Ulos: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kris Simbolon (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(66 revisi perantara oleh 36 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Si gale gale dans TMnr 20025981.jpg|thumbjmpl|220px|Ulos yang dipakai penari Sigale[[Si galeGale Gale]].]]
[[Berkas:Jenis ulos.jpg|jmpl|220px|Beberapa jenis ulos]]
'''Ulos''' atau sering juga disebut '''kain ulos''' adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat [[Batak]], [[Sumatera]]. Dari bahasa asalnya, ulos berarti [[kain]]. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat [[songket]] khas [[Palembang]], yaitu menggunakan [[alat tenun bukan mesin]].
[[Berkas:HKBP Pintu Bosi, Res. Tomuan (Acara Peresmian 03).jpg|jmpl|220px|Pemberian ulos pada suatu acara gerejawi.]]
'''Ulos''' ([[Surat Batak]]: ᯥᯞᯘᯬ᯲) adalah salah satu jenis kain khas masyarakat [[Batak]], [[Sumatera Utara]]. Dari [[Bahasa Batak Toba|bahasa asalnya]], "ulos" berarti [[kain]]. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat [[songket]] khas [[suku Melayu|Melayu]], yaitu menggunakan [[alat tenun bukan mesin]].
 
Warna dominan pada ulos adalah [[merah]], [[hitam]], dan [[putih]] yang dihiasi oleh ragam tenunan dari [[benang]] emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk [[selendang]] atau [[sarung]] saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namuntetapi kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenirsuvenir, sarung bantal, [[ikat pinggang]], [[tas]], [[pakaian]], alas meja, [[dasi]], [[dompet]], dan [[gorden]].
 
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang [[hamil|mengandung]] supaya mempermudah lahirnya sang [[bayi]] ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Baris 8 ⟶ 10:
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus [[jenazah]]), dan Ulos Sibolang.
 
== PranalaArti luarUlos ==
[[File:Tenun Ulos.jpg|thumb|right|Pengrajin ''ulos'' di Desa Huta Raja sedang menenun.]]
{{Commons cat|Ulos}}
Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita, ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu diikutsertakan.
* [http://wisatamelayu.com/id/object/646/120/kain-ulos-khas-danau-toba/&nav=geo Ulos di Situs Resmi Melayu Online]
* [http://www.tempointeraktif.com/hg/hobi/2009/03/17/brk,20090317-165180,id.html Serat Kehidupan Orang Batak, Tempo Interaktif]
* [http://www.antara.co.id/view/?i=1196433922&c=SBH&s= Sebagian Besar Jenis Ulos Batak Punah. Antara News]
 
Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.
{{pakaian-stub}}
{{indo-stub}}
 
Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya dikelilingi dengan pepohonan bambu. Di mana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, tetapi juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.
[[Kategori:Pakaian Indonesia]]
 
Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu: Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat didambakan.
[[en:Ulos]]
[[ms:Kain ulos]]
 
Ada 3 “sumber kehangatan” yang diyakini moyang orang batak yaitu: matahari, api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat dinyalakan setiap saat, tetapi tidak praktis digunakan untuk menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus dijaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.
 
