Karun Atakore: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 4:
 
== Nama ==
'''''Karun''''', kawasan panas bumi yang terletak di luar kampung Watuwawer, desa [[Atakore, Atadei, Lembata|Atakore]], [[Kecamatan|kecamatan Atadei]], kabupaten [[Lembata]] - [[Nusa Tenggara Timur|NTT]]<ref name=":2">{{Cite web|url=httphttps://lembatakablifestyle.gokompas.com/read/2011/04/26/13202441/tenun.ikat.lamaholot.yang.bernilai.adat.id|title=Festifal Tiga Gunung di Lembatatenun.ikat.lamaholot.yang.bernilai.adat|last=Kia Burin|first=KarolusDini|date=01 Mei 201826/04/2011|website=KabupatenTenun LembataIkat Lamaholot yang Bernilai Adat|publisher=Dinas Kominfo LembataLifestyle.Kompas.com|access-date=1230/03/2019}}</ref>. Kawah gunung berapi itu difungsikan oleh penduduk seperti dapur untuk memasak makanan, sehingga disebut juga dapur alam. Nama karun berasal dari nama isteri kepala kampung Mudagedo yang bernama Kara, nama itu diabadikan untuk nama kawasan panas bumi yang ada di tempat itu. Kara nama orang bergeser menjadi kegiatan memasak makanan dalam perut bumi dengan proses ditaruh di dalam lubang lalu ditutup menggunakan rumput dan dedaunan. Proses itu disebut ''<nowiki/>'tarung'<nowiki/>'' proses dari perbuatan menaruh di dalam lubang, Sedangkan bahan makanan yang telah matang dinamakan ''narung''. Misalnya [[Ketela pohon|singkong]] yang sudah dimasak di karun, disebut ''hure narungei''. Begitu juga untuk bahan [[makanan]] yang lain, nama bahan disebutkan lalu disusul kata ''<nowiki/>'narung''' sebagai prose yang menjadikannya [[matang]],<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.indonesia-investments.com/id|title=Energi Panas Bumi|last=InvstmensInvestmens|first=Indonesia|date=8 Maret 2019|website=Energi Panas Bumi|publisher=KSDM|access-date=12/3/2019}}</ref>
 
== Legenda Mudagedo ==
Nama isteri kepala kampung yang lalu diabadikan menjadi nama kawah gunung berapi, berawal dari kisah terjadinya bencana yang menghancurkan dan memusnahkan [[Kampong Wisata Temenggungan|kampung Mudagedo]] serta sebagian besar penduduk. Kampung Mudagedo bertetangga dengan [[Lewopulo, Witihama, Flores Timur|Lewopuho]], kampung paling dekat di sebelah timur, dan kampung [[Kabupaten Lembata|Waiwejak]] yang letaknya agak jauh ke barat. Ketiga kampung yang berdampingan itu penduduknya hidup rukun <ref name=":2" />.
 
Pada suatu waktu terjadi kesepakatan untuk mengadakan [[Kesenian|''tandak'']] atau [[Kesenian tradisional|hamang]] bersama-sama pada malam hari. Kampung Mudagedo yang berada di tengah antara ketiga kampung itu, menjadi tempat penyelenggaraan hiburan itu. Karena [[Kesenian tradisional|kesenian tandak]] atau [[Kesenian|hamang]] merupakan kesenian yang istimewa dan sesewaktu baru diadakan, maka diharapkan semua peserta yang turut dalam pertunjukan wajib mengenakan [[Pakaian Adat Suku Nias|pakaian adat]] serta aksesoris [[perhiasan]], seperti [[gelang]], [[kalung]], [[Manik-manik|rame]], dan giwang atau [[anting-anting]] bagi wanita. Sedangkan laki-laki mengenakan topi berupa kain selempang yang diikat di kepala atau perhiasan kepada dari daun kelapa muda yang dihiasi dengan bulu ayam .
 
Pada malam itu sebagian orang dari [[Kabupaten Lembata|Waiwejak]] dan Lewopuho sudah berdatangan bergabung dengan sebagian wara Mudagedo di [[Lapangan sepak bola|lapangan]] kampung. Suasana lembah yang sejuk di kaki bukit itu menjadi ramai oleh nyanyian [[Kesenian tradisional|tandak/hamang]] diiringi hentakan kaki berirama dan bunyi [[Kendhang|gendang]] serta [[Giring-Giring, Biduk-Biduk, Berau|giring-giring]]. Ibu Kara, isteri bapak Nuba kepala kampung juga menghias diri untuk tejun dalam kemeriahan malam itu dengan penerangan ''[[Damar|damir]]''.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.greeners.co|title=flora-fauna|last=R. Megumi|first=Sarah|date=21 April 2017|website=tanaman-jarak-biofuel-gagal-berkembang|publisher=Greeners.co|access-date=12/3/2017}}</ref>