Pengguna:AMA Ptk/bak pasir: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 80:
Didit Hariyadi (Makassar), Arif Budianto (Mamuju), Prihandoko
== SOAL ISTIQLAL ==
UPAYA MENEMUKAN JATI DIRI
Edisi : 19 Oktober 1991
iUpaya menemukan jati diri
Festival Istiqlal, pameran terbesar sejak kemerdekaan yang idenya dicetuskan 15 tahun lampau, digelar selama sebulan. Sebuah cermin besar untuk menemukan jati diri. INILAH kekayaan bangsa yang luar biasa. Sebuah pameran kolosal yang digelar selama sebulan, dipersiapkan selama satu setengah tahun. Festival Istiqlal, begitu pameran yang untuk pertama kali diselenggarakan, sejak kemerdekaan ini, sesungguhnya tidaklah bermaksud menampilkan wajah kesenian Islam semata, tapi kebudayaan Indonesia yang "bernapas Islam". Dananya, menurut Ketua Umum Badan Pelaksana Festival, Pontjo Sutowo, sekitar Rp 4 milyar. Selasa malam pekan ini Presiden Soeharto membuka festival tersebut dengan menabuh beduk. Di antara ratusan tamu, hadir Yang Dipertuan Agong Malaysia, Sultan Azlan Muhibbuddin Syah, dan Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, dengan permaisuri mereka. Memang, festival ini tak hanya menggelar kekayaan budaya Islam Indonesia, tetapi juga Asia Tenggara. Usai menabuh beduk, Pak Harto mengawali penulisan mushaf Quran yang kemudian diteruskan oleh para penulis khat sampai selesai 30 juz. Penulisan kitab berukuran 125 x 75 cm ini diperkirakan bakal memakan waktu tiga sampai empat tahun. Lembaran-lembaran Quran ini berhiaskan ornamen yang khas Indonesia. Menurut A.D. Pirous, pelukis yang menjadi Wakil Ketua Badan Pelaksana Festival, yang istimewa dari festival ini adalah keragaman penampilan. Berbagai suku -- Aceh, Padang, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis, sampai Ternate dan Tidore -- semuanya menampilkan pikiran dan budaya Islam yang dicerna dengan latar belakang etnis yang berbeda. "Inilah kekayaan Indonesia yang luar biasa, dengan kebinekaan yang beragam. Lebih dari itu, festival ini merupakan penampilan sebagian wajah Asia Tenggara," katanya. Karena itu, benda-benda yang dipamerkan tidak hanya berasal dari 27 provinsi di Indonesia. Panitia Festival juga mengajak para seniman dan kolektor benda seni di antaranya dari Singapura, Malaysia, Brunei. Dari Malaysia datang 22 pelukis dengan karya-karya mereka. Menurut Pirous, benda-benda antik dari Pakistan, India, dan Cina juga akan ditampilkan. Di antara benda-benda yang dipamerkan di kompleks masjid yang terbesar di Asia Tenggara ini ialah mushaf Quran yang jumlahnya lebih dari 40 buah, rata-rata berusia ratusan tahun. Sebagian besar koleksi Yayasan Masagung, ada pula koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Bahkan, ada yang dipinjam dari Pesantren Buntet (Cirebon), dari Bali dan Irian Jaya, juga ada sebuah dari Irlandia. Yang menarik ialah Quran berusia 200 tahun koleksi Irwan Holmes. Quran yang diperkirakan berasal dari Demak, Jawa Tengah, itu berhiaskan prada emas di bagian pinggir lembaran halamannya. Ada pula teks "kitab kuning" (disebut begitu karena dicetak pada kertas kasar berwarna kuning) yang jumlahnya lebih dari 100 naskah. Seni arsitektur masjid dan elemen-elemennya, seperti mihrab, gapura, gerbang, mimbar, menara, sajadah, juga dipamerkan. Juga ada gentong air wudu berhiaskan kepala burak dari Desa Sitiwinangun, Cirebon. Memang banyak benda budaya yang unik dan menarik. Misalnya, bendera yang berusia seabad bertuliskan Surah Al Ikhlas dari kerajaan Cirebon kereta berukir untuk kendaraan anak berkhitan dari Keraton Surakarta berusia 70-an tahun pakaian kebesaran raja Kasultanan Yogyakarta, Hamengku Buwono VIII, yang bertatahkan hiasan berlian dan emas dari awal abad ini. Kaligrafi ayat suci Quran tentu saja juga ada. Dari yang berusia tua -- - berasal dari Banten dan Madura -- kaligrafi lukisan kaca dari Cirebon, sampai seni rupa kontemporer. Yang tradisional misalnya kain batik asal Jambi berusia 70-an tahun berhiaskan kaligrafi Arab. Namun, juga ada kursi kayu dari kerajaan Madura berhiaskan ayat suci Quran yang berusia 150 tahun. Yang kontemporer adalah lukisan-lukisan karya pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Malang, Surabaya, Padang. Ada nama-nama besar seperti Roesli, Pirous, Dede Eri Supria, Amri Yahya. Festival ini juga menampilkan kesenian rakyat yang merefleksikan