Ulos pun menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang dituangkan dalam aturan adat, antara lain:
1. Kain Tekstil Batak
* Ulos hanya diberikan kepada kerabat yang di bawah kita. ''Misalnya Natoras tu ianakhon'' (orang tua kepada anak), hula-hula kepada boru, dll.
Sudah beberapa tahun belakangan ini, pria bernama lengkap Midian Sefnat Sihombing memfokuskan perhatian pada tekstil ulos dan songket Batak. Dalam sebuah perbincangan dengan Merdi mengekspresikan rasa prihatin sekaligus optimismenya: “Kalau kita lihat (bandingkan) dengan batik Jawa atau dengan songket Palembang, mengapa ulos dan songket Batak masih belum banyak yang diperkenalkan? (Padahal) Ulos itu merupakan satu bagian dari budaya yang harus dilestarikan dan saya akan aplikasikan dalam bentuk fashion.”
* Ulos yang diberikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan diberi ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).
Guna mewujudkan niatnya melestarikan dan memperkenalkan kemungkinan baru dalam mengembangkan tenunan khas Batak, dia tengah mempersiapkan pameran tunggal rancangannya dari bahan ulos dan songket Batak awal Mei tahun depan. Ia tidak main-main dengan fokus perhatiannya itu. Ia bolak-balik berkunjung ke tempat pembuatan ulos dan songket Batak. Mulai dari Meat, Samosir, Laguboti, Tarutung hingga Sipirok dan daerah-daerah lain di Tano Batak. Semuanya itu ia lakukan sembari memperdalam pengetahuannya tentang khasanah budaya Batak.
Selain berupaya untuk lebih memahami produksi ulos di kampung halaman, Merdi – sapaan akrabnya – juga berusaha mengajak para penenun untuk kembali ke cara pewarnaan alami. Dalam penelusurannya, banyak pengrajin ulos meninggalkan kebiasaan teknik mewarnai benang dari bahan-bahan alami. Padahal dalam pandangannya walau pengerjaannya lebih lama, pewarnaan alami ini tidak merusak lingkungan. Sebaliknya dengan memakai perwarnaan kimia, walau waktu lebih cepat dan warna-warni yang dihasilkan beragam tetapi berpotensi merusak ekosistim. Demikian pria lajang kelahiran Medan ini berusaha menjelaskan kepada para penenun ulos.
Meski belum bisa dibilang mendapat sambutan yang memadai dari para penenun, Merdi tetap rajin mempraktekkan teknik pewarnaan alami. Misalnya untuk mendapatkan warna merah ia mengolah akar mengkudu untuk pewarnanya. Sedangkan warna biru atau hitam ia dapatkan dari hasil olahan tumbuhan salaon dan itom (Latin: indigodera). Merdi pun mengakui bahwa pengetahuannya itu ia dapatkan lewat proses pembelajaran panjang sambil menelusuri huta-huta di Bona Pasogit.
Di luar perhatiannya terhadap ulos, Merdi gundah melihat sebagian penenun ulos yang masih hidup dalam lingkaran kemiskinan. Masih menurut dia, sebagian penenun itu hampir-hampir beralih profesi, sebab hidup mengandalkan tenunan tidak bisa mengangkat ekonomi mereka. Sesuai dengan yang mampu dilakukannya kadangkala ia memberi bantuan berupa alat tenun yang telah dimodifikasi kepada beberapa orang penenun.
Selain mempersiapkan pameran tunggalnya tahun depan, Merdi juga tengah digayuti obsesi untuk mendirikan sebuah sentra tenun di Tapanuli. Sebuah upaya yang pantas disokong demi semakin terbukanya ruang inovasi tenunan ulos.
 
Sedangkan menurut penggunaanya antara lain:
* Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
* Sihadanghononhon (diletakan di bahu) digunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
* Sitalitalihononhon (pengikat kepala) digunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.
 
Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh pada saat tidur ataupun saat beraktivitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada dalam udara yang sangat dingin. Namun, Ulos sudah menjadi pelambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.
Himpunan Pecinta Kain Adati (Wastraprema) dan Museum Tekstil Indonesia
Wastraprema berasal dari bahasa Sansekerta, kata wastra berarti kain dan prema artinya cinta. Jika diterjemahkan secara bebas Wastraprema adalah pecinta kain tradisional atau lebih tepat disebut Pecinta Kain Adati. Lembaga ini berdiri di Jakarta pada 28 Juni 1976 bersamaan dengan peresmian Gedung Museum Tekstil Indonesia yang berlokasi di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sejak awal berdirinya Wastraprema memang bersinergi erat dengan Museum Tekstil. Mereka berkomitmen untuk mengisi galeri-galeri yang masih kosong di museum tersebut.
Lewat berbagai aktivitasnya Wastraprema berhasil mengumpulkan ratusan jenis kain tradisional dari seluruh Indonesia. Kegiatan itu di antaranya ialah mengunjungi daerah-daerah sentra produksi kain tradisional di berbagai pelosok Indonesia, menyelenggarakan pameran dan menerima sumbangan koleksi tekstil dari setiap orang yang perduli pada pelestarian kain adati Indonesia.
Setelah mengumpulkan jenis-jenis kain tradisional yang ada di Indonesia, Wastraprema kemudian menyerahkannya kepada Museum Tekstil Indonesia sebagai sejawat utama lembaga nirlaba ini. “Biasanya sebelum disumbangkan, terlebih dahulu disortir, mana yang layak dan jika kondisi masih baik baru dikirim ke Museum Tekstil,” ungkap Hadiati Arifin Siregar. Sebagai organisasi yang tidak mengharapkan keuntungan (nirlaba) dari setiap aktivitasnya Wastraprema cukup meminta kepada pihak museum untuk membubuhkan nama mereka di setiap galeri museum yang mereka isi.
Langkah Wastraprema menyerahkan berbagai jenis kain tradisional hasil pengumpulan mereka kepada Museum Tekstil merupakan upaya mereka untuk melestarikan kain-kain adati tersebut. Di samping itu, mereka berharap setelah kain-kain tersebut di koleksi oleh Museum Tekstil semakin banyak warga masyarakat yang bisa menikmati dan mengapresiasi keindahan kain-kain adati Indonesia.
Salah satu jenis kain adati yang menjadi perhatian Wastraprema ialah tenunan ulos. Di tahun 2003, Wastraprema memberikan kesempatan kepada ‘Martaulos’ untuk menyelenggarakan pameran di Museum Tekstil. Persis pada saat peringatan hari jadi Wastaprema dan Museum Tekstil tentunya. Momen ini pun dimanfaatkan Wastraprema untuk memperkenalkan ulos kepada masyarakat luas. Pameran ini berlangsung tiga minggu. Yang dipamerkan adalah kain ulos dari seluruh sub-etnis Batak, Sumatera Utara.
Namun demikian saat ini koleksi ulos adalah yang paling sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jenis kain tradisional lainnya yang ada di Museum Tekstil. Dari Batak Mandailing ada ulos Sadum dan Abit Godang. Milik Batak Karo ada ulos Jungkit. Dari Batak Simalungun ada ulos Ragi Santik. Motif dari Batak Dairi ada ulos Polang-polang dan Gobar. Dari Batak Toba ada ulos Ragi Hotang dan Ragi Idup. “Koleksi ulos Batak sangat sedikit di museum ini. Ulos Batak yang paling minim koleksinya,” ujar Kepala Museum Tekstil Indonesia, Dra. Dyah Damayanti MM saat menerima Hotman J Lumban Gaol.
 
