Masyarakat Hukum Adat Rongi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xx
Raksasabonga (bicara | kontrib)
 
(30 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Perkampungan_MHA_Rongi_file.jpg|jmpl|500x500px|Penampakan Desa Sandang Pangan yang menjadi tempat bermukim Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi]]
'''Masyarakat Hukum Adat Rongi''' atau disingkat menjadi MHA Rongi adalah sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan [[hukum adat]] dan memiliki ikatan kuat pada asal-usul leluhur di [[Kabupaten Buton Selatan]], [[Provinsi Sulawesi Tenggara]]. Sebagai kelompok masyarakat yang digolongkan Masyarakat Hukum Adat (MHA), hak-hak mereka juga dilindungi oleh [[konstitusi]], terutama terkait pemanfaatan dan penggunaan [[lahan]].
 
MHA Rongi bermukim di Desa [[Sandang Pangan]] yang kini telah dimekarkan menjadi Desa [[Hendea]] pada tahun 2010. Sebelumnya, wilayah administratif Desa Sandang Pangan terdiri dari dua golongan ''papara'', yaitu golongan ''papara'' dari ''kadie'' Rongi dan ''kadie'' Hendea. Setelah dimekarkan menjadi Desa Hendea, ''kadie'' Hendea secara otomatis menghuni Desa Hendea dan ''kadie'' Rongi menempati Desa Sandang Pangan. ''Kadie'' Rongi merupakan saudara tertua dari  rumpun Lapandewa yang terdiri dari Rongi, Sempa-Sempa, Kaongkeongkea, Tambunalako, dan Kaindea. Semua turunan dari rumpun Lapandewa itu juga dikenal sebagai bagian dari etnis ''Ciacia''.<ref>Song, Seung-Won. 2013. ''Being Korean in Buton? The Cia-Cia's Adoption of the Korean Alphabet and Identity Politics in Decentralised Indonesia''. Kemanusiaan Vol. 20, No. 1, (2013), 51–80. Penerbit Universiti Sains Malaysia  
</ref> Kelompok etnis tersebut, sebagaimana namanya, menggunakan bahasa ''Ciacia'' yang ditulis dengan huruf [[Hangeul]], [[Korea]].<ref name=":0">{{Cite news|url=https://tirto.id/ada-korea-di-sulawesi-tenggara-cjtH|title=Ada Korea di Sulawesi Tenggara|last=Putri|first=Aditya Widya|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2017-12-09}}</ref>
[[Berkas:Perkampungan_MHA_Rongi_file.jpg|jmpl|500x500px|Penampakan Desa Sandang Pangan yang menjadi tempat bermukim MHA Rongi]]
Dalam hal demografi, jumlah MHA Rongi yang mendiami Desa Sandang Pangan sebanyak 1.905 jiwa yang terdiri dari 797 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.108 jiwa berjenis kelamin perempuan. Menurut survei penduduk tahun 2014, jumlah tersebut dibagi ke dalam 184 kepala keluarga dan 397 kepala rumah tangga.<ref name=":1">Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, “Kecamatan Sampolawa dalam Angka 2014”, Katalog BPS 1102001. 7401.070, CV. Kainawa Molagina, Baubau, 2014. </ref> Secara umum, mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja di bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]]. Beberapa di antara mereka juga bekerja paruh waktu sebagai pemecah batu [[aspal]] milik PT Metrix Elcipta<ref>{{Cite web|url=https://ptmetrixelcipta.indonetwork.co.id|title=PT. Metrix Elcipta|website=ptmetrixelcipta.indonetwork.co.id|language=id|access-date=2017-12-07}}</ref> yang merupakan perusahaan pertambangan aspal di [[Buton]]. Perlu diketahui, potensi pertambangan aspal di [[Buton]] sangat tinggi: produksinya bahkan mencapai 78.633 ton pada tahun 2007 untuk kegiatan [[eksploitasi]].<ref>{{Cite web|url=http://www.butonkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=11&Itemid=53|title=Potensi Pertambangan|last=Administrator|website=www.butonkab.go.id|language=id-id|access-date=2017-12-09}}</ref>
 
Dalam hal demografi, jumlah MHA Rongi yang mendiami Desa Sandang Pangan sebanyak 1.905 jiwa yang terdiri dari 797 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.108 jiwa berjenis kelamin perempuan. Menurut survei penduduk tahun 2014, jumlah tersebut dibagi ke dalam 184 kepala keluarga dan 397 kepala rumah tangga.<ref name=":1">Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, “Kecamatan Sampolawa dalam Angka 2014”, Katalog BPS 1102001. 7401.070, CV. Kainawa Molagina, Baubau, 2014.  </ref> Secara umum, mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja di bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]]. Beberapa di antara mereka juga bekerja paruh waktu sebagai pemecah batu [[aspal]] milik PT Metrix Elcipta<ref>{{Cite web|url=https://ptmetrixelcipta.indonetwork.co.id|title=PT. Metrix Elcipta|website=ptmetrixelcipta.indonetwork.co.id|language=id|access-date=2017-12-07}}</ref> yang merupakan perusahaan pertambangan aspal di [[Buton]]. Perlu diketahui, potensi pertambangan aspal di [[Buton]] sangat tinggi: produksinya bahkan mencapai 78.633 ton  pada tahun 2007 untuk kegiatan [[eksploitasi]].<ref>{{Cite web|url=http://www.butonkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=11&Itemid=53|title=Potensi Pertambangan|last=Administrator|website=www.butonkab.go.id|language=id-id|access-date=2017-12-09|archive-date=2017-12-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20171207140639/http://www.butonkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=11&Itemid=53|dead-url=yes}}</ref>
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi memegang aturan-aturan adat tertentu dalam menguasai atau memanfaatkan tanah dan [[Sumber daya alam|Sumber Daya Alam]] yang ada di [[desa]] mereka. Dalam hal mengatur tanah untuk permukiman, mereka membaginya menjadi dua bagian, yaitu tanah dalam benteng Rongi dan tanah di luar benteng Rongi. Permukiman yang berada di dalam benteng harus dijaga sebagaimana bentuk aslinya, siapa pun tidak diperbolehkan membuat bangunan permanen atau remanen dengan menggunakan [[semen]] atau [[beton]]. Sementara di luar benteng, anggota MHA Rongi diperkenankan membangun rumah dengan tetap memperhatikan etika-etika sosial seperti tidak menghalangi akses jalan orang lain dan menghalangi pencahayaan [[matahari]] untuk masuk ke rumah orang yang ada di sebelahnya. Mereka juga memperhatikan betul pemanfaatan tanah untuk bidang pertanian. MHA Rongi tidak menghendaki anggotanya mengelola lahan [[pertanian]] secara sendiri-sendiri, mereka harus melakukannya secara kolektif. Keberadaan ''Parabela'' amat menentukan komoditas [[pertanian]] apa yang hendak ditanam oleh MHA Rongi. Sebagai misal, ''Parabela'' menentukan bahwa musim ini mereka harus menanam [[jagung]]. Seluruh anggota MHA Rongi dengan demikian harus menanami lahan [[pertanian]] mereka dengan tanaman [[jagung]], tidak boleh ada yang menanaminya dengan komoditas yang berbeda. Lain halnya dengan tanah untuk perkebunan, MHA Rongi diperkenankan untuk menanami kebunnya dengan tanaman apa pun yang mereka kehendaki tanpa harus meminta izin kepada ''Parabela.'' Sementara itu, keberadaan hutan adat (hutan ''kaombo'') juga dianggap sangat keramat bagi MHA Rongi. [[Hutan adat]] tersebut berada di sepanjang [[Daerah aliran sungai]] (DAS) yang memiliki fungsi untuk menahan [[erosi]]. Mereka percaya bahwa ada di antara mereka yang menebang [[pohon]] di sekitar hutan ''kaombo'', maka mereka akan tertimpa ''bala'' (nasib sial) hingga menyebabkannya meninggal dunia. Menurut mereka, hutan ''kaombo'' dijaga oleh leluhur mereka.<ref name=":2">Zalili, Fakhrisya. 2016. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.</ref>
 
