Budaya Rejang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
|||
Baris 15:
Suku Rejang mengenal hukum denda dan hukum mati.{{butuh rujukan}} Semakin berat tindak kejahatan, semakin besar denda yang dibebankan kepada pelaku kejahatan tersebut. Jika tidak terampuni lagi, suku Rejang memberlakukan hukuman mati. Si pelaku dibunuh sesuai ketetapan yang disepakati bersama oleh kaum bangsawan Rejang. Namun, hukum ini tidak berlaku lagi setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berpedoman kepada hukum yang berlaku di Indonesia berdasarkan perundang-undangan yang disahkan keberadaannya.
==
Setelah Inggris secara resmi menyerahkan pemerintahan di Bengkulu kepada Belanda pada 6 April 1825, nasib masyarakat Bengkulu dan daerah pesisir tetap menderita di bawah belenggu kolonial. Kondisi itu berbeda dengan masyarakat Rejang di daerah pedalaman atau pegunungan yang tidak pernah mengalami penjajahan hingga tahun 1860.{{butuh rujukan}} Keberuntungan itu dikarenakan letak daerah Rejang yang jauh di pedalaman dan dikelilingi bukit barisan serta hutan rimba yang masih sangat belantara. Sebelum Belanda menyambangi Tanah Pat Petulai, peradaban masyarakat Rejang sudah lebih maju dibandingkan dengan masyarakat lainnya.{{butuh rujukan}} Hal ini dibuktikan dalam masyarakat Rejang telah memiliki pemerintahan masyarakatnya sendiri yang terdiri dari 5 orang ''tuwi kutei''. ''Kutei'' merupakan suatu masyarakat hukum adat asli yang berdiri dan geneologis terdiri dari sekurang-kurangnya 10 hingga 15 keluarga atau rumah, sedangkan ''tuwi kutei'' merupakan kepala ''kutei'' yang dipilih berdasarkan garis keturunan pendiri petulai (kesatuan kekeluargaan masyarakat Rejang yang asli).{{butuh rujukan}}
|