Masyarakat Hukum Adat Rongi
Masyarakat Hukum Adat Rongi atau disingkat menjadi MHA Rongi adalah sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan hukum adat dan memiliki ikatan kuat pada asal-usul leluhur di Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai kelompok masyarakat yang digolongkan Masyarakat Hukum Adat (MHA), hak-hak mereka juga dilindungi oleh konstitusi, terutama terkait pemanfaatan dan penggunaan lahan.
MHA Rongi bermukim di Desa Sandang Pangan yang kini telah dimekarkan menjadi Desa Hendea pada tahun 2010. Sebelumnya, wilayah administratif Desa Sandang Pangan terdiri dari dua golongan papara, yaitu golongan papara dari kadie Rongi dan kadie Hendea. Setelah dimekarkan menjadi Desa Hendea, kadie Hendea secara otomatis menghuni Desa Hendea dan kadie Rongi menempati Desa Sandang Pangan. Kadie Rongi merupakan saudara tertua dari rumpun Lapandewa yang terdiri dari Rongi, Sempa-Sempa, Kaongkeongkea, Tambunalako, dan Kaindea. Semua turunan dari rumpun Lapandewa itu juga dikenal sebagai bagian dari etnis Ciacia.[1] Kelompok etnis tersebut, sebagaimana namanya, menggunakan bahasa Ciacia yang ditulis dengan huruf Hangeul, Korea.[2]
Dalam hal demografi, jumlah MHA Rongi yang mendiami Desa Sandang Pangan sebanyak 1.905 jiwa yang terdiri dari 797 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.108 jiwa berjenis kelamin perempuan. Menurut survei penduduk tahun 2014, jumlah tersebut dibagi ke dalam 184 kepala keluarga dan 397 kepala rumah tangga.[3] Secara umum, mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja di bidang pertanian dan perkebunan. Beberapa di antara mereka juga bekerja paruh waktu sebagai pemecah batu aspal milik PT Metrix Elcipta[4] yang merupakan perusahaan pertambangan aspal di Buton. Perlu diketahui, potensi pertambangan aspal di Buton sangat tinggi: produksinya bahkan mencapai 78.633 ton pada tahun 2007 untuk kegiatan eksploitasi.[5]
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi memegang aturan-aturan adat tertentu dalam menguasai atau memanfaatkan tanah dan Sumber Daya Alam yang ada di desa mereka. Dalam hal mengatur tanah untuk permukiman, mereka membaginya menjadi dua bagian, yaitu tanah dalam benteng Rongi dan tanah di luar benteng Rongi. Permukiman yang berada di dalam benteng harus dijaga sebagaimana bentuk aslinya, siapa pun tidak diperbolehkan membuat bangunan permanen atau remanen dengan menggunakan semen atau beton. Sementara di luar benteng, anggota MHA Rongi diperkenankan membangun rumah dengan tetap memperhatikan etika-etika sosial seperti tidak menghalangi akses jalan orang lain dan menghalangi pencahayaan matahari untuk masuk ke rumah orang yang ada di sebelahnya. Mereka juga memperhatikan betul pemanfaatan tanah untuk bidang pertanian. MHA Rongi tidak menghendaki anggotanya mengelola lahan pertanian secara sendiri-sendiri, mereka harus melakukannya secara kolektif. Keberadaan Parabela amat menentukan komoditas pertanian apa yang hendak ditanam oleh MHA Rongi. Sebagai misal, Parabela menentukan bahwa musim ini mereka harus menanam jagung. Seluruh anggota MHA Rongi dengan demikian harus menanami lahan pertanian mereka dengan tanaman jagung, tidak boleh ada yang menanaminya dengan komoditas yang berbeda. Lain halnya dengan tanah untuk perkebunan, MHA Rongi diperkenankan untuk menanami kebunnya dengan tanaman apa pun yang mereka kehendaki tanpa harus meminta izin kepada Parabela. Sementara itu, keberadaan hutan adat (hutan kaombo) juga dianggap sangat keramat bagi MHA Rongi. Hutan adat tersebut berada di sepanjang Daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki fungsi untuk menahan erosi. Mereka percaya bahwa ada di antara mereka yang menebang pohon di sekitar hutan kaombo, maka mereka akan tertimpa bala (nasib sial) hingga menyebabkannya meninggal dunia. Menurut mereka, hutan kaombo dijaga oleh leluhur mereka.[6]
Di samping aturan-aturan tersebut, MHA Rongi juga memiliki aturan adat tersendiri dalam hal pemanfaatan lahan oleh pihak di luar komunitas mereka. Mereka umumnya terbuka terkait pemberian kuasa pemanfaatan lahan, baik kepada pemerintah, swasta (perusahaan), dan masyarakat biasa. Namun demikian, Parabela yang merupakan pemimpin adat akan selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu dengan seluruh perangkat adat terkait pemberian kuasa tersebut. Terkait hal-hal spesifik dalam penggunaan lahan yang ada, MHA Rongi juga mempertimbangkan untung-rugi bagi komunitas mereka, serta pemanfaatan lahan yang dirasa tidak bertentangan dengan kearifan lokal mereka.[6]melihat dari isi makalah ini tidak sesuai dengan kenyataan awal keberadaan lapandewa kaindea itu siapa
Gambaran Umum
suntingAsal-Usul MHA Roni
suntingMasyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi merupakan keturunan dari rumpun besar Lapandewa. Rumpun itu dikenal sebagai penduduk pertama yang membangun struktur sosial Kerajaan Wolio, cikal
bakal berdirinya Kesultanan Buton. Dalam upaya penaklukan wilayah, Kerajaan Wolio selalu mengedepankan diplomasi daripada kekerasan fisik. Menurut penuturan perangkat adat Rongi, pada tahun 1275, Kerajaan Wolio mengirimkan seorang utusan bernama Dungkucangia yang meminta rumpun Lapandewa untuk bergabung dengan Kerajaan Wolio. Rumpun Lapandewa menyepakati tawaran tersebut dengan syarat mereka tetap dapat menjalankan hukum adat sebagaimana biasanya serta diberikan wewenang penuh untuk memilih pemimpin dari dalam kelompok mereka sendiri. Disetujuinya kesepakatan tersebut ditandai dengan penyerahan meriam naga oleh Dungkucangin kepada pemimpin rumpun Lapandewa saat itu, yaitu La Bukuturende.[7]
La Bukuturende juga dikenal sebagai orang pertama yang lahir dari rumpun Lapandewa, sementara Rongi disebut sebagai saudara tertua dari rumpun tersebut. Apabila ditarik ke belakang, Rongi bukan satu-satunya kelompok masyarakat dari rumpun Lapandewa. Ada keempat kelompok lain yang juga dikategorikan ke dalam rumpun itu, yaitu Sempa-Sempa, Kaongkeongkea, Tambunalako, dan Kaindea. Seluruh kelompok tersebut merupakan bagian dari etnis Ciacia.[7]
