Masalah kejahatan (filsafat): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Relevansi konten.
Tag: VisualEditor Edit Check (references) activated Edit Check (references) declined (common knowledge)
(5 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Masalah kejahatan''' ({{Lang-en|problem of evil}}) adalah pertanyaan filosofis tentang bagaimana mendamaikan pertentangan antara keberadaan [[keburukan|kejahatan]] dan [[penderitaan]] di dunia ini dengan keberadaan [[Tuhan]] [[Kemahakuasaan|Yang Maha Kuasa]], [[Kemahabaikan|Maha Baik]], dan [[Kemahatahuan|Maha Mengetahui]].<ref name="Tuling 20202">{{Cite book|last=Tuling|first=Kari H.|year=2020|title=Thinking about God: Jewish Views|location=[[Lincoln, Nebraska|Lincoln]] and [[Philadelphia]]|publisher=[[University of Nebraska Press]]/[[Jewish Publication Society]]|isbn=978-0-8276-1848-0|editor-last=Tuling|editor-first=Kari H.|series=JPS Essential Judaism Series|pages=3–64|chapter=Part 1: Is God the Creator and Source of All Being – Including Evil?|doi=10.2307/j.ctv13796z1.5|lccn=2019042781|chapter-url=https://books.google.com/books?id=EzfsDwAAQBAJ&pg=PA3}}</ref><ref name="Stanford3">The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "[https://plato.stanford.edu/entries/evil The Problem of Evil]", Michael Tooley</ref><ref name="IepEvidential3">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref> Saat ini, terdapat perbedaan definisi mengenai konsep-konsep ini. Pemaparan masalah kejahatan yang paling terkenal dilajukan oleh filsuf Yunani [[Paradoks Epicurean|Epikuros]]. Kemudian, yangargumen kemudianEpikuros dipopulerkan oleh filsuf [[David Hume]].
{{inuse}}
'''Masalah kejahatan''' ({{Lang-en|problem of evil}}) adalah pertanyaan tentang bagaimana mendamaikan pertentangan antara keberadaan [[keburukan|kejahatan]] dan [[penderitaan]] di dunia ini dengan keberadaan [[Tuhan]] [[Kemahakuasaan|Yang Maha Kuasa]], [[Kemahabaikan|Maha Baik]], dan [[Kemahatahuan|Maha Mengetahui]].<ref name="Tuling 20202">{{Cite book|last=Tuling|first=Kari H.|year=2020|title=Thinking about God: Jewish Views|location=[[Lincoln, Nebraska|Lincoln]] and [[Philadelphia]]|publisher=[[University of Nebraska Press]]/[[Jewish Publication Society]]|isbn=978-0-8276-1848-0|editor-last=Tuling|editor-first=Kari H.|series=JPS Essential Judaism Series|pages=3–64|chapter=Part 1: Is God the Creator and Source of All Being – Including Evil?|doi=10.2307/j.ctv13796z1.5|lccn=2019042781|chapter-url=https://books.google.com/books?id=EzfsDwAAQBAJ&pg=PA3}}</ref><ref name="Stanford3">The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "[https://plato.stanford.edu/entries/evil The Problem of Evil]", Michael Tooley</ref><ref name="IepEvidential3">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref> Saat ini, terdapat perbedaan definisi mengenai konsep-konsep ini. Pemaparan masalah kejahatan yang paling terkenal dilajukan oleh filsuf Yunani [[Paradoks Epicurean|Epikuros]], yang kemudian dipopulerkan oleh filsuf [[David Hume]].
 
Selain didiskusikan dalam bidang [[filsafat agama]], masalah kejahatan juga merupakan topik yang penting dalam bidang [[teologi]] dan [[etika]]. Ada juga banyak diskursus tentang kejahatan dan masalah terkait di bidang filsafat lainnya, seperti [[etika sekuler]],<ref>Nicholas J. Rengger, ''Moral Evil and International Relations'', in ''[[SAIS Review]]'' 25:1, Winter/Spring 2005, pp. 3–16</ref><ref>Peter Kivy, ''Melville's Billy and the Secular Problem of Evil: the Worm in the Bud'', in ''[[The Monist]]'' (1980), 63</ref><ref>{{Cite book|last=Kekes|first=John|year=1990|url=https://archive.org/details/facingevil0000keke|title=Facing Evil|location=Princeton|publisher=Princeton UP|isbn=978-0-691-07370-5|author-link=John Kekes}}</ref> dan [[etika evolusioner]].<ref>Timothy Anders, ''The Evolution of Evil'' (2000)</ref><ref>{{Cite book|last=Becker|first=Lawrence C.|last2=Becker|first2=Charlotte B.|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=KfeOAQAAQBAJ|title=Encyclopedia of Ethics|publisher=Routledge|isbn=978-1-135-35096-3|pages=147–149}}</ref> Namun seperti yang biasanya dipahami, masalah kejahatan diajukan dalam konteks [[Teologi|teologis]].<ref name="Stanford">The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "[https://plato.stanford.edu/entries/evil The Problem of Evil]", Michael Tooley</ref><ref name="IepEvidential">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref>
Baris 6 ⟶ 5:
Respons terhadap masalah kejahatan secara tradisional diberikan dalam tiga jenis: sanggahan, pembelaan, dan [[teodisi]].
 
