Budaya Rejang adalah budaya yang dianut oleh masyarakat Rejang di Tanah Rejang yang meliputi lima kabupaten di Bengkulu, yakni Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Kepahiang, Lebong, dan Rejang Lebong; serta Kabupaten Musi Rawas Utara di Sumatera Selatan.

Suku Rejang menempati Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar kedua di Provinsi Bengkulu, suku ini adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan kultur masyarakat Rejang yang mudah menerima pendapat di luar tradisi dan kebudayaan mereka, dan ini membuat kelompok etnis ini relatif cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan kemajuan kehidupan modern. Hal ini menggambarkan bahwa sejak zaman dahulu suku Rejang memiliki adat-istiadat yang bersumber dari adat-istiadat suku-suku perantauan yang menetap di wilayah mereka.[butuh rujukan] Karena suku Rejang sudah banyak menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain-lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai pegawai negeri, pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang memiliki kehormatan menurut masyarakat modern pada era sekarang ini. Mereka sudah banyak meninggal adat-istiadat yang tidak efektif lagi sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan. Mereka lebih mementingkan ilmu pengetahuan modern berupa aturan hukum yang berlaku di Indonesia yang sah sebagai pedoman mereka menjalani kehidupan.[butuh rujukan]

Sistem kekerabatan

sunting

Hubungan kekerabatan suku Rejang adalah patrilineal. Mereka mengenal sistem kesatuan sosial yang bersifat teritorial genealogis (persekutuan hukum berdasarkan keturunan dan tempat kelahiran) yang disebut mego (marga).[butuh rujukan]

Penggolongan pertama masyarakat Rejang pada zaman dahulu terdiri dari golongan bangsawan (raja-raja dan kepala marga). Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut tuwi kutei, dan golongan ketiga disebut golongan tun dewyo atau orang biasa.[butuh rujukan] Golongan yang dihormati adalah para pedito (rohaniawan) yang biasanya memiliki kemampuan supranatural.[butuh rujukan]

Sistem kepercayaan

sunting

Sebelum masuknya Islam, suku Rejang penganut animisme dan dinamisme. Dalam bukunya karya Antonie Cabaton, orang Rejang dalam jangka waktu tertentu memberi persembahan berupa beras dan buah-buahan pada gunung Kaba yang dimuliakan mereka. Memasuki abad ke-16, Islam mulai masuk dan diperkenalkan di Bengkulu oleh pendatang dari Banten, Aceh, dan Minangkabau yang berniaga ke daerah tersebut. Kemudian memperluas pengaruhnya ke wilayah Rejang. Termasuk bangsa dari Eropa dengan Kristenisasi juga menyebarkan doktrinnya kepada suku Rejang.

Suku Rejang mengenal hukum denda dan hukum mati.[butuh rujukan] Semakin berat tindak kejahatan, semakin besar denda yang dibebankan kepada pelaku kejahatan tersebut. Jika tidak terampuni lagi, suku Rejang memberlakukan hukuman mati. Si pelaku dibunuh sesuai ketetapan yang disepakati bersama oleh kaum bangsawan Rejang. Namun, hukum ini tidak berlaku lagi setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berpedoman kepada hukum yang berlaku di Indonesia berdasarkan perundang-undangan yang disahkan keberadaannya.

Peradaban

sunting

Setelah Inggris secara resmi menyerahkan pemerintahan di Bengkulu kepada Belanda pada 6 April 1825, nasib masyarakat Bengkulu dan daerah pesisir tetap menderita di bawah belenggu kolonial. Kondisi itu berbeda dengan masyarakat Rejang di daerah pedalaman atau pegunungan yang tidak pernah mengalami penjajahan hingga tahun 1860.[butuh rujukan] Keberuntungan itu dikarenakan letak daerah Rejang yang jauh di pedalaman dan dikelilingi bukit barisan serta hutan rimba yang masih sangat belantara. Sebelum Belanda menyambangi Tanah Pat Petulai, peradaban masyarakat Rejang sudah lebih maju dibandingkan dengan masyarakat lainnya.[butuh rujukan] Hal ini dibuktikan dalam masyarakat Rejang telah memiliki pemerintahan masyarakatnya sendiri yang terdiri dari 5 orang tuwi kutei. Kutei merupakan suatu masyarakat hukum adat asli yang berdiri dan geneologis terdiri dari sekurang-kurangnya 10 hingga 15 keluarga atau rumah, sedangkan tuwi kutei merupakan kepala kutei yang dipilih berdasarkan garis keturunan pendiri petulai (kesatuan kekeluargaan masyarakat Rejang yang asli).[butuh rujukan]

Dengan adanya sistem petulai tersebut, menandakan masyarakat Rejang sudah memiliki hukum adat yang dipatuhi oleh pendukungnya. Peradaban yang maju pada masyarakat Rejang juga ditandai bahwa suku Rejang telah memiliki aksara sendiri sebagai alat penyampai informasi, yakni aksara kaganga. Hingga saat ini, masyarakat Rejang yang asli masih memiliki peradaban yang menjunjung harga diri. Sering terjadinya kerusakan peradaban dalam masyarakat Rejang karena banyak penduduk di daerah Rejang yang mampu berbahasa Rejang, namun secara silsilah keturunan mereka bukanlah masyarakat Rejang yang asli (garis keturunan bukan patrilineal). Hal ini menjadi fenomena yang mencoreng citra suku Rejang.

Pernikahan

sunting

Suku Rejang memiliki tiga jenis kesepakatan dalam penikahan:

  • Semendo: Pihak laki-laki selaku suami hidup di keluarga pihak perempuan selaku istri setelah pernikahan disahkan. Pihak laki-laki tersebut berkewajiban menafkahi istri dan menuruti perintah dari keluarga perempuan dalam menjalani kehidupan selama dalam ikatan pernikahan.
  • Beleket: Pihak laki-laki memiliki wewenang penuh dalam mengatur urusan rumah tangganya tanpa ada turut campur dari keluarga pihak perempuan setelah disahkan pernikahan. Biasanya, adat pernikahan ini berlaku jika pihak laki-laki selaku suami memenuhi segala kesepakatan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan oleh keluarga pihak perempuan supaya dapat memperistri si perempuan. Kesepakatan yang biasa diterapkan kaum bangsawan yang menikahi kaum rakyat jelata.
  • Semendo rajo-rajo: Kesepakatan yang membebaskan pihak laki-laki dan pihak perempuan selaku suami dan istri untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginan mereka masing-masing untuk memilih di lingkungan keluarga mana yang diinginkan tanpa terikat aturan dari pihak keluarga mana pun. Pernikahan jenis ini biasa terjadi di antara orang-orang dengan status sosial yang setara, biasanya juga diterapkan dalam kehidupan kaum bangsawan Rejang.

Setelah datangnya pengaruh Islam, adat pernikahan ini telah digantikan dengan syarat dan ketentuan Islam yang tercipta dari ijab kabul. Walaupun demikian tiga jenis kesepakatan adat tersebut diberlakukan dalam kehidupan yang sebenarnya.

Dalam kehidupan modern yang berpedoman dengan perundang-undangan pernikahan yang berlaku di Republik Indonesia. Masyarakat Rejang sekarang mengikuti hukum yang berlaku tentang syarat sah suatu ikatan pernikahan sesuai aturan yang berlaku tanpa banyak mengikuti aturan yang tidak penting dan dibuat-buat yang menambah kerumitan menjalani kehidupan.

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting