Masalah kejahatan (filsafat): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Relevansi konten. Tag: VisualEditor Edit Check (references) activated Edit Check (references) declined (common knowledge) |
|||
(39 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Masalah kejahatan''' ({{Lang-en|problem of evil}}) adalah pertanyaan filosofis tentang
▲'''Masalah kejahatan''' ({{Lang-en|problem of evil}}) adalah pertanyaan tentang bagaimana mendamaikan pertentangan antara keberadaan [[keburukan|kejahatan]] dan [[penderitaan]] di dunia ini dengan keberadaan [[Tuhan]] [[Kemahakuasaan|Yang Maha Kuasa]], [[Kemahabaikan|Maha Baik]], dan [[Kemahatahuan|Maha Mengetahui]].<ref name="Tuling 20202">{{Cite book|last=Tuling|first=Kari H.|year=2020|title=Thinking about God: Jewish Views|location=[[Lincoln, Nebraska|Lincoln]] and [[Philadelphia]]|publisher=[[University of Nebraska Press]]/[[Jewish Publication Society]]|isbn=978-0-8276-1848-0|editor-last=Tuling|editor-first=Kari H.|series=JPS Essential Judaism Series|pages=3–64|chapter=Part 1: Is God the Creator and Source of All Being – Including Evil?|doi=10.2307/j.ctv13796z1.5|lccn=2019042781|chapter-url=https://books.google.com/books?id=EzfsDwAAQBAJ&pg=PA3}}</ref><ref name="Stanford3">The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "[https://plato.stanford.edu/entries/evil The Problem of Evil]", Michael Tooley</ref><ref name="IepEvidential3">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref> Saat ini, terdapat perbedaan definisi mengenai konsep-konsep ini. Pemaparan masalah kejahatan yang paling terkenal dilakukan oleh filsuf Yunani [[Paradoks Epicurean|Epikuros]], yang kemudian dipopulerkan oleh filsuf [[David Hume]].
Selain didiskusikan dalam bidang [[filsafat agama]], masalah kejahatan juga merupakan topik yang penting dalam bidang [[teologi]] dan [[etika]]. Ada juga banyak diskursus tentang kejahatan dan masalah terkait di bidang filsafat lainnya, seperti [[etika sekuler]],<ref>Nicholas J. Rengger, ''Moral Evil and International Relations'', in ''[[SAIS Review]]'' 25:1, Winter/Spring 2005, pp. 3–16</ref><ref>Peter Kivy, ''Melville's Billy and the Secular Problem of Evil: the Worm in the Bud'', in ''[[The Monist]]'' (1980), 63</ref><ref>{{Cite book|last=Kekes|first=John|year=1990|url=https://archive.org/details/facingevil0000keke|title=Facing Evil|location=Princeton|publisher=Princeton UP|isbn=978-0-691-07370-5|author-link=John Kekes}}</ref> dan [[etika evolusioner]].<ref>Timothy Anders, ''The Evolution of Evil'' (2000)</ref><ref>{{Cite book|last=Becker|first=Lawrence C.|last2=Becker|first2=Charlotte B.|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=KfeOAQAAQBAJ|title=Encyclopedia of Ethics|publisher=Routledge|isbn=978-1-135-35096-3|pages=147–149}}</ref> Namun seperti yang biasanya dipahami, masalah kejahatan diajukan dalam konteks [[Teologi|teologis]].<ref name="Stanford">The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "[https://plato.stanford.edu/entries/evil The Problem of Evil]", Michael Tooley</ref><ref name="IepEvidential">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref>
Baris 6 ⟶ 5:
Respons terhadap masalah kejahatan secara tradisional diberikan dalam tiga jenis: sanggahan, pembelaan, dan [[teodisi]].
Masalah kejahatan secara umum dirumuskan dalam dua bentuk: '''masalah logis kejahatan''' ([[Bahasa Inggris|bahasa inggris]]: ''logical problem of evil'') dan '''masalah
== Definisi ==
Konsep [[Keburukan|kejahatan]] secara luas didefinisikan sebagai semua bentuk rasa sakit dan penderitaan.<ref name="Todd Calder">{{Cite web|last=Calder|first=Todd|date=26 November 2013|title=The Concept of Evil|url=https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/concept-evil/|website=Stanford Encyclopedia of Philosophy|publisher=Stanford University|access-date=17 January 2021}}</ref> Namun, definisi ini dianggap problematik. Marcus Singer mengatakan bahwa definisi kejahatan harus didasarkan pada pengetahuan bahwa: "Jika sesuatu itu benar-benar jahat, maka hal itu tidak diperlukan, dan jika suatu hal itu diperlukan, maka hal itu tidak mungkin jahat".<ref name="Marcus G. Singer2004">{{Cite journal|last=Marcus G. Singer|first=Marcus G. Singer|date=April 2004|title=The Concept of Evil|url=https://www.jstor.org/stable/3751971|journal=Philosophy|publisher=Cambridge University Press|volume=79|issue=308|pages=185–214|doi=10.1017/S0031819104000233|jstor=3751971}}</ref>{{Refpage|186}} Menurut John Kemp, kejahatan tidak dapat dipahami dengan bersandar pada "skala hedonisme sederhana di mana kesenangan dianggap mempunyai nilai positif, dan rasa sakit mempunyai nilai negatif".<ref name="John Kemp">{{Cite journal|last=Kemp|first=John|date=25 February 2009|title=Pain and Evil|url=https://www.cambridge.org/core/journals/philosophy/article/abs/pain-and-evil/F3FF667D770E68BE6A9A56A345FBB7D6|journal=Philosophy|volume=29|issue=108|page=13|doi=10.1017/S0031819100022105|access-date=8 January 2021}}</ref><ref name="Todd Calder" /> [[Institut Kedokteran Nasional Amerika]] mendeskripsikan [[Nyeri|rasa sakit]] sebagai hal yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan: "Tanpa rasa sakit, dunia akan menjadi tempat yang sangat berbahaya".<ref>{{Cite web|last=Committee on Advancing Pain Research, Care, and Education|first=Institute of Medicine (US)|title=Relieving Pain in America: A Blueprint for Transforming Prevention, Care, Education, and Research.|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92525/|website=NCBI Bookshelf|publisher=National Academies Press (US)|access-date=21 February 2021}}</ref><ref>{{Cite journal|date=1901|title=Reviews|url=https://books.google.com/books?id=aCUKAAAAIAAJ|journal=The Humane Review|publisher=E. Bell|volume=2|issue=5–8|page=374}}</ref>▼
=== Kejahatan ===
Meskipun banyak argumen yang menentang kemahakuasaan Tuhan didasarkan pada definisi kejahatan yang paling luas, "sebagian besar filsuf kontemporer yang tertarik dengan masalah kejahatan memusatkan perhatian utamanya pada definisi kejahatan dalam arti yang lebih sempit".<ref name="Calder 2007">{{Cite journal|last=Calder|first=Todd C.|date=2007|title=Is the Privation Theory of Evil Dead?|url=https://www.jstor.org/stable/20464387|journal=American Philosophical Quarterly|volume=44|issue=4|pages=371–381|jstor=20464387}}</ref> Konsep sempit tentang kejahatan hanya berlaku bagi agen moral yang mampu membuat keputusannya sendiri, dan terhadap tindakan-tindakan mereka; hal ini memungkinkan bahwa terdapat rasa sakit dan penderitaan tanpa mengidentifikasinya sebagai kejahatan.<ref name="Eve Garrard">{{Cite journal|last=Garrard|first=Eve|date=April 2002|title=Evil as an Explanatory Concept|url=https://www.jstor.org/stable/27903775|format=PDF|journal=The Monist|publisher=Oxford University Press|volume=85|issue=2|pages=320–336|doi=10.5840/monist200285219|jstor=27903775}}</ref> {{Refpage|322}}▼
▲
▲Meskipun banyak argumen yang menentang kemahakuasaan Tuhan didasarkan pada definisi kejahatan
