Elpidius van Duijnhoven: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 11:
Elpidius masuk ke seminari menengah pada tanggal 7 September 1925 di umur 19 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan [[Filsafat|filasafat]] dan [[teologi]], dia ditahbiskan menjadi [[Pastor|Imam]] pada tanggal 11 Maret 1933 di umur 27 tahun.<ref>''Ibid''</ref>
== Misi di Sumatra Utara ==
Tujuh tahun setelah Pater Elpidius menerima tahbisan imam, Pemerintah [[Hindia Belanda]]<nowiki/>mencabut larangan masuknya misi Katolik di Tanah Batak. [[Matthias Leonardus Trudo Brans|Mgr. Matthias Leonardus Trudo Brans]] segera mencari imam muda asal Belanda yang akan diutus sebagai misionaris ke Hindia Belanda. Pater Elpidius mendaftarkan dirinya sebagai misionaris untuk Hindia Belanda bersama kedua rekannya, Pater Nicodemus dan Pater Jan De Wit. Pater Nicodemus dan Pater Jan De Wit ditugaskan ke pulau [[Kalimantan]], sedangkan Pater Elpidius ditugaskan ke pulau [[Sumatra]].
* '''Era Penjajahan Belanda'''▼
Pater Elpidius menaiki kapal ''Johan De'' [[Amsterdam]] menuju [[Batavia]]. Ada dua misionaris lain yang ikut bersama Pater Elpidius dalam kapal itu, Pater Walterus Derksen dan Pater Odilo Wap. Pater Elpidius tiba di [[Pelabuhan Belawan|Belawan]] pada 16 Februari 1934 dan setelahnya ditempatkan di Pematangsiantar.<ref>Bdk. Saragih Simon, ''Elpidius...''hlm.6</ref> Di Pematangsiantar, Pater Elpidius mendapat pelajaran bahasa Batak dari Pater Aurelius Kerkers dan seorang katekis Batak bernama Kenan Mase Hutabarat.
Pater Elpidius awalnya ditempatkan di distrik Sirpang Opat, Pematangsiantar. Di sana ada pastoran Kapusin yang dipindahkan ke Jalan Sibolga, Pematangsiantar pada tahun 1929. Pater Elpidius memilih pindah ke Sabah Dua karena ingin lebih dekat dengan masyarakat Simalungun daripada dengan pemerintah kolonial.
Dari Sabah Dua, Pater Elpidius mulai mewartakan Injil sampai ke [[Panei Tongah, Panei, Simalungun|Panei Tongah]] dan [[Pematang Raya, Raya, Simalungun|Pematang Raya]]. Di Pematang Raya, Pater Elpidius kurang diterima karena daerah itu sudah terlebih dahulu menjadi basis [[Gereja Kristen Protestan Simalungun|GKPS]]. Pater Elpidius tetap melanjutkan penginjilan hingga ke [[Saribu Dolok, Silimakuta, Simalungun|Saribudolok]] dan ke arah utara sampai ke [[Kabanjahe, Karo|Kabanjahe]] dan [[Kabupaten Aceh Tenggara|Lau Bekung, Aceh Tenggara]].<ref>Bdk. ''Saragih Simon, Elpidius...''hlm.7-8</ref>
Di Aceh Tenggara, Pater Elpidius berkenalan dengan Petrus Datubara (kelak Ompung Flora Datubara), yang kemudian akan menjadi [[katekis]] untuk membantu Pater Elpidius. Petrus Datubara juga adalah ayah kandung dari [[Alfred Gonti Pius Datubara]], yang kemudian akan menjadi [[Keuskupan Agung Medan|Uskup Agung Medan]] kedua dan Uskup Agung Medan pertama dari kalangan pribumi.
Pater Elpidius memilih menetap di Simpang Haranggaol dan memindahkan pastoran ke [[Saribu Dolok, Silimakuta, Simalungun|Saribudolok]].
* '''Era Pendudukan Jepang'''
Masuknya tentara Jepang ke Indonesia berkat kemenangan dalam [[perang pasifik]], menimbulkan pergolakan di sejumlah wilayah Indonesia. Sumatra Utara terseret dalam pusaran perang karena perwakilan pemerintah Belanda di Sumatra Utara menolak takluk kepada Jepang dan memilih medan perang sebagai arena mempertahankan kekuasaan.<ref name="univpgri-palembang.ac.id">Lih. Riclefs M.C., ''A History of Modern Indonesia c. 1200''. Dimuat dalam http://www.univpgri-palembang.ac.id/perpus-fkip/Perpustakaan/History/Sejarah%20Indonesia%20Modern%201200.pdf{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}, diakses 5 Maret 2015</ref> Perang tersebut merenggut banyak nyawa, termasuk warga sipil. Elpidius tetap menjalankan pelayanannya di tengah kecamuk perang tersebut, memimpin ibadah penguburan para korban perang. Dalam menjalankan tugasnya, Elpidius beberapa kali berhadapan dengan ancaman bahaya seperti dihadang, bahkan disandera tentara Jepang dan dihentikan perampok dalam perjalanan dari daerah misi, namun dia selalu tegar dan tak pernah ragu menjalankan tugas demi sesama dan untuk melayani Tuhan.<ref>Saragih Simon, ''Elpidius...''hlm. 15, 17-19</ref>
* '''Era Kemerdekaan'''
Kekalahan Jepang dalam perang dunia II, membuka jalan dan titik terang bagi rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Namun kemerdekaan itu tidak serta merta mebawa kenyaman dan kesejahteraan hidup masyarakat. Pergolakan-pergolakan kecil terjadi di sejumlah daerah dan pusat (Jakarta). Kemudian sebuah prahara nasional melanda negeri ini, yang kemudian kita kenal dengan istilah [[G-30- S-PKI]].<ref name="univpgri-palembang.ac.id"/> Gerakan anti PKI merebak dengan cepat ke seluruh pelosok negeri, diikuti tindakan-tindakan represif bahkan brutal. Penindasan dan pembunuhan marak terjadi dengan slogan “membersihkan antek-antek PKI”.
Elpidius dalam tugas pewartaannya turut merasakan imbas dari situasi tersebut. Dia sempat dicurigai oleh Tentara sebagai bagian dari PKI karena medoakan arwah para korban G30SPKI. Dia sempat diintrogasi oleh Kodam setempat.<ref>Saragih Simon, ''Elpidius...''hlm. 23-24</ref> Pada sisi lain, kesibukannya semakin meningkat karena jumlah umat berkembang pesat terutama karena banyak orang yang sebelumnya tidak beragama berlomba-lomba menginisiasikan diri dengan sebuah agama untuk menghindari cap PKI. Elpidius mengerahkan segenap tenaga untuk melayani umat, bukan hanya dalam bidang kerohanian, tetapi juga membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan, membantu orang sakit dan meningkatkan pendidikan.
== Oppung Dolok ==
|