Masalah kejahatan secara umum dirumuskan dalam dua bentuk: '''masalah logis kejahatan''' ([[Bahasa Inggris|bahasa inggris]]: ''logical problem of evil'') dan '''masalah buktieviden kejahatan''' ([[Bahasa Inggris|bahasa inggris]]: ''evidential problem of evil''). Bentuk logis dari masalah kejahatan mencobaberusaha untuk menunjukkan bahwa dalamkeberadaan duniaTuhan di mana adadan kejahatan, secara logisbersamaan adalahtidaklah tidak mungkin bahwa Tuhan itu ada.logis<ref name="Stanford2">The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "[https://plato.stanford.edu/entries/evil The Problem of Evil]", Michael Tooley</ref><ref name="IepLogical">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-log.htm The Logical Problem of Evil]", James R. Beebe</ref> SedangkanSementara itu, masalah buktieviden kejahatan mencobaberusaha untuk menunjukkan bahwa mengingat prevalensi kejahatan di dunia, kemungkinan besar dunia ini tidak diciptakan dan diatur oleh entitas yang Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Baik.<ref name="IepEvidential2">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref> Masalah kejahatan telah diperluas keuntuk bentukmencakup kehidupan non-manusia, termasuk penderitaan spesies hewan non-manusia akibat [[Kejahatan alami|kejahatan alam]] dan [[Kekejaman terhadap hewan|kekejaman]] manusia terhadap mereka.<ref name="inwagenp120">{{Cite book|last=Peter van Inwagen|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=iQhUrE8BYFIC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-954397-7|pages=120, 123–126, context: 120–133}}</ref>
 
== Definisi ==
Konsep [[Keburukan|kejahatan]] secara luas didefinisikan sebagai semua bentuk rasa sakit dan penderitaan.<ref name="Todd Calder">{{Cite web|last=Calder|first=Todd|date=26 November 2013|title=The Concept of Evil|url=https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/concept-evil/|website=Stanford Encyclopedia of Philosophy|publisher=Stanford University|access-date=17 January 2021}}</ref> Namun, definisi ini dianggap problematik. Marcus Singer mengatakan bahwa definisi kejahatan harus didasarkan pada pengetahuan bahwa: "Jika sesuatu itu benar-benar jahat, maka hal itu tidak perlu ada, dan jika suatu hal itu perlu ada, maka hal itu tidak mungkin jahat".<ref name="Marcus G. Singer2004">{{Cite journal|last=Marcus G. Singer|first=Marcus G. Singer|date=April 2004|title=The Concept of Evil|url=https://www.jstor.org/stable/3751971|journal=Philosophy|publisher=Cambridge University Press|volume=79|issue=308|pages=185–214|doi=10.1017/S0031819104000233|jstor=3751971}}</ref>{{Refpage|186}} Menurut John Kemp, kejahatan tidak dapat dipahami dengan bersandar pada "skala hedonisme sederhana di mana kesenangan dianggap mempunyai nilai positif, dan rasa sakit mempunyai nilai negatif".<ref name="John Kemp">{{Cite journal|last=Kemp|first=John|date=25 February 2009|title=Pain and Evil|url=https://www.cambridge.org/core/journals/philosophy/article/abs/pain-and-evil/F3FF667D770E68BE6A9A56A345FBB7D6|journal=Philosophy|volume=29|issue=108|page=13|doi=10.1017/S0031819100022105|access-date=8 January 2021}}</ref><ref name="Todd Calder" /> [[Institut Kedokteran Nasional Amerika]] mendeskripsikan [[Nyeri|rasa sakit]] sebagai hal yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan: "Tanpa rasa sakit, dunia akan menjadi tempat yang sangat berbahaya".<ref>{{Cite web|last=Committee on Advancing Pain Research, Care, and Education|first=Institute of Medicine (US)|title=Relieving Pain in America: A Blueprint for Transforming Prevention, Care, Education, and Research.|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92525/|website=NCBI Bookshelf|publisher=National Academies Press (US)|access-date=21 February 2021}}</ref><ref>{{Cite journal|date=1901|title=Reviews|url=https://books.google.com/books?id=aCUKAAAAIAAJ|journal=The Humane Review|publisher=E. Bell|volume=2|issue=5–8|page=374}}</ref>
 
=== Kejahatan ===
Meskipun banyak argumen yang menentang kemahakuasaan Tuhan didasarkan pada definisi kejahatan yang paling luas, "sebagian besar filsuf kontemporer yang tertarik dengan masalah kejahatan memusatkan perhatian utamanya pada definisi kejahatan dalam arti yang lebih sempit".<ref name="Calder 2007">{{Cite journal|last=Calder|first=Todd C.|date=2007|title=Is the Privation Theory of Evil Dead?|url=https://www.jstor.org/stable/20464387|journal=American Philosophical Quarterly|volume=44|issue=4|pages=371–381|jstor=20464387}}</ref> Konsep sempit tentang kejahatan hanya diaplikasikan terhadap agen moral yang mampu membuat keputusannya sendiri, dan terhadap tindakan-tindakan yang mereka lakukan; hal ini memungkinkan untuk menunjukkan bahwa terdapat rasa sakit dan penderitaan tanpa mengidentifikasinya sebagai kejahatan.<ref name="Eve Garrard">{{Cite journal|last=Garrard|first=Eve|date=April 2002|title=Evil as an Explanatory Concept|url=https://www.jstor.org/stable/27903775|format=PDF|journal=The Monist|publisher=Oxford University Press|volume=85|issue=2|pages=320–336|doi=10.5840/monist200285219|jstor=27903775}}</ref>{{Refpage|322}}
KonsepSecara luas, konsep [[Keburukan|kejahatan]] secara luas didefinisikan sebagai semua bentuk rasa sakit dan penderitaan.<ref name="Todd Calder">{{Cite web|last=Calder|first=Todd|date=26 November 2013|title=The Concept of Evil|url=https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/concept-evil/|website=Stanford Encyclopedia of Philosophy|publisher=Stanford University|access-date=17 January 2021}}</ref> Namun, definisi ini dianggap problematik. [[Marcus Singer]] mengatakan bahwa definisi kejahatan harus didasarkan pada pengetahuan bahwa: "Jika sesuatu itu benar-benar jahat, maka hal itu tidak perlu ada, dan jika suatu hal itu perlu ada, maka hal itu tidak mungkin jahat".<ref name="Marcus G. Singer2004">{{Cite journal|last=Marcus G. Singer|first=Marcus G. Singer|date=April 2004|title=The Concept of Evil|url=https://www.jstor.org/stable/3751971|journal=Philosophy|publisher=Cambridge University Press|volume=79|issue=308|pages=185–214|doi=10.1017/S0031819104000233|jstor=3751971}}</ref>{{Refpage|186}} MenurutKemudian, menurut filsuf John Kemp, kejahatan tidak dapat dipahami dengan bersandar pada "skala hedonisme sederhana di mana kesenangan dianggap mempunyai nilai positif, dan rasa sakit mempunyai nilai negatif".<ref name="John Kemp">{{Cite journal|last=Kemp|first=John|date=25 February 2009|title=Pain and Evil|url=https://www.cambridge.org/core/journals/philosophy/article/abs/pain-and-evil/F3FF667D770E68BE6A9A56A345FBB7D6|journal=Philosophy|volume=29|issue=108|page=13|doi=10.1017/S0031819100022105|access-date=8 January 2021}}</ref><ref name="Todd Calder" /> [[Institut Kedokteran Nasional Amerika]] mendeskripsikan [[Nyeri|rasa sakit]] sebagai hal yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan: "Tanpa rasa sakit, dunia akan menjadi tempat yang sangat berbahaya".<ref>{{Cite web|last=Committee on Advancing Pain Research, Care, and Education|first=Institute of Medicine (US)|title=Relieving Pain in America: A Blueprint for Transforming Prevention, Care, Education, and Research.|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92525/|website=NCBI Bookshelf|publisher=National Academies Press (US)|access-date=21 February 2021}}</ref><ref>{{Cite journal|date=1901|title=Reviews|url=https://books.google.com/books?id=aCUKAAAAIAAJ|journal=The Humane Review|publisher=E. Bell|volume=2|issue=5–8|page=374}}</ref>
 