tradisi Islam dari beberapa daerah, meliputi teater, tari, musik. Ada madihin (Kalimantan Selatan), japin (Riau), tabut (Sumatera Barat), saman dan seudati (Aceh), lenong (Jakarta), hadrah kuntulan (Jawa Timur), wayang golek (Jawa Barat). Juga tampil beberapa musikus muslim masa kini seperti Setiawan Djodi, Bimbo, Rhoma Irama, Trisutji Djuliati Kamal. Seni baca Quran sudah dipastikan ada. Begitu pula pemutaran beberapa film serta pembacaan puisi oleh 10 penyair, yang dinilai mewakili "napas keislaman". Seni pertunjukan tersebut dipentaskan di panggung Istiqlal dan Taman Ismail Marzuki. Bukan hanya itu. Ada satu acara festival yang serius, yaitu forum ilmiah dengan tema "Islam dan Kebudayaan Islam, Dulu, Kini, dan Esok". Simposium yang diselenggarakan selama empat hari sejak 21 Oktober itu berlangsung di gedung Indosat, Jakarta, mengetengahkan tiga subtema: ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia, Islam dan masa depan peradaban dunia. Sekitar 25 pakar berbagai bidang akan tampil. "Dalam simposium ini dibicarakan apa saja yang dipikirkan oleh manusia Indonesia sekarang, Islam yang bagaimana yang dianut orang Indonesia, apakah Islam yang angker seperti di Timur Tengah ataukah Islam yang damai dan berbudaya seperti di Indonesia. Kita berhak menawarkan ini karena kita adalah warga terbesar di dunia Islam," kata Pirous bersemangat. Acara tambahan yang barangkali menarik ialah pameran dan diskusi busana muslimah. Bukan akhir-akhir ini saja busana seperti itu dikenal orang, tetapi pakaian tradisional para muslimah di beberapa daerah bahkan sudah lama mencerminkan napas Islam. Misalnya, batik basorek (Bengkulu) atau baju kurung dari Sumatera Barat. Beberapa desainer yang tampil antara lain Ida Royani, Yenny Rahman, Itang Yunaz, Anne Rufaidah, Ramli. Yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang ialah bahwa penggagas pertama festival ini ternyata Joop Ave. Sejak masih menjadi kepala protokol Istana, sampai menjabat Direktur Jenderal Pariwisata, setiap tahun ia selalu membicarakan gagasannya dengan Pirous. "Jadi, sudah sejak 15 tahun lalu gagasan ini dilontarkan. Joop adalah pencinta seni, bahkan dia pengagum kesenian yang bernapaskan Islam," ujar Pirous. Festival ini memang berusaha memperlihatkan "potret" Indonesia yang selama ini terbenam. "Akar dari apa yang disebut Indonesia sekarang ini ialah pikiran dan budaya Islam. Jadi, festival ini merupakan upaya menemukan jati diri bangsa Indonesia. Karena itu, muslim atau nonmuslim bukan persoalan lagi. Yang kita ungkapkan ialah: "Inilah napas Indonesia," katanya. Apa dan bagaimana kesenian Islam itu? Selama ini "wakil kesenian Islam" -- yang boleh dikatakan sudah dianggap baku -- antara lain kaligrafi ayat suci Quran, arsitektur Timur Tengah, atau kesenian rakyat yang berangkat dari kultur atau tradisi Islam. Dalam festival ini, adakah sesuatu yang baru yang muncul sebagai "kesenian Islam"? Batasan kesenian Islam memang sulit dirumuskan. Namun, setidaknya orang boleh berharap bisa lebih mudah mengenalinya. Secara sederhana Pirous menjelaskan bagaimana dahulu para wali memperkenalkan Islam kepada rakyat. "Antara lain dengan seni wayang. Padahal, tradisi menggambar untuk sebagian kaum muslimin dilarang. Tapi di sini ada kaligrafi ayat suci Quran yang menggambarkan tokoh Semar. Ini kan menunjukkan toleransi bangsa yang luar biasa. Nah, beginilah antara lain kesenian Islam," katanya. Begitu pula misalnya tikar yang dianyam oleh muslimah dari pedalaman Aceh, Kalimantan, dan Cirebon, digunakan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sajadah, tempat anak-anak lahir, sampai upacara menikah pun tikar beragam hias khas Islam itu dipakai. Ketika ada orang meninggal, tikar itu pun jadi kain kafannya. "Jadi, saya mengklaim, tikar ini adalah seni kerajinan hasil karya kaum muslimin," kata Pirous lagi. Menurut pelukis yang karya-karyanya menampilkan kaligrafi ayat-ayat suci Quran itu, seni Islam ialah karya yang dihasilkan masyarakat muslim, lahir dari pikiran dan budaya Islam, yang mengungkapkan keagungan Allah, yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kesenian Islam ternyata juga mampu melebur perbedaan etnis. "Aceh, Padang, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Ternate, jadi satu, karena Islam," tambahnya. Budiman S. Hartoyo dan Siti Nurbaiti.