Awalnya, masyarakat Rongi hidup membaur bersama anggota rumpun Lapandewa lainnya di sebuah perkampungan tua bernama Kabilangkao. Perkampungan itu terletak di kadie Sempa-Sempa yang sekarang bernama Desa Sempa-Sempa. Akibat terlalu padatnya penduduk yang menghuni perkampungan itu, anggota rumpun Lapandewa kemudian membuka perkampungan baru yang kemudian terbagi menjadi lima kadie sesuai dengan kelompok mereka masing-masing. Setelah terjadi berbagai dinamika sosial, saat ini MHA Rongi bermukim di Desa Sandang Pangan yang di dalamnya dihuni oleh MHA Rongi dan kadie Hendea. Setelah dimekarkan menjadi Desa Hendea pada tahun 2010, kadie Hendea secara otomatis menghuni desa tersebut, sedangkan Desa Sandang Pangan secara khusus dihuni oleh MHA Rongi.[6]
Kependudukan
suntingJumlah warga MHA Rongi yang mendiami Desa Sandang Pangan menurut survei penduduk tahun 2014 sebanyak 1.905 jiwa yang terdiri dari 797 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 926 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah itu juga mencakup 184 kepala keluarga dan 397 kepala rumah tangga.[3] Kelompok MHA Rongi adalah penghuni tunggal Desa Sandang Pangan yang sebelum tahun 2010 dihuni pula oleh Kadie Hendea. Setelah adanya program pemekaran wilayah, Kadie Hendea berpindah ke Desa Hendea dan Desa Sandang Pangan secara khusus ditempati oleh MHA Rongi.
Uniknya, MHA Rongi mempergunakan Bahasa Ciacia sebagai alat komunikasi sehari-harinya. Bahasa tersebut dituliskan dalam huruf Hangeul khas Korea sehingga banyak memperoleh perhatian dari dunia.[2]
Sumber Mata Pencaharian
suntingSebagian besar MHA Rongi bekerja di bidang pertanian dan perkebunan. Sebagaimana nama “Rongi” yang mereka sandang, memberikan arti bahwa Rongi bermakna sebagai “orang yang memikul bakul” yang juga diartikan sebagai masyarakat petani. Komoditas pertanian yang umum ditanam oleh mereka adalah padi dan jagung. MHA Rongi menganggap komoditas pertanian yang mereka hasilkan dilarang keras untuk diperjualbelikan, terlebih lagi kepada orang-orang di luar komunitas mereka. Bahan makanan pokok tersebut mereka simpan di langit-langit rumah sebagai cadangan makanan sehari-hari. Namun demikian, seiring berkembangnya zaman, MHA Rongi tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari sistem ekonomi subsisten semacam itu. Mereka tentu membutuhkan uang untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya-biaya lain yang menjadi kebutuhan dasar mereka. Untuk memperolehnya, mereka juga melakukan aktivitas berkebun. Komoditas dari hasil perkebunan dapat mereka jual kepada siapa pun, baik di dalam komunitas maupun di luar kelompok MHA Rongi. Pekerjaan berkebun dan bertani itu kini juga banyak melibatkan kaum perempuan Rongi, meskipun sebenarnya dalam aturan hukum adat Rongi, perempuan hanya boleh mengurusi masalah domestik (rumah tangga). Perubahan itu muncul karena beberapa lelaki Rongi kini juga bekerja di luar bidang pertanian dan perkebunan, yaitu bekerja paruh waktu sebagai pemecah batu aspal di PT Metrix Elcipta dengan status pekerja tidak tetap. Dalam perkembangannya, anggota MHA Rongi juga banyak yang kini berprofesi sebagai pedagang, pergi merantau ke Kota Baubau, Ambon, Makassar, hingga ke Malaysia. Selain itu, beberapa anggota MHA Rongi juga ada yang mencari pendapatan sebagai guru, baik guru Sekolah dasar dan Sekolah menengah pertama yang ada di Desa Sandang Pangan. Sedangkan, bagi mereka yang melanjutkan pendidikan tinggi ke Kota Baubau dan Kota Kendari, akan pulang kembali ke Desa Sandang Pangan ketika Hari Raya Idul Fitri dan pesta panen (sampua galampa) tiba. Dengan kata lain, sebagian besar anggota MHA Rongi mencari mata pencaharian sebagai petani dan pengebun, sementara sisanya adalah sebagai guru, pedagang, dan buruh tidak tetap.[3]
Kepercayaan
suntingKeberadaan Kesultanan Buton yang pada abad ke-15 menerima Islam sebagai agama resminya juga turut memengaruhi MHA Rongi. Hampir seluruh penduduk Rongi kini memeluk agama Islam. Mula-mula, Kesultanan Buton mengutus seorang guru agama Islam ke setiap kadie, termasuk Kadie Rongi, untuk mengajarkan ilmu agama Islam. Sang guru agama Islam juga menunjuk salah satu orang sebagai perwakilan di setiap kadie untuk melanjutkan pengajaran agama Islam tersebut. Mereka bahkan diharuskan untuk rutin berkunjung ke pemerintahan dalam rangka memperdalam ilmu agama Islam.[8] Hal itu membawa konsekuensi logis bagi kehidupan sosial MHA Rongi, yaitu munculnya jabatan khatib yang memiliki tugas di bidang agama Islam. Para khatib tersebut kebanyakan akan diangkat menjadi Moji atau wakil kepala adat.
Namun demikian, meskipun telah memeluk agama Islam, bukan berarti MHA Rongi meninggalkan sepenuhnya tradisi leluhurnya. Mereka masih menaruh kepercayaan-kepercayaan lokal seperti kembalinya roh orang yang telah meninggal kepada diri anggota keluarga atau sanak saudaranya. Mereka juga percaya bahwa Leluhur adalah sosok yang amat dihormati, sehingga mereka selalu mengadakan upacara adat khusus untuk mengenang leluhur rumpun mereka (Lapandewa) yang diadakan di kampung lama MHA Rongi.[9]
Selain itu, beberapa upacara adat yang hingga kini masih mereka lakukan adalah sampua galampa yang merupakan upacara terbesar adat Rongi. Dalam upacara tersebut, seluruh anggota MHA Rongi, termasuk yang sedang pergi merantau, akan pulang sejenak ke Desa Sandang Pangan. Dalam upacara tersebut, pemimpin adat akan menyumpahi para perusak alam, pejabat yang tidak amanah, menyumpahi orang-orang yang berniat jahat kepada Rongi, sekaligus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Rongi. Mereka juga biasanya mengadakan upacara khusus dalam rangka pelepasan tanah atau pemberian hak pakai tanah kepada pihak-pihak di luar MHA Rongi, seperti pemerintah dan perusahaan.