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi memegang aturan-aturan adat tertentu dalam menguasai atau memanfaatkan tanah dan [[Sumber daya alam|Sumber Daya Alam]] yang ada di [[desa]] mereka. Dalam hal mengatur tanah untuk permukiman, mereka membaginya menjadi dua bagian, yaitu tanah dalam benteng Rongi dan tanah di luar benteng Rongi. Permukiman yang berada di dalam benteng harus dijaga sebagaimana bentuk aslinya, siapa pun tidak diperbolehkan membuat bangunan permanen atau remanen dengan menggunakan [[semen]] atau [[beton]]. Sementara di luar benteng, anggota MHA Rongi diperkenankan membangun rumah dengan tetap memperhatikan etika-etika sosial seperti tidak menghalangi akses jalan orang lain dan menghalangi pencahayaan [[matahari]] untuk masuk ke rumah orang yang ada di sebelahnya. Mereka juga memperhatikan betul pemanfaatan tanah untuk bidang pertanian. MHA Rongi tidak menghendaki anggotanya mengelola lahan [[pertanian]] secara sendiri-sendiri, mereka harus melakukannya secara kolektif. Keberadaan ''Parabela'' amat menentukan komoditas [[pertanian]] apa yang hendak ditanam oleh MHA Rongi. Sebagai misal, ''Parabela'' menentukan bahwa musim ini mereka harus menanam [[jagung]]. Seluruh anggota MHA Rongi dengan demikian harus menanami lahan [[pertanian]] mereka dengan tanaman [[jagung]], tidak boleh ada yang menanaminya dengan komoditas yang berbeda. Lain halnya dengan tanah untuk perkebunan, MHA Rongi diperkenankan untuk menanami kebunnya dengan tanaman apa pun yang mereka kehendaki tanpa harus meminta izin kepada ''Parabela.'' Sementara itu, keberadaan hutan adat (hutan ''kaombo'') juga dianggap sangat keramat bagi MHA Rongi. [[Hutan adat]] tersebut berada di sepanjang [[Daerah aliran sungai]] (DAS) yang memiliki fungsi untuk menahan [[erosi]]. Mereka percaya bahwa ada di antara mereka yang menebang [[pohon]] di sekitar hutan ''kaombo'', maka mereka akan tertimpa ''bala'' (nasib sial) hingga menyebabkannya meninggal dunia. Menurut mereka, hutan ''kaombo'' dijaga oleh leluhur mereka.<ref name=":2">Zalili, Fakhrisya. 2016. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.</ref>
Di samping aturan-aturan tersebut, MHA Rongi juga memiliki aturan adat tersendiri dalam hal pemanfaatan lahan oleh pihak di luar komunitas mereka. Mereka umumnya terbuka terkait pemberian kuasa pemanfaatan [[lahan]], baik kepada [[pemerintah]], swasta ([[perusahaan]]), dan masyarakat biasa. Namun demikian, ''Parabela'' yang merupakan pemimpin adat akan selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu dengan seluruh perangkat adat terkait pemberian kuasa tersebut. Terkait hal-hal spesifik dalam penggunaan [[lahan]] yang ada, MHA Rongi juga mempertimbangkan untung-rugi bagi komunitas mereka, serta pemanfaatan [[lahan]] yang dirasa tidak bertentangan dengan kearifan lokal mereka.<ref name=":2" />
 
Di samping aturan-aturan tersebut, MHA Rongi juga memiliki aturan adat tersendiri dalam hal pemanfaatan lahan oleh pihak di luar komunitas mereka. Mereka umumnya terbuka terkait pemberian kuasa pemanfaatan [[lahan]], baik kepada [[pemerintah]], swasta ([[perusahaan]]), dan masyarakat biasa. Namun demikian, ''Parabela'' yang merupakan pemimpin adat akan selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu dengan seluruh perangkat adat terkait pemberian kuasa tersebut. Terkait hal-hal spesifik dalam penggunaan [[lahan]] yang ada, MHA Rongi juga mempertimbangkan untung-rugi bagi komunitas mereka, serta pemanfaatan [[lahan]] yang dirasa tidak bertentangan dengan kearifan lokal mereka.<ref name=":2" />melihat dari isi makalah ini tidak sesuai dengan kenyataan awal keberadaan lapandewa kaindea itu siapa
 
== Gambaran Umum ==
=== Asal-Usul MHA Roni ===
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi merupakan keturunan dari rumpun besar Lapandewa. Rumpun itu dikenal sebagai penduduk pertama yang membangun struktur sosial Kerajaan Wolio, cikal

bakal berdirinya [[Kesultanan Buton]]. Dalam upaya penaklukan wilayah, Kerajaan Wolio selalu mengedepankan [[diplomasi]] daripada kekerasan fisik. Menurut penuturan perangkat adat Rongi, pada tahun 1275, Kerajaan Wolio mengirimkan seorang utusan bernama ''Dungkucangia'' yang meminta rumpun Lapandewa untuk bergabung dengan Kerajaan Wolio. Rumpun Lapandewa menyepakati tawaran tersebut dengan syarat mereka tetap dapat menjalankan [[hukum adat]] sebagaimana biasanya serta diberikan wewenang penuh untuk memilih pemimpin dari dalam kelompok mereka sendiri. Disetujuinya kesepakatan tersebut ditandai dengan penyerahan meriam naga oleh ''Dungkucangin'' kepada pemimpin rumpun Lapandewa saat itu, yaitu ''La'' ''Bukuturende''.<ref name=":4">Zuhdi, Susanto, 2010, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, Cetakan Pertama, PT. Raja grafindo Persada, Jakarta.  </ref>
 
''La Bukuturende'' juga dikenal sebagai orang pertama yang lahir dari rumpun Lapandewa, sementara Rongi disebut sebagai saudara tertua dari rumpun tersebut. Apabila ditarik ke belakang, Rongi bukan satu-satunya kelompok masyarakat dari rumpun Lapandewa. Ada keempat kelompok lain yang juga dikategorikan ke dalam rumpun itu, yaitu ''Sempa-Sempa, Kaongkeongkea, Tambunalako'', dan ''Kaindea''. Seluruh kelompok tersebut merupakan bagian dari etnis Ciacia.<ref name=":4" />
 
Awalnya, masyarakat Rongi hidup membaur bersama anggota rumpun Lapandewa lainnya di sebuah [[perkampungan]] tua bernama ''Kabilangkao''. Perkampungan itu terletak di ''kadie'' Sempa-Sempa yang sekarang bernama Desa Sempa-Sempa. Akibat terlalu padatnya penduduk yang menghuni [[perkampungan]] itu, anggota rumpun Lapandewa kemudian membuka perkampungan baru yang kemudian terbagi menjadi lima ''kadie'' sesuai dengan kelompok mereka masing-masing. Setelah terjadi berbagai dinamika sosial, saat ini MHA Rongi bermukim di Desa Sandang Pangan yang di dalamnya dihuni oleh MHA Rongi dan ''kadie'' Hendea. Setelah dimekarkan menjadi Desa Hendea pada tahun 2010, ''kadie'' Hendea secara otomatis menghuni desa tersebut, sedangkan Desa Sandang Pangan secara khusus dihuni oleh MHA Rongi.<ref name=":2" />
 