https://majalah.tempo.co/read/15501/upaya-menemukan-jati-diri?read=true
== Andalus ==
SEPOTONG JEJAK MUSLIM AL-ANDALUS
Edisi : 16 November 2018
KAUM muslim pernah berjaya di Al-Andalus, hampir seluruh Semenanjung Iberia, pada Abad Pertengahan.
iSepotong Jejak Muslim Al-Andalus
Pusat kekuasaannya, Cordoba—kini di Andalusia, Spanyol—menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan ekonomi global. Namun Islam musnah seiring dengan kekalahan serdadu muslim oleh pasukan Castilla dan Aragon pada masa Reconquista. Tapi banyak peninggalan masih tersisa. Misalnya sentuhan arsitektur Islam atau Moor pada berbagai bangunan, dari istana hingga gereja, yang kini selalu riuh oleh pelancong. Di antaranya Alhambra di Granada dan Masjid Katedral di Cordoba, juga sejumlah bangunan di Toledo.
Namun, sejak diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan Spanyol menjadi negara demokrasi, Islam kembali tumbuh. Akhir Agustus lalu, wartawan Tempo, Purwani Diyah Prabandari, menyusuri sepotong jejak kejayaan bangsa Moor tersebut di Spanyol dan menengok geliat komunitas muslim barunya.
JARUM jam mendekati tanda pukul 11 siang. Satu demi satu orang berdatangan dan berkerumun di depan bangunan di pinggir terminal di Sevilla, Spanyol, pada akhir Agustus lalu. Pintu gerbang dengan tulisan “Fundacion Mezquita de Sevilla” (Yayasan Masjid Sevilla) di atasnya masih tertutup rapat.
Setelah pintu dibuka, mereka menuju ruangan yang cukup luas di lantai dua. Ada partisi kayu berornamen yang membagi ruangan menjadi dua, yakni untuk jemaah perempuan dan jemaah laki-laki. Orang makin banyak berdatangan. Sejumlah perempuan mengenakan jilbab biasa. Ada pula yang berkerudung model turban, yang biasa dikenakan muslimah di Spanyol. Adapun di antara jemaah pria ada yang berkemeja, berkaus, dan satu orang mengenakan hem batik.
“Setiap Ahad kami mengaji,” kata seorang perempuan yang hadir awal pada hari itu.
Menjelang siang, mereka memang mendaras Al-Quran bersama-sama, tepatnya surat-surat pendek di pengujung kitab suci. Kebanyakan sudah hafal tanpa perlu menyimak Al-Quran atau lembaran-lembaran yang berisi surat yang dibaca. Awalnya saya sulit mengikuti mereka. Cara mendaras mereka begitu asing di telinga, dengan pemutusan bacaan ayat yang berbeda dengan cara membaca Quran yang saya pelajari di Indonesia. Setelah beberapa lama dengan saksama memelototi lembaran-lembaran surat pendek yang saya pegang, barulah saya bisa mengikuti.
Umat muslim melaksanakan Salat Idul Adha di Cerro del Aceituna, San Miguel Alto, Granada, Agustus lalu. -Ernest Hemingway Photo Collection
“Setelah mengaji, kami biasanya kumpul-kumpul santai,” ujar Aisha, seorang anggota jemaah.
Memang, acara pada Ahad menjelang siang itu, selain mengaji bersama, adalah kumpul-kumpul layaknya pertemuan keluarga besar. Banyak yang hadir membawa serta semua anggota keluarga, dari orang tua, orang dewasa, remaja, hingga anak-anak. Terlihat hubungan yang sangat dekat. Siang itu, beberapa orang memberikan kado kepada seorang bocah perempuan. “Dia berulang tahun,” tutur Fatima Azzahra Zamorano Garcia. Mereka potluck-an membawa camilan dan minuman yang dinikmati sembari mengobrol santai.
Tapi, siang itu, ada acara tambahan yang digelar di “musala” terbesar di ibu kota kawasan otonomi Andalusia tersebut. Begitu selesai mendaras Quran, para lelaki terlihat merangsek membuat kerumunan yang lebih kecil. “Ada yang mengucapkan syahadat,” seorang anggota jemaah perempuan memberi tahu saya dari jarak agak jauh. Partisi yang berdiri berornamen bolong-bolong sehingga jemaah perempuan juga bisa melihatnya.
Tak lama kemudian, jemaah mengucapkan takbir bersama: “Allahu akbar.” Takbir tersebut menutup acara pembacaan syahadat, dan para pria pun menyalami sang mualaf yang baru saja mendeklarasikan diri menjadi muslim.
