Media di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Janne halim (bicara | kontrib)
Janne halim (bicara | kontrib)
Baris 56:
 
== Kebabasan media ==
Sejak adanya transisi menuju [[demokrasi media]], mulailah bermunculan ribuan media [[publikasi]] cetak, stasiun radio dan televisi baru yang memiliki izin atau lisensi di seluruh negeri<ref>Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )</ref>. Ribuan media tersebut memiliki izin publikasi dan penyiaran, baik bersifat lokal, regional, maupun nasional. Pemerintah bahkan tidak dapat mencabut izin publikasi dan penyiaran beragam media tersebut hanya karena apa yang mereka tulis dan siarkan<ref>Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )</ref>. [[Presiden]] [[Abdurrahman Wahid]] juga membuat kebijakan yang berdampak pada melemahnya kemampuan pemerintah untuk mengendalikan media. Pada masa awal pemerintahannya, beliau menghapuskan [[Departemen Penerangan]] yang menjadi momok bagi para insan [[pers]] pada masa jaman orde baru<ref>http://news.detik.com/berita/502415/kekang-kebebasan-pers-gus-dur-minta-depkominfo-dihapus</ref>. Badan atau lembaga sensor, seperti halnya [[Badan Sensor Film Indonesia]] dan [[Lembaga Sensor Film]] tetap beroprasi, hanya saja pembatasan yang mereka lakukan hanya sebatas pada pengawasan dan pengaturan “moralitas publik”, seperti halnya seksualitas, dan tidak membatasi hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan [[politik]]<ref>Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )</ref>. Namun, Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] mengaktifkan kembali Departement Penerangan pada saat beliau berkuasa<ref>http://news.liputan6.com/read/17404/sutjipto-pemerintah-akan-menghidupkan-kembali-deppen</ref>. Hal ini memberikan dampak yang cukup buruk, karena dengan tidak adanya represi yang signifikan dari pemerintah, individu swasta dapat mengajukan tuntutan hukum kepada pengawas atau penanggung jawab media<ref>Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )</ref>. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang melibatkan pengusaha swasta [[Tomy Winata]], yang menggugat kepada pemimpin redaksi [[Tempo]], [http://Bambang%20Harymurti [Bambang Harymurti]]. Berdasarkan tuntutan tersebut, Harymurti dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama satu tahun penjara<ref>http://news.detik.com/berita/209071/pemred-tempo-bambang-harymurti--dijatuhi-1-tahun-penjara</ref>.