Kejahatan memiliki arti yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang sistem kepercayaan yang berbeda, dan meskipun kejahatan dapat dilihat dari sudut pandang agama, kejahatan juga dapat dipahami dari sudut pandang alam atau sekuler, seperti kejahatan sosial, egoisme, kriminalitas, dan sosiopatologi.<ref name="Rorty">Rorty, Amélie Oksenberg. ''Introduction. The Many Faces of Evil: Historical Perspectives''. Ed. Amélie Oksenberg Rorty. London: Routledge, 2001. xi–xviii.{{Tanpa ISBN}}</ref> [[John Kekes]] menulis bahwa suatu tindakan dikatakan jahat jika "(1) tindakan tersebut menyebabkan kerugian yang parah bagi (2) korban yang tidak bersalah, dan tindakan tersebut (3) disengaja, (4) bermotivasi jahat, dan (5) tidak dapat dibenarkan secara moral".<ref>{{Cite book|last=Kekes|first=John|date=2017|title=Encouraging Openness: Essays for Joseph Agassi on the Occasion of His 90th Birthday|publisher=Springer|isbn=9783319576695|editor-last=Bar-Am|editor-first=Nimrod|page=351|chapter=29, The Secular Problem of Evil|editor-last2=Gattei|editor-first2=Stefano}}</ref>▼
▲Kejahatan memiliki arti yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang sistem kepercayaan yang berbeda, dan meskipun kejahatan dapat dilihat dari sudut pandang agama, kejahatan juga dapat dipahami dari sudut pandang alam atau sekuler, seperti kejahatan sosial, egoisme, kriminalitas, dan sosiopatologi.<ref name="Rorty">Rorty, Amélie Oksenberg. ''Introduction. The Many Faces of Evil: Historical Perspectives''. Ed. Amélie Oksenberg Rorty. London: Routledge, 2001. xi–xviii.{{Tanpa ISBN}}</ref> Filsuf [[John Kekes]] menulis bahwa suatu tindakan dikatakan jahat jika
# tindakan tersebut menyebabkan kerugian yang parah;
# terdapat korban yang tidak bersalah;
# tindakan tersebut disengaja;
# tindakan didasari oleh motivasi jahat; dan
# tindakan itu tidak dapat dibenarkan secara moral.<ref>{{Cite book|last=Kekes|first=John|date=2017|title=Encouraging Openness: Essays for Joseph Agassi on the Occasion of His 90th Birthday|publisher=Springer|isbn=9783319576695|editor-last=Bar-Am|editor-first=Nimrod|page=351|chapter=29, The Secular Problem of Evil|editor-last2=Gattei|editor-first2=Stefano}}</ref>
=== Pembelaan dan Teodesi ===
Tanggapan terhadap masalah kejahatan kadang diklasifikasikan sebagai pembelaan atau teodisi.<ref name="Stanford3" /><ref name="IepEvidential3" /><ref>{{Cite book|last=Honderich|first=Ted|date=2005|title="theodicy". The Oxford Companion to Philosophy|isbn=978-0-19-926479-7|url-status=live}}</ref> Secara umum, pembelaan mengacu pada upaya untuk menanggapi masalah logis kejahatan.<ref name="IepEvidential3" /> Sebuah pembelaan tidak memerlukan penjelasan lengkap tentang kejahatan, tidak harus benar, dan tidak harus bisa ada; Namun, hanya perlu mungkin ada, karena adanya kemungkinan membatalkan logika ketidakmungkinan.<ref name="IepLogical" />
Di sisi lain, teodisi lebih ambisius, karena mencoba memberikan pembenaran yang masuk akal – alasan yang cukup secara moral atau filosofis – untuk keberadaan Tuhan dan kejahatan secara bersamaan. Teodisi dimaksudkan untuk melemahkan argumen masalah eviden kejahatan yang menggunakan realitas kejahatan untuk menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak mungkin.<ref name="IepEvidential3" /><ref name="Harvey2013p141" />
== Bentuk ==
Masalah kejahatan dapat dijelaskan secara empiris
Salah satu pernyataan paling awal mengenai masalah kejahatan dapat ditemukan dalam [[Teks Buddhis Awal|teks-teks Buddhis awal]]. Dalam [[Majjhima Nikāya]], Sang [[Siddhartha Gautama|Buddha]] (abad ke-6 atau ke-5 [[Era Umum|SM]]) menyatakan bahwa jika Tuhan menciptakan makhluk hidup, maka karena rasa sakit dan penderitaan yang
=== Masalah logis kejahatan ===
[[Berkas:Epikouros_BM_1843.jpg|ka|jmpl|Pernyataan paling awal mengenai masalah kejahatan sering dikaitkan dengan Epikuros, tetapi hal ini masih tidak pasti.]]