Presiden Yayasan Masjid Sevilla Ibrahim Hernandez menyatakan hampir setiap satu atau dua pekan ada orang yang mengucapkan syahadat di musala yang dikelola organisasinya itu. “Perkembangan umat Islam cukup pesat di sini,” ujarnya.
Menurut Ibrahim, sekarang terdapat sekitar 2 juta muslim di Spanyol. “Jadi sekitar 4 persen dari total populasi Spanyol.” Data ini diperkuat Barbara Hayat Ruiz-Bejarano, Direktur Hubungan Internasional Institut Halal Spanyol. “Sekitar 40 persen memegang paspor Spanyol,” katanya saat ditemui di Jakarta, dua pekan lalu.
Ruiz-Bejarano menambahkan, saat ini lebih dari 1.100 organisasi Islam terdaftar di Kementerian Kehakiman Spanyol.
LEBIH dari 360 tahun Spanyol “sunyi” dari komunitas muslim. Hanya di dua kota yang berada di Afrika Islam tetap hidup, yakni di Melilla dan Ceuta. “Keduanya sangat dekat dengan Maroko,” ucap Raul Merchan, Atase Perdagangan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, dua pekan lalu.
Masjid Agung Granada. -JFK Library
Padahal pada Abad Pertengahan kaum muslim berjaya di Al-Andalus, hampir seluruh kawasan di Semenanjung Iberia yang meliputi Spanyol, Portugal, dan sebagian kecil Prancis. Cordoba, yang menjadi pusat kekuasaan muslim, dikenal sebagai pusat budaya dan pengetahuan, juga ekonomi global, pada masanya.
Kejayaan di Iberia tersebut bermula pada 711, saat pasukan Berber atau Moro (Moor) dan Arab di bawah Tariq Ibnu Ziyad mulai menancapkan kekuasaan di kawasan ini. Meski dinasti penguasa berganti-ganti, kelompok muslim berkuasa di Al-Andalus selama 781 tahun hingga satu per satu daerah kekuasaan mereka jatuh ke tangan pasukan kerajaan-kerajaan Katolik, yang dikenal dengan masa Penaklukan Kembali (Reconquista). Pada 1081, Toledo jatuh, disusul Cordoba pada 1236 dan Sevilla pada 1248. Pada 1492, “benteng” terakhir, Granada, runtuh. Emir Granada, Abu Abdullah Muhammad XII, menyerahkan kekuasaan kepada Ratu Isabella I dari Castile dan Raja Ferdinand II dari Aragon.
Awalnya, dengan adanya Traktat Granada, penduduk muslim masih bisa tinggal di kawasan Semenanjung Iberia. “Populasi muslim di bawah penguasa Nasrani 5-30 persen, tergantung daerahnya,” kata Barbara Hayat Ruiz-Bejarano. “Tapi, pada 1525, semua orang muslim dipaksa dibaptis dan menerima Katolik.” Masjid-masjid pun dialihfungsikan menjadi gereja.
“Bau Islam” makin terkikis saat dilakukan pengusiran terhadap warga muslim yang sudah menjadi Katolik, yang dikenal sebagai Morisco (kripto-muslim). Sebelumnya, terjadi beberapa kali ketegangan lantaran mereka dipaksa mengikuti segala budaya Nasrani. Pada 1609, Raja Philip III mengeluarkan kebijakan pengusiran Morisco. Pada 1614, pengusiran berakhir. Muslim pun punah di sana, meski masih banyak peninggalan bertahan. “Misalnya makanan, bahasa, siesta (budaya tidur siang sebentar),” tutur Ibrahim Hernandez. Tentu juga gaya arsitektur bangunan.
Masjid Agung Granada. -JFK Library
Baru setelah diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan Spanyol menapaki langkah transisi menuju demokrasi, komunitas muslim kembali tumbuh. “Setelah ada Konstitusi 1978, Islam menjadi legal,” ucap Ruiz-Bejarano.
Pada 1978, pemerintah Spanyol mengeluarkan konstitusi baru yang melindungi kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Negara juga dinyatakan non-confessional, bukan lagi negara agama. “Perubahan ini memicu pengenalan kembali Islam,” ujar Ruiz-Bejarano.
Sebelumnya, Spanyol adalah negara Katolik dan sangat kanan. Franco memimpin negeri yang pernah sangat terkenal dengan matadornya ini menggunakan otoritarianisme. Saat itu, kata Raul Merchan, “Spanyol negeri yang menutup diri.”
Pada 5 Juli 1980, Madrid melahirkan Undang-Undang Kebebasan Beragama yang kian menguatkan perkembangan penganut agama-agama non-Katolik, terutama Islam. Pada tahun ini juga tercatat untuk pertama kalinya sekelompok muslim bersembahyang bersama secara terbuka di Mirador de San Nicolas, yang berjarak satu bangunan dari Masjid Agung Granada kini. “Mereka orang asli Skotlandia dan penganut tarekat sufi,” ujar Ruiz-Bejarano.