Garis Keturunan dan Sistem Kekerabatan
suntingGaris keturunan dalam struktur sosial MHA Rongi ditarik dari garis ibu atau perempuan (matrilineal). Para perempuan dalam adat Rongi juga dilarang untuk menikah dengan kelompok dari luar komunitas mereka, karena derajat orang di luar MHA Rongi dianggap lebih rendah. Hal itu menyebabkan mobilitas perempuan Rongi amat rendah, karena hanya menikah dengan laki-laki dari kampung yang sama. Berbeda dengan laki-laki Rongi, mereka diperbolehkan untuk menikah dengan perempuan yang derajatnya dianggap lebih rendah atau lebih tinggi daripada mereka. Namun demikian, MHA Rongi tetap tidak menghendaki pernikahan sedarah dengan sepupu, dua pupu, maupun tiga pupu. Mereka lebih menyukai pernikahan empat pupu.[9]
Kedudukan Perempuan
suntingPada umumnya, perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dalam struktur sosial MHA Rongi. Namun, perempuan Rongi tidak memiliki kuasa untuk terpilih menjadi perangkat adat (Parabela). Hanya kelompok laki-laki dari komunitas Rongi yang dapat dipilih menjadi Parabela sekaligus kepala keluarga. Namun demikian, ketika laki-laki Rongi akan menjadi Parabela, ia harus mengantongi izin dari istrinya. Apabila istrinya tidak mengizinkan, ia tidak akan dikukuhkan menjadi Parabela. Termasuk apabila sang istri meninggal, maka laki-laki Rongi harus melepaskan jabatannya sebagai Parabela. Begitu pun apabila lelaki Rongi tidak memiliki istri, maka ia tidak memiliki kesempatan untuk dipilih menjadi Parabela. Di samping itu, meskipun menjadi kepala keluarga, hak waris atas tanah dan harta benda lain selama perkawinan menjadi hak milik istri. Hak milik suami hanyalah keris dan benda pusaka. Perempuan memiliki hak penuh atas tanah pertanian, tanah pemukiman, dan tanah perkebunan mereka. Begitu pun ketika mereka akan melakukan transaksi jual-beli komoditas perkebunan, istri yang berkuasa untuk menentukan harga, sementara suami yang akan mencarikan calon pembeli. Kedudukan perempuan dalam struktur sosial masyarakat Rongi menyimpan filosofis tersendiri. MHA Rongi tidak memaksakan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan Rongi secara sama rata, melainkan membaginya berdasarkan fungsi-fungsi yang memang sudah semestinya.[6]
Wilayah Adat
suntingBatas Wilayah Adat
suntingSesuai dengan hasil penelitian yang telah adat, batas-batas wilayah adat Rongi adalah sebagai berikut:[6]
- Utara: Kadie Kaongkeongkea yang ditandai dengan sebuah hutan;
- Selatan: Kadie Samulewa atau Desa Gunung Sejuk yang ditandai dengan sungai;
- Timur: Kadie Wabula atau Kecamatan Pasarjawo, Kabupaten Buton yang ditandai dengan hutan
- Barat: Kadie Kaisabu atau Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau yang ditandai dengan hutan.
Terebentuknya batas-batas wilayah adat MHA Rongi tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1940-an membantu Kesultanan Buton untuk melakukan pemetaan mengenai batas-batas antara kadie di wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Buton itu. Peta mengenai batas wilayah adat Rongi tersebut kini disimpan di Museum Kebudayaan Wolio[10] di Kota Baubau. Sementara itu, dalam penentuan batas-batas wilayah adat, Parabela dari setiap kadie pada waktu itu melakukan kesepakatan dan mengucapkan sumpah di depan Raja Buton. Peristiwa tersebut menjadi tanda bagi disepakatinya batas-batas wilayah adat MHA Rongi dan masing-masing kadie tidak diperkenankan untuk melanggar kesepakatan tersebut.
Dalam perkembangannya, terjadi konflik antara penduduk yang tinggal di Desa Sandang Pangan (tempat tinggal MHA Rongi) dengan penduduk yang tinggal di Desa Hendea. Konflik tersebut berkaitan dengan perbedaan batas wilayah adat yang disepakati oleh Parabela puluhan tahun yang lalu dengan yang ditentukan oleh pemerintah. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya Undang-Undang otonomi daerah No. 22 Tahun 1999.[11] Menurut versi pemerintah, batas wilayah Desa Sandang Pangan adalah sebagai berikut:[12]
- Utara: Desa Hendea
- Selatan: Desa Gunung Sejuk
- Timur: Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton
- Barat: Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau.
Struktur Adat
suntingParabela adalah sebutan untuk pemimpin atau ketua dari perangkat adat Rongi yang disebut dengan Sara Kadie Rongi. Perangkat adat tersebut secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu Sara Adati dan Sara Hukumu. Pembagian Sara Adati dan Sara Hukumu didasari oleh kepentingan duniawi dan spiritual. Urusan ada yang berhubungan dengan duniawi seperti masalah tanah dan sumber daya alam akan diurus oleh perangkat adat Sara Adati. Sementara itu, Sara Hukumu akan lebih banyak mendampingi Parabela mengurus persoalan spiritual MHA Rongi, seperti ibadah dan ritual-ritual tertentu. Pemilihan kedua perangkat adat tersebut dilakukan sendiri oleh Parabela dengan meminta pertimbangan dari tetua adat, termasuk Kayaro yang merupakan mantan Parabela.[13]
Seoarang Parabela yang menjadi pemimpin MHA Rongi haruslah memenuhi kriteria tertentu kriteria utama menjadi Parabela haruslah memiliki garis keturunan dan mewarisi darah dari Parabela sebelumnya. Namun demikian, seorang anak atau keturunan dari Parabela tidak secara otomatis dapat memegang jabatan sebagai Parabela sebab Parabela tersebut akan dipilih langsung oleh MHA Rongi. Seorang Parabela juga harus memahami hukum adat Rongi secara substansial. Selain itu, seorang calon Parabela juga harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti amembali (sakti), atomaeka (wibawa), aumane (berani), akoadati (beradat), atoamsiaka (disegani), atobungkale (terbuka), dan akosabara (kesabaran). Apabila calon Parabela telah memenuhi syarat-syarat tersebut, pemilihan mereka akan melalui persetujuan tetua adat terlebih dahulu, terutama Kayaro yang merupakan mantan Parabela.[13]
Di samping itu, seorang Parabela hanya boleh seorang laki-laki. Namun demikian, sebelum mencalonkan diri menjadi Parabela, mereka harus memiliki istri terlebih dahulu. Seseorang yang belum memiliki istri tidak diperbolehkan menjadi Parabela. Begitu pula bagi Parabela yang istrinya meninggal, ia harus rela melepas jabatannya sebagai Parabela. Hal itu jelas menunjukkan posisi perempuan sangat penting untuk menentukan lelaki Rongi berpeluang menjadi Parabela atau tidak. Sebab, ketua hendak dikukuhkan menjadi Parabela, ia harus memperoleh restu dari istrinya terlebih dahulu. Hal itu bagi MHA Rongi sangat penting mengingat mereka tidak mungkin memilih pemimpin adat yang sebelumnya belum berpengalaman dalam memimpin keluarga.
