon dari Kition, anak Mnaseas, telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya bergulat dengan filsafat, dan dalam segala hal, ia jalani sebagai orang baik, khususnya dalam mendesakkan perilaku bajik dan baik, orang-orang muda yang datang dan terhubung dengannya telah dirangsangnya kepada perilaku terbaik, menunjukkan apa yang ia katakan dalam setiap bicara, oleh karena itu dia tampil cemerlang di hadapan orang yang kini mendoakannya, anak Mnaseas, dan menyematkan sebuah karangan bunga emas.... dst.

— Thraso seorang agen dari of Athens

Sistem Stoa yang Zenon wariskan dijuluki sebagai "tenda dari badai", artinya, ajaran Zenon dianggap sebagai pemberi keteduhan hidup di saat masyarakat Yunani didera banyak kekuatiran terkait runtuhnya sistem kota-negara (city-state) sebagai dampak dari kekalahan Athena kepada Antigonus dari Macedonia.[4] Sat itu tatanan masyarakat menjadi kacau, warganya menjadi kehilangan jaminan keselamatan, hidup sebagai warga kelas dua, Seperti dikutip oleh C. Broadford Welles,[4]

It is fantasy and perversion to see in Stoicism a new personal doctrin invented to sustain the Greeks in a cityless world of great empires, for Hellenism was a world of cities, and Hellenistic Greeks were making money, not worrying about their souls.

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b (Inggris)A.A Long., Hellenistic Philosophy,Los Angeles: University of California Press, 1974, Hal. 109
  2. ^ According to Apollodorus, as quoted by Philodemus, Zeno died in Arrheneides' archonship (262/1 BC). According to Persaeus (Diogenes Laërtius vii. 28), Zeno lived for 72 years. His date of birth is thus 334/3 BC.
  3. ^ a b c (Inggris)Samuel Enoch Stumph., Socrates to Sartre: A History of Philosophy,New York: McGraw-Hill, Inc, 1966, Hal. 119
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Inggris) F. H. Sandbach., The Stoics, London: Bristol Classical Press, 1989, Hal. 13-27
  5. ^ a b (Inggris) Robert Audi., The Cambridge Dictionary of Philosophy, Edinburg: Cambridge University Press, 1995, Hal. 768-770
  6. ^ a b c d e f g h i j k l Christoper Rowe, Malcolm Schofield, Simon Harrison, and Melissa Lane., Sejarah Pemikiran Politik Yunani Romawi, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Hal 522-523
  7. ^ a b c d e (Inggris)Outline of the History of Greek Philosophy., New York: Meridian Books, 1957, Hal. 227-248