Katu, Lore Tengah, Poso: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Emos80 (bicara | kontrib)
Emos80 (bicara | kontrib)
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis VisualEditor
Baris 82:
'''Mata Pencaharian'''
 
Penduduk Desa Katu mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani dan tergantung pada hasil hutan dengan menanam padi sawah, padi ladang, palawija, seperti: sayur-sayuran, jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, rica, tomat dan lain-lain, yang ditanam  untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan dijual ke pasar lokal. Selain itu, masyarakat mengusahakan kebun tanaman tahunan, seperti: kakao, kopi, kemiri, pisang, vanili dan buah-buahan (alpukat, nangka dan durian). Kebun tanaman tahunan kakao, vanili, durian dan kemiri masih baru ditanam sekitar tahun 2000.
Mayorititas penduduk Desa Katu memiliki mata pencaharian sebagai petani. Dimana hampir seluruh penduduknya menggarap tanah untuk tanaman tahunan dan musiman seperti jagung, kakao, vanili dan kopi termasuk padi sawah dan padi ladang. Selain menggarap tanah untuk lahan pertanian, penduduk setempat juga sering memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti getah damar dan rotan sebagai pekerjaan sampingan.
{| class="wikitable"
|+
Baris 111:
|5
|}
'''Pengelolaan Pertanian dan Perkebunan'''
 
* Kegiatan perladangan (''mohinoe'') sudah dilakukan turun temurun dengan berbagai jenis tanaman padi ladang. Setiap Orang Katu mempunyai pengetahuan dan tehnik m''ohinoe'', yang dilakukan secara turun temurun dan diwariskan, hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan tidak dijual. Luas lahan ''hinoe'' tidak mengalami pertambahan, bahkan Orang Katu tidak melakukan kegiatan ''mohinoe'' secara berkala sejak tahun 2010 dikarenakan perubahan iklim yang terjadi sepanjang tahun dan pengalihan kegiatan masyarakat pada kegiatan mengolah sawah (''mobonde''), pertanian palawija dan tanaman tahunan. Lahan-lahan ladang padi yang sudah ditumbuhi semak belukar (''holu'') dan menjadi hutan muda (''lopolehe'') biasanya dialihkan dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian palawija dan tanaman tahunan.
* Kegiatan pengolahan tanah untuk sawah (''mobonde'') mengalami peningkatan berarti dari segi luas lahan. Setiap kepala keluarga dan pemuda (utamanya laki-laki) di Desa Katu diharuskan untuk memiliki lahan persawahan. Diperkirakan luas lahan pertanian sawah di Katu yang secara intensif terus menerus dikelola sekitar 86 Hektar. Sistem pengelolaan masih campuran dengan menggunakan mesin traktor pengolah tanah dan tenaga manusia sejak pengolahan tanah hingga panen, terkadang menggunakan tenaga kerja sewa dan juga sistem ‘''palus''’ atau yang bisanya juga disebut ''"moparatei"'' gotong royong yang dikelola satu sampai dua kali dalam satu tahun. Hasil padi sawah digunakan untuk sumber pangan keluarga dan dijual. Harga lokal padi sawah sebesar Rp. 11.000 per kg.
* Kegiatan perkebunan tanaman tahunan di Katu mengalami peningkatan berarti. Setiap warga pemuda dan kepala keluarga diharuskan untuk memiliki lahan perkebunan dan tanaman tahunan. Lahan tanaman tahunan diperoleh dan bersumber dari lahan bekas ladang (''holu'') dan hutan bekas ladang. Diperkirakan luas lahan perkebunan tanaman tahunan sebanyak 150 hektar. Sistem pengelolaannya masih sederhana berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat, mulai dari pembukaan dan pemilihan lahan, penanaman, perawatan hingga pemanenan. Tanaman tahunan yang diprioritaskan adalah tanaman jangka panjang yang mempunyai nilai ekonomi, utamanya tanaman Cokelat atau Kakao. Tanaman jangka panjang yang sudah sejak lama ditanami masyarakat adalah tanaman Kopi. Tanaman jangka panjang lainnya adalah buah-buahan, seperti: rambutan, durian, jeruk, kelapa, nira dan lain-lain, serta tanaman pohon kemiri yang baru ditanam disekitar kebun. Hasil biji cokelat merupakan sumber pendapatan masyarakat saat ini. Pengolahan biji cokelat masih dilakukan dengan cara sederhana, mulai dari panen dan penjemuran dengan sinar matahari dan disimpan dalam karung plastik. Pemasaran biji cokelat hanya dilakukan pada pengumpul dan pembeli di dalam kampung.
* Kebun tanaman palawija dan campuran tumpang sari lainnya; kegiatan pada kebun palawija dimulai sejak pengolahan lahan ladang padi (''mohinoe'') dan jagung (go’a, bahasa lokal Katu). Lahan disekitar ''hinoe'' ditanami berbagai jenis tanaman sayur-sayuran, ubi-ubian, kacang-kacangan, cabai, tomat, daun bawang, pohon pisang, buah nanas, dan sebagainya. Luas lahan kebun palawija dan tanaman campuran lainnya tergantung pada luasnya ''hinoe'' dan intensitas pengelolahan lahan kebun palawija. Hasil kebun palawija dan tanaman campuran untuk pemenuhan kebutuhan makanan warga dan dijual. Tanaman palawija yang dijual dan menjadi perhatian masyarakat pada saat ini adalah jagung. Bahkan hasil tanaman jagung dapat mendongkrak pendapatan ekonomi keluarga di Katu sejak 2021.
 
