Badan hukum pendidikan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Triyatni (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Gibranalnn (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(15 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{wikisource|Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009|UU No. 9 Tahun 2009}}
[[Badan]] [[Hukum]] [[Pendidikan]] (BHP)adalah badan hukum yang menyelenggarakan [[pendidikan formal]]. Di Indonesia Undang-undang Nomor 09 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, disahkan oleh [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) pada tanggal 17 Desember 2008. Bagi pendidikan tinggi, BHP merupakan perluasan dari status [[Badan Hukum Milik Negara]] (BHMN) yang dianggap cenderung sangat komersil dalam penyelenggaraannya.
'''Badan hukum pendidikan''' (disingkat '''BHP''') merupakan suatu bekas bentuk [[badan hukum]] [[lembaga]] [[pendidikan formal]] di [[Indonesia]] yang berbasis pada otonomi dan nirlaba. BHP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang disahkan oleh [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) pada tanggal 17 Desember 2008. Bagi pendidikan tinggi, BHP merupakan perluasan dari status [[badan hukum milik negara]] (BHMN) yang dianggap cenderung sangat komersial dalam penyelenggaraannya. Pada tahun 2010, bentuk BHP telah dihapuskan sesuai dengan Putusan [[Mahkamah Konstitusi Indonesia|Mahkamah Konstitusi]] Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010 yang membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009.
 
== Kontroversi ==
BHP sejak awal mendapat tantangan keras dari kalangan terutama dari kalangan ahli pendidikan dengan isu neo liberasasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai penanggungjawab untuk mencerdaskan bangsa dengan menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas. Dikuatirkan privatisasi akan menghambat akan membuat lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, dimana pemilik yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi pemangku kepentingan yang lazim disebut Majelis Wali Amanah.Besarnya kekuatiran akan dampak negatif dari BHP bagi pendidikan nasional menyebabkan proses pembahasan di DPR berjalan lambat sekitar empat tahun.
 
== Pembatalan ==
;Tujuan
UU BHP kini tepatnya tanggal 31 Maret 2010, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara yang diajukan oleh Aep, Cs dalam perkara Nomor 11/VII-PUU/2009 dengan Gatot Goei, SH sebagai salah satu kuasa di antara kuasa hukum dalam perkara lainnya. Alasan Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP adalah karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan. kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasn, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain. Oleh karena itu UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 dan batal demi hukum.
BHP bertujuan memajukan [[pendidikan]] [[nasional]] dengan menerapkan manajemen berbasis [[sekolah]]/[[madrasah]] pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
 
== Lihat pula ==
;Fungsi
* [[Badan hukum milik negara]]
 
[[Kategori:Pendidikan di Indonesia]]
BHP berfungsi memberikan pelayanan [[pendidikan formal]] kepada [[peserta didik]].
 
;Prinsip
 
*[[Otonomi]], yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara [[mandiri]] baik dalam bidang [[akademik]] maupun [[non-akademik]],
*[[Akuntabilitas]], yaitu kemampuan dan [[komitmen]] untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada [[pemangku kepentingan]] sesuai dengan ketentuan [[peraturan]] [[perundang-undangan]],
*[[Transparansi]], yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan [[standar pelaporan]] yang berlaku kepada [[pemangku kepentingan]],
*[[Penjaminan mutu]], yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui [[Standar Nasional Pendidikan]], serta dalam meningkatkan [[mutu]] pelayanan pendidikan secara berkelanjutan,
*[[Layanan prima]], yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan [[pemangku kepentingan]], terutama [[peserta didik]],
*[[Akses]] yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan [[pendidikan formal]] kepada calon [[peserta didik]] dan [[peserta didik]], tanpa memandang latar belakang [[agama]], [[ras]], [[etnis]], [[gender]], status sosial, dan kemampuan ekonominya,
*[[Keberagaman]], yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan [[agama]], [[ras]], [[etnis]], dan [[budaya]],
*Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan [[pendidikan formal]] kepada [[peserta didik]] secara terus-menerus, dengan menerapkan pola [[manajemen]] yang mampu menjamin keberlanjutan layanan, dan
*[[Partisipasi]] atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan [[pemangku kepentingan]] dalam penyelenggaraan [[pendidikan formal]] untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.