Bahkan, pada 1992, pemerintah menandatangani kesepakatan khusus dengan Komisi Islam Spanyol guna menjamin dukungan pemerintah terhadap kebebasan warga muslim menjalankan ajaran agama dan memiliki hak membangun masjid. Kesepakatan juga dijalin dengan komunitas evangelis dan Yahudi.
Menurut Ibrahim Hernandez, setelah ambruknya pemerintahan Franco, terjadi semacam revolusi, termasuk revolusi spiritual karena tadinya semua “dipaksa” memeluk Katolik. “Orang mencari jawaban dan banyak yang menemukannya dalam Islam,” katanya. “Karena itu, banyak orang yang kemudian memeluk Islam, sekitar akhir 1970-an dan awal 1980-an.” Tapi ternyata hal itu berlanjut hingga sekarang.
Musala Yayasan Masjid Sevilla, misalnya, banyak menerima orang yang bersyahadat. Hernandez sendiri adalah generasi kedua penduduk muslim Spanyol. Ayahnya yang pertama kali memeluk Islam dalam keluarganya. Istri Hernandez, Aisha, juga mualaf. Demikian pula Fatima Azzahra Zamorano Garcia, yang baru setahun memeluk Islam, dan suaminya.
Ruiz-Bejarano pun baru menjadi muslim pada 2002. Di masjid tempat dia aktif di Valencia, tercatat rata-rata 100 orang bersyahadat setiap tahun. Di berbagai musala atau masjid di Spanyol, para mualaf gampang ditemui. Misalnya saat saya mengunjungi Masjid Tauhid di Cordoba, yang lokasinya hanya sekitar 200 meter dari Mezquita-Cathedral (Masjid Katedral). Aisha Barnabeu mengisahkan kemuslimannya yang baru berumur beberapa bulan. “Saya merasa lebih damai dan tenang,” ucap perempuan 44 tahun ini. Jawaban yang hampir sama dinyatakan beberapa mualaf yang saya temui, seperti Fatima Azzahra.
Musala Yayasan Masjid Sevilla. -Ernest Hemingway Photo Collection
Siang itu, pada akhir Agustus lalu, di masjid yang letaknya tersembunyi di gang kecil dan terlihat seperti gang buntu bila dilihat dari ujung gang yang penuh dengan restoran dan toko cendera mata, Aisha Barnabeu berdiskusi tentang agama dengan Housna Mekhelef dan Wafa Chahbounia. “Saya sedang belajar mengenakan jilbab,” katanya.
Ruiz-Bejarano menambahkan, penduduk muslim kembali mendapat momentum tumbuh pesat setelah tragedi 11 September 2001, yang merobohkan World Trade Center di New York, Amerika Serikat. “Tragedi 11 September memicu ketertarikan pada Islam,” tuturnya.
Meski demikian, populasi muslim di Spanyol tetap tidak didominasi mualaf, terutama mualaf Spanyol. Sebanyak 60 persen muslim bukan warga negara Spanyol. Adapun dari 40 persen dari sekitar 2 juta muslim berpaspor Spanyol, menurut Ruiz-Bejarano, hanya 10 persen yang merupakan mualaf Spanyol atau mualaf Inggris yang lama tinggal di Spanyol.
Muslim pendatang, yang sudah berkewarganegaraan Spanyol ataupun warga asing, kebanyakan berasal dari Maroko dan Aljazair. Lainnya datang dari berbagai negara, di antaranya Somalia, Sudan, dan Pakistan. Wafa Chahbounia dan Housna Mekhelef, yang saya temui di Masjid Tauhid di Cordoba, berasal dari Maroko dan Aljazair.
Di Masjid Agung Granada, saya juga berbincang dengan penjaga masjid, Latif Thomson, yang keluarganya bermigrasi dari Inggris, dan Zeshaan Karim asal India. “Kami pindah ke sini saat saya masih kecil,” ujar Thomson, yang kini berusia 20 tahun.
Tak mengherankan, musala dan masjid pun terus tumbuh. Menurut Ruiz-Bejarano, jumlahnya lebih dari 450. Bahkan beberapa media menyebutkan lebih dari 1.000. “Tapi yang besar hanya beberapa, seperti di Granada dan Madrid. Kebanyakan kecil seperti garasi,” ucapnya.
Ibrahim Hernandez juga menjelaskan bahwa kebanyakan musala adalah ruangan yang disewa komunitas muslim untuk beraktivitas, terutama sembahyang Jumat bersama yang merupakan kewajiban bagi pria. “Masjid Agung Granada satu-satunya masjid besar yang dibangun di tanah wakaf,” katanya.
Komunitas muslim Sevilla, menurut Hernandez, sedang dalam proses membangun masjid. Dia dan kawan-kawannya telah beberapa kali datang ke Indonesia untuk mensosialisasi rencana pembangunan itu sekaligus berupaya mengumpulkan dana. “Baju batik yang bapak itu kenakan oleh-oleh yang saya beli waktu ke Indonesia,” tuturnya sembari menunjuk satu-satunya orang yang mengenakan baju batik siang itu.