Hal ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak pada masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut digunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.
*
:Baris isi
Mangulosi ’Kegenitan Budaya’
Zaman dahulu, ulos hanya kain tenun, pakaian sehari-hari masyarakat Batak kuno, dipakai untuk melindungi badan dari kedinginan. Kata ”ulos” ditimba dari pengalaman seorang ibu dan anak yang berjuang menundukkan kedinginan alam Batak yang terkenal amat dingin.
Tersebutlah satu keluarga miskin dengan seorang ibu dan anaknya yang berdiam di pucuk gunung, Pusuk Buhit, namanya. Suatu malam, si ibu melihat anaknya menggigi. Si anak meronta-ronta hingga giginya menggelatuk saking dinginnya. Si ibu mencari akal untuk mengatasi dingin. Maka, ditemukanlah bahan dari kulit kayu yang kemudian diselimutkannya ke tubuh anaknya itu. Sontak si anak merespon dengan ucapan “las-lass-los loss.” Pendek cerita, sejak itu penutup badan disebut sebagai ulos. Seiring waktu, ulos dijadikan pakaian sehari-hari, dan berikutnya diproduksi dalam jumlah yang besar dan diperdagangkan. Bahannya pun mulai diperhalus dengan pewarnaan alam yang diolah dari daun-daun.
Warna dasar ulos hanya tiga: merah, putih, dan hitam. Merah melambangkan warna untuk dongantubu. Putih untuk boru. Hitam untuk hula-hula. Partonun atau pembuat ulos itu juga menjadi personifikasi dari dewata, Ompu Mula Jadi Nabolon yang merajut kehidupan umat manusia.
Namun, sejak masuknya zending dan penjajah membawa kain tenun yang baru, yaitu pakaian Eropa, perlahan ulos Batak itu berubah fungsi dan motifnya juga berubah. Masyarakat Batak lebih banyak menggunakan kain tenun Eropa dan tidak lagi mengenakan ulos sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang dulunya pakaian sehari-hari berubah menjadi sebuah pakaian ritual. “Mangulosi” menjadi acara yang tak terpisahkan dari ritus adat Batak.
Memberikan ulos disebut mangulosi. Ini hanya boleh dilakukan pihak yang berada pada posisi hula-hula ke boru, orangtua ke anak. Artinya, mangulosi menjadi simbol pamoholi dan manggomgom yang berarti memberikan peneguhan atau kekuatan pada pihak yang dikasihi. Pemberi ulos selalu berada di atas yang menerima.
Ulos memaknai “ugari ni habatahon,” atau semangat kebatakan, dan berkaitan dengan patik (titah), dan uhum (hukum). Ornamen yang muncul di ulos mencerminkan latar-belakang yang merepresentasikan pembuatan ulos itu sendiri.
 