Masalah kejahatan kemungkinan besar pertama kali diajukan oleh filsuf Yunani [[Epikuros]] (341–270 SM).<ref>The formulation may have been wrongly attributed to Epicurus by Lactantius, who, from his Christian perspective, regarded Epicurus as an [[atheist]]. According to Mark Joseph Larrimore, (2001), ''The Problem of Evil'', pp. xix–xxi. Wiley-Blackwell. According to [[Reinhold F. Glei]], it is settled that the argument of theodicy is from an academical source which is not only not epicurean, but even anti-epicurean. Reinhold F. Glei, ''Et invidus et inbecillus. Das angebliche Epikurfragment bei Laktanz, De ira dei 13, 20–21'', in: ''Vigiliae Christianae'' 42 (1988), pp. 47–58</ref> Filsuf David Hume merangkum masalah kejahatan versi Epicurus sebagai berikut: “Apakah Tuhan berkehendak mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu? Jika demikian, maka Ia tidaklah Maha Kuasa. Apakah Ia mampu untuk mencegah kejahatan, tetapi tidak berkehendak? Jika demikian, maka Ia mempunyai niat jahat. Apakah Ia mampu dan berkehendak untuk mencegah kejahatan? Jika demikian,
Argumen dari masalah logis kejahatan adalah sebagai berikut:
Baris 35 ⟶ 47:
</blockquote>
Argumen ini berbentuk ''[[modus tollens]]'': Jika premis (P1) benar, maka kesimpulan (C1) adalah benar. Untuk menunjukkan bahwa premis pertama masuk akal, versi selanjutnya memperluas premis tersebut, seperti contoh yang lebih modern ini:<ref name="IepEvidential6">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref>
<blockquote>
P1a. Tuhan itu ada.
Baris 44 ⟶ 56:
P1d. Tuhan Yang Maha Baik ingin mencegah segala kejahatan.
P1e. Tuhan Yang Maha Tahu mengetahui segala
P1f. Tuhan yang
P1. Jika Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu, maka tidak ada kejahatan.
P2. Kejahatan itu ada (kontradiksi logis).
</blockquote>Kedua argumen di atas menyajikan dua bentuk masalah logis kejahatan. Keduanya berusaha untuk menunjukkan bahwa premis-premis Maha dari Tuhan berujung pada [[kontradiksi]] [[Logika|logis]] yang tidak semuanya benar. Sebagian besar perdebatan filosofis mengenai hal ini beranggapan bahwa Tuhan ingin mencegah semua kejahatan dan oleh karena itu tidak dapat hidup berdampingan dengan kejahatan apa pun (premis P1d dan P1f), namun terdapat tanggapan terhadap setiap premis (seperti [[Pembelaan kehendak bebas oleh Alvin Plantinga|tanggapan Plantinga terhadap P1c]]), dengan pembelaan dari teisme (misalnya, [[Agustinus dari Hippo|St. Augustine]] dan [[Gottfried Leibniz|Leibniz]]) yang berpendapat bahwa Tuhan bisa ada dan membiarkan kejahatan jika terdapat alasan yang baik.
Jika Tuhan tidak memiliki salah satu dari sifat-sifat ini{{Spaced ndash}}ke-Maha Tahu-an, ke-Maha Kuasa-an, atau ke-Maha Baik-an{{Spaced ndash}}maka masalah logika kejahatan dapat diatasi. [[Teologi proses]] dan [[teisme terbuka]] adalah perspektif-perspektif modern yang membatasi kemahakuasaan atau kemahatahuan Tuhan (sebagaimana didefinisikan dalam teologi tradisional) berdasarkan kehendak bebas orang lain.