MESKI relatif tak mendapat banyak ancaman yang membuat surut nyali, bukan berarti kaum muslim Spanyol tak menghadapi tantangan. Misalnya dalam pembangunan masjid seperti yang diinginkan. “Membangun masjid sulit, tapi mendirikan musala tidak begitu sulit,” Hernandez menerangkan.
Dalam pembangunan musala, yang penting adalah menjaga kebersihan dan hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Sedangkan pendirian masjid sudah susah sejak proses mendapatkan tanah. Selain itu, ”Sulit mengumpulkan dana yang cukup, juga mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar dan pemerintah,” ujar Hernandez. “Masjid Granada butuh waktu 25 tahun,” Latif Thomson menjelaskan lebih detail masalah pembangunan Masjid Agung Granada, yang dari halamannya pengunjung bisa menikmati Alhambra dan Pegunungan Sierra Nevada. Dalam pembangunan masjid, menurut Thomson, pengurus menghadapi berbagai masalah, dari urusan izin bangunan hingga soal ketinggian minaret. “Masyarakat pun awalnya menentang,” kata pria yang kadang bertugas menjaga masjid Granada ini. Tapi, akhirnya, masjid berdiri dengan minaret rendah.
Acara pensyahadatan muslim baru di musala Yayasan Masjid Sevilla. -JFK Library
Pandangan “miring” terhadap Islam alias islamofobia juga masih dihadapi muslim di negeri yang dulu dikenal dengan acara adu bantengnya ini. Apalagi dalam kondisi sekarang, ketika berkali-kali serangan teror dilakukan orang Islam di beberapa negara di Eropa. Di Spanyol, terjadi serangan di Madrid pada 2004 dan di Barcelona serta Cambrils pada 2017. Selain itu, belakangan, marak pengungsi dari Timur Tengah ke kawasan Eropa. “Setelah serangan di Barcelona, ada grafiti di sini,” kata Hernandez.
Beberapa mualaf mengisahkan berondongan pertanyaan kurang menyenangkan yang mereka terima. “Misalnya ’Kamu sekarang jadi radikal?’, ’Kamu jadi muslim karena suami?’,” ujar Fatima Azzahra.
Muslim perempuan yang mengenakan jilbab tak jarang sulit mendapatkan pekerjaan. “Saya sedang dalam proses menjadi polisi. Saya ingin berjuang untuk bisa menjadi polisi dengan tetap mengenakan jilbab,” ucap Azzahra.
Menurut Ibrahim Hernandez, kehidupan minoritas muslim di mana pun di dunia tidak mudah akibat cap teroris belakangan ini. Jadi, ia melanjutkan, tantangan bagi muslim adalah mengubah persepsi masyarakat luas terhadap Islam dan muslim. “Saya percaya bahwa yang mesti kami lakukan bukan sembunyi atau menyatakan kami bukan ini, bukan itu. Tapi, sebaliknya, kami menunjukkan kepada orang-orang siapa kami dengan aktif dan bersih.”
Karena itulah, Hernandez menambahkan, masyarakat muslim Sevilla ingin membangun masjid. “Dengan begitu, ada tempat terbuka untuk menunjukkan siapa kami dan aktivitas kami. Semoga ini bisa mengubah persepsi terhadap Islam.”
MONUMEN-MONUMEN MASJID
Edisi : 16 November 2018
Spanyol banyak menyimpan dan merawat warisan peradaban Islam saat muslim berkuasa di Al-Andalus.
iMonumen-Monumen Masjid
PRIA yang selalu berjaga di meja resepsionis Hotel Hospederia Luis de Gongora di Cordoba itu memberikan peta dan menjelaskan arah menuju Mezquita-Cathedral (Masjid Katedral). Tak jauh, hanya sekitar 800 meter. Namun jalanan kecil seperti gang-gang yang berkelok-kelok, tidak bersistem blok, memang membuat orang gampang tersasar. “Masjidnya ya di dalam katedral itu,” ujarnya. Dengan ramah dia menjelaskan bangunan yang menjadi salah satu tujuan utama pelancong di Kota Cordoba, Andalusia, Spanyol, tersebut.
Memang aneh. Masjid dan katedral bersatu dalam satu bangunan anggun dengan gaya arsitektur campuran Moorish, Gothic, Renaissance, dan Baroque. Bahkan warga yang akan mengikuti misa biasa mengatakan akan pergi bersembahyang di masjid. Pagi itu, pintu masuk Masjid Katedral terbuka lebar. “Boleh masuk,” kata petugas di pintu masjid. Ternyata, saat pagi, Masjid Katedral dibuka sebentar untuk umum tanpa tiket masuk alias gratis. Bila masuk pada pukul 10.00, pengunjung sudah kena tiket wajib seharga 10 euro.
