Foto jurnalistik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 152:
“Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”. <ref name=":2" />
== Dinamika
Di Indonesia, Fotografi diperkirakan masuk pada tahun 1841 oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di Batavia<ref name=":0" />. Setelah itu muncul seorang tokoh pribumi bernama Kassian Cephas yang dilansir sebagai fotografi pribumi pertama Indonesia dengan foto pertama yang diidentifikasi pada tahun 1875. Sejak abad ke-19, foto jurnalistik telah dikenal di tanah air melalui foto dokumenter sebagai akar dari foto jurnalistik. Pada masa penjajahan Belanda terdapat seorang juru foto bernama H.M. Neeb yang terkenal. Neeb berhasil menjadi fotografer dokumenter perang Aceh pada tahun 1904. Tanpa kehadiran Neeb, sejarah perang Aceh tidak bisa disaksikan dan kenang. Sejak itu foto jurnalistik semakin berkembang di Indonesia. Sejarah foto jurnalistik Indonesia bermuara dari [[Lembaga Kantor Berita Nasional Antara|kantor berita Domei]], [[Asia Raja|surat kabar Asia Raya]] dan [[Indonesia Press Photo Service|agensi foto Indonesia Press Photo Service]] (IPPHOS) Fotografer bertugas untuk merekam situasi politik saat itu untuk kantor berita milik Jepang. Saat inilah pergerakan foto jurnalistik bermula. Pada tanggal 2 Oktober 1946, didirikan ''Indonesia Press Photo Service'' (IPPHOS). Foto-foto yang dihasilkan oleh fotografer disana mengalami penerimaan. Terbukti dengan adanya sebuah foto fenomenal karya Frans Mendur dengan judul Imaji Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebelum tahun 1980, seorang jurnalis fotografi sangat berat dalam mengerjakan tugasnya<ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=UipRDwAAQBAJ&pg=PA8&lpg=PA8&dq=masa+depan+foto+jurnalistik+dalam+atok+sugiarto&source=bl&ots=Pe8gg1xTau&sig=ybu4zu5wbE7LZlq_gQAgkfaJ0d4&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjS_NWMpd_dAhUD2o8KHalbCMwQ6AEwCXoECAgQAQ#v=onepage&q=masa%20depan%20foto%20jurnalistik%20dalam%20atok%20sugiarto&f=false|title=Jurnalisme Pejalan Kaki: Kiat Membuat Foto untuk Laporan|last=Sugiarto|first=Atok|date=2014-04-06|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=9786020236803|language=id}}</ref>. Wartawan foto harus membawa seperangkat peralatan fotografi serta film jenis lembaran untuk menghasilkan reportase foto. Seiring berjalannya waktu, muncul kamera dengan ukuran 135mm dengan jenis
Sekitar abad 21 keadaan berubah, dimana jurnalis dimanjakan dengan kamera digital (''digital camera''). Pengambilan gambar cenderung lebih mudah, pewarta foto pun tak perlu membawa perangkat yang berat-berat. Hanya dengan satu kamera, dapat mengambil gambar maupun video. Data digital yang telah ada tak perlu melakukan proses pencucian dan cetak terlebih dulu. Proses mengirimnya pun semakin mudah dan murah dengan adanya internet. Foto akan tiba hanya dalam hitungan menit.
Baris 159:
Pewarta foto mengamati dan mengambil gambar sesuai dengan kejadian atau peristiwa pada saat itu, sehingga mereka harus fokus dan selalu siap untuk menangkap objeknya. Demikian, gambar akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi serta dapat memantik respon emosional dari khalayak. Khalayak pun menjadi lebih tertarik dengan informasi-informasi yang dilengkapi dengan foto. Pasalnya, berita narasi memerlukan waktu yang lebih lama melalui proses membaca dan penalaran, sedangkan berita foto langsung mengundang respon dari khalayak.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=c4kcBO2awv0C&pg=PA3&dq=perkembangan+foto+jurnalistik&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjXgpnal9_dAhVOT30KHW2FD6kQ6AEIOjAC#v=onepage&q=perkembangan%20foto%20jurnalistik&f=false|title=Paparazzi: memahami fotografi kewartawanan|last=Sugiarto|first=Atok|date=2005|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9789792217391|language=id}}</ref> Meski demikian, keduanya akan saling melengkapi dalam proses penyajian berita sehingga penyampaian informasi akan semakin jelas. Hal ini yang menjadikan media cetak mensejajarkan antara wartawan tulis dan wartawan foto.
Kemajuan teknologi tidak sepenuhnya memberikan kemudahan yang bersifat positif. Rekan-rekan pewarta foto dapat mengubah gambar sesuai dengan keinginannya agar dapat terlihat bagus, indah, dan sebagainya hanya dengan menggunakan program
Perkembangan pewarta foto di Indonesia sendiri banyak menghasilkan generasi yang memperoleh penghargaan-penghargaan di dalam negeri hinggap mencapai kancah dunia. Meski banyak yang belajar dari otodidak, mereka terus tekun belajar dari buku dan jurnalis fotografi senior. Berikut beberapa nama pewarta foto yang namanya sudah melalang buana.