Masalah eviden kejahatan (juga disebut sebagai masalah probabilistik atau induktif) berupaya menunjukkan bahwa, walaupun eksistensi kejahatan dan keberadaan Tuhan secara bersamaan memang bisa terjadi; Akan tetapi, eksistensi kejahatan dan keberadaan Tuhan [[teisme]] kemungkinan besar tidak bisa terjadi.[42] Baik versi absolut maupun versi relatif dari masalah eviden kejahatan diuraikan di bawah ini:
Versi filsuf [[William L. Rowe]]:
# Terdapat contoh-contoh penderitaan hebat yang seharusnya dapat dicegah oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tahu tanpa harus kehilangan kebaikan yang lebih besar, membiarkan kejahatan yang sama buruknya, atau kejahatan yang lebih buruk.
# Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Baik akan mencegah terjadinya semua penderitaan hebat, kecuali jika ia tidak dapat melakukannya tanpa kehilangan kebaikan yang lebih besar, membiarkan kejahatan yang sama buruknya, atau kejahatan yang lebih buruk.
# (Maka) Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik tidak ada.<ref name="IepEvidential3" />
Filsuf [[Paul Draper]] menguraikan sebuah versi masalah eviden kejahatan sebagai berikut:
# Kejahatan yang tidak beralasan itu ada.
# Hipotesis ketidakpedulian (yaitu hipotesis yang mengemukakan bahwa adanya Tuhan yang tidak peduli terhadap kejahatan yang tidak beralasan) adalah penjelasan yang lebih bagus untuk Premis (1) daripada adanya Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik.
# Maka, bukti lebih condong bahwa Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik itu tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Draper|first=Paul|year=1989|title=Pain and Pleasure: An Evidential Problem for Theists|journal=Noûs|volume=23|issue=3|pages=331–350|doi=10.2307/2215486|jstor=2215486}}</ref>
[[Teisme skeptis]] adalah sebuah versi teisme yang menentang premis-premis dalam argumen ini.
Mengikuti Epikuros, filsuf [[David Hume]] juga mendiskusikan masalah kejahatan dalam karya-karyanya, ''An Inquiry Concerning Human Understanding'' dan ''Dialogues Concerning Natural Religion''. Hume tidak bermaksud untuk membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Namun, ia berargumen bahwa meskipun memungkinkan untuk mendamaikan pertentangan antara keberadaan kejahatan dan keberadaan Tuhan, hal ini menyisakan masalah signifikan yang tetap tidak terjawab oleh teisme. Yaitu prevalensi kejahatan dan penderitaan yang parah dan ada dimana-mana di dunia ini tidak dapat dijelaskan dan dibenarkan. Menurutnya, hipotesis yang paling dapat diterima oleh akal sehat adalah bahwa "sumber dari segala sesuatu" bersikap acuh tak acuh baik terhadap kebaikan maupun kejahatan, sama halnya terhadap suhu panas dan suhu dingin. Alam adalah buta dan tidak peduli tentang hal-hal seperti itu dan tidak ada dasar untuk mengasumsikan bahwa dunia ini telah diciptakan untuk kebahagiaan dan kenyamanan manusia atau hewan.<ref>{{Cite book|last=Russell|first=Paul|last2=Kraal|first2=Anders|date=2021|url=https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/hume-religion/|title=Hume on Religion|publisher=Metaphysics Research Lab, Stanford University|editor-last=Zalta|editor-first=Edward N.|edition=Winter 2021}}</ref>
=== Masalah kejahatan dan penderitaan hewan ===