=== Kependudukan ===
Baris 24 ⟶ 27:
 
=== Sumber Mata Pencaharian ===
Sebagian besar MHA Rongi bekerja di bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]]. Sebagaimana nama “Rongi” yang mereka sandang, memberikan arti bahwa Rongi bermakna sebagai “orang yang memikul bakul” yang juga diartikan sebagai masyarakat [[petani]]. Komoditas pertanian yang umum ditanam oleh mereka adalah padi dan jagung. MHA Rongi menganggap komoditas [[pertanian]] yang mereka hasilkan dilarang keras untuk diperjualbelikan, terlebih lagi kepada orang-orang di luar komunitas mereka. Bahan makanan pokok tersebut mereka simpan di langit-langit rumah sebagai cadangan makanan sehari-hari. Namun demikian, seiring berkembangnya zaman, MHA Rongi tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari sistem ekonomi subsisten semacam itu. Mereka tentu membutuhkan [[uang]] untuk biaya [[pendidikan]], [[kesehatan]], dan biaya-biaya lain yang menjadi kebutuhan dasar mereka. Untuk memperolehnya, mereka juga melakukan aktivitas berkebun. Komoditas dari hasil [[perkebunan]] dapat mereka jual kepada siapa pun, baik di dalam komunitas maupun di luar kelompok MHA Rongi. Pekerjaan berkebun dan bertani itu kini juga banyak melibatkan kaum perempuan Rongi, meskipun sebenarnya dalam aturan hukum adat Rongi, perempuan hanya boleh mengurusi masalah domestik (rumah tangga). Perubahan itu muncul karena beberapa lelaki Rongi kini juga bekerja di luar bidang [[pertanian]] dan [[perkebunan]], yaitu bekerja paruh waktu sebagai pemecah batu aspal di PT Metrix Elcipta dengan status pekerja tidak tetap. Dalam perkembangannya, anggota MHA Rongi juga banyak yang kini berprofesi sebagai [[pedagang]], pergi merantau ke [[Kota Baubau]], [[Ambon]], [[Makassar]], hingga ke [[Malaysia]]. Selain itu, beberapa anggota MHA Rongi juga ada yang mencari pendapatan sebagai guru, baik guru [[Sekolah dasar]] dan [[Sekolah menengah pertama]] yang ada di Desa Sandang Pangan. Sedangkan, bagi mereka yang melanjutkan pendidikan tinggi ke [[Kota Baubau]] dan [[Kota Kendari]], akan pulang kembali ke Desa Sandang Pangan ketika [[Hari Raya Idul Fitri]] dan pesta panen (''sampua galampa'') tiba. Dengan kata lain, sebagian besar anggota MHA Rongi mencari mata pencaharian sebagai petani dan pengebun, sementara sisanya adalah sebagai guru, pedagang, dan buruh tidak tetap.<ref name=":1" />
 
=== Kepercayaan ===
Keberadaan [[Kesultanan Buton]] yang pada abad ke-15 menerima Islam sebagai agama resminya juga turut memengaruhi MHA Rongi. Hampir seluruh penduduk Rongi kini memeluk agama [[Islam]]. Mula-mula, [[Kesultanan Buton]] mengutus seorang guru agama Islam ke setiap ''kadie'', termasuk ''Kadie'' Rongi, untuk mengajarkan ilmu agama Islam. Sang guru agama Islam juga menunjuk salah satu orang sebagai perwakilan di setiap ''kadie'' untuk melanjutkan pengajaran agama Islam tersebut. Mereka bahkan diharuskan untuk rutin berkunjung ke pemerintahan dalam rangka memperdalam ilmu agama [[Islam]].<ref>Schoorl, Pim, 2003, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Penerbit Djembatan bekerjasama dengan Perwakilan KLTV, Jakarta.  </ref> Hal itu membawa konsekuensi logis bagi kehidupan sosial MHA Rongi, yaitu munculnya jabatan ''khatib'' yang memiliki tugas di bidang agama [[Islam]]. Para khatib tersebut kebanyakan akan diangkat menjadi ''Moji'' atau wakil kepala adat.
 
Namun demikian, meskipun telah memeluk agama [[Islam]], bukan berarti MHA Rongi meninggalkan sepenuhnya tradisi leluhurnya. Mereka masih menaruh kepercayaan-kepercayaan lokal seperti kembalinya roh orang yang telah meninggal kepada diri anggota [[keluarga]] atau sanak saudaranya. Mereka juga percaya bahwa [[Leluhur]] adalah sosok yang amat dihormati, sehingga mereka selalu mengadakan upacara adat khusus untuk mengenang leluhur rumpun mereka (Lapandewa) yang diadakan di kampung lama MHA Rongi.<ref name=":3">Hasyim, Arrazy. 2015.Kitab ''Hadiyat al-Baṣīr fī Ma‘rifat al-Qadīr'' Sultan Muhammad ‘Aydrus al-Butuni: Puri kasi Teologi Islam di Kesultanan Buton. ''Manuskripta, Vol. 5, No. 1, 2015  ''</ref>
 
Selain itu, beberapa upacara adat yang hingga kini masih mereka lakukan adalah ''sampua galampa'' yang merupakan upacara terbesar adat Rongi. Dalam upacara tersebut, seluruh anggota MHA Rongi, termasuk yang sedang pergi merantau, akan pulang sejenak ke Desa Sandang Pangan. Dalam upacara tersebut, pemimpin adat akan menyumpahi para perusak [[alam]], pejabat yang tidak amanah, menyumpahi orang-orang yang berniat jahat kepada Rongi, sekaligus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Rongi. Mereka juga biasanya mengadakan upacara khusus dalam rangka pelepasan tanah atau pemberian hak pakai [[tanah]] kepada pihak-pihak di luar MHA Rongi, seperti [[pemerintah]] dan [[perusahaan]].
 
=== Garis Keturunan dan Sistem Kekerabatan ===
Garis keturunan dalam struktur sosial MHA Rongi ditarik dari garis ibu atau [[perempuan]] ([[matrilineal]]). Para perempuan dalam adat Rongi juga dilarang untuk menikah dengan kelompok dari luar komunitas mereka, karena derajat orang di luar MHA Rongi dianggap lebih rendah. Hal itu menyebabkan mobilitas [[perempuan]] Rongi amat rendah, karena hanya menikah dengan [[laki-laki]] dari kampung yang sama. Berbeda dengan [[laki-laki]] Rongi, mereka diperbolehkan untuk menikah dengan [[perempuan]] yang derajatnya dianggap lebih rendah atau lebih tinggi daripada mereka. Namun demikian, MHA Rongi tetap tidak menghendaki [[pernikahan]] sedarah dengan sepupu, dua pupu, maupun tiga pupu. Mereka lebih menyukai pernikahan empat pupu.<ref name=":3" />
 
=== Kedudukan Perempuan ===
Pada umumnya, [[perempuan]] memiliki kedudukan yang istimewa dalam struktur sosial MHA Rongi. Namun, [[perempuan]] Rongi tidak memiliki kuasa untuk terpilih menjadi perangkat adat (''Parabela''). Hanya kelompok [[laki-laki]] dari komunitas Rongi yang dapat dipilih menjadi ''Parabela'' sekaligus kepala [[keluarga]]. Namun demikian, ketika [[laki-laki]] Rongi akan menjadi ''Parabela'', ia harus mengantongi izin dari istrinya. Apabila istrinya tidak mengizinkan, ia tidak akan dikukuhkan menjadi ''Parabela.'' Termasuk apabila sang istri meninggal, maka laki-laki Rongi harus melepaskan jabatannya sebagai ''Parabela.'' Begitu pun apabila lelaki Rongi tidak memiliki [[istri]], maka ia tidak memiliki kesempatan untuk dipilih menjadi ''Parabela''. Di samping itu, meskipun menjadi kepala [[keluarga]], hak waris atas tanah dan harta benda lain selama perkawinan menjadi hak milik [[istri]]. Hak milik suami hanyalah keris dan benda pusaka. [[Perempuan]] memiliki hak penuh atas tanah [[pertanian]], tanah pemukiman, dan tanah [[perkebunan]] mereka. Begitu pun ketika mereka akan melakukan transaksi jual-beli komoditas perkebunan, istri yang berkuasa untuk menentukan harga, sementara suami yang akan mencarikan calon pembeli. Kedudukan [[perempuan]] dalam struktur sosial masyarakat Rongi menyimpan filosofis tersendiri. MHA Rongi tidak memaksakan hak dan kewajiban laki-laki dan [[perempuan]] Rongi secara sama rata, melainkan membaginya berdasarkan fungsi-fungsi yang memang sudah semestinya.<ref name=":2" />
 
== Wilayah Adat ==
 
=== Batas Wilayah Adat ===
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah adat, batas-batas wilayah adat Rongi adalah sebagai berikut:<ref name=":2" />
* Utara    : ''Kadie'' Kaongkeongkea yang ditandai dengan sebuah hutan;
* Selatan : ''Kadie'' Samulewa atau Desa Gunung Sejuk yang ditandai dengan sungai;
* Timur   : ''Kadie'' Wabula atau Kecamatan Pasarjawo, Kabupaten Buton yang ditandai dengan hutan
* Barat    : ''Kadie'' Kaisabu atau Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau yang ditandai dengan hutan.
 
Terebentuknya batas-batas wilayah adat MHA Rongi tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah [[Hindia Belanda]] yang pada tahun 1940-an membantu [[Kesultanan Buton]] untuk melakukan pemetaan mengenai batas-batas antara ''kadie'' di wilayah bekas kekuasaan [[Kesultanan Buton]] itu. Peta mengenai batas wilayah adat Rongi tersebut kini disimpan di Museum Kebudayaan Wolio<ref>{{Cite news|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/2015/08/10/rumah-tradisional-kamali-sebagai-pusat-kebudayaan-wolio/|title=Rumah Tradisional Kamali Sebagai Pusat Kebudayaan Wolio - Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan|last=anggipurnamasari|date=2015-08-10|newspaper=Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan|language=en-US|access-date=2017-12-08|archive-date=2017-12-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20171209044123/http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/2015/08/10/rumah-tradisional-kamali-sebagai-pusat-kebudayaan-wolio/|dead-url=yes}}</ref> di [[Kota Baubau]]. Sementara itu, dalam penentuan batas-batas wilayah adat, ''Parabela'' dari setiap ''kadie'' pada waktu itu melakukan kesepakatan dan mengucapkan sumpah di depan Raja Buton. Peristiwa tersebut menjadi tanda bagi disepakatinya batas-batas wilayah adat MHA Rongi dan masing-masing ''kadie'' tidak diperkenankan untuk melanggar kesepakatan tersebut.
 
Dalam perkembangannya, terjadi [[konflik]] antara penduduk yang tinggal di Desa Sandang Pangan (tempat tinggal MHA Rongi) dengan penduduk yang tinggal di Desa Hendea. Konflik tersebut berkaitan dengan perbedaan batas wilayah adat yang disepakati oleh ''Parabela'' puluhan tahun yang lalu dengan yang ditentukan oleh [[pemerintah]]. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya Undang-Undang otonomi daerah No. 22 Tahun 1999.<ref name=":6">Husain, M. Najib. 2010. Menolak Pemekaran untuk mempertahankan Sebuah Adat Istiadat: Sebuah Upaya Komunikasi Politik dan Diplomasi Berbasis Kearifan Lokal dari Masyarakat Desa Lapandewa Sulawesi Tenggara. Mengagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. Dikases melalui http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/42.Najib_Haluoleo_Edit.pdf  {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20171210015803/http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/42.Najib_Haluoleo_Edit.pdf |date=2017-12-10 }}</ref> Menurut versi [[pemerintah]], batas wilayah Desa Sandang Pangan adalah sebagai berikut:<ref>Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Diakses melalui https://butonkab.bps.go.id</ref>
* Utara    : Desa Hendea
 
* Selatan : Desa Gunung Sejuk
</ref> Menurut versi [[pemerintah]], batas wilayah Desa Sandang Pangan adalah sebagai berikut:<ref>Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Diakses melalui https://butonkab.bps.go.id</ref>
* Timur   : Kecamatan Pasarwajo, [[Kabupaten Buton]]
* Utara    : Desa Hendea
* Barat    : Kecamatan Sorawolio, [[Kota Baubau]].
* Selatan : Desa Gunung Sejuk
* Timur   : Kecamatan Pasarwajo, [[Kabupaten Buton]]
* Barat    : Kecamatan Sorawolio, [[Kota Baubau]].
 
=== Struktur Adat ===
''Parabela'' adalah sebutan untuk pemimpin atau ketua dari perangkat adat Rongi yang disebut dengan ''Sara Kadie Rongi.'' Perangkat adat tersebut secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu ''Sara Adati'' dan ''Sara Hukumu.'' Pembagian ''Sara Adati'' dan ''Sara Hukumu'' didasari oleh kepentingan duniawi dan [[spiritual]]. Urusan ada yang berhubungan dengan duniawi seperti masalah [[tanah]] dan [[sumber daya alam]] akan diurus oleh perangkat adat ''Sara Adati''. Sementara itu, ''Sara Hukumu'' akan lebih banyak mendampingi ''Parabela'' mengurus persoalan spiritual MHA Rongi, seperti ibadah dan ritual-ritual tertentu. Pemilihan kedua perangkat adat tersebut dilakukan sendiri oleh ''Parabela'' dengan meminta pertimbangan dari tetua [[adat]], termasuk ''Kayaro'' yang merupakan mantan ''Parabela.''<ref name=":7">Rahman, Ruslan. 2005. Parabela di Buton . Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar  </ref>
 
Seoarang ''Parabela'' yang menjadi pemimpin MHA Rongi haruslah memenuhi kriteria tertentu kriteria utama menjadi ''Parabela'' haruslah memiliki garis keturunan dan mewarisi darah dari ''Parabela'' sebelumnya. Namun demikian, seorang [[anak]] atau keturunan dari ''Parabela'' tidak secara otomatis dapat memegang jabatan sebagai ''Parabela'' sebab ''Parabela'' tersebut akan dipilih langsung oleh MHA Rongi. Seorang ''Parabela'' juga harus memahami hukum adat Rongi secara substansial. Selain itu, seorang calon Parabela juga harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti ''amembali'' (sakti), ''atomaeka'' (wibawa), ''aumane'' (berani), ''akoadati'' (beradat), ''atoamsiaka'' (disegani), ''atobungkale'' (terbuka), dan ''akosabara'' (kesabaran). Apabila calon ''Parabela'' telah memenuhi syarat-syarat tersebut, pemilihan mereka akan melalui persetujuan tetua adat terlebih dahulu, terutama ''Kayaro'' yang merupakan mantan ''Parabela''.<ref name=":7" />
 
Di samping itu, seorang ''Parabela'' hanya boleh seorang [[laki-laki]]. Namun demikian, sebelum mencalonkan diri menjadi ''Parabela'', mereka harus memiliki [[istri]] terlebih dahulu. Seseorang yang belum memiliki [[istri]] tidak diperbolehkan menjadi ''Parabela''. Begitu pula bagi ''Parabela'' yang istrinya meninggal, ia harus rela melepas jabatannya sebagai ''Parabela''. Hal itu jelas menunjukkan posisi [[perempuan]] sangat penting untuk menentukan [[lelaki]] Rongi berpeluang menjadi ''Parabela'' atau tidak. Sebab, ketua hendak dikukuhkan menjadi ''Parabela'', ia harus memperoleh restu dari istrinya terlebih dahulu. Hal itu bagi MHA Rongi sangat penting mengingat mereka tidak mungkin memilih pemimpin adat yang sebelumnya belum berpengalaman dalam memimpin [[keluarga]].
 