Meskipun banyak argumen yang menentang kemahakuasaan Tuhan didasarkan pada definisi kejahatan yang palingsecara luas, "sebagian besar filsuf kontemporer yang tertarik dengan masalah kejahatan memusatkan perhatian utamanya pada definisi kejahatan dalam arti yang lebih kecil atau sempit".<ref name="Calder 2007">{{Cite journal|last=Calder|first=Todd C.|date=2007|title=Is the Privation Theory of Evil Dead?|url=https://www.jstor.org/stable/20464387|journal=American Philosophical Quarterly|volume=44|issue=4|pages=371–381|jstor=20464387}}</ref> Konsep sempit tentang kejahatan melibatkan pengutukan moral (pengutukan sebuah tindakan), dan hanya bisa diaplikasikan terhadapkepada agen moral yang mampu membuat keputusannya sendiri (seperti manusia), dan terhadap tindakan-tindakan yang mereka lakukan; hal ini memungkinkan untuk menunjukkan bahwa terdapatkeberadaan rasa sakit dan penderitaan tanpa perlu mengidentifikasinya sebagai kejahatan.<ref name="Eve Garrard">{{Cite journal|last=Garrard|first=Eve|date=April 2002|title=Evil as an Explanatory Concept|url=https://www.jstor.org/stable/27903775|format=PDF|journal=The Monist|publisher=Oxford University Press|volume=85|issue=2|pages=320–336|doi=10.5840/monist200285219|jstor=27903775}}</ref>{{Refpage|322}}
 
Kejahatan memiliki arti yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang sistem kepercayaan yang berbeda, dan meskipun kejahatan dapat dilihat dari sudut pandang agama, kejahatan juga dapat dipahami dari sudut pandang alam atau sekuler, seperti kejahatan sosial, egoisme, kriminalitas, dan sosiopatologi.<ref name="Rorty">Rorty, Amélie Oksenberg. ''Introduction. The Many Faces of Evil: Historical Perspectives''. Ed. Amélie Oksenberg Rorty. London: Routledge, 2001. xi–xviii.{{Tanpa ISBN}}</ref> Filsuf [[John Kekes]] menulis bahwa suatu tindakan dikatakan jahat jika memenuhi syarat sebagai berikut:
Baris 20 ⟶ 21:
# tindakan didasari oleh motivasi jahat; dan
# tindakan itu tidak dapat dibenarkan secara moral.<ref>{{Cite book|last=Kekes|first=John|date=2017|title=Encouraging Openness: Essays for Joseph Agassi on the Occasion of His 90th Birthday|publisher=Springer|isbn=9783319576695|editor-last=Bar-Am|editor-first=Nimrod|page=351|chapter=29, The Secular Problem of Evil|editor-last2=Gattei|editor-first2=Stefano}}</ref>
 
=== Pembelaan dan Teodesi ===
Tanggapan terhadap masalah kejahatan kadang diklasifikasikan sebagai pembelaan atau teodisi.<ref name="Stanford3" /><ref name="IepEvidential3" /><ref>{{Cite book|last=Honderich|first=Ted|date=2005|title="theodicy". The Oxford Companion to Philosophy|isbn=978-0-19-926479-7|url-status=live}}</ref> Secara umum, pembelaan mengacu pada upaya untuk menanggapi masalah logis kejahatan.<ref name="IepEvidential3" /> Sebuah pembelaan tidak memerlukan penjelasan lengkap tentang kejahatan, tidak harus benar, dan tidak harus bisa ada; Namun, hanya perlu mungkin ada, karena adanya kemungkinan membatalkan logika ketidakmungkinan.<ref name="IepLogical" />
 
Di sisi lain, teodisi lebih ambisius, karena mencoba memberikan pembenaran yang masuk akal – alasan yang cukup secara moral atau filosofis – untuk keberadaan Tuhan dan kejahatan secara bersamaan. Teodisi dimaksudkan untuk melemahkan argumen masalah eviden kejahatan yang menggunakan realitas kejahatan untuk menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak mungkin.<ref name="IepEvidential3" /><ref name="Harvey2013p141" />
 