[[Berkas:Deerfire_high_res_edit.jpg|ka|jmpl|300x300px|Contoh [[kejahatan alam]] yang dikemukakan oleh [[William L. Rowe]]: “Di suatu hutan yang jauh, petir menyambar sebuah pohon yang kemudian mengakibatkan kebakaran hutan. Di dalam kobaran api tersebut terdapat seekor anak rusa yang terperangkap, ia terbakar dan terbaring dalam penderitaan yang sangat parah selama beberapa hari sampai ia mati."<ref name="rowe336">{{Cite journal|last=Rowe|first=William L.|author-link=William L. Rowe|year=1979|title=The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism|journal=American Philosophical Quarterly|volume=16|pages=336–337}}</ref> Rowe juga mengutip contoh kejahatan manusia terhadap seorang anak yang tidak bersalah, sehingga ia menjadi korban kekerasan dan menderita karenanya.<ref name="rowe336" />]]Masalah kejahatan juga diaplikasikan di luar penderitaan manusia. Hal ini mencakup penderitaan hewan akibat kekejaman, penyakit, dan kejahatan alam.<ref name="inwagenp1202">{{Cite book|last=Peter van Inwagen|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=iQhUrE8BYFIC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-954397-7|pages=120, 123–126, context: 120–133}}</ref> Salah satu versi dari masalah ini adalah hewan menderita akibat kejahatan alam, seperti kekerasan dan ketakutan yang disebabkan oleh predator dan bencana alam sepanjang sejarah evolusi.<ref name="Creeganp44">{{Cite book|last=Nicola Hoggard Creegan|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=xB1pAgAAQBAJ|title=Animal Suffering and the Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-993185-9|pages=44–55}}</ref> Versi ini disebut sebagai masalah kejahatan Darwinian,<ref>{{Cite book|last=Murray|first=Michael|year=2008|url=https://archive.org/details/natureredint_murr_2008_000_9051094|title=Nature Red in Tooth and Claw: Theism and the Problem of Animal Suffering|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-155327-1|page=[https://archive.org/details/natureredint_murr_2008_000_9051094/page/n19 8]|url-access=registration}}</ref><ref name="almeidap193">{{Cite book|last=Almeida|first=Michael J.|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=chSSBAAAQBAJ&pg=PA193|title=Freedom, God, and Worlds|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-964002-7|pages=193–194}}</ref> merujuk pada seorang [[Sejarah alam|naturalis]] dan [[ahli biologi]] [[Charles Darwin]] yang menulis pada tahun 1856: "Betapa hebatnya buku yang ditulis oleh pendeta Iblis tentang perbuatan alam yang salah dan sangat kejam!". Dalam otobiografinya, ia menulis: "Entitas yang begitu kuat dan penuh pengetahuan seperti Tuhan yang dapat menciptakan alam semesta, adalah Maha Kuasa dan Maha Tahu. Akan tetapi, ini bertentangan dengan pemahaman kita jika kita menganggap bahwa kebaikanNya adalah tidak terbatas, karena keuntungan apa yang ingin dicapai dari penderitaan jutaan hewan yang tidak ada habisnya sepanjang waktu? Argumen yang sangat lama tentang keberadaan penderitaan yang menentang argumen [[perancangan cerdas]] keberadaan Tuhan menurut saya merupakan argumen yang kuat".<ref name="Murray20082">{{Cite book|last=Murray|first=Michael|year=2008|url=https://archive.org/details/natureredint_murr_2008_000_9051094|title=Nature Red in Tooth and Claw: Theism and the Problem of Animal Suffering|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-155327-1|page=[https://archive.org/details/natureredint_murr_2008_000_9051094/page/n13 2]|url-access=registration}}, cites letter to J. D. Hooker (Darwin Correspondence Project, "Letter no. 1924," accessed on 9 May 2021, https://www.darwinproject.ac.uk/letter/DCP-LETT-1924.xml)</ref><ref name="CD