Mula-mula, sebelum ''Parabela'' baru dikukuhkan, ''Parabela'' sebelumnya harus melakukan kegiatan peramalan (''kelola'') terlebih dahulu. Apabila tetua adat merasa bahwa ''kilala''-nya baik, maka yang bersangkutan akan dikukuhkan menjadi ''Parabela'' setelah sebelumnya memperoleh persetujuan [[istri]]. Apabila [[istri]] tidak menyetujui, maka pengukuhan ''Parabela'' akan dibatalkan. Sementara untuk durasi atau lamanya jabatan sebagai ''Parabela'', MHA Rongi tidak memiliki batasan tertentu. Seorang ''Parabela'' bisa mengundurkan diri apabila memang merasa sudah tidak mampu lagi menjadi ''Parabela'', seperti kondisi [[kesehatan]] yang tidak lagi memungkinkan. Namun demikian, anggota MHA Rongi akan menolaknya apabila dirasa sang ''Parabela'' masih di rasa mampu menjalankan pemerintahan adat di [[perkampungan]] mereka.<ref name=":2" />
Baris 70 ⟶ 71:
 
== Tugas dan Kewenangan ''Parabela'' dalam Pemanfataan Tanah ==
''Parabela'' dalam struktur adat MHA Rongi memiliki tugas dan fungsi pokok, terutama untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat Rongi. Penjelasan lebih detail tentang tugas dan fungsi mereka adalah sebagai berikut:<ref name=":5">Husain, M Najib, Trisakti Haryadi, dan Sri Peni Wastutiningsih. 2012. Penerapan Komunikasi Kelompok dalam Kepemimpinan Parabela di Masyarakat Kabupaten Buton. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2012, halaman 134-145  </ref>
 
A, ''Adati'' (Pemangku Adat)
Baris 82 ⟶ 83:
C. ''Pamondo'' (Mediator)
 
Tugas atau fungsi lain ''Parabela'' adalah sebagai mediator dalam berbagai sengketa atau persoalan yang dialami oleh anggota MHA Rongi. Sengketa yang paling umum dialami oleh MHA Rongi biasanya berkaitan dengan penguasaan [[tanah]].<ref name=":5" />
 
Meskipun ''Parabela'' memilki [[kekuasaan]] yang tertinggi menyangkut hajat hidup MHA Rongi, ''Parabela'' tidak boleh semena-mena dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar pertimbangan pribadi sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu oleh perangkat adat sebelum diumumkan ke seluruh anggota MHA Rongi. ''Parabela'' juga dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan pendapat perangkat desa lain seperti ''Moji'', ''Wati'', dan ''Pande''. Hal yang paling utama dalam pengambilan keputusan itu haruslah dilakukan dengan transparan dan tidak ditutup-tutupi dari apa pun atau disebut dengan istilah ''atobungkale.'' Transparansi tersebut penting dilakukan terutama yang berkaitan dengan keputusan adat tertinggi atau ''unano kabotoki''.<ref name=":7" />
 
Sementara itu, apabila permasalahan yang hendak dipecahkan ''Parabela'' tergolong rumit, maka musyawarah yang melibatkan seluruh perangkat adat perlu dilakukan di rumah ''Parabela''. Apabila permasalahan tersebut belum juga menemukan titik terang, maka ''Parabela'' dapat melakukan musyawarah lanjutan di ''Baruga'' yang merupakan tempat pertemuan seluruh perangkat dan tokoh adat. [[Musyawarah]] tersebut akan dihadiri oleh perangkat adat, tokoh adat, ''Kayaro'', dan pihak-pihak yang bertikai. Semua peserta [[musyawarah]] memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat mereka.
 
Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, ''Parabela'' juga memiliki kewenangan dalam pengaturan [[tanah]] dan [[sumber daya alam]]. Hak ulayat tersebut dinilai mengandung dimensi [[hukum perdata]] seperti kepemilikan bersama dalam MHA Rongi sekaligus hukum publik yang berisi kewenangan dalam mengatur masyarakatnya sendiri. Secara tidak langsung, ''Parabela'' juga memiliki kewenangan untuk menyentuh dimensi hukum perdata dan hukum publik tersebut.<ref name=":2" />
 
Dalam dimensi hukum perdata, ''Parabela'' pernah mewakili MHA Rongi dalam penandatanganan akta untuk memberikan tanah wakaf dalam wilayah adat Rongi seluas 50 meter dan dibangun fasilitas [[pendidikan]] di Rongi yang saat ini telah didirkan sebuah sekolah dasar di tanah wakaf tersebut. DiPada tahun 2010, ''Parabela'' juga pernah menjadi wakil MHA Rongi untuk pengajuan gugatan terkait sengketa batas wilayah adat antara Desa Sandang Pangan dengan Desa Hendea. Dalam pengajuan banding atas putusan Pengadilan Negeri Baubau Nomor 27/Pdt/G/2010/PN Baubau pada [[Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara]], ''Parabela'' juga bertindak sebagai wakil MHA Rongi.<ref>https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9cb1c5974a005c7432724d82ebea8e06</ref>
 
Sementara itu, dalam dimensi hukum publik, Parabela memiliki wewenang untuk mengatur masyarakatnya sendiri serta pemberian penguasaan atau pemanfaatan [[tanah]] dan [[sumber daya alam]] kepada MHA Rongi maupun pihak di luar MHA Rongi. Secara lebih jelas, kewenangan Parabela dalam dimensi hukum publik adalah sebagai berikut:<ref name=":2" />
 
a.  Mengeluarkan izin penguasaan dan pemanfaatan [[tanah]] serta menetapkan status hak penguasaan [[tanah]] dalam MHA Rongi;
 
b.  Memberikan penetapan waktu menanam dan memanen kepada MHA Rongi;
 
c.  Menjatuhkan sanksi bagi anggota MHA Rongi yang melanggar ketentuan dalam [[hutan adat]];
 
d.  Mengadili sengketa [[tanah]] dalam MHA Rongi
 
== Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah, Hutan Adat (Hutan ''Kaombo''), dan Sumber Daya Air ==
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi memiliki praktik-praktik lokal sendiri dalam mengatur pemanfaatan [[tanah]], [[hutan adat]] (''kaombo'') dan [[sumber daya air]] yang ada. Peraturan-peraturan itu harus dipenuhi oleh segenap anggota MHA Rongi di bawah kepemimpinan ''Parabela''.
 
=== Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah untuk Permukiman ===
Secara umum, MHA Rongi membagi kepentingan tanahnya menjadi dua bagian, yaitu tanah di dalam benteng Rongi dan tanah di luar benteng Rongi. Tanah yang berada di dalam benteng Rongi harus dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya. Anggota MHA Rongi tidak diperkenankan untuk membuat [[bangunan]], baik permanen atau remanen, dengan menggunakan [[semen]] atau [[beton]]. MHA Rongi yang telah menikah atau berkeluarga memiliki wewenang atau hak pakai atas [[tanah]] tersebut tanpa ada batas waktu. Namun demikian, mereka tetap harus memperhatikan etika dan fungsi-fungsi sosial yang ada, seperti tidak menghalangi akses jalan orang lain, tidak menghalangi pencahayaan [[matahari]] untuk masuk ke rumah yang berada di sekitarnya, serta tidak merubahmengubah bentuk, luas, dan pembatas antar-satu rumah dengan rumah lainnya.<ref name=":2" />
 
Sebelum membangun rumah, anggota MHA Rongi harus mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan terlebih dahulu. Setelah terkumpul, dalam jangka waktu maksimal lima hari, MHA Rongi harus menghadap kepada ''Parabela'' untuk meminta izin sekaligus menentukan waktu dan lokasi pembangunan rumah. Peletakan batu pertama pembangunan [[rumah]] akan dilakukan oleh ''Parabela'' atau diwakili oleh perangkat adat yang lain. Seluruh anggota MHA Rongi, baik masyarakat biasa maupun pemangku adat, berhak untuk membangun [[rumah]] di dalam maupun di luar benteng Rongi, asalkan tetap memperhatikan aturan-aturan adat yang berlaku.
 
=== Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah untuk Pertanian ===
Pada umumnya, komoditas [[pertanian]] yang ditanam oleh MHA Rongi adalah [[padi]] dan [[jagung]]. Tanaman padi bahkan baru mereka kenal karena dibawa oleh petani transmigran dari [[Jawa]] dan [[Bali]]. Mereka semula hanya mengenal jagung sebagai komoditas pertanian. Komoditas yang hendak ditanam oleh MHA Rongi juga ditentukan oleh ''Parabela''. Apabila ''Parabela'' memutuskan di musim tertentu MHA Rongi harus menanam [[jagung]], maka seluruh anggota MHA Rongi harus menanam [[jagung]], tidak diperkenankan menanam tanaman lain selain [[jagung]]. Mereka juga harus melakukan aktivitas bertani, mulai dari menanam hingga memanen secara bersama-sama. ''Parabela'' amat melarang kegiatan bertani dilakukan secara sendiri-sendiri.<ref name=":8">Husain, M. Najib. 2014. “Kepemimpinan Parabela Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Kaombo di Kabupaten Buton”. Disertasi Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada</ref>
 
Sementara itu, berkaitan dengan keputusan ''Parabela'' dalam menentukan komiditas tanaman, sebelumnya dilakukan melalui peramalan oleh ''Mancuana Liwu''. Peramalan tersebut tidak hanya meliputi jenis tanaman, melainkan juga waktu yang baik untuk menanam, lokasi yang tepat, dan lain-lain. Menyoal lokasi tanam, apabila Parabela memutuskan lokasi tanam berada di sebelah barat, maka lokasi di sebelah timur tidak diperbolehkan untuk ditanami [[tanaman]] apa pun agar ditumbuhi oleh rumput liar. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesuburan [[tanah]]. Demikian pula ketika masa panen tiba, Parabela beserta perangkat adat lainnya akan menentukan waktu yang tepat untuk memanen. Setelahnya, seluruh perangkat adat beserta anggota MHA Rongi akan melakukan [[panen]] bersama-sama yang dahului dengan ''sampua galampa'' yang merupakan pesta adat terbesar MHA Rongi menjelang musim panen.
 
MHA Rongi tidak diperbolehkan menjual komoditas panennya kepada sesama anggota MHA Rongi maupun kepada pihak di luar MHA Rongi. Apabila ingin melakukan jual beli dengan pihak luar, MHA Rongi harus melakukannya melalui perangkat adat, itu pun dengan perhitungan tertentu. Hasil panen mereka, baik berupa [[jagung]] maupun [[padi]], harus disimpan di dalam rumah keluarga masing-masing. Mereka biasanya meletakkan hasil panen di langit-langit rumah di atas dapur sebagai gudang bahan makanan mereka. Hal itu dimaksudkan sebagai proses pengawetan bahan makanan. Aturan adat semacam itu ternyata ampuh untuk menjaga kebutuhan pokok MHA Rongi agar selalu tercukupi. Terbukti, ketika musim kemarau panjang terjadi di [[Buton]] pada tahun 1964, seluruh tanaman warga di sana mengalami gagal panen. MHA Rongi pada saat itu menjadi pemasok makanan bagi seluruh ''kadie'' di [[Buton]]. Oleh sebab itu, desa mereka dinamakan Desa Sandang Pangan karena memiliki cadangan makanan yang berlimpah.<ref name=":9">Adil, La Ode. 2013. KAOMBO (Kearifan Lokal Buton tentang Hutan dan Lingkungan). Jurnal Sosiologi Dialektika Kontemporer Volume 1, Nomor 1, Tahun 2013</ref>
 
=== Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah untuk Perkebunan ===
Berbeda dengan tanah untuk [[pertanian]], MHA Rongi diberikan kebebasan untuk menentukan komoditas tanam di [[perkebunan]]. Mereka juga diberikan wewenang untuk melakukan jual-beli komoditas dengan pihak luar tanpa harus meminta pertimbangan dari ''Parabela'' atau perangkat adat lainnya.
 
=== Pengaturan tentang Pemanfaatan Hutan Adat (''Kaombo'') ===
[[Hutan adat]] dalam struktur adat MHA Rongi disebut dengan hutan ''Kaombo'' yang diartikan sebagai hutan keramat. Hutan ''Kaombo'' berada di dekat aliran sungai yang memiliki fungsi untuk menjaga tanah dari [[erosi]] dan mata air tidak mengalami kekeringan. Lebih tepatnya, Hutan ''Kaombo'' berada di radius kurang lebih 300 meter pada setiap sisi sungai sehingga rata-rata lebarnya adalah 600 meter. Tidak jarang hutan ''Kaombo'' juga disebut sebagai hutan lindung. MHA Rongi sangat dilarang untuk melakukan penebangan hutan baik berskala kecil maupun besar. Mereka percaya bahwa hutan ''Kaombo'' dijaga oleh leluhur mereka, sehingga siapa pun yang melakukan penebangan di dalam hutan dipercaya akan terkena ''bala'' atau nasib sial. Namun demikian, MHA Rongi masih diperkenankan untuk memburu [[satwa]] di dalam [[hutan]] dengan syarat tidak merusak tanaman atau pepohonan yang ada di dalam [[hutan]].<ref name=":8" />
 
Sanksi terhadap pelanggar penebangan pohon di hutan tersebut bermacam-macam. Para penebang akan disumpahi setiap tahun oleh MHA Rongi dalam upacara adat ''sampuna galampa''. Mereka juga akan diberi sanksi sosial bernama ''tumaikaliku'' yang berarti tidak boleh ada satu pun warga, termasuk keluarganya, yang mendatanginya, menyapanya, maupun berjalan ke arahnya. Apabila sanksi tersebut tergolong ringan seperti tidak sengaja mengambil ranting di hutan sebagai kayu bakar, maka mereka akan diingatkan secara lisan oleh ''Parabela''. Jika hal itu terjadi berulang-ulang, maka akan digolongkan ke dalam pelanggaran berat yang sanksinya akan diputuskan oleh ''Parabela'', ''Kayaro'', dan perangkat adat lainnya.<ref name=":2" />
 
=== Pengaturan tentang Pemanfaatan Sumber Daya Air ===
Sumber air di permukiman MHA Rongi sangat berlimpah. Sumber air tersebut terletak di dalam hutan ''kaombo'' Rano, Lasumampu, dan Lamaradu yang kemudian oleh warga dibuatkan saluran [[tradisional]] dari sumber [[mata air]] tersebut ke perkampungan mereka. Namun demikian, MHA Rongi juga memiliki ketakutan tersendiri mengingat posisi sumber mata air yang berada di tengah [[hutan]] dipercaya juga mengandung [[racun]]. Oleh sebab itu, MHA Rongi dilarang untuk mengambil hewan-hewan yang berada di dalam air. Untuk mengambilnya, mereka harus melakukan upacara adat terlebih dahulu yang dipimpin oleh ''Mancuana Liwu'' dengan memasukan akar [[pohon]] yang dilanjutkan dengan pembacaan doa.<ref name=":9" />
 