Mula-mula, sebelum Parabela baru dikukuhkan, Parabela sebelumnya harus melakukan kegiatan peramalan (kelola) terlebih dahulu. Apabila tetua adat merasa bahwa kilala-nya baik, maka yang bersangkutan akan dikukuhkan menjadi Parabela setelah sebelumnya memperoleh persetujuan istri. Apabila istri tidak menyetujui, maka pengukuhan Parabela akan dibatalkan. Sementara untuk durasi atau lamanya jabatan sebagai Parabela, MHA Rongi tidak memiliki batasan tertentu. Seorang Parabela bisa mengundurkan diri apabila memang merasa sudah tidak mampu lagi menjadi Parabela, seperti kondisi kesehatan yang tidak lagi memungkinkan. Namun demikian, anggota MHA Rongi akan menolaknya apabila dirasa sang Parabela masih di rasa mampu menjalankan pemerintahan adat di perkampungan mereka.[6]
Selain itu, MHA Rongi juga bisa meminta Parabela yang ada untuk mundur dari jabatannya apabila istri Parabela tersebut telah meninggal dunia. Tanda-tanda alam juga digunakan sebagai indikator apakah pemerintahan Parabela yang ada masih layak untuk dilanjutkan atau tidak. Tanda-tanda alam itu meliputi bencana alam dan gagal panen yang menimpa MHA Rongi. Hal itu pernah terjadi di akhir masa pemerintahan Kesultanan Buton atau sekitar tahun 1960-an. Beberapa hari setelah Parabela terpilih, MHA Rongi mengalami gagal panen. Ketua adat dengan didukung oleh masyarakat Rongi kemudian meminta Parabela yang menjabat untuk meletakkan jabatannya.
Tugas dan Kewenangan Parabela dalam Pemanfataan Tanah
suntingParabela dalam struktur adat MHA Rongi memiliki tugas dan fungsi pokok, terutama untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat Rongi. Penjelasan lebih detail tentang tugas dan fungsi mereka adalah sebagai berikut:[14]
A, Adati (Pemangku Adat)
Parabela disebut sebagai pemimpin atau ketua sekaligus pemangku adat tertinggi dalam sturktur adat MHA Rongi. Parabela akan bertindak sebagai wakil masyarakat dalam berbagai macam kepentingan, termasuk menjaga hubungan MHA Rongi dengan pihak luar;
B. Bicuno Lele (Pemberi Informasi)
Parabela haruslah seorang yang memiliki pengetahuan tentang adat Rongi secara mendalam. Dalam praktiknya, Parabela akan bertugas untuk memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat Rongi terkait sejarah, hutan adat (kaombo), serta larangan dan sanksi dalam hukum adat Rongi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, pengetahuan yang mendalam tentang adat Rongi tentu amat diperlukan
C. Pamondo (Mediator)
Tugas atau fungsi lain Parabela adalah sebagai mediator dalam berbagai sengketa atau persoalan yang dialami oleh anggota MHA Rongi. Sengketa yang paling umum dialami oleh MHA Rongi biasanya berkaitan dengan penguasaan tanah.[14]
Meskipun Parabela memilki kekuasaan yang tertinggi menyangkut hajat hidup MHA Rongi, Parabela tidak boleh semena-mena dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar pertimbangan pribadi sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu oleh perangkat adat sebelum diumumkan ke seluruh anggota MHA Rongi. Parabela juga dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan pendapat perangkat desa lain seperti Moji, Wati, dan Pande. Hal yang paling utama dalam pengambilan keputusan itu haruslah dilakukan dengan transparan dan tidak ditutup-tutupi dari apa pun atau disebut dengan istilah atobungkale. Transparansi tersebut penting dilakukan terutama yang berkaitan dengan keputusan adat tertinggi atau unano kabotoki.[13]
Sementara itu, apabila permasalahan yang hendak dipecahkan Parabela tergolong rumit, maka musyawarah yang melibatkan seluruh perangkat adat perlu dilakukan di rumah Parabela. Apabila permasalahan tersebut belum juga menemukan titik terang, maka Parabela dapat melakukan musyawarah lanjutan di Baruga yang merupakan tempat pertemuan seluruh perangkat dan tokoh adat. Musyawarah tersebut akan dihadiri oleh perangkat adat, tokoh adat, Kayaro, dan pihak-pihak yang bertikai. Semua peserta musyawarah memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat mereka.
Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, Parabela juga memiliki kewenangan dalam pengaturan tanah dan sumber daya alam. Hak ulayat tersebut dinilai mengandung dimensi hukum perdata seperti kepemilikan bersama dalam MHA Rongi sekaligus hukum publik yang berisi kewenangan dalam mengatur masyarakatnya sendiri. Secara tidak langsung, Parabela juga memiliki kewenangan untuk menyentuh dimensi hukum perdata dan hukum publik tersebut.[6]
Dalam dimensi hukum perdata, Parabela pernah mewakili MHA Rongi dalam penandatanganan akta untuk memberikan tanah wakaf dalam wilayah adat Rongi seluas 50 meter dan dibangun fasilitas pendidikan di Rongi yang saat ini telah didirkan sebuah sekolah dasar di tanah wakaf tersebut. Pada tahun 2010, Parabela juga pernah menjadi wakil MHA Rongi untuk pengajuan gugatan terkait sengketa batas wilayah adat antara Desa Sandang Pangan dengan Desa Hendea. Dalam pengajuan banding atas putusan Pengadilan Negeri Baubau Nomor 27/Pdt/G/2010/PN Baubau pada Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, Parabela juga bertindak sebagai wakil MHA Rongi.[15]
Sementara itu, dalam dimensi hukum publik, Parabela memiliki wewenang untuk mengatur masyarakatnya sendiri serta pemberian penguasaan atau pemanfaatan tanah dan sumber daya alam kepada MHA Rongi maupun pihak di luar MHA Rongi. Secara lebih jelas, kewenangan Parabela dalam dimensi hukum publik adalah sebagai berikut:[6]
a. Mengeluarkan izin penguasaan dan pemanfaatan tanah serta menetapkan status hak penguasaan tanah dalam MHA Rongi;
b. Memberikan penetapan waktu menanam dan memanen kepada MHA Rongi;
c. Menjatuhkan sanksi bagi anggota MHA Rongi yang melanggar ketentuan dalam hutan adat;
d. Mengadili sengketa tanah dalam MHA Rongi
Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah, Hutan Adat (Hutan Kaombo), dan Sumber Daya Air
suntingMasyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi memiliki praktik-praktik lokal sendiri dalam mengatur pemanfaatan tanah, hutan adat (kaombo) dan sumber daya air yang ada. Peraturan-peraturan itu harus dipenuhi oleh segenap anggota MHA Rongi di bawah kepemimpinan Parabela.
Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah untuk Permukiman
suntingSecara umum, MHA Rongi membagi kepentingan tanahnya menjadi dua bagian, yaitu tanah di dalam benteng Rongi dan tanah di luar benteng Rongi. Tanah yang berada di dalam benteng Rongi harus dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya. Anggota MHA Rongi tidak diperkenankan untuk membuat bangunan, baik permanen atau remanen, dengan menggunakan semen atau beton. MHA Rongi yang telah menikah atau berkeluarga memiliki wewenang atau hak pakai atas tanah tersebut tanpa ada batas waktu. Namun demikian, mereka tetap harus memperhatikan etika dan fungsi-fungsi sosial yang ada, seperti tidak menghalangi akses jalan orang lain, tidak menghalangi pencahayaan matahari untuk masuk ke rumah yang berada di sekitarnya, serta tidak mengubah bentuk, luas, dan pembatas antar-satu rumah dengan rumah lainnya.[6]
Sebelum membangun rumah, anggota MHA Rongi harus mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan terlebih dahulu. Setelah terkumpul, dalam jangka waktu maksimal lima hari, MHA Rongi harus menghadap kepada Parabela untuk meminta izin sekaligus menentukan waktu dan lokasi pembangunan rumah. Peletakan batu pertama pembangunan rumah akan dilakukan oleh Parabela atau diwakili oleh perangkat adat yang lain. Seluruh anggota MHA Rongi, baik masyarakat biasa maupun pemangku adat, berhak untuk membangun rumah di dalam maupun di luar benteng Rongi, asalkan tetap memperhatikan aturan-aturan adat yang berlaku.
Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah untuk Pertanian
suntingPada umumnya, komoditas pertanian yang ditanam oleh MHA Rongi adalah padi dan jagung. Tanaman padi bahkan baru mereka kenal karena dibawa oleh petani transmigran dari Jawa dan Bali. Mereka semula hanya mengenal jagung sebagai komoditas pertanian. Komoditas yang hendak ditanam oleh MHA Rongi juga ditentukan oleh Parabela. Apabila Parabela memutuskan di musim tertentu MHA Rongi harus menanam jagung, maka seluruh anggota MHA Rongi harus menanam jagung, tidak diperkenankan menanam tanaman lain selain jagung. Mereka juga harus melakukan aktivitas bertani, mulai dari menanam hingga memanen secara bersama-sama. Parabela amat melarang kegiatan bertani dilakukan secara sendiri-sendiri.[16]
Sementara itu, berkaitan dengan keputusan Parabela dalam menentukan komiditas tanaman, sebelumnya dilakukan melalui peramalan oleh Mancuana Liwu. Peramalan tersebut tidak hanya meliputi jenis tanaman, melainkan juga waktu yang baik untuk menanam, lokasi yang tepat, dan lain-lain. Menyoal lokasi tanam, apabila Parabela memutuskan lokasi tanam berada di sebelah barat, maka lokasi di sebelah timur tidak diperbolehkan untuk ditanami tanaman apa pun agar ditumbuhi oleh rumput liar. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesuburan tanah. Demikian pula ketika masa panen tiba, Parabela beserta perangkat adat lainnya akan menentukan waktu yang tepat untuk memanen. Setelahnya, seluruh perangkat adat beserta anggota MHA Rongi akan melakukan panen bersama-sama yang dahului dengan sampua galampa yang merupakan pesta adat terbesar MHA Rongi menjelang musim panen.
MHA Rongi tidak diperbolehkan menjual komoditas panennya kepada sesama anggota MHA Rongi maupun kepada pihak di luar MHA Rongi. Apabila ingin melakukan jual beli dengan pihak luar, MHA Rongi harus melakukannya melalui perangkat adat, itu pun dengan perhitungan tertentu. Hasil panen mereka, baik berupa jagung maupun padi, harus disimpan di dalam rumah keluarga masing-masing. Mereka biasanya meletakkan hasil panen di langit-langit rumah di atas dapur sebagai gudang bahan makanan mereka. Hal itu dimaksudkan sebagai proses pengawetan bahan makanan. Aturan adat semacam itu ternyata ampuh untuk menjaga kebutuhan pokok MHA Rongi agar selalu tercukupi. Terbukti, ketika musim kemarau panjang terjadi di Buton pada tahun 1964, seluruh tanaman warga di sana mengalami gagal panen. MHA Rongi pada saat itu menjadi pemasok makanan bagi seluruh kadie di Buton. Oleh sebab itu, desa mereka dinamakan Desa Sandang Pangan karena memiliki cadangan makanan yang berlimpah.[17]
Pengaturan tentang Pemanfaatan Tanah untuk Perkebunan
suntingBerbeda dengan tanah untuk pertanian, MHA Rongi diberikan kebebasan untuk menentukan komoditas tanam di perkebunan. Mereka juga diberikan wewenang untuk melakukan jual-beli komoditas dengan pihak luar tanpa harus meminta pertimbangan dari Parabela atau perangkat adat lainnya.