== Bentuk ==
Dalam [[Ilmu Filsafat|ilmu filsafat]], masalah kejahatan didefinisikan sebagai masalah pertentangan antara eksistensi kejahatan dan penderitaan di dunia dengan keyakinan pada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu.<ref name="IepEvidential4">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref><ref name="Harvey2013p141">{{Cite book|last=Harvey|first=Peter|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=u0sg9LV_rEgC|title=An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-0-521-85942-4|pages=37, 141}}</ref><ref name="boydp56">Gregory A. Boyd (2003), ''Is God to Blame?'' (InterVarsity Press), {{ISBN|978-0830823949}}, pp. 55–58</ref><ref>{{Cite book|last=Peter van Inwagen|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=iQhUrE8BYFIC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-954397-7|pages=6–10, 22, 26–30}}</ref><ref name="Edwards2001">{{Cite book|last=Edwards|first=Linda|year=2001|url=https://archive.org/details/unset0000unse_s5t3|title=A Brief Guide to Beliefs: Ideas, Theologies, Mysteries, and Movements|publisher=Westminster John Knox Press|isbn=978-0-664-22259-8|page=[https://archive.org/details/unset0000unse_s5t3/page/59 59]|url-access=registration}}</ref>
 
Masalah kejahatan dapat dijelaskan secara empiris ataudan teoritis.<ref name="IepEvidential5">The Internet Encyclopedia of Philosophy, "[https://www.iep.utm.edu/e/evil-evi.htm The Evidential Problem of Evil]", Nick Trakakis</ref> Dalam perspektif ini, secara empiris adalah sulit mempercayai konsep Tuhan yang penuh kasih ketika dihadapkan pada realitas kejahatan dan penderitaan di dunia ini, seperti wabah penyakit, peperangan, pembunuhan massal, atau bencana alam yang mana semua hal ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah menjadi korbannya.<ref>{{Cite book|last=Swinton|first=John|year=2007|url=https://books.google.com/books?id=sT42mz7G_68C|title=Raging with Compassion: Pastoral Responses to the Problem of Evil|publisher=Wm. B. Eerdmans|isbn=978-0-8028-2997-9|pages=33–35, 119, 143}}</ref><ref>{{Cite book|last=Neiman|first=Susan|date=2004|url=https://books.google.com/books?id=28ts5lckpOwC|title=Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy|publisher=Princeton University Press|isbn=978-0691117928|pages=119–120, 318–322}}</ref><ref>{{Cite book|last=Micha de Winter|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=pHRJamJh7XMC|title=Socialization and Civil Society|publisher=Springer|isbn=978-94-6209-092-7|pages=69–70}}</ref> Secara teoritis, terdapat dua macam permasalahan yang umumnya dikaji oleh para sarjana, yaitu permasalahan logika dan permasalahan pembuktian.<ref name="IepEvidential5" />
 
Salah satu pernyataan paling awal mengenai masalah kejahatan dapat ditemukan dalam [[Teks Buddhis Awal|teks-teks Buddhis awal]]. Dalam [[Majjhima Nikāya]], Sang [[Siddhartha Gautama|Buddha]] (abad ke-6 atau ke-5 [[Era Umum|SM]]) menyatakan bahwa jika Tuhan menciptakan makhluk hidup, maka karena rasa sakit dan penderitaan yang mereka alami dalam hidup, kemungkinan besar ia adalah [[Tantangan Tuhan jahat|Tuhan yang jahat]].<ref name=":5">Westerhoff, Jan. “Creation in Buddhism” in Oliver, Simon. ''The Oxford Handbook of Creation'', Oxford University Press, Oxford, forthcoming</ref>
Baris 50 ⟶ 56:
P1d. Tuhan Yang Maha Baik ingin mencegah segala kejahatan.
 
P1e. Tuhan Yang Maha Tahu mengetahui segala sesuatucara tentangkejahatan bagaimanadapat terjadinya kejahatanterjadi, dan Ia mengetahui segala cara untuk mencegah kejahatan tersebutyang dapat terjadi.
 
P1f. Tuhan yang mengetahuiMaha Tahu segala sesuatucara tentangkejahatan bagaimanadapat terjadinya kejahatanterjadi, yangMaha memilliki kekuatanKuasa untuk mencegah terjadinyaadanya segala kejahatan, dan berkeinginanMaha Baik untuk melakukanberkeinginan halmencegah tersebutsegala kejahatan, akan mencegah terjadinya kejahatan tersebut.
 