Masjid Katedral Cordoba merupakan salah satu peninggalan kejayaan kaum muslim di Spanyol dan sekitarnya di Semenanjung Iberia yang tercatat di daftar situs warisan dunia UNESCO. Kota Cordoba, yang dulu menjadi salah satu pusat sains, ekonomi, dan budaya dunia pada masa muslim berkuasa, pun tercatat sebagai pusat sejarah versi UNESCO.
Interior Masjid Katedral Cordoba. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
“Kami menghargai warisan Islam, termasuk semua infrastruktur yang dibuat. Mereka sangat maju pada waktu itu,” tutur Atase Perdagangan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, Raul Merchan, dua pekan lalu.
Masjid Katedral awalnya sebuah kuil dewa Romawi, Janus, yang kemudian diubah menjadi gereja saat Visigoth menguasai Cordoba pada 572. Ketika muslim, dimulai dengan Dinasti Umayyah yang kabur dari Damaskus, mulai berkuasa pada 711, tempat ibadah ini digunakan bersama oleh kaum muslim dan Katolik. Namun, pada 784-786, Emir Abdul al-Rahman I membeli bagian gereja dan menghancurkan seluruh bangunan, yang kemudian dibangun lagi menjadi masjid baru. Masjid ini diperluas beberapa kali pada abad ke-9-10.
Pada 1236, pada masa Penaklukan Kembali (Reconquista), saat pasukan Katolik mulai merebut kawasan-kawasan muslim, masjid dialihfungsikan menjadi gereja Katolik Roma. Pada abad ke-16, Raja Carlos I menambah katedral Renaissance di dalamnya. Perubahan-perubahan fisik dilakukan, meski masih tersisa sebagian kecil seperti mihrab dan minaret, yang sekarang menjadi menara lonceng. Juga beberapa tulisan Arab dan gaya arsitektur di sebagian bangunan.
EKSPRESI kekaguman pasti terpancar dari muka para pengunjung begitu memasuki Masjid Katedral. Di pinggir ruangan, berjajar kapel-kapel terbuka dengan patung-patung dan ornamen khas Katolik yang ditutup dengan jeruji sehingga pengunjung tak bisa masuk. Di tengah, jajaran pilar keramik, granit, oniks, dan jasper berjumlah 856 (dari aslinya 1.293) yang begitu teratur langsung mengundang mata untuk mencoba menghitungnya. Satu, dua, tiga… sepuluh sampai tak sanggup lagi. Di bagian atasnya, menambah elok, lengkungan-lengkungan tapal kuda Moorish dengan sentuhan warna merah dan putih.
Di tengah ruangan penuh pilar tersebut terlihat gaya Renaissance. Altar tinggi khas Renaissance, atap Gothic, mimbar Baroque, serta tembok Renaissance ditandai dengan Salib Utara dan Salib Selatan harmonis dengan lengkungan-lengkungan gaya Islam.
Beberapa orang duduk diam di barisan kursi yang ada, berdoa atau sekadar menikmati keindahan bangunan dalam sunyi. Meski ada banyak orang, kebanyakan menikmati bangunan dengan diam atau berbicara pelan. Melangkah pun seolah-olah begitu berhati-hati, takut mengganggu. Masjid Katedral yang juga dikenal dengan nama Our Lady of the Assumption Cathedral ini memang masih berfungsi sebagai tempat ibadah umat Katolik. Misa pun rutin diadakan.
Melangkah ke sisi bagian belakang, terlihat pagar membatasi sebagian ruangan. Rupanya, inilah bekas masjid yang masih jelas. Di tembok ini terdapat mihrab dengan arsitektur dan ornamen khas Islam. Mihrab ini memiliki bentuk lengkung tapal kuda di atasnya dan dihiasi kaca bening dengan latar belakang keemasan yang membentuk seperti pita kaligrafi bermotif vegetasi.
Memandang atas, tampak kubah yang tak kalah eloknya. Warna keemasan dan kaligrafi ayat Al-Quran juga mewarnainya. Tak seperti di bagian gereja yang masih digunakan untuk misa, di bagian ini orang tidak boleh melaksanakan salat. Uniknya, mihrab tersebut tidak menghadap ke tenggara, ke Mekah, tapi ke selatan, seperti masjid-masjid di Damaskus—asal Dinasti Umayyah, yang mengawali kekuasaan muslim di Al-Andalus.
Eksterior masjid pun tak sepi dari jejak Moorish. Selain tembok-tembok luar yang ramai dengan warna arsitektur bangsa Moor dan kaligrafi Arab, di halaman dalam masjid terdapat kebun dengan pohon jeruk dan air mancur khas Moor yang dikenal sebagai Patio de los Naranjos. Di pojok depan kiri, berdiri megah menara lonceng setinggi 93 meter yang dulu minaret masjid.