Sangat berbeda “rasanya” dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.
Kesakralan lenyap
Di zaman modern ini ulos tidak hanya dipakai pada acara seremonial. Ulos yang dulunya merupakan medium dalam ritual budaya, telah berubah menjadi simbol kebanggaan, prestise, terutama apabila seseorang bisa mengulosi seorang pesohor. Punguan-punguan marga juga berlomba-lomba mangulosi orang-orang berpengaruh seperti pemimpin partai dan pejabat pemerintahan.
Yang menjadi persoalan adalah saat pemberian ulos itu apakah yang bersangkutan sadar siapa hula-hula dan siapa boru, di mana posisi pemberi dan di mana posisi penerima ulos. Yang menjadi pertanyaan juga adaah siapa yang berada di atas. Salah kaprah ini menjadikan tradisi “mangulosi” menjadi tidak bermakna, karena diumbar sedemikian rupa sehingga kesakralannya lenyap.
Contoh soal. Mangulosi Sultan Hamengkubuwono ke-X menerima ulos yang tidak tahu-menahu tentang makna pemberian ulos. Padahal, ulos hanya diberikan kepada mereka yang mengerti makna dan esensinya.Kalau hanya memberika ulos tidak menjadi persoalan. Tetapi, jika ulos diuloskan dan dilingkarkan ke pundak maknanya menjadi lain. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ketika memberikan ulos para pembeli ulos terlebih dahulu sudah menerangkan kepada Sultan makna dan siapa yang bisa memberikan ulos?
Saya kira, kalau Sultan mengetahui hal ini, dia tentu tidak akan mau menerima ulos itu. Pemberian ulos kepada Sultan adalah salah kaprah. Inilah yang disebut Professor Hotman M. Siahaan sebagai “kegenitan budaya.” Seharusnya pemberian ulos kepada orang yang tidak mengerti esensi dari penerimaan ulos seharusnya tak boleh terjadi lagi. Memberikan ulos sebagai cendera mata itu sah-sah saja, tetapi jangan jadi ”mangulosi” seperti yang dilakukan orang Batak terhadap Sultan.
Terkadang, esensi budaya berubah. Yang dulunya tidak biasa sekarang menjadi lazim. “Mangulosi” yang dulu adalah sakral, sekarang telah menjadi basa-basi pergaulan.
Memang, ada juga pihak yang menyebutkan “Budaya Batak” itu jangan kaku, terjebak dalam pemahaman sempit yang hanya terkait dengan acara seremonial. Esensi daripada pemahaman saat mangulosi seharusnya jangan dilebarkan. Sebab fungsi ulos itu menjadi “ada” ketika dia diuloskan, disampirkan di punggung.
“Kegenitan budaya” Batak ini perlu terus dikritik. Mangulosi para persohor itu sama dengan mencoreng adat dan melenyapkan esensi sebuah tradisi. Pakem yang sudah berakar-berurat jangan sampai tercerabut. ***oleh: Hotman J. Lumban Gaol
 
Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, rumit adatnya, pusing karena tidak mengerti bahasa batak, malu karena tidak paham martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).
 
Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah keuangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).
tentang penulis: Hotman J. Lumban Gaol alias Hojot Marluga, lahir di Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang-Hasundutan, Sumatera Utara pada 1 September 1978. Sejak lulus dari STM tahun 1996, dia bekerja sebagai buruh pabrik di PT PYN Manufacturing di Bantar Gebang, Bekasi. Krisis moneter tahun 1998, membuatnya di PHK, sejak itu, dia bekerja serabutan. Tahun 1999, dia diterima berkerja di tabloid Jemaat Indonesia sebagai sirkulasi. Dari sana dia belajar menulis di majalah Industri dan Bisnis. Kemudian bergabung di majalah rohani Devotion dan majalah Berita Indonesia sampai tahun 2006. Tahun 2007-Mei 2010 wartawan majalah TAPIAN, hingga terakhir Manager Marketing di majalah tersebut. Sejak Juli 2010 menjadi wartawan majalah Narwastu Pembaruan.
 
== Jenis, makna dan fungsi ==
=== Ulos Antakantak ===
Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara ''manortor ''(menari).
 