P1. Jika Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu, maka tidak ada kejahatan.
Baris 59 ⟶ 65:
</blockquote>Kedua argumen di atas menyajikan dua bentuk masalah logis kejahatan. Keduanya berusaha untuk menunjukkan bahwa premis-premis Maha dari Tuhan berujung pada [[kontradiksi]] [[Logika|logis]] yang tidak semuanya benar. Sebagian besar perdebatan filosofis mengenai hal ini beranggapan bahwa Tuhan ingin mencegah semua kejahatan dan oleh karena itu tidak dapat hidup berdampingan dengan kejahatan apa pun (premis P1d dan P1f), namun terdapat tanggapan terhadap setiap premis (seperti [[Pembelaan kehendak bebas oleh Alvin Plantinga|tanggapan Plantinga terhadap P1c]]), dengan pembelaan dari teisme (misalnya, [[Agustinus dari Hippo|St. Augustine]] dan [[Gottfried Leibniz|Leibniz]]) yang berpendapat bahwa Tuhan bisa ada dan membiarkan kejahatan jika terdapat alasan yang baik.
 
Jika Tuhan tidak memiliki salah satu dari sifat-sifat ini{{Spaced ndash}}kemahatahuanke-Maha Tahu-an, kemahakuasaanke-Maha Kuasa-an, atau kemahabaikanke-Maha Baik-an{{Spaced ndash}}maka masalah logika kejahatan dapat diatasi. [[Teologi proses]] dan [[teisme terbuka]] adalah perspektif-perspektif modern yang membatasi kemahakuasaan atau kemahatahuan Tuhan (sebagaimana didefinisikan dalam teologi tradisional) berdasarkan kehendak bebas orang lain.
 
=== Masalah buktieviden kejahatan ===
Masalah buktieviden kejahatan (juga disebut sebagai masalah probabilistik atau induktif) berupaya menunjukkan bahwa, meskipun secara logiswalaupun eksistensi kejahatan dapat dianggap konsisten dengandan keberadaan Tuhan, buktisecara bahwabersamaan kejahatanmemang danbisa penderitaanterjadi; adaAkan dimana-manatetapi, adalaheksistensi bertentangankejahatan ataudan setidaknyakeberadaan menurunkanTuhan [[Peluang (matematika)|kemungkinanteisme]] kebenarankemungkinan besar tidak bisa terjadi.[[teisme42]]. Baik versi absolut maupun versi relatif dari masalah eviden kejahatan diuraikan di bawah ini:
 
Versi filsuf [[William L. Rowe]]:
Filsuf Paul Draper menguraikan sebuah versi masalah bukti kejahatan sebagai berikut:
 
# Terdapat contoh-contoh penderitaan hebat yang seharusnya dapat dicegah oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tahu tanpa harus kehilangan kebaikan yang lebih besar, membiarkan kejahatan yang sama buruknya, atau kejahatan yang lebih buruk.
# Terdapat kejahatan dan penderitaan yang seharusnya tidak perlu ada di dunia ini.
# Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Baik akan mencegah terjadinya semua penderitaan hebat, kecuali jika ia tidak dapat melakukannya tanpa kehilangan kebaikan yang lebih besar, membiarkan kejahatan yang sama buruknya, atau kejahatan yang lebih buruk.
# Dibandingkan teisme, hipotesis ketidakpedulian adalah lebih beralasan untuk menjelaskan kondisi (1). Hipotesis ketidakpedulian adalah sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa jika suatu entitas gaib atau supernatural seperti Tuhan / dewa itu ada, ia tidak peduli terhadap kejahatan dan penderitaan yang seharusnya tidak perlu ada di dunia.
# (Maka) Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik tidak ada.<ref name="IepEvidential3" />
# Oleh karena itu, bukti-bukti bahwa terdapat kejahatan dan penderitaan yang tidak perlu menunjukkan bahwa adalah lebih mungkin bahwa tuhan itu tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Draper|first=Paul|year=1989|title=Pain and Pleasure: An Evidential Problem for Theists|journal=Noûs|volume=23|issue=3|pages=331–350|doi=10.2307/2215486|jstor=2215486}}</ref>
 
Filsuf [[Paul Draper]] menguraikan sebuah versi masalah buktieviden kejahatan sebagai berikut:
 
