Zhang Huailu adalah seorang katekumen yang menjadi martir asal Tiongkok. Walau ditentang oleh keluarganya; Zhang yang saat itu telah berusia 57 tahun, ikut kelas pelajaran agama Katolik pada sebuah misi lokal di kota Hengshui, Hebei, Tiongkok pada tahun 1900. Dia tidak bisa membaca dan menulis, karena itu ia harus berjuang keras untuk mengingat doa-doa dasar yang saat itu masih diucapkan dalam bahasa Latin.

Ketika Pemberontakan Boxer dimulai, Zhang ditangkap dan dipaksa untuk meninggallkan iman katolik yang baru dianutnya. Ia menolak dan lalu dieksekusi dengan cara dipenggal kepala.[1]

Kehidupan sunting

Sehari-hari, Zhang adalah seorang gadis yang gemar memasak. Secara intelektual, Zhang bukan anak pandai di sekolah. Setiap hari, ia sering mencari kayu bakar, sayur, umbi-umbian untuk keperluan rumah tangga. Semua itu dijalani dengan penuh tanggungjawab.

Zhang bukan wanita yang mudah mengeluh pada nasib. Ia seorang yang gigih dan pantang menyerah. Setiap kali diminta tolong, Zhang selalu menyatakan kesiapannya. Harmonisasi dengan alam dengan keterlibatan merawat ciptaan adalah salah satu kebajikan hidup Zhang.

Suatu ketika, saat usianya 17 tahun, Zhang dipaksa menikah dengan Zhoang du Hui, seorang lelaki terpelajar dari daerah Tcheli Tenggara (sekarang Hebei), Tiongkok. Tetapi keinginan itu ditolaknya, karena baginya, pernikahan itu pertama-tama soal cinta antar pasangan. Lagian, menurut pandangannya, Zhang seorang yang berpendidikan dan gemar menikmati minuman keras, yang berakibat buruk pada temparemannya. Kadang-kadang ia tidak setia dan menyakiti hati wanita lain.

Penolakan kepada Zhang ini tidak lantas membuatnya terbuka menerima pinangan lelaki lainnya. Nyatanya beberapa kali, ia menolak dijodohkan dengan orang lain. Bukannya menikah, ia justru sibuk melayani keperluan rumah tangga. Hal ini membuat ia sering dipanggil “perawan tua”, padahal ia seorang gadis yang cukup menawan.

Dalam kesederhanaan hidupnya ini, Zhang merasa perlu berbuat sesuatu demi kemajuan imannya. Dalam artian ini, pernah tak sengaja dirinya bertemu seorang misionaris MEP yang sedang membuka misi di kampungnya Hengshui, Hebei, Tiongkok. Ia selalu memperhatikan setiap aktivitas imam asing itu. Bahkan ketika misionaris itu memberi pengajaran dan katekese, hal itu tak luput dari perhatiannya. Ia juga pernah hadir sebagai simpatisan mendengarkan khotbah dan ajaran pastor.

Lambat laun perasaan cintanya semakin menguat. Apalagi dirinya menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak kecil di desanya datang ke tempat misionaris untuk belajar membaca dan menulis. Beberapa kali juga ia memergoki misionaris itu mengajari anak-anak cara berdoa. Banyak anak senang karena sepulang dari rumah Pastor, mereka diberikan macam-macam hadiah entah gelang, permen, dan sebagainya.

Jatuh cinta di usia 40 tahun, tak membuat Zhang kehilangan fokus. Zhang merasa ini tantangan baginya karena berhadapan dengan realitas di mana tidak saja dirinya yang mengharapkan perhatian pastor. Beberapa wanita muda (katekis muda) terus menemani karya pelayanan pastor.

Sementara di daerah yang lain di sekitaran wilayah Hebei, misionaris ini menjadi rebutan banyak orang. Iman Kekatolikan mulai tumbuh lewat hal-hal sederhana tetapi lambat lain mengakar kuat di hati umat.

Perjuangan untuk mendapatkan hati misionaris itu membawanya untuk terlibat sebagai simpatisan guna mendengarkan pelajaran-pelajaran agama yang diajarkan. Sekali dua kali menghadiri pertemuan, lambat laun menjadi kegembiraan tersendiri bagi Zhang. Apalagi, ia mulai diperkenalkan pada cerita-cerita Kitab Suci yang mirip dengan cerita-cerita rakyat dari daerahnya. Zhang sangat bersemangat mendengarkan pengajaran itu.

Sampai suatu ketika, tanpa diminta, pastor itu memperkenalkan dirinya sebagai seorang imam Katolik yang disumpah tidak menikah seumur hidup. Mendengar pernyataan ini, Zhang begitu terpukul. Tetapi rasa sakit hatinya tidak bertahan lama karena beberapa saat kemudian ia mulai mengarahkan perhatiannya tidak lagi kepada misionaris tetapi mulai jatuh cinta kepada Kristus.

Zhang menjelaskan kepada misionaris itu bagaimana perasaan cintanya secara fisik kepada misionaris itu telah berubah menjadi perasaan kasih kepada Kristus. Ia lalu diminta untuk mempersiapkan diri sebagai katekumen untuk menerima Sakramen Pembaptisan.

Sayang harapan untuk dibaptis tak terealisasi karena terjadi pemberontakan Boxer. Pemberontakan ini dimulai di Shandong lalu menyebar ke Shanxi dan Hunan, menuju Tcheli, Hebei. Tcheli saat itu terdapat Vikariat Apostolik Xianxian, dibawah naungan para misionaris Yesuit. Dalam masa ini banyak orang Kristen dibunuh termasuk para misionaris.

Gerakan anti Barat ini semakin melebar karena diam-diam didukung oleh para pejabat kekaisaran. Motif keagamaan yang melatari pembunuhan para misionaris dan umat Kristen pribumi. Hubungan baik antara misionaris Eropa dan orang pribumi berakhir dengan ragam selentingan yang mengatakan Eropa membajak kekayaan Tiongkok.

Misionaris MEP itu diselamatkan warga dan melarikan diri berkat Zhang. Tujuh tahun kemudian harapan untuk dibaptis itu datang ketika hadirnya Pastor Auguste Chapdelaine. Melihat perilaku dan tabiat hidup Kristiani yang sungguh-sungguh sudah mengakar di hati Zhang, imam itu langsung membaptisnya.

Warisan yang ditinggalkan misionaris sebelumnya adalah doa-doa bahasa Latin yang dihafalkannya. Ini jugalah yang menjadi dasar Zhang dibaptis bersamaan dengan puluhan anak dan orang dewasa dari desanya.

Sementara itu darah kematian para martir terus terdengar di seantero Tiongkok. Hal ini dimulai dengan kematian Pastor Francisco Fernández de Capilla CP di wilayah Fujian. Sesudah itu, saat akhir Dinasti Ming hingga Dinasti Qing, pemerintah Qing secara resmi melarang Agama Katolik tahun 1724 dan menggolongkannya sebagai sekte yang dilarang yang mengancam agama tradisional Tionghoa.

Namun agama-agama Katolik terus bertahan dan berkembang di wilayah-wilayah yang berada di luar kontrol pemerintahan. Para misionaris yang tersembunyi terus berkarya dan memasuki wilayah terlarang pemerintah. Tak terhindarkan banyak juga misionaris dan awam yang dibunuh karena mempertahankan iman mereka.

Dalam kecamuk itu, Zhang yang dianggap sebagai wanita awam selibat yang tidak takut dihukum mati. Ketika pasukan Boxer menghampirinya, ia tetap menolak melepaskan imannya. Karena itu ia lalu dieksekusi dengan cara dipenggal kepala. Ia tewas bermandikan darah sebagai martir pada tahun 1900. Zhang adalah salah satu dari para martir Tiongkok yang dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1 Oktober 2000.[2]

Referensi sunting