Masjid Cordoba bukan satu-satunya masjid peninggalan bangsa Moor yang kemudian menjadi gereja setelah masa Reconquista atau perang perebutan kembali kekuasaan oleh pasukan Katolik. Menyusuri kota-kota di Spanyol yang dulu bagian dari Al-Andalus, kita masih bisa menemukan kisah-kisah masjid yang begitu marak pada Abad Pertengahan. Ada yang tinggal reruntuhan, ada yang telah menjadi gereja dan tanpa bekas masjid lagi, tapi tak sedikit yang menjadi gereja tapi dengan potongan-potongan arsitektur atau ornamen khas Islam yang terawat.
Di Cordoba, diperkirakan dulu terdapat 300-an masjid dan berarsitektur “tinggi” khas Islam saat kota ini menjadi salah satu kota terbesar di dunia. Keadaan tersebut membuat Cordoba setara dengan Konstantinopel, Damaskus, dan Bagdad. Namun yang tersisa jejak fisiknya tak banyak. Adapun Granada, juga di Andalusia, diperkirakan pernah memiliki 137 masjid dan bangunan lain. Di Toledo, sekitar 72 kilometer dari Madrid (ibu kota Spanyol), hanya tinggal beberapa bangunan bekas masjid yang masih terawat potongan-potongan sisa masjidnya. Kota kecil ini penuh dengan peninggalan yang menunjukkan umat Islam, Katolik, dan Yahudi hidup damai bersama. Pada arsitektur setiap bangunan tempat ibadah juga selalu bercampur gaya Islam, Nasrani, dan Yahudi atau salah satu dari keduanya.
Di Mezquita-Iglesia de El Salvador dan Cristo de la Luz contohnya. Cristo de la Luz, yang tadinya bernama Mezquita Bab-al-Mardun, dibangun pada 999 di dekat gerbang Kota Toledo. Pada 1186, masjid itu diganti fungsinya menjadi kapel. Tembok kiblat dan mihrab diubah.
Memasuki Cristo de la Luz, kita langsung disambut pilar-pilar dengan lengkungan tapal kuda yang mengingatkan pada Masjid Katedral Cordoba. Di sebelah kiri, patung Yesus atau Isa Almasih tegak di atas. Beberapa tulisan kaligrafi Arab masih terlihat di dinding dan lengkungan tapal kuda.
Adapun di Sevilla, ibu kota Andalusia, kita bisa menemukan jejak masjid di Catedral de Santa Maria de la Sede atau biasa disebut Katedral Sevilla. Katedral ini bekas masjid yang menjadi gereja pada 1248, tapi runtuh akibat gempa pada 1365. Pada 1401, didirikan bangunan katedral baru. Bekas bagian masjid yang masih tegak berdiri adalah minaret, yang sekarang menjadi menara lonceng gereja yang dikenal sebagai Menara La Giralda. Namun di beberapa bagian katedral juga tetap terawat sebagian kecil sisa masjid lain, seperti tulisan kaligrafi Arab di pintu keluarnya. Seperti Masjid Katedral di Cordoba, katedral ini masuk daftar situs warisan dunia UNESCO, bersama beberapa bangunan lain di Sevilla, di antaranya kompleks Alcazar di sebelahnya yang juga penuh “warna Moorish”.
Sisa kaligrafi islam di Cristo de la Luz, Toledo. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
Tak mengherankan, banyak pelancong muslim ikut meriuhkan pariwisata di Spanyol. Menurut Raul Merchan, total pelancong di Spanyol tahun lalu sekitar 82 juta. “Penduduk Spanyol sendiri 47 juta,” katanya, sembari menambahkan bahwa di negerinya terdapat 45 situs warisan dunia.
Menyaksikan potongan-potongan peninggalan kejayaan Islam, pengunjung muslim kadang spontan ingin melaksanakan salat, terutama di Masjid Katedral Cordoba. Pada 2010, pernah ada pengunjung yang salat di bagian “masjid”. Petugas keamanan langsung menariknya.
Ada pula sekelompok muslim Spanyol yang meminta izin kepada otoritas gereja di Spanyol dan Vatikan agar muslim bisa bersembahyang di Masjid Katedral. Namun permintaan itu ditolak. Selain itu, ada upaya dari komunitas gabungan muslim dan sekuler agar bagian masjid lebih difungsikan sebagai monumen. “Kami tidak menginginkan bangunannya (kembali menjadi masjid), tapi bangunan tersebut lebih untuk publik,” kata Barbara Hayat Ruiz-Bejarano, Direktur Hubungan Internasional Institut Halal Spanyol.
Yang pasti, memang banyak penduduk muslim Spanyol yang tidak ingin berupaya membuat bekas masjid itu kembali menjadi masjid. “Itu bukan lagi milik kita,” ucap Presiden Yayasan Masjid Sevilla Ibrahim Hernandez.
https://majalah.tempo.co/read/156580/monumen-monumen-masjid?read=true
|