'''Pengelolaan Hasil Hutan'''
 
Hasil Hutan Kayu; pengelolaan hasil hutan kayu hanya diperuntukkan untuk tujuan pemenuhan bahan untuk pembuatan rumah dan bangunan umum lainnya, peralatan rumah tangga, pembangunan jembatan dan pagar kebun, serta kayu bakar dari kayu kering yang telah roboh. Penduduk Katu memiliki komitmen, antara lain:
 
* Hasil hutan kayu tidak boleh diperjual belikan.
* Penebangan dan pengambilan kayu untuk bahan bangunan tidak boleh dilakukan sembarang tempat dan pinggiran daerah aliran sungai.
* Penduduk dari luar Katu tidak boleh mengambil dan menebang kayu di wilayah Katu.
 
Hasil Hutan Bukan Kayu; pengelolaan hasil hutan bukan kayu  bertujuan untuk dijual dan pemenuhan bahan keperluan rumah tangga dan kegiatan sehari-hari. Kegiatan masyarakat dalam pengelolaan hasil hutan bukan kayu, antara lain: pengambilan hasil rotan (''uwe''), bambu, damar, gaharu dan ramuan obat-obatan tradisional.
 
* Pengelolaan dan pengambilan hasil hutan rotan sudah dilakukan sejak lama dalam bentuk rotan basah dengan ukuran tertentu yang dijual kepada pengumpul dan pembeli di kampung Katu dan di Desa Rompo. Rotan diperoleh dari kawasan hutan disekitar kampung (''Lopolehe'', ''Lopontua'' dan ''Pandulu''). Pengambilan rotan pada tempat tertentu dilakukan secara teratur berpindah tempat dari tahun ke tahun, tidak terpusat pada sebuah kawasan tertentu. Pada tahun 2005, Pemerintah Desa Katu pernah merencanakan melakukan pemungutan uang untuk usaha hasil hutan rotan kepada setiap petani pengolah dan pengambil rotan sebagai penghasilan desa, dengan mempertimbangkan skala hasil dan waktu kegiatan mengambil rotan, berjumlah sebesar Rp. 10.000 per ton. Pungutan ini tidak pernah dilaksanakan dikarenakan kurangnya kegiatan masyarakat dalam pengambilan rotan.
* Pengambilan gaharu dan damar untuk tujuan dijual pernah dilakukan oleh warga Katu dan melibatkan orang luar untuk pencaharian gaharu, akan tetapi kegiatan ini sudah terhenti. Orang Katu tidak punya ketrampilan dalam mencari dan mengolah gaharu. Sedangkan pengambilan getah damar berkurang tidak diminati karena rendahnya harga dan pasar yang terbatas.
* Kesepakatan masyarakat Katu dalam pengelolaan hasil hutan kayu dan bukan kayu, antara lain:
 
# Pengelolaan gaharu tidak boleh lagi dilakukan karena hanya menguntungkan orang luar.
# Pengelolaan rotan mendapat pengawasan dari Lembaga Adat dan Pemerintah Desa Katu
# Tidak adanya kegiatan monitoring kesehatan dan kelestarian hutan sehingga tidak ada penilaian terhadap aktifitas masyarakat dan perubahan dan dampak lingkungan di wilayah Katu. Kegiatan ini pernah dilakukan dan kemudian tidak pernah dilakukan lagi. Karenanya diperlukan monitoring kembali dan evaluasi yang dilakukan enam bulan sekali dan setahun sekali, yang melibatkan masyarakat, taman nasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
# Menjalin koordinasi dan kerjasama dengan pihak taman nasional dan pihak luar lainnya dalam pengelolaan hutan.
# Ada komitmen masyarakat dan pemerintah desa untuk penegakan aturan dan sangsi, serta kewajiban dalam membayar dana untuk pendapatan desa.
# Ada wadah di desa yang berperan di dalam dan luar masyarakat untuk mengawasi pengelolaan hasil hutan dan penegakkan hukum. Masyarakat menolak keberadaan Lembaga Konservasi Desa (LKD) seperti yang ada di desa lainnya, yang dianggap tidak berpihak dan tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat.
# Pengambilan dan penebangan umbut rotan dan umbut enau (''mobaru dungka'') tidak diperbolehkan selama masa tertentu.
# Harus ada aturan yang jelas dalam pengelolaan hasil hutan dan ketegasan dalam pelaksanaan sangsi dan denda bagi warga Katu. Lembaga adat dan pemerintah desa.  
 
'''Tingkat Kemiskinan'''