Pengaturan tentang Pemanfaatan Hutan Adat (Kaombo)
suntingHutan adat dalam struktur adat MHA Rongi disebut dengan hutan Kaombo yang diartikan sebagai hutan keramat. Hutan Kaombo berada di dekat aliran sungai yang memiliki fungsi untuk menjaga tanah dari erosi dan mata air tidak mengalami kekeringan. Lebih tepatnya, Hutan Kaombo berada di radius kurang lebih 300 meter pada setiap sisi sungai sehingga rata-rata lebarnya adalah 600 meter. Tidak jarang hutan Kaombo juga disebut sebagai hutan lindung. MHA Rongi sangat dilarang untuk melakukan penebangan hutan baik berskala kecil maupun besar. Mereka percaya bahwa hutan Kaombo dijaga oleh leluhur mereka, sehingga siapa pun yang melakukan penebangan di dalam hutan dipercaya akan terkena bala atau nasib sial. Namun demikian, MHA Rongi masih diperkenankan untuk memburu satwa di dalam hutan dengan syarat tidak merusak tanaman atau pepohonan yang ada di dalam hutan.[16]
Sanksi terhadap pelanggar penebangan pohon di hutan tersebut bermacam-macam. Para penebang akan disumpahi setiap tahun oleh MHA Rongi dalam upacara adat sampuna galampa. Mereka juga akan diberi sanksi sosial bernama tumaikaliku yang berarti tidak boleh ada satu pun warga, termasuk keluarganya, yang mendatanginya, menyapanya, maupun berjalan ke arahnya. Apabila sanksi tersebut tergolong ringan seperti tidak sengaja mengambil ranting di hutan sebagai kayu bakar, maka mereka akan diingatkan secara lisan oleh Parabela. Jika hal itu terjadi berulang-ulang, maka akan digolongkan ke dalam pelanggaran berat yang sanksinya akan diputuskan oleh Parabela, Kayaro, dan perangkat adat lainnya.[6]
Pengaturan tentang Pemanfaatan Sumber Daya Air
suntingSumber air di permukiman MHA Rongi sangat berlimpah. Sumber air tersebut terletak di dalam hutan kaombo Rano, Lasumampu, dan Lamaradu yang kemudian oleh warga dibuatkan saluran tradisional dari sumber mata air tersebut ke perkampungan mereka. Namun demikian, MHA Rongi juga memiliki ketakutan tersendiri mengingat posisi sumber mata air yang berada di tengah hutan dipercaya juga mengandung racun. Oleh sebab itu, MHA Rongi dilarang untuk mengambil hewan-hewan yang berada di dalam air. Untuk mengambilnya, mereka harus melakukan upacara adat terlebih dahulu yang dipimpin oleh Mancuana Liwu dengan memasukan akar pohon yang dilanjutkan dengan pembacaan doa.[17]
Pengaturan tentang Pemberian Penguasaan/Pemanfaatan Tanah kepada Sesama MHA Rongi
suntingSeluruh tanah di dalam MHA Rongi terbagi menjadi hak ulayat yang dikuasai langsung oleh Parabela dan bagian lain dikuasai oleh perorangan dengan luas dan batas-batas tertentu. Namun demikian, di dalam struktur MHA Rongi, perempuan pada dasarnya memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan laki-laki untuk urusan penguasaan tanah.
Penguasaan Tanah Ulayat oleh Parabela
suntingPenguasaan tanah ulayat dalam MHA Rongi menjadi wewenang Parabela, baik tanah kaombo maupun hutan kaombo. Anggota MHA Rongi tetap memiliki hak pakai yang tidak terbatas untuk mendirikan rumah di atas tanah itu dengan batasan setiap rumah harus memiliki cucuran air dari atap. Kepemilikan oleh MHA Rongi tersebut terletak pada bangunan rumahnya, bukan pada tanahnya. Ketika Parabela berganti, perwalian terhadap tanah yang ada juga akan diberikan pada Parabela selanjutnya.[6]
Sementara itu, tanah kaombo juga memiliki makna yang sama dengan hutan kaombo yang dikeramatkan. Hak pakai tanah tersebut akan diserahkan kepada warga MHA Rongi, baik untuk mendirikan rumah maupun hak pakai untuk mmenanam tanaman pertanian. Pemberian hak pakai akan dilakukan oleh Parabela kepada anggota MHA Rongi yang mengajukan permohonan penguasaan tanah. Terkait kekuasaan Parabela pada tanah ulayat tersebut, sebenarnya Parabela tidak memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak. Parabela hanya bertugas untuk mengatur serta memberikan sanksi adat kepada anggota MHA Rongi yang melanggar aturan adat. Kekuasaan Parabela bukan berarti memiliki hak pakai atas tanah ulayat tersebut seutuhnya.[16]
Penguasaan Tanah oleh Perseorangan
suntingPenguasaan tanah oleh perseorangan dibagi menjadi penguasaan tanah mendirikan rumah, tanah pertanian, dan tanah perkebunan. Pada tanah untuk mendirikan rumah, hak pakai warga MHA Rongi terletak pada bangunan rumahnya, bukan pada tanahnya. Mereka berhak membangun rumah dalam jangka waktu tak terbatas dengan tetap memperhatikan aturan-aturan adat yang ada. Sementara itu, pada penguasaan lahan pertanian, kekuasaan warga MHA Rongi menjadi sangat terbatas. Komoditas tanaman yang akan mereka tanam akan ditentukan oleh Parabela. Mereka juga tidak diperkenankan untuk menjual hasil panen pertaniannya kepada pihak luar tanpa melalui prantara Parabela dan perangkat adat lainnya. Sedangkan untuk tanah perkebunan, hak pakai mereka lebih leluasa karena dapat menentukan sendiri komoditas tanaman yang akan ditanam dan yang akan dijual tanpa perlu meminta izin Parabela.[17] Dalam kepemilikan tanah pertanian dan perkebunan, perempuan memiliki posisi lebih utama dibandingkan laki-laki. Kelompok laki-laki hanya diperkenankan memiliki porsi kekuasaan yang besar apabila tidak memiliki saudara perempuan atau tidak memiliki anak dalam perkawinannya. Para pemegang hak milik tanah tersebut berhak untuk memberikan pinjaman dengan status hak pakai kepada sesama warga MHA Rongi. Mereka juga dapat mewariskan tanah yang ada kepada keturunannya. Namun demikian, mereka tidak diperbolehkan untuk memperjualbelikan tanah yang ada kepada subyek hukum di luar MHA Rongi tanpa ada pertimbangan khusus dari Parabela. Pemegang hak milik juga berkewajiban untuk memberikan pinjaman tanah kepada saudara laki-lakinya yang tidak memiliki sumber penghidupan.[16]