# '''Kartono Ryadi''' atau erat sapaannya dengan KR lahir di Pekalongan, 30 Juni 1945 digadang-gadang sebagai pendobrak jurnalistik fotografi Indonesia<ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=C_3YxRGYSRIC&pg=PA216&dq=fotografer+jurnalistik+pertama+di+Indonesia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiFlcrd3_DdAhVUfCsKHcfwAjsQ6AEIQDAD#v=onepage&q&f=false|title=Fotobiografi Kartono Ryadi: pendobrak fotografi jurnalistik Indonesia modern|last=Sugiarto|first=Atok|date=2011|publisher=Penerbit Buku Kompas|isbn=9789797095970|language=id}}</ref>. Mengawali karir sebagai foto jurnalistik otodidak di majalah Express, lalu Harian Kompas pada tahun 1970. Produk foto yang dihasilkan sangat erat kaitannya dengan rasa pada momen yang sensasional, olahraga, dan sisi kemanusiaan ''(human interest).'' Hasil foto bukan hanya dilihat dari momennya saja, tetapi juga kaidah keindahan fotografinya seperti sisi pengambilan (''angle''), aturan cahaya (''lighting''), dan cetakan (''printing''). Banyak penghargaan pun dicapai oleh KR, diantaranya World Press Photo 1974 (mengambil gambar Pangeran Benhard dengan orangutan) dan pada tahun 1986 (mengambil gambar ikan pesut melahirkan di Ancol). Bagi KR, foto yang menurutnya paling monumental adalah mengambil gambar kemenangan Susi Susanti yang mendapatkan medali emas untuk bulu tangkis tunggal putri di Olimpiade Barcelona 1992. Foto tersebut juga mendapat pujian dari rekan-rekannya yang kerap dijuluki “air mata emas”.
# '''Atok Sugiarto''' lahir di Magelang 18 Juni 1962 mengawali karir di tahun 90an sebagai kontributor naskah fotografi Majalah Fotomedia Jakarta lalu di tahun 2000-2005 menjadi penulis fotografi di Koran Suara Pembaharuan Minggu. Kini perannya bukan hanya mengambil gambar, tetapi juga membagikan ilmunya terkait dengan fotografi jurnalistik. Ia mendapatkan lebih dari 50 penghargaan, beberapa diantaranya adalah ''Sport Photo Holland'' 1987, ''Best of Sport Journalism
# '''Oscar Motuloh''' lahir pada tanggal 19 Agustus 1959 mengawali karir sebagai reporter di Kantor Berita Antara di tahun 1988, yang kemudian tahu 1990 masuk dalam divisi pemberitaan foto Kantor Berita Antara sebagai pewarta foto<ref>{{Cite news|url=http://wartakota.tribunnews.com/2015/09/23/oscar-motuloh-raih-penghargaan-kebudayaan-2015|title=Oscar Motuloh Raih Penghargaan Kebudayaan 2015 - Warta Kota|date=2015-09-23|newspaper=Warta Kota|language=id-ID|access-date=2018-10-08}}</ref>. Karirnya terus menanjak hingga sempat menjadi Direktur Eksekutif Galeri Foto Jurnalistik Antara. Ia juga turut aktif sebagai salah satu pendiri organisasi resmi dan berbadan hukum yakni Pewarta Foto Indonesia (PWI). Berbagai penghargaan pun tak luput diterimanya, salah satunya Penghargaan Kebudayaan 2015 sebagai Pelopor Fotografi Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oscar juga termasuk dalam 30 Fotografer paling Berpengaruh di Asia versi ''Invisible Photographer Asia''.
# '''Adek Berry''' dengan nama lengkap Lestri Berry Wijaya lahir di Curup, Bengkulu pada tanggal 14 September 1971 sempat mengambil Pendidikan kedokteran gigi, namun dirasa kurang cocok dengan dirinya, sehingga pindah mengambil pertanian<ref>{{Cite news|url=https://beritagar.id/artikel/figur/adek-berry-perempuan-pengabadi-peristiwa|title=Adek Berry, Perempuan pengabadi peristiwa|last=Tobing|first=Sorta|date=2018-02-09|newspaper=https://beritagar.id/|language=en-ID|access-date=2018-10-08}}</ref>. Ketekunannya mengenai jurnalis dan fotografi sudah terlihat dari SMP. Sebelum resmi dinyatakan lulus dari perguruan tinggi, Ia mencari pekerjaan dan berhasil mendapatkan posisi sebagai reporter di Majalah Tiras. Setahun kemudian, Berry mendapatkan posisi yang diinginkannya menjadi pewarta foto di Majalah Tajuk. Saat Majalah Tajuk gulung tikar, Adek Berry mendapat tawaran untuk bekerja di Kantor Berita Prancis (''Agences-France Presse'' atau AFP) sebagai jurnalis foto.<ref>{{Cite news|url=https://www.liputan6.com/health/read/3194346/kisah-adek-berry-jurnalis-foto-yang-liput-konflik-di-afghanistan|title=Kisah Adek Berry, Jurnalis Foto yang Liput Konflik di Afghanistan|last=Liputan6.com|newspaper=liputan6.com|access-date=2018-10-08}}</ref> Ia menekuni jurnalis foto khususnya dalam bidang bencana alam dan konflik. Bencana alam di Indonesia selalu diabadikannya seperti tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta, serta berbagai kecelakaan pesawat. Adek Berry juga sudah biasa meliput konflik dalam maupun luar negeri, diantaranya kerusuhan 1998, kerusuhan Ambon 1999, dan meliput perang Afghanistan. Pengalaman Adek Berry membawanya mendapat berbagai macam penghargaan seperti NPPA (''The National Press Photographers Association'') dan ''Life
== Bacaan tambahan ==
|