Galang Bagus Satria
Bergabung 11 September 2017
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 46:
# [[Perpustakaan Bayern]]
# ''[[Bildungsroman]]''
Tes latihan footnotes dan referensi
3. Idea sebagai dunia idea bisa diatribusikan pada kontribusi neo-Platonis atau tradisi pemikiran Platonis Tengah (abad satu SM-tiga M) yang mengembangkan penafsiran eklektis dari karya Platon dalam spekulasi metafisis hakikat dan struktur dunia. Namun tergagasnya konsep dunia idea tidak lain bersumber dari karya Platon sendiri, dan dapat dijelaskan lewat cabang perkembangan pemahaman Platon atas Idea. Seperti Platon, neo-Platonis seperti Plotinus juga memahami dunia dalam dua jenis kenyataan: ranah ‘Being’ yang berisi Forma abadi dan tak berubah, dan ranah ‘Becoming’ yang berisi objek pengalaman inderawi sehari-hari yang selalu berubah-ubah. Platon membuat distingsi atas objek kenyataan: objek sensibel di ranah Kemenjadian dan objek intelijibel di ranah Ada. Plotinus membuat distingsi dalam skema kenyataannya yang disebut ‘hypostases’ atau tatanan kenyataan yang ditingkat dalam hirarki, membagi dunia menjadi dua garis besar jenis: dunia intelijibel yang terdiri atas tingkat kenyataan Yang-Satu, Ada, Jiwa, dan dunia sensibel yang terdiri atas tingkat kenyataan organisme, tubuh, benda-benda. Tetapi, distingsi Platon pertama-tama adalah separasi objek secara epistemologis di mana pembedaan objek menjadi intelijibel dan sensibel tidak mesti meniscayakan adanya eksistensi Idea sebagai objek intelijibel yang terpisah dari objek sensibel. Idea bisa saja ditemukan pada objek yang sama, dan distingsi Platon lebih berkenaan dengan cara akses yang membedakan dua kualitas objek: yang sensibel dipersepsi lewat indera tubuh, sementara Idea-nya dipahami lewat akal; memahami Idea hanya mungkin menggunakan akal daripada indera tubuh. Memang, Platon sempat tertarik melakukan separasi ontologis Idea, tetapi pasca dialog Parmenides, dapat terlihat bila Platon memiliki keraguan dengan makna Idea tersebut. Namun persis inilah yang diteruskan neo-Platonis seperti Plotinus, mempertahankan apabila Idea yang menjadi prinsip hal partikular mesti terpisah dari hal partikular, menciptakan separasi ontologis yang terwujud dalam hypostases-nya antara Idea dan hal sensibel. Plotinus juga menyetujui asumsi Aristoteles bila Ada dan kesatuan koekstensif, dan menggunakannya untuk menjelaskan bila Idea yang lebih ‘satu’ lebih riil daripada hal sensibel, sebab Idea yang satu memiliki cara berada swadaya dan mampu merealisasikan dirinya sendiri daripada hal sensibel yang membutuhkan prinsip secara eksternal agar eksis. Maka, bagi Plotinus terdapatlah Idea dalam tingkat dunianya sendiri yang eksis lewat dirinya sendiri, menghasilkan dualisme dunia antara eksisten yang intelijibel dan yang sensibel. Konsepsi ini kemudian memengaruhi teologi Kristen dan bertahan hingga baru-baru saja diketahui bila gagasan dunia Idea ini adalah tafsir kreatif neo-Platonis atas teks-teks Platon.
Idea Platon sendiri agak sulit ditentukan sebab Platon sendiri tidak secara eksplisit mengemukakan secara positif dan sistematis bagaimana hakikat Idea tersebut. Meski begitu, ide dasar Platon atas Idea tetap ada. Pertama, Platon memahami adanya dunia sensibel yang ditandai dengan perubahan kontinyu sesuai doktrin Herakleitos. Kedua, bila pengetahuan apapun dapat dimungkinkan, mesti ada suatu hal yang tetap dan tidak berubah. Hal stabil inilah yang Platon sebut Idea, dan pokok dari Idea adalah soal definisi suatu aspek kenyataan yang mesti tetap dan tidak berubah. Mencari Idea dari sesuatu berarti menjelaskan apa yang menjadikan Idea itu Idea, dan menjelaskan Idea dalam definisi yang benar berarti menjelaskannya dalam definisi yang membuat definisi Idea itu berlaku dalam kondisi apapun. Sebagai contoh, Idea tentang manusia tidak bisa didefinisikan pada sifat hidupnya sebab matinya manusia membuat definisi Idea manusia yang bersifat hidup berkontradiksi dengan perubahan manusia menjadi tidak-hidup. Sifat sensibel dari manusia inilah yang dihindari Platon kalau mau menjelaskan Idea manusia di mana Idea manusia mesti dibersihkan dari yang sensibel menuju sifat abstrak, stabil, dan universal bagi tiap manusia. Maka intelijibilitas definisi yang demikian diutamakan, dan penting, sebab secara praktis bila tidak ada definisi yang tetap, maka tidak ada dasar pengetahuan tentang objek yang benar, dan tidak ada pula kepastian wacana tentang apa yang bisa dikatakan pada hal-hal di ranah sensibel yang wujudnya bermacam-macam bilamana ia bersifat ini atau itu, berdefinisi ini atau tidak.
|