# Kejahatan yang tidak beralasan itu ada.
# Hipotesis ketidakpedulian (yaitu hipotesis yang mengemukakan bahwa adanya Tuhan yang tidak peduli terhadap kejahatan yang tidak beralasan) adalah penjelasan yang lebih bagus untuk Premis (1) daripada adanya Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik.
# Oleh karena ituMaka, bukti-bukti bahwalebih terdapatcondong kejahatanbahwa dan penderitaanTuhan yang tidakMaha perluKuasa, menunjukkanMaha bahwaTahu, adalahdan lebih mungkin bahwaMaha tuhanBaik itu tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Draper|first=Paul|year=1989|title=Pain and Pleasure: An Evidential Problem for Theists|journal=Noûs|volume=23|issue=3|pages=331–350|doi=10.2307/2215486|jstor=2215486}}</ref>
[[Teisme skeptis]] adalah sebuah versi teisme yang menentang premis-premis dalam argumen ini.
 
Baris 77 ⟶ 89:
 
Versi kedua dari masalah kejahatan yang diterapkan pada hewan sebagian disebabkan oleh manusia, misalnya karena kekejaman terhadap hewan atau ketika mereka ditembak atau disembelih. Versi masalah kejahatan ini telah digunakan oleh para sarjana termasuk [[John Hick]] untuk menentang respon dan pembelaan terhadap masalah kejahatan seperti penderitaan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan moral dan kebaikan yang lebih besar. Penentangan terhadap pembelaan terhadap masalah kejahatan didasarkan pada pemahaman bahwa hewan adalah korban yang tidak bersalah dan tidak berdaya, namun dapat merasakan rasa sakit dan penderitaan.<ref name="inwagenp1203">{{Cite book|last=Peter van Inwagen|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=iQhUrE8BYFIC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-954397-7|pages=120, 123–126, context: 120–133}}</ref><ref>{{Cite book|last=Allen|first=Diogenes|year=1990|url=https://books.google.com/books?id=nqNwUSj7U7QC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-824866-8|editor-last=Marilyn McCord Adams and Robert Merrihew Adams|pages=204–206}}</ref><ref>{{Cite book|last=Rowe|first=William L.|year=2007|url=https://books.google.com/books?id=M4GdWhLtZzAC&pg=PA61|title=William L. Rowe on Philosophy of Religion: Selected Writings|publisher=Ashgate|isbn=978-0-7546-5558-9|pages=61–64 (the fawn's suffering example)}}</ref> Sarjana Michael Almeida mengatakan penderitaan hewan adalah sebuah versi masalah kejahatan yang "mungkin paling serius".<ref name="almeidap1932">{{Cite book|last=Almeida|first=Michael J.|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=chSSBAAAQBAJ&pg=PA193|title=Freedom, God, and Worlds|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-964002-7|pages=193–194}}</ref>
 
== Argumen Teistik ==
Masalah kejahatan merupakan masalah yang serius bagi [[agama samawi]] seperti Kristen, Islam, dan Yahudi yang percaya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik;<ref>{{Cite book|last=Hume|first=David|url=https://www.gutenberg.org/ebooks/4583|title=Dialogues Concerning Natural Religion|publisher=Project Gutenberg|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite web|last=Brians|first=Paul|title=Problem of Evil|url=https://web.archive.org/web/20161018125339/http://public.wsu.edu/~brians/hum_303/evil.html|website=Washington State University}}</ref> Namun, pertanyaan mengapa kejahatan itu ada juga telah dipelajari dalam agama-agama non-teistik atau politeistik, seperti [[Buddhisme]], [[Hinduisme]], dan [[Jainisme]].<ref name="Harvey2013p141" /><ref>{{Cite book|last=Herman|first=Arthur L.|date=2000|title=The problem of evil and Indian thought|location=Delhi|publisher=Motilal Banarsidass|isbn=978-81-208-0753-2|edition=2. ed., repr}}</ref> Masalah kejahatan sudah menarik perhatian beberapa teolog untuk menjawabnya. Berikut beberapa tokoh yang membahas tentang masalah kejahatan.
 