=== Ulos Bintang Maratur ===
Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba, beberapa di antaranya yakni:
* Kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru (milik Sendiri) adalah merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat Batak Toba. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru dianggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut dianggap merupakan suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang disertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan situasi yang sangat menggembirakan, oleh karena itu ulos ini akan diberikan kepada orang yang sedang berada dalam suasana bergembira. Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama, tetapi pada hal-hal tertentu adakalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah [[Silindung]] diberikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.
* Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai ''Parompa'' (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu diiringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga diberikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat baptisan di gereja dan juga bisa dipakai sebagai selendang.
 
=== Ulos Bolean ===
Ulos ini biasanya dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.
 
=== Ulos Mangiring ===
Ulos ini dipakai sebagai selendang, ''Talitali'', juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak.
 
=== Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu ===
Ulos ini dipakai sebagai Talitali dan Selendang.
 
=== Ulos Pinuncaan ===
Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya antara lain:
* Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara dukacita maupun sukacita, dalam acara adat ulos ini dipakai/disandang oleh Raja-raja Adat.
* Dipakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat dipakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
* Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan ''hulahula''), ulos ini juga dipakai/dililit sebagai kain/''hohophohop'' oleh keluarga ''hasuhuton'' (tuan rumah).
* Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot diberikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hulahula) kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.
 
=== Ulos Ragi Hotang ===
Ulos ini diberikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang disebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya dipersunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah disebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini selalu disertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut dipakai dan dibawa untuk kegiatan-kegiatan adat.
 
=== Ulos Ragi Huting ===
 
Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon pada zaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hobahoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang beradat.
 
=== Ulos Sibolang Rasta Pamontari ===
Ulos ini dipakai untuk keperluan duka dan sukacita, tetapi pada zaman sekarang, Ulos Sibolang bisa dikatakan sebagai simbol dukacita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tetapi belum punya cucu), dan dipakai juga sebagai Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa dukacita ulos ini dipergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang yang meninggal.
 
=== Ulos Si Bunga Umbasang dan Ulos Simpar ===
Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan dipakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai ''panoropi'' ({{lang-id|yang meramaikan}}) .
 
=== Ulos Sitolu Tuho ===
Ulos ini difungsikan atau dipakai sebagai ikat kepala atau selendang.
 
=== Ulos Suri-suri Ganjang ===
Ulos ini dipakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga dipergunakan oleh pihak ''Hulahula'' (orang tua dari pihak istri) untuk ''manggabei'' (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga ''Ulos gabegabe'' (berkat).
 
=== Ulos Simarinjam sisi ===
Dipakai dan difungsikan sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinunca yang disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai ''Panjoloani'' (mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.
 
=== Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan ===
Pada zaman dahulu dipakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan disaput (diselimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya yang disebut Ragi Pakko karena memang warnanya hitam seperti Pakko.
 
=== Ulos Tumtuman ===
Dipakai sebagai talitali yang bermotif dan dipakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).
 
=== Ulos Tutur-Tutur ===
Ulos ini dipakai sebagai talitali (ikat kepala) dan sebagai ''Handehande'' (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).
 
== Lihat juga ==
* [[Uis]], kain tenun tradisional masyarakat [[Suku Karo|Batak Karo]].
* [[Sortali]], penutup kepala tradisional wanita pasa masyarakat [[Suku Batak Toba|Batak Toba]].
 
== Referensi ==
{{Reflist}}
=== Daftar pustaka ===
{{Refbegin}}
* {{Cite book|last=Niessen|first=Sandra A.|date=1993|url=https://www.google.co.id/books/edition/Batak_Cloth_and_Clothing/n5LpAAAAMAAJ|title=Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition|language=en|location=|publisher=Oxford University Press|isbn=978-967-6530-40-0|url-status=live}|ref={{sfnref|Niessen|1993}}}}
* {{Cite book|last=Niessen|first=Sandra A.|date=2009|url=https://www.google.co.id/books/edition/Legacy_in_Cloth/ARJMAQAAIAAJ|title=Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia|language=en|location=|publisher=KITLV Press|isbn=978-906-7183-51-2|url-status=live}|ref={{sfnref|Niessen|2009}}}}
{{Refend}}
 
==Pranala luar==
{{Commonscat|Ulos}}
{{Suku-Batak-stub}}
 
[[Kategori:Batak]]
[[Kategori:Batak Toba]]
[[Kategori:Batak Angkola]]
[[Kategori:Wastra Batak]]
[[Kategori:Pakaian Indonesia]]