bio902">{{Cite book|last=Darwin|first=Charles|year=1958|url=http://darwin-online.org.uk/content/frameset?pageseq=1&itemID=F1497&viewtype=text|title=The Autobiography of Charles Darwin 1809–1882. With the original omissions restored. Edited and with appendix and notes by his granddaughter Nora Barlow|work=darwin-online.org.uk|location=London|publisher=Collins|editor-last=Barlow|editor-first=Nora|editor-link=Nora Barlow|page=[http://darwin-online.org.uk/content/frameset?pageseq=92&itemID=F1497&viewtype=text 90]|access-date=2021-05-09}}</ref>
Versi kedua dari masalah kejahatan yang diterapkan pada hewan sebagian disebabkan oleh manusia, misalnya karena kekejaman terhadap hewan atau ketika mereka ditembak atau disembelih. Versi masalah kejahatan ini telah digunakan oleh para sarjana termasuk [[John Hick]] untuk menentang respon dan pembelaan terhadap masalah kejahatan seperti penderitaan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan moral dan kebaikan yang lebih besar. Penentangan terhadap pembelaan terhadap masalah kejahatan didasarkan pada pemahaman bahwa hewan adalah korban yang tidak bersalah dan tidak berdaya, namun dapat merasakan rasa sakit dan penderitaan.<ref name="inwagenp1203">{{Cite book|last=Peter van Inwagen|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=iQhUrE8BYFIC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-954397-7|pages=120, 123–126, context: 120–133}}</ref><ref>{{Cite book|last=Allen|first=Diogenes|year=1990|url=https://books.google.com/books?id=nqNwUSj7U7QC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-824866-8|editor-last=Marilyn McCord Adams and Robert Merrihew Adams|pages=204–206}}</ref><ref>{{Cite book|last=Rowe|first=William L.|year=2007|url=https://books.google.com/books?id=M4GdWhLtZzAC&pg=PA61|title=William L. Rowe on Philosophy of Religion: Selected Writings|publisher=Ashgate|isbn=978-0-7546-5558-9|pages=61–64 (the fawn's suffering example)}}</ref> Sarjana Michael Almeida mengatakan penderitaan hewan adalah sebuah versi masalah kejahatan yang "mungkin paling serius".<ref name="almeidap1932">{{Cite book|last=Almeida|first=Michael J.|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=chSSBAAAQBAJ&pg=PA193|title=Freedom, God, and Worlds|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-964002-7|pages=193–194}}</ref>
== Argumen Teistik ==
Masalah kejahatan merupakan masalah yang serius bagi [[agama samawi]] seperti Kristen, Islam, dan Yahudi yang percaya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik;<ref>{{Cite book|last=Hume|first=David|url=https://www.gutenberg.org/ebooks/4583|title=Dialogues Concerning Natural Religion|publisher=Project Gutenberg|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite web|last=Brians|first=Paul|title=Problem of Evil|url=https://web.archive.org/web/20161018125339/http://public.wsu.edu/~brians/hum_303/evil.html|website=Washington State University}}</ref> Namun, pertanyaan mengapa kejahatan itu ada juga telah dipelajari dalam agama-agama non-teistik atau politeistik, seperti [[Buddhisme]], [[Hinduisme]], dan [[Jainisme]].<ref name="Harvey2013p141" /><ref>{{Cite book|last=Herman|first=Arthur L.|date=2000|title=The problem of evil and Indian thought|location=Delhi|publisher=Motilal Banarsidass|isbn=978-81-208-0753-2|edition=2. ed., repr}}</ref> Masalah kejahatan sudah menarik perhatian beberapa teolog untuk menjawabnya. Berikut beberapa tokoh yang membahas tentang masalah kejahatan.