== Pengaturan tentang Pemberian Penguasaan/Pemanfaatan Tanah kepada Sesama MHA Rongi ==
Baris 132 ⟶ 133:
 
=== Penguasaan Tanah Ulayat oleh ''Parabela'' ===
Penguasaan tanah ulayat dalam MHA Rongi menjadi wewenang ''Parabela'', baik tanah ''kaombo'' maupun hutan ''kaombo''. Anggota MHA Rongi tetap memiliki hak pakai yang tidak terbatas untuk mendirikan rumah di atas tanah itu dengan batasan setiap rumah harus memiliki cucuran air dari atap. Kepemilikan oleh MHA Rongi tersebut terletak pada bangunan rumahnya, bukan pada tanahnya. Ketika ''Parabela'' berganti, perwalian terhadap tanah yang ada juga akan diberikan pada ''Parabela'' selanjutnya.<ref name=":2" />
 
Sementara itu, tanah ''kaombo'' juga memiliki makna yang sama dengan hutan ''kaombo'' yang dikeramatkan. Hak pakai tanah tersebut akan diserahkan kepada warga MHA Rongi, baik untuk mendirikan rumah maupun hak pakai untuk mmenanam tanaman [[pertanian]]. Pemberian hak pakai akan dilakukan oleh ''Parabela'' kepada anggota MHA Rongi yang mengajukan permohonan penguasaan [[tanah]]. Terkait kekuasaan ''Parabela'' pada tanah ulayat tersebut, sebenarnya ''Parabela'' tidak memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak. ''Parabela'' hanya bertugas untuk mengatur serta memberikan sanksi adat kepada anggota MHA Rongi yang melanggar aturan adat. Kekuasaan ''Parabela'' bukan berarti memiliki hak pakai atas [[tanah ulayat]] tersebut seutuhnya.<ref name=":8" />
 
=== Penguasaan Tanah oleh Perseorangan ===
Penguasaan tanah oleh perseorangan dibagi menjadi penguasaan [[tanah]] mendirikan rumah, tanah [[pertanian]], dan tanah [[perkebunan]]. Pada tanah untuk mendirikan rumah, hak pakai warga MHA Rongi terletak pada bangunan rumahnya, bukan pada tanahnya. Mereka berhak membangun rumah dalam jangka waktu tak terbatas dengan tetap memperhatikan aturan-aturan adat yang ada. Sementara itu, pada penguasaan lahan [[pertanian]], kekuasaan warga MHA Rongi menjadi sangat terbatas. Komoditas tanaman yang akan mereka tanam akan ditentukan oleh ''Parabela''. Mereka juga tidak diperkenankan untuk menjual hasil panen pertaniannya kepada pihak luar tanpa melalui prantara ''Parabela'' dan perangkat adat lainnya. Sedangkan untuk tanah [[perkebunan]], hak pakai mereka lebih leluasa karena dapat menentukan sendiri komoditas tanaman yang akan ditanam dan yang akan dijual tanpa perlu meminta izin ''Parabela''.<ref name=":9" /> Dalam kepemilikan tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]], perempuan memiliki posisi lebih utama dibandingkan laki-laki. Kelompok [[laki-laki]] hanya diperkenankan memiliki porsi kekuasaan yang besar apabila tidak memiliki saudara [[perempuan]] atau tidak memiliki anak dalam perkawinannya. Para pemegang hak milik tanah tersebut berhak untuk memberikan pinjaman dengan status hak pakai kepada sesama warga MHA Rongi. Mereka juga dapat mewariskan [[tanah]] yang ada kepada keturunannya. Namun demikian, mereka tidak diperbolehkan untuk memperjualbelikan tanah yang ada kepada subyek hukum di luar MHA Rongi tanpa ada pertimbangan khusus dari ''Parabela''. Pemegang hak milik juga berkewajiban untuk memberikan pinjaman [[tanah]] kepada saudara laki-lakinya yang tidak memiliki sumber penghidupan.<ref name=":8" />
 
== Pengaturan tentang Pemberian Penguasaan/Pemanfaatan Tanah kepada Subyek Hukum di Luar MHA Rongi ==
 
=== Pengaturan untuk pertanian dan perkebunan ===
Anggota MHA Rongi kini bersikap lebih berhati-hati dalam memberikan kuasa untuk mengolah lahan [[pertanian]] atau [[perkebunan]] kepada ''kadie'' lain di luar kelompok mereka. Hal itu disebabkan oleh pernah munculnya konflik antara ''kadie'' Rongi dengan ''kadie'' Hendea pada tahun 1959 terkait adanya perbedaan batas wilayah adat menurut perjanjian adat dan keputusan [[pemerintah]]. <ref name=":6" />Semenjak saat itu, anggota MHA Rongi lebih banyak memanfaatkan tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian, di beberapa kasus tertentu, mereka masih bersedia memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memanfaatkan tanah mereka. Mereka tetap memiliki aturan-aturan tertentu dalam mengatur pengajuan pinjam-meminjam dan sewa-menyewa tanah oleh MHA Rongi kepada pihak dari luar MHA Rongi. Beberapa aturan itu adalah apabila orang yang ingin menggarap lahan [[pertanian]] atau [[perkebunan]] berasal dari ''kadie'' lain, maka orang yang bersangkutan harus menghubungi ''Sara Kadie Rongi'' yang kemudian akan dilakukan musyawarah untuk menentukan memberikan persetujuan atau penolakan. Apabila disetujui, maka tanah [[pertanian]] atau [[perkebunan]] itu akan dikenai pajak 12:1 terhadap hasil panennya.<ref name=":9" /> Sebagai misal, apabila petani dari ''kadie'' lain menanam komoditas [[jagung]] dan memetik jagung sebanyak 12.000 buah, maka sebanyak 1.000 buah harus diperuntukan kepada ''kadie'' Rongi. Apabila penyewa tanah berasal dari luar [[Kesultanan Buton]], maka musyawarah akan dilakukan dengan Sultan Buton, ''Bobato'', dan ''Sara Kadie''. Apabila memungkinkan, pemberian kuasa pakai dengan status sewa akan diberikan dengan kewajiban membayar seperdua dari hasil panen mereka kepada ''kadie'' Rongi. Selain itu, MHA Rongi juga memberikan aturan khusus kepada golongan ''Kaomo'' dan ''Walaka''. Golongan tersebut dapat langsung mengajukan permohonan hak kepada ''Sara Kadie'' dan akan langsung diputuskan apakah permohonannya diterima atau ditolak. Apabila diterima, mereka diperkenankan mengolah tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] dengan tanpa pajak. Mereka tidak perlu membagi hasil panenya sebagaimana aturan adat untuk orang di luar ''Kadie'' Rongi dan di luar [[Kesultanan Buton]]. Namun demikian, mereka hanya dibatasi atas hak pakai tersebut selama satu kali musim panen. Mereka dapat memperpanjang masa penggunaan [[lahan]] apabila memungkinkan.<ref name=":2" />
 