=== Ibnu Qayyim ===
[[Ibnul Qayyim al-Jauziyyah]], dalam bukunya "Syifa 'ul 'Alil", pernah membahas tentang masalah kejahatan. Dalam menjawab masalah kejahatan, Ibnu Qayyim memberi tiga alasan. Pertama, kejahatan sebagai ujian. Ibnu Qayyim menjelaskan: <blockquote>"Allah Subhanahu wa ta'ala memberi tahu bahwa Dia telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya dengan tujuan untuk menguji kita, siapa di antara kita yang lebih baik amalnya"<ref name=":0">{{Cite book|last=Al-Jauziyyah|first=Ibnu Qayyim|date=2000|url=https://onesearch.id/Record/IOS14141.JAMBI-03090000018857|title=Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir|location=Jakarta|publisher=Pustaka Azzam|pages=409-410. 533-541. 599.|url-status=live}}</ref></blockquote>Dalil untuk ini ada banyak di Al-Qur'an.<ref>Al-Qur'an, 67:2</ref><ref>Al-Qur'an, 29:35</ref><ref>Al-Qur'an, 2:214</ref> Dalam Islam, ujian-ujian yang akan manusia dapatkan hanyalah ujian yang dapat mereka tanggung.<ref>Al-Qur'an, 2:186</ref><ref>Al-Qur'an, 94:5-6</ref> Selain itu, ujian-ujian yang dialami manusia dapat menghapus dosa mereka,<ref>{{Cite web|title=Sahih al-Bukhari 5642|url=https://sunnah.com/bukhari:5641}}</ref> bahkan dapat mengantarkan mereka ke surga jika kita sabar.<ref>Al-Qur'an, 76:12</ref>
 
Kedua, kejahatan sebagai jalan kepada kebaikan lainnya. Ibnu Qayyim menjelaskan:<blockquote>"Seandainya tidak ada ujian dan cobaan, niscaya tidak akan tampak keutamaan dari kesabaran, keridhaan, tawakal, jihad, keberanian, kelembutan, dan maaf...
 
...Sebaik-baik dan seagung-agungnya pemberian adalah iman dan pahalanya. Iman itu tidak akan terealisasi kecuali melalui ujian dan cobaan."<ref name=":0" /></blockquote>Di sini, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ujian dan cobaan dapat menunjukkan sifat-sifat kebaikan lainnya, seperti kesabaran, tawakal, keberanian, dan sebagainya. Namun, bukan berarti manusia harus sabar dan tidak melakukan apapun ketika musibah atau kejahatan menimpa mereka. Dalam Islam, manusia dituntun untuk selalu bekerja keras<ref>Al-Qur'an, 94:7</ref><ref>Al-Qur'an, 13:11</ref> dan di sinilah letak sifat kebaikannya. Begitu pula dalam menghadapi kejahatan; Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk melawan kejahatan<ref>{{Cite web|title=Sahih Muslim 49|url=https://sunnah.com/muslim:49a}}</ref> dan sesungguhnya, perbuatan manusia, baik yang baik maupun yang buruk, akan mendapatkan balasannya.<ref>Al-Qur'an, 45:21</ref><ref>Al-Qur'an, 31:16</ref><ref>Al-Qur'an, 53:31</ref>
 
Ketiga, kejahatan sebagai bentuk kehikmahan Tuhan. Ibnu Qayyim menjelaskan:<blockquote>"Pengendalian dan kebijakan Allah Subhanahu wa ta'ala itu senantiasa berputar di poros keadilan, hikmat, dan kemaslahatan. Dan semuanya itu adalah baik, yang karenanya Allah Azza wa Jalla layak mendapatkan pujian dan sanjungan atas kesucian-Nya dari berbagai keburukan dan kejahatan. Dan keburukan itu sama sekali tidak mengarah kepada-Nya...
 
...Terlalu suci dan tinggi bagi Allah Subhanahu wa ta'ala untuk dinisbatkan keburukan dan kejahatan kepada-Nya, dan semua yang dinisbatkan kepada-Nya adalah baik. Sesuatu itu disebut buruk, karena terputusnya penisbatan kepada-Nya. Seandainya sesuatu yang buruk itu dinisbatkan kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah menjadi buruk"<ref name=":0" /></blockquote>Dalam hal ini, Ibnu Qayyim membawa salah satu sifat Tuhan dalam agama islam — yaitu Maha Bijaksana — untuk menjawab masalah kejahatan. Dengan demikian, Ibnu Qayyim menolak pembatasan sifat Tuhan hanya kepada tiga sifat, padahal (dalam Islam) Tuhan memiliki sifat lainnya, seperti Maha Bijaksana dan Maha Adil. Maksud dari argumen ini, yaitu segala perbuatan Tuhan pasti ada hikmahnya. Dengan demikian, "kejahatan murni", ketika dinisbatkan kepada Tuhan, tidak mungkin ada.
 
== Lihat pula ==