Pengaturan tentang Pemberian Penguasaan/Pemanfaatan Tanah kepada Subyek Hukum di Luar MHA Rongi
suntingPengaturan untuk pertanian dan perkebunan
suntingAnggota MHA Rongi kini bersikap lebih berhati-hati dalam memberikan kuasa untuk mengolah lahan pertanian atau perkebunan kepada kadie lain di luar kelompok mereka. Hal itu disebabkan oleh pernah munculnya konflik antara kadie Rongi dengan kadie Hendea pada tahun 1959 terkait adanya perbedaan batas wilayah adat menurut perjanjian adat dan keputusan pemerintah.[11]Semenjak saat itu, anggota MHA Rongi lebih banyak memanfaatkan tanah pertanian dan perkebunan untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian, di beberapa kasus tertentu, mereka masih bersedia memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memanfaatkan tanah mereka. Mereka tetap memiliki aturan-aturan tertentu dalam mengatur pengajuan pinjam-meminjam dan sewa-menyewa tanah oleh MHA Rongi kepada pihak dari luar MHA Rongi. Beberapa aturan itu adalah apabila orang yang ingin menggarap lahan pertanian atau perkebunan berasal dari kadie lain, maka orang yang bersangkutan harus menghubungi Sara Kadie Rongi yang kemudian akan dilakukan musyawarah untuk menentukan memberikan persetujuan atau penolakan. Apabila disetujui, maka tanah pertanian atau perkebunan itu akan dikenai pajak 12:1 terhadap hasil panennya.[17] Sebagai misal, apabila petani dari kadie lain menanam komoditas jagung dan memetik jagung sebanyak 12.000 buah, maka sebanyak 1.000 buah harus diperuntukan kepada kadie Rongi. Apabila penyewa tanah berasal dari luar Kesultanan Buton, maka musyawarah akan dilakukan dengan Sultan Buton, Bobato, dan Sara Kadie. Apabila memungkinkan, pemberian kuasa pakai dengan status sewa akan diberikan dengan kewajiban membayar seperdua dari hasil panen mereka kepada kadie Rongi. Selain itu, MHA Rongi juga memberikan aturan khusus kepada golongan Kaomo dan Walaka. Golongan tersebut dapat langsung mengajukan permohonan hak kepada Sara Kadie dan akan langsung diputuskan apakah permohonannya diterima atau ditolak. Apabila diterima, mereka diperkenankan mengolah tanah pertanian dan perkebunan dengan tanpa pajak. Mereka tidak perlu membagi hasil panenya sebagaimana aturan adat untuk orang di luar Kadie Rongi dan di luar Kesultanan Buton. Namun demikian, mereka hanya dibatasi atas hak pakai tersebut selama satu kali musim panen. Mereka dapat memperpanjang masa penggunaan lahan apabila memungkinkan.[6]
Pengaturan untuk kepentingan umum oleh pemerintan
suntingMHA Rongi lebih terbuka dalam memberikan hak pakai tanah kepada pemerintah untuk kepentingan publik. Pada tahun 1960, MHA Rongi mewakafkan beberapa tanah yang digunakan untuk kepentingan pendidikan. Di atas tanah itu, kini terbangun sebuah sekolah dasar yang juga dinikmati oleh warga MHA Rongi. Pada tahun 2014 pun terjadi hal serupa. MHA Rongi memberikan hak pakai tanah kepada pemerintah yang digunakan untuk membangun jalan. Dalam proses pembangunan itu, Parabela bahkan tidak perlu melakukan musyawarah dengan perangkat adat lainnya. Secara cuma-cuma, ia menyerahkan tanah adat yang ada kepada pemerintah Kabupaten Buton Selatan.[6]
Pengaturan untuk kegiatan pertambangan oleh perusahaan
suntingPemanfaatan tanah ulayat kepada perusahaan yang hendak melakukan pertambangan juga lebih terbuka daripada untuk memanfaatkannya sebagai lahan pertanian. Pemberian wewenang penggunaan tanah untuk kegiatan pertambangan dapat dilakukan melalui pemberian penguasaan atau pemanfaatan tanah dengan hak pakai dalam jangka waktu tertentu atau melalui pelepasan tanah adat oleh Parabela. Perusahaan yang sedang melakukan kegiatan pertambangan di permukiman MHA Rongi adalah PT Metrix Elcipta dan perusahaan pengembang PLTM. PT Metrix Elcipta yang bergerak di bidang pertambangan aspal. Perusahaan tersebut sejak tahun 2003 telah mengantongi izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Buton berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dengan jangka waktu 30 tahun, sejak tahun 2003 hingga 2033.[18] Izin yang dikantongi oleh perusahaan tersebut meliputi beberapa hal, termasuk izin melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolah dan pemurnian, hingga pengangkutan dan penjualan.
Semula, perusahaan tambang tersebut mengajukan izin usaha ekstraksinya kepada pemerintah Kabupaten Buton. Kemudian, pemerintah setempat melakukan sosialisasi atau pemberitahuan kepada MHA Rongi melalui Parabela yang ada mengenai rencana kegiatan pertambangan itu.