=== Ibnu Qayyim ===
[[Ibnul Qayyim al-Jauziyyah]], dalam bukunya "Syifa 'ul 'Alil", pernah membahas tentang masalah kejahatan. Dalam menjawab masalah kejahatan, Ibnu Qayyim memberi tiga alasan. Pertama, kejahatan sebagai ujian. Ibnu Qayyim menjelaskan: <blockquote>"Allah Subhanahu wa ta'ala memberi tahu bahwa Dia telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya dengan tujuan untuk menguji kita, siapa di antara kita yang lebih baik amalnya"<ref name=":0">{{Cite book|last=Al-Jauziyyah|first=Ibnu Qayyim|date=2000|url=https://onesearch.id/Record/IOS14141.JAMBI-03090000018857|title=Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir|location=Jakarta|publisher=Pustaka Azzam|pages=409-410. 533-541. 599.|url-status=live}}</ref></blockquote>Dalil untuk ini ada banyak di Al-Qur'an.<ref>Al-Qur'an, 67:2</ref><ref>Al-Qur'an, 29:35</ref><ref>Al-Qur'an, 2:214</ref> Dalam Islam, ujian-ujian yang akan manusia dapatkan hanyalah ujian yang dapat mereka tanggung.<ref>Al-Qur'an, 2:186</ref><ref>Al-Qur'an, 94:5-6</ref> Selain itu, ujian-ujian yang dialami manusia dapat menghapus dosa mereka,<ref>{{Cite web|title=Sahih al-Bukhari 5642|url=https://sunnah.com/bukhari:5641}}</ref> bahkan dapat mengantarkan mereka ke surga jika kita sabar.<ref>Al-Qur'an, 76:12</ref>
Kedua, kejahatan sebagai jalan kepada kebaikan lainnya. Ibnu Qayyim menjelaskan:<blockquote>"Seandainya tidak ada ujian dan cobaan, niscaya tidak akan tampak keutamaan dari kesabaran, keridhaan, tawakal, jihad, keberanian, kelembutan, dan maaf...
...Sebaik-baik dan seagung-agungnya pemberian adalah iman dan pahalanya. Iman itu tidak akan terealisasi kecuali melalui ujian dan cobaan."<ref name=":0" /></blockquote>Di sini, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ujian dan cobaan dapat menunjukkan sifat-sifat kebaikan lainnya, seperti kesabaran, tawakal, keberanian, dan sebagainya. Namun, bukan berarti manusia harus sabar dan tidak melakukan apapun ketika musibah atau kejahatan menimpa mereka. Dalam Islam, manusia dituntun untuk selalu bekerja keras<ref>Al-Qur'an, 94:7</ref><ref>Al-Qur'an, 13:11</ref> dan di sinilah letak sifat kebaikannya. Begitu pula dalam menghadapi kejahatan; Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk melawan kejahatan<ref>{{Cite web|title=Sahih Muslim 49|url=https://sunnah.com/muslim:49a}}</ref> dan sesungguhnya, perbuatan manusia, baik yang baik maupun yang buruk, akan mendapatkan balasannya.<ref>Al-Qur'an, 45:21</ref><ref>Al-Qur'an, 31:16</ref><ref>Al-Qur'an, 53:31</ref>
Ketiga, kejahatan sebagai bentuk kehikmahan Tuhan. Ibnu Qayyim menjelaskan:<blockquote>"Pengendalian dan kebijakan Allah Subhanahu wa ta'ala itu senantiasa berputar di poros keadilan, hikmat, dan kemaslahatan. Dan semuanya itu adalah baik, yang karenanya Allah Azza wa Jalla layak mendapatkan pujian dan sanjungan atas kesucian-Nya dari berbagai keburukan dan kejahatan. Dan keburukan itu sama sekali tidak mengarah kepada-Nya...
...Terlalu suci dan tinggi bagi Allah Subhanahu wa ta'ala untuk dinisbatkan keburukan dan kejahatan kepada-Nya, dan semua yang dinisbatkan kepada-Nya adalah baik. Sesuatu itu disebut buruk, karena terputusnya penisbatan kepada-Nya. Seandainya sesuatu yang buruk itu dinisbatkan kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah menjadi buruk"<ref name=":0" /></blockquote>Dalam hal ini, Ibnu Qayyim membawa salah satu sifat Tuhan dalam agama islam — yaitu Maha Bijaksana — untuk menjawab masalah kejahatan. Dengan demikian, Ibnu Qayyim menolak pembatasan sifat Tuhan hanya kepada tiga sifat, padahal (dalam Islam) Tuhan memiliki sifat lainnya, seperti Maha Bijaksana dan Maha Adil. Maksud dari argumen ini, yaitu segala perbuatan Tuhan pasti ada hikmahnya. Dengan demikian, "kejahatan murni", ketika dinisbatkan kepada Tuhan, tidak mungkin ada.
▲=== Masalah bukti kejahatan ===
== Lihat pula ==
|