Lahir dengan nama Triyatni Ratna Rahayu di Makassar, 29 Juli 1957 dari ibu Christina Nanti Manikallo yang berasal dari Tana Toraja Sulawesi Selatan dan ayah Samino Martosendjojo yang berasal dari Purworejo Jawa Tengah. Memiliki saudara delapan orang terdiri dari tiga orang kakak yaitu Margono (saudara lain ibu), Agus Batara Purwanto, Dwiyati Suryaningsih, lima orang adik yaitu Sri Maidalina, dan dua pasang saudara kembar Hartoni Wijoyo dan Hartono Wijoyo serta Hariyanti Wijoyo dan Hariyanto Wijoyo.

Walau bukan keluarga kaya, orang tuanya yang pegawai negeri berusaha agar anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan dasar dan menengah yang memadai di sekolah swasta terbaik terutama yang dikelola oleh Yayasan Katolik. Sejak sekolah dasar hingga S2, Triyatni menempuh pendidikan di kampung halamannya yaitu SD Beringin (1964-1969), SMP Rajawali (1970-1972), SMA Katolik Cenderawasih (1973-1975), S1 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unhas (1976-1983) dan S2 Pengelolaan Lingkungan Hidup Program Pasca Sarjana Unhas (1989-1997). Pendidikan S2nya membutuhkan waktu yang lama karena di antara kuliah dia juga sibuk bekerja sebagai arsitek di biro arsitek milik keluarga Wijaya Kusuma.

Belajar di sekolah Katolik yang didominasi oleh komunitas Tionghoa dengan tingkat ekonomi relatif tinggi tidak membuat Triyatni rendah diri. Dia bahkan menjalin persahabatan yang erat dengan teman-teman semasa SMAnya hingga saat ini, antara lain Lenny Kodrat, Yennie Yulita, Jane Yovita, Benny Tungka, Yenny Kongoasa, Itje Tanasal dan Enny Santosa. Terbiasa bergaul dengan komunitas dan budaya yang berbeda, membuatnya tidak mengalami kesulitan bergaul antar suku, ras maupun agama.

Ketika kelas tiga SMA, Triyatni berkeinginan untuk kuliah bidang keteknikan di luar Makassar, tetapi ibunya memperlihatkan sikap kurang setuju mengingat biaya yang dibutuhkan pastilah sangat besar. Ibunya menginginkan dia menjadi dokter, sedangkan Triyatni lebih tertarik menjadi arsitek, bidang yang berkaitan dengan profesi ayahnya yang bekerja menjadi staf sipil bagian teknik bangunan Angkatan Laut Republik Indonesia dan saat pensiun memilih menjadi kontraktor bangunan. Ayahnya mengerjakan pembangunan gedung-gedung terkenal di Makassar dan sekitarnya masa itu seperti TVRI Makassar, STM Pembangunan, Kantor Wilayah BNI 1946 dan Markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) Kariango Maros. Ikut serta terlibat membantu ayahnya membuatnya punya jam terbang yang cukup tentang ilmu bangunan di lapangan.

Sejak di sekolah menengah, Triyatni mengembangkan wawasannya dengan menjalin persahabatan di berbagai belahan dunia melalui kegiatan sahabat pena. Tulisannya tentang suka duka sahabat pena dituangkan dalam sebuah tulisan di majalah remaja Midi yang dipimpin oleh Arswendo Atmowiloto. Kebiasaan menulis dari sahabat pena ini antara lain yang membuat Triyatni terbiasa menuliskan apa yang dialaminya sehari-hari. Dengan adanya media internet, hobby menjalin persahabatan dan diskusi jarak jauh menjadi lebih mudah dilakukannya dengan membentuk forum diskusi minat dan menjadi pemilik dan moderator dari milis warga arsitektur Unhas arsiuh-ml@yahoogroups.com dan milis warga Unhas unhas-net@unhas.ac.id serta menjadi anggota aktif di berbagai milis lainnya.

Selama menjadi mahasiswa, Triyatni juga aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler dan tercatat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Arsitektur Unhas (1980-1982) dan anggota Pramuka Gugus Depan 349-350 Unhas. Mewakili kegiatan himpunan dan pramuka pada acara-acara nasional selain memperluas jaringan pertemanan, juga memberi manfaat yang cukup untuk membentuk kepribadian yang kuat dan kecintaannya kepada bangsa dan negara. Kondisi ini juga membawanya untuk mengejar ilmu bermutu dengan bekerja praktek profesi pada biro arsitek terkenal Gumarna ( Guna Membangun Arsitektur Nasional) Bandung yang didirikan oleh Hartono.

Keakraban dengan dosen-dosen yang dihormatinya JSG Undap dan RE. Makalew serta pertemuan sejenak dengan arsitek Mesjid Istiqlal Silaban, memperkuat minatnya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan Etika Profesi. Belajar tentang perilaku arsitek antara lain pada Ahmad Noe’man dan Piek Tedjajadi serta bergaul dengan relasi bisnis yang menjadi sahabat ayahnya antara lain Oei Sie La yang agen bangunan, Koesdaryo Salli yang kontraktor listrik dan Hoei Djie Keng yang pengusaha perabot, memberikan pencerahan yang memadai akan perlunya membangun integritas diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Setelah menyelesaikan pendidkan S1, Triyatni diterima menjadi dosen di tempatnya kuliah pada tahun 1986, tepat ketika Unhas merayakan Dies Natalis ke 30. Pada kegiatan pameran Ilmu dan Teknologi yang berjudul Segenggam Harapan, dia bergabung antara lain dengan Mappadjantji, Tadjuddin Parenta, Hamid Paddu, WJA Misero (almarhum) dan Hidayat Ely. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi kelompok kerja dan diskusi penting di Unhas. Ketika Mappadjantji diangkat menjadi Pembantu Rektor IV tahun 2001, dia diminta diajak terlibat sebagai staf ahli dan masuk dalam Tim Perencanaan dan Pengembangan guna menangani bidang fisik Unhas. Bersama dengan anggota tim lain yang berintegritas tinggi, mereka kemudian membangun kelompok kerja yang menjadi cikal bakal komunitas Lantai 6.

Pengalaman dalam bekerja menyadarkan dia akan pentingnya etika profesi sebagai pengendali dalam bekerja sebagai seorang arsitek profesional. Karena alasan tersebut, Triyatni tidak lelah untuk mengusulkan agar etika profesi menjadi salah satu mata kuliah di Jurusan Arsitektur Unhas. Tulisan-tulisannya tentang etika profesi arsitek antara lain disebar luaskan melalui kegiatan Himpunan Mahasiswa Arsitektur Unhas. Perhatiannya terhadap masalah etika juga mendorong Triyatni dalam aktifitasnya sebagai arsitek untuk membuktikan kepada siapa saja terutama kepada mahasiswa bahwa masih ada orang Indonesia yang bisa menghasilkan karya yang baik tanpa perlu melakukan hal-hal yang dikategorikan sebagai tercela. Di Unhas dia menunjukkan kegigihan untuk menjaga integritas sebagai seorang arsitek yang terlihat pada hasil karyanya antara lain Fasilitas Global Development Learning Network (GDLN) yang dianggap sebagai fasilitas sejenis terbaik yang dibiayai oleh Bank Dunia, Ruang Senat Universitas dan Ruang Rapat A Gedung Rektorat Unhas.