Setelahnya, MHA Rongi melakukan musyawarah internal setelah pemerintah kabupaten memberitahukan rencana kegiatan pertambangan oleh PT Metrix Elcipta. Musyawarah internal tersebut dilakukan di Baruga dan banyak melibatkan seluruh perangkat adat, termasuk Anakamia dan Kayaro. MHA Rongi kemudian menggelar musyawarah bersama dengan seluruh perangkat adat, pemerintah kabupaten dan pihak dari PT Metrix Elcipta. Musyawarah bersama tersebut juga dilakukan di Baruga. Parabela sebagai perwakilan MHA Rongi memberikan persetujuan lisan kepada PT Metrix Elcipta dengan melakukan pelepasan tanah adat melalui jual-beli dan memberikan izin kepada perusahaan tersebut untuk melakukan kegiatan pertambangan. Setelah muncul kesepakatan di antara seluruh pihak yang terlibat, barulah perusahaan tersebut diperkenankan untuk melakukan kegiatan pertambangan. Namun demikian, kegiatan pertambangan mereka baru benar-benar bisa dilakukan setelah MHA Rongi melakukan upacara adat di lokasi tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi tambang.[6]
Proses jual-beli tanah tersebut kemudian dilakukan oleh perusahaan tambang kepada setiap warga yang bidang tanahnya dijadikan lokasi tambang. Setiap meter bidang tanah dihargai sebesar Rp3.000 ditambah dengan ganti rugi atas pohon kelapa, jambu mede, kopi, dan jati yang telah tiga kali produksi senilai Rp50.000 untuk setiap pohon. Setelah proses jual-beli selesai, maka tanah yang telah dilepaskan tersebut secara resmi berada di bawah kekuasaan negara dengan pemberian izin kegiatan pertambangan kepada PT Metrix Elcipta. Apabila masa berlaku kegiatan pertambangan habis, hak milik tanah akan dikembalikan ke negara dan bukan lagi menjadi hak milik MHA Rongi. Namun demikian, MHA Rongi tetap memberikan batasan kepada mereka untuk tidak memanfaatkan tanah yang ada di dalam hutan kaombo.[6]
Selain itu, PT Metrix Elcipta juga akan memberikan bantuan terhadap kegiatan-kegiatan sosial masyarakat serta berkomitmen memberikan bantuan apabila terjadi bencana alam, sebagaimana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).[19]
Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah dalam MHA Rongi
suntingKasus sengketa tanah yang paling banyak dialami oleh MHA Rongi adalah berkaitan dengan warisan tanah pertanian dan perkebunan yang belum sempat dibagi oleh orang tuanya ketika masih hidup. Semasa hidup, orang tua mereka belum memberikan batas-batas tanah, sehingga menimbulkan sengketa antara sesama saudaranya. Penyelesaian sengketa tanah semacam itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab Parabela untuk dapat menyelesaikannya. Mula-mula, Parabela akan mengumpulkan seluruh pihak yang bersengketa di rumah Parabela. Bersama dengan Moji, Parabela akan bertindak sebagai mediator. Apabila upaya tersebut dirasa belum cukup, maka musyawarah akan melibatkan seluruh perangkat adat dan diselesaikan di Baruga yang merupakan tempat seluruh perangkat adat berkumpul.[14]
Selama persengketaan tersebut terjadi, Parabela akan menarik sementara waktu hak pakai tanah yang ada dari pemiliknya. Pihak-pihak yang bersengketa tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apa pun di atas tanah tersebut. Sementara itu, dalam memberikan keputusan mengenai sengketa yang terjadi, Parabela harus mempertimbangkan banyak hal yang dianggap tidak akan merugikan salah satu pihak. Sesuai dengan hukum adat Rongi, pihak perempuan harus lebih diutamakan dalam pembagian dan penguasaan tanah.[14] Selain itu, Parabela juga akan selalu mempertimbangkan pihak mana yang perekonomiannya lebih lemah, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada sumber pertanian atau perkebunan. MHA Rongi yang mengalami kondisi semacam itu biasanya akan diberikan tanah yang lebih luas. Keputusan Parabela dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut merupakan keputusan adat. Bagi warga MHA Rongi yang menentang keputusan adat, akan dikenakan sanksi adat, baik teguran lisan maupun sanksi sosial (tumaikaliku). Hingga kini, hampir tidak pernah dijumpai kasus anggota MHA Rongi yang melawan keputusan adat dari Parabela, semua keputusan Parabela selama ini selalu diterima dengan baik, terutama yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa tanah.[6]
Referensi
sunting- ^ Song, Seung-Won. 2013. Being Korean in Buton? The Cia-Cia's Adoption of the Korean Alphabet and Identity Politics in Decentralised Indonesia. Kemanusiaan Vol. 20, No. 1, (2013), 51–80. Penerbit Universiti Sains Malaysia
- ^ a b Putri, Aditya Widya. "Ada Korea di Sulawesi Tenggara". tirto.id. Diakses tanggal 2017-12-09.
- ^ a b c Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, “Kecamatan Sampolawa dalam Angka 2014”, Katalog BPS 1102001. 7401.070, CV. Kainawa Molagina, Baubau, 2014.
- ^ "PT. Metrix Elcipta". ptmetrixelcipta.indonetwork.co.id. Diakses tanggal 2017-12-07.
- ^ Administrator. "Potensi Pertambangan". www.butonkab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-09.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Zalili, Fakhrisya. 2016. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rongi di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.
- ^ a b Zuhdi, Susanto, 2010, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, Cetakan Pertama, PT. Raja grafindo Persada, Jakarta.
- ^ Schoorl, Pim, 2003, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Penerbit Djembatan bekerjasama dengan Perwakilan KLTV, Jakarta.
- ^ a b Hasyim, Arrazy. 2015.Kitab Hadiyat al-Baṣīr fī Ma‘rifat al-Qadīr Sultan Muhammad ‘Aydrus al-Butuni: Puri kasi Teologi Islam di Kesultanan Buton. Manuskripta, Vol. 5, No. 1, 2015
- ^ anggipurnamasari (2015-08-10). "Rumah Tradisional Kamali Sebagai Pusat Kebudayaan Wolio - Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan". Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-09. Diakses tanggal 2017-12-08.
- ^ a b Husain, M. Najib. 2010. Menolak Pemekaran untuk mempertahankan Sebuah Adat Istiadat: Sebuah Upaya Komunikasi Politik dan Diplomasi Berbasis Kearifan Lokal dari Masyarakat Desa Lapandewa Sulawesi Tenggara. Mengagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. Dikases melalui http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/42.Najib_Haluoleo_Edit.pdf Diarsipkan 2017-12-10 di Wayback Machine.
- ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Diakses melalui https://butonkab.bps.go.id
- ^ a b c Rahman, Ruslan. 2005. Parabela di Buton . Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar
- ^ a b c d Husain, M Najib, Trisakti Haryadi, dan Sri Peni Wastutiningsih. 2012. Penerapan Komunikasi Kelompok dalam Kepemimpinan Parabela di Masyarakat Kabupaten Buton. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2012, halaman 134-145
- ^ https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/9cb1c5974a005c7432724d82ebea8e06
- ^ a b c d Husain, M. Najib. 2014. “Kepemimpinan Parabela Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Kaombo di Kabupaten Buton”. Disertasi Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada
- ^ a b c d Adil, La Ode. 2013. KAOMBO (Kearifan Lokal Buton tentang Hutan dan Lingkungan). Jurnal Sosiologi Dialektika Kontemporer Volume 1, Nomor 1, Tahun 2013
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-10-31. Diakses tanggal 2017-12-09.
- ^ "Corporate social responsibility (CSR) | Current issues". www.iisd.org. Diakses tanggal 2017-12-09.