Permesta

gerakan pemberontakan di Indonesia
Revisi sejak 30 Agustus 2016 10.59 oleh The Avisaurian (bicara | kontrib) (Campur tangan asing: Perbaikan kesalahan pengetikan)

Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia bagian timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur. Pemerintah pusat Republik Indonesia yang dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 kemudian menggunakan operasi-operasi militer untuk menghentikan gerakan-gerakan yang mengarah kepada kemerdekaan.

Permesta
‎Letnan Kolonel Ventje Sumual Saat Memproklamirkan Permesta
Letnan Kolonel Ventje Sumual Saat Memproklamirkan Permesta
Tanggal19581961
LokasiIndonesia Timur
Hasil Kemenangan Pasukan Koalisi.
Pihak terlibat
 Indonesia PERMESTA
Didukung oleh:
 Amerika Serikat
Tokoh dan pemimpin
Soekarno
Abdul Harris Nasution
Ventje Sumual
Alex Kawilarang

Latar Belakang

Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur menumbuhkan berbagai macam alasan. Utamanya bahwa kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan Sumatera Tengah waktu itu merasa bahwa kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana dalam gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan daerah regional lainnya.[1] Juga ada rasa kebencian terhadap kelompok suku Jawa, yang merupakan suku dengan jumlah terbanyak dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia yang baru saja terbentuk.[2] Efeknya konflik ini sedikit menyoal pikiran tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih menitikberatkan tentang pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil di Indonesia.[3]

Awal Gerakan

Pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Letkol.Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta. Gerakan ini meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur serta mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur. Ketika itu keadaan Indonesia sangat bahaya dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil oleh militer. Selain itu mereka juga membekukan segala aktivitas Partai Komunis Indonesia, serta menangkap kader-kader PKI. Keadaan semakin genting tatkala diadakan rapat di gedung Universitas Permesta yang membicarakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat.

Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario, Manado, dengan tokoh-tokoh politik, masyarakat, dan cendekiawan. Saat itu, Kapten Wim Najoan, Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera dan putusan agar dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia memberikan sebuah pernyataan, "Permesta di Sulutteng menyatakan solidaritas dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah Republik Iindonesia, Kabinet Djuanda."

Seketika pula para peserta rapat berdiri dan menyambutnya dengan pekik, "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup Somba!" Setelah itu rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan hubungan dengan pusat oleh tiga orang: Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan, dan kawan-kawan. Setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan degan Pemerintah Pusat, rapat dilanjutkan dan teