Karun Atakore: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rofinus EL (bicara | kontrib) |
k →top: pembersihan kosmetika dasar, replaced: {{Yatim → {{orphan |
||
(11 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{orphan|Oktober 2022}}
'''''Karun''''' di desa [[Atakore, Atadei, Lembata|Atakore]] yang terkenal sebagai dapur alam di selatan pulau Lembata memiliki [[legenda]] dan [[Budaya Indonesia|ritual budaya]] yang dipelihara serta berlangsung turun-temurun. Suku [[Atakore, Atadei, Lembata|Wawin]] dan suku [[Tubuk Rajan, Atadei, Lembata|Puhun]] mempunyai otoritas memelihara serta memimpin upacara di Karun.
== Nama ==
'''''Karun''''', kawasan panas bumi yang terletak di luar kampung Watuwawer, desa [[Atakore, Atadei, Lembata|Atakore]], [[Kecamatan|kecamatan Atadei]], kabupaten [[Lembata]] - [[Nusa Tenggara Timur|NTT]].<ref name=":2">{{Cite web|url=
== Legenda Mudagedo ==
Nama isteri kepala kampung yang lalu diabadikan menjadi nama kawah gunung berapi, berawal dari kisah terjadinya bencana yang menghancurkan dan memusnahkan [[Kampong Wisata Temenggungan|kampung Mudagedo]] serta sebagian besar penduduk. Kampung Mudagedo bertetangga dengan [[Lewopulo, Witihama, Flores Timur|Lewopuho]], kampung paling dekat di sebelah timur, dan kampung [[Kabupaten Lembata|Waiwejak]] yang letaknya agak jauh ke barat. Ketiga kampung yang berdampingan itu penduduknya hidup rukun.<ref name=":2" />
Pada suatu waktu terjadi kesepakatan untuk mengadakan [[Kesenian|''tandak'']] atau [[Kesenian tradisional|hamang]] bersama-sama pada malam hari. Kampung Mudagedo yang berada di tengah antara ketiga kampung itu, menjadi tempat penyelenggaraan hiburan itu. Karena [[Kesenian tradisional|kesenian tandak]] atau [[Kesenian|hamang]] merupakan kesenian yang istimewa dan sesewaktu baru diadakan, maka diharapkan semua peserta yang turut dalam pertunjukan wajib mengenakan [[Pakaian Adat Suku Nias|pakaian adat]] serta aksesoris [[perhiasan]], seperti [[gelang]], [[kalung]], [[Manik-manik|rame]], dan giwang atau [[anting-anting]] bagi wanita. Sedangkan laki-laki mengenakan topi berupa kain selempang yang diikat di kepala atau perhiasan kepada dari daun kelapa muda yang dihiasi dengan bulu ayam.<ref name=":2" />
Pada malam itu sebagian orang dari [[Kabupaten Lembata|Waiwejak]] dan Lewopuho sudah berdatangan bergabung dengan sebagian wara Mudagedo di [[Lapangan sepak bola|lapangan]] kampung. Suasana lembah yang sejuk di kaki bukit itu menjadi ramai oleh nyanyian [[Kesenian tradisional|tandak/hamang]] diiringi hentakan kaki berirama dan bunyi [[Kendhang|gendang]] serta [[Giring-Giring, Biduk-Biduk, Berau|giring-giring]]. Ibu Kara, isteri bapak Nuba kepala kampung juga menghias diri untuk tejun dalam kemeriahan malam itu dengan penerangan ''[[Damar|damir]]''.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.greeners.co
[[Jarak pagar|''Damir'']] yaitu biji [[Jarak pagar|jarak]] yang ditumbuk campur dengan [[kapas]] sampai menjadi adonan kental lalu dililitkan pada sebatang lidi dan digunakan sebagai [[Lampu pijar|lampu]] penerangan. ''[[Jarak pagar|Damir]]'' yang berbentuk lidi gemuk itu disampirkan pada dinding dengan posisi miring, agar api tidak merambat ke dinding dan membakar seisi rumah. Ibu Kara membasuh muka dan membasahi rambutnya dengan air pada sebuah [[Labu|''kelau'']] yang diletakan di tanah dekat ''[[Jarak (tumbuhan)|damir]]'' yang sedang menyala itu.<ref name=":1" />
Ketika nyala [[Jarak pagar|''damir'']] semakin panjang, ujungnya menjadi arang, ibu Kara secara reflek mematahkan ujung arang ''(dami kepun)'' itu ke tanah, tetapi jatuh persis di dalam [[Labu|kelau]] berisi air. Arang [[Jarak pagar|''damir'']] yang masih berapi berpadu dengan santan kelapa dalam [[Labu|kelau]] itu meledak hebat, menimbulkan kegaduhan serta kepanikan
Bumi berguncang hebat, tanah bergetar puluhan warga yang ada di tengah [[Lapangan sepak bola|lapangan]] tenggelam terkubur dalam [[Banjir lumpur panas Sidoarjo|lumpur panas]], tetapi ada sebagian yang luput dan melarikan diri, menyingkir dari bencana itu. Penduduk Lewopuho lari ke timur dan menetap di kampung [[Tubuk Rajan, Atadei, Lembata|Lewokoba]] yang terletak di atas bukit. Bapa Nuba dan ibu Kara serta sebagian penduduk Mudagedo lari ke selatan dan menetap di bukit. Bukit itu kemudian dinamakan ''Nubawoloi'', yang artinya Bukit Nuba. Tetapi kemudian mereka masih merasa terancam dan pindah lagi ke selatan dan menetap di tempat yang juga juga sebuah bukit kemudian dinamakan ''Nuba''. Para pengikut bapa Nuba menetap di dataran yang dinamakan [[Atakore, Atadei, Lembata|Kore]]
Penduduk yang selamat mengenang peristiwa bencana Mudagedo, dengan korban di dalam lumpur panas yang tampak seperti babi dan batu lalu nama [[Atakore, Atadei, Lembata|Watuwawer]] dipakai menjadi nama kampung. Nama itu berasal dari dua kata yaitu batu dan babi, dan ''[[Babi|wawin]]'' mereka jadikan sebagai nama suku mereka. Ketika ada peraturan pembentukan [[Desa|desa gaya baru]] untuk kampung maka nama [[Atakore, Atadei, Lembata|Atakore]] ditentukan menjadi nama desa untuk kampung [[Atakore, Atadei, Lembata|Watuwawer]]
Kedua bukit, ''Nuba woloi'' dan ''Nuba'' yang ada dalam kampung [[Atakore, Atadei, Lembata|Watuwawer]] berkaitan dengan peristiwa bencana ''Mudagedo'' yaitu [[Energi panas bumi|Karun]], dan berabad-abad kedua tampat itu dibiarkan sebagai hutan keramat bersejarah. Namun pada [[Era Reformasi|era reformasi]] ''Nuba Woloi'' dibabat dan dijadikan ladang oleh penduduk.<ref name=":0" />
== Ritual Budaya di Karun ==
[[Energi panas bumi|Di dapur alam Karun]] ada ritual tahunan, yaitu ''"Taru kwar"'' - ritual pembukaan memasak jagung muda di dapur alam pada awal masa panen jagung yang dipimpin kepala Suku [[Atakore, Atadei, Lembata|Wawin]] dari [[Atakore, Atadei, Lembata|Watuwawer]]. Dan kepala suku [[Pohon Isai|Puhun]] (Lewopuho) dari [[Tubuk Rajan, Atadei, Lembata|Lewokoba]]. Ritual itu sudah didahului melalui beberapa pantangan tindakan yang bila dilanggar akan terjadi angin badai yang menghancurkan ladang [[Jagung manis|jagung]]
[[Kategori:Wisata alam]]
|