John Rawls: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 62:
Dalam ''[[Liberalisme Politik|Political Liberalism]]'' (1993), Rawls beralih ke pertanyaan legitimasi politik dalam konteks ketidaksepakatan filosofis, agama, dan moral yang tajam di antara warga negara mengenai kebaikan manusia. Ketidaksepakatan seperti itu, menurutnya, masuk akal – hasil dari penggunaan rasionalitas manusia secara bebas dalam kondisi terbuka dan berdasarakan hati nurani yang bebas dalam negara demokrasi. Pertanyaan tentang legitimasi dalam menghadapi ketidaksepakatan ini sangat mendesak bagi Rawls karena justifikasi tentang Keadilan sebagai Kewajaran bersandar pada [[Immanuel Kant|konsepsi Kantian]] tentang kebaikan manusia yang dapat ditolak secara wajar oleh orang-orang yang tidak mengikuti pandangan Kant. Jika konsepsi politik yang ditawarkan dalam ''A Theory of Justice'' hanya dapat dijustifikasi dengan menerapkan konsepsi yang mungkin kontroversial tentang kebaikan manusia, maka hal ini masih belum jelas bagaimana sebuah negara liberal yang tertata itu bisa mempunyai legitimasi.
 
Bagi Rawls, intuisi yang menjiwai isu ini sebenarnya tidak berbeda dengan gagasan dalam ''A Theory of Justice'', yaitu bahwa hukum fundamental suatu masyarakat hanya boleh bersandar pada prinsip, argumen, dan alasan yang tidak dapat ditolak secara wajar oleh warga negara yang hidupnya akan dipertaruhkan, dibatasi oleh batasan sosial, hukum, dan politiknya. Dengan kata lain, legitimasi suatu hukum bergantung pada justifikasi yang tidak mungkin ditolak secara wajar. Perspektif ini mengambil bentuk baru ketika Rawls menyadari bahwa penerapannya harus meluas ke pemberian justifikasi mengenai konsep Keadilan sebagai Kewajaran itu sendiri, yang telah ia sajikan dalam konsepsi (Kantian), yang mana dapat ditolak karena manusia diakui sebagai subjectagen moral yang otonom.
 
Inti dari Political Liberalism, karenanya, adalah bahwa untuk mempertahankan legitimasinya, negara liberal harus berkomitmen pada "alasan publik yang ideal." Ini secara kasar berarti bahwa warga negara dalam kapasitas publik mereka harus melibatkan diri hanya dengan menggunakan alasan yang dimengerti satu sama lain. Dengan demikian, penalaran politik dilakukan dengan murni dengan menggunakan "alasan publik", bukan berdasarkan alasan berdasarkan doktrin komprenhensif baik itu religius maupun sekuler.