=== Pengaturan untuk kepentingan umum oleh pemerintan ===
MHA Rongi lebih terbuka dalam memberikan hak pakai tanah kepada [[pemerintah]] untuk kepentingan publik. Pada tahun 1960, MHA Rongi mewakafkan beberapa [[tanah]] yang digunakan untuk kepentingan [[pendidikan]]. Di atas tanah itu, kini terbangun sebuah [[sekolah dasar]] yang juga dinikmati oleh warga MHA Rongi. DiPada tahun 2014 pun terjadi hal serupa. MHA Rongi memberikan hak pakai tanah kepada [[pemerintah]] yang digunakan untuk membangun jalan. Dalam proses pembangunan itu, ''Parabela'' bahkan tidak perlu melakukan musyawarah dengan perangkat adat lainnya. Secara ''cuma-cuma'', ia menyerahkan tanah adat yang ada kepada pemerintah [[Kabupaten Buton Selatan]].<ref name=":2" />
 
=== Pengaturan untuk kegiatan pertambangan oleh perusahaan ===
Pemanfaatan [[tanah ulayat]] kepada perusahaan yang hendak melakukan pertambangan juga lebih terbuka daripada untuk memanfaatkannya sebagai lahan [[pertanian]]. Pemberian wewenang penggunaan tanah untuk kegiatan [[pertambangan]] dapat dilakukan melalui pemberian penguasaan atau pemanfaatan tanah dengan hak pakai dalam jangka waktu tertentu atau melalui pelepasan tanah adat oleh ''Parabela''. Perusahaan yang sedang melakukan kegiatan [[pertambangan]] di permukiman MHA Rongi adalah PT Metrix Elcipta dan perusahaan pengembang PLTM. PT Metrix Elcipta yang bergerak di bidang [[pertambangan]] [[aspal]]. Perusahaan tersebut sejak tahun 2003 telah mengantongi izin yang dikeluarkan oleh pemerintah [[Kabupaten Buton]] berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dengan jangka waktu 30 tahun, sejak tahun 2003 hingga 2033.<ref>{{Cite web |url=http://prokum.esdm.go.id/Lain-lain/SULTRA.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-09 |archive-date=2017-10-31 |archive-url=https://web.archive.org/web/20171031055945/http://prokum.esdm.go.id/Lain-lain/SULTRA.pdf |dead-url=yes }}</ref>. Izin yang dikantongi oleh perusahaan tersebut meliputi beberapa hal, termasuk izin melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, [[eksploitasi]], pengolah dan pemurnian, hingga pengangkutan dan penjualan.
 
Semula, perusahaan tambang tersebut mengajukan izin usaha ekstraksinya kepada pemerintah [[Kabupaten Buton]]. Kemudian, pemerintah setempat melakukan sosialisasi atau pemberitahuan kepada MHA Rongi melalui ''Parabela'' yang ada mengenai rencana kegiatan [[pertambangan]] itu.
 
Setelahnya, MHA Rongi melakukan musyawarah internal setelah pemerintah kabupaten memberitahukan rencana kegiatan pertambangan oleh PT Metrix Elcipta. Musyawarah internal tersebut dilakukan di ''Baruga'' dan banyak melibatkan seluruh perangkat adat, termasuk ''Anakamia'' dan ''Kayaro''. MHA Rongi kemudian menggelar musyawarah bersama dengan seluruh perangkat adat, pemerintah kabupaten dan pihak dari PT Metrix Elcipta. Musyawarah bersama tersebut juga dilakukan di ''Baruga''. ''Parabela'' sebagai perwakilan MHA Rongi memberikan persetujuan lisan kepada PT Metrix Elcipta dengan melakukan pelepasan tanah adat melalui jual-beli dan memberikan izin kepada [[perusahaan]] tersebut untuk melakukan kegiatan pertambangan. Setelah muncul kesepakatan di antara seluruh pihak yang terlibat, barulah perusahaan tersebut diperkenankan untuk melakukan kegiatan [[pertambangan]]. Namun demikian, kegiatan [[pertambangan]] mereka baru benar-benar bisa dilakukan setelah MHA Rongi melakukan upacara adat di lokasi tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi tambang.<ref name=":2" />
 
Proses jual-beli tanah tersebut kemudian dilakukan oleh perusahaan tambang kepada setiap warga yang bidang tanahnya dijadikan lokasi tambang. Setiap meter bidang tanah dihargai sebesar Rp3.000 ditambah dengan ganti rugi atas pohon kelapa, jambu mede, kopi, dan jati yang telah tiga kali produksi senilai Rp50.000 untuk setiap pohon. Setelah proses jual-beli selesai, maka tanah yang telah dilepaskan tersebut secara resmi berada di bawah kekuasaan negara dengan pemberian izin kegiatan [[pertambangan]] kepada PT Metrix Elcipta. Apabila masa berlaku kegiatan [[pertambangan]] habis, hak milik tanah akan dikembalikan ke negara dan bukan lagi menjadi hak milik MHA Rongi. Namun demikian, MHA Rongi tetap memberikan batasan kepada mereka untuk tidak memanfaatkan tanah yang ada di dalam hutan ''kaombo''.<ref name=":2" />
 
Selain itu, PT Metrix Elcipta juga akan memberikan bantuan terhadap kegiatan-kegiatan sosial masyarakat serta berkomitmen memberikan bantuan apabila terjadi bencana alam, sebagaimana tanggung jawab sosial perusahaan (''Corporate Social Responsibility'').<ref>{{Cite web|url=https://www.iisd.org/business/issues/sr.aspx|title=Corporate social responsibility (CSR) {{!}} Current issues|website=www.iisd.org|access-date=2017-12-09}}</ref>.
 
== Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah dalam MHA Rongi ==
Kasus sengketa [[tanah]] yang paling banyak dialami oleh MHA Rongi adalah berkaitan dengan warisan tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] yang belum sempat dibagi oleh orang tuanya ketika masih hidup. Semasa hidup, orang tua mereka belum memberikan batas-batas tanah, sehingga menimbulkan sengketa antara sesama saudaranya. Penyelesaian sengketa tanah semacam itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab ''Parabela'' untuk dapat menyelesaikannya. Mula-mula, ''Parabela'' akan mengumpulkan seluruh pihak yang bersengketa di rumah ''Parabela''. Bersama dengan ''Moji'', ''Parabela'' akan bertindak sebagai mediator. Apabila upaya tersebut dirasa belum cukup, maka musyawarah akan melibatkan seluruh perangkat adat dan diselesaikan di ''Baruga'' yang merupakan tempat seluruh perangkat adat berkumpul.<ref name=":5" />
 
Selama persengketaan tersebut terjadi, ''Parabela'' akan menarik sementara waktu hak pakai tanah yang ada dari pemiliknya. Pihak-pihak yang bersengketa tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apa pun di atas tanah tersebut. Sementara itu, dalam memberikan keputusan mengenai sengketa yang terjadi, ''Parabela'' harus mempertimbangkan banyak hal yang dianggap tidak akan merugikan salah satu pihak. Sesuai dengan hukum adat Rongi, pihak [[perempuan]] harus lebih diutamakan dalam pembagian dan penguasaan tanah.<ref name=":5" /> Selain itu, ''Parabela'' juga akan selalu mempertimbangkan pihak mana yang perekonomiannya lebih lemah, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada sumber [[pertanian]] atau [[perkebunan]]. MHA Rongi yang mengalami kondisi semacam itu biasanya akan diberikan tanah yang lebih luas. Keputusan ''Parabela'' dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut merupakan keputusan adat. Bagi warga MHA Rongi yang menentang keputusan adat, akan dikenakan sanksi adat, baik teguran lisan maupun sanksi sosial (''tumaikaliku''). Hingga kini, hampir tidak pernah dijumpai kasus anggota MHA Rongi yang melawan keputusan adat dari ''Parabela'', semua keputusan ''Parabela'' selama ini selalu diterima dengan baik, terutama yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa tanah.<ref name=":2" />
 
== Referensi ==
 
{{reflist}}
 
[[Kategori:Masyarakat adat]]
[[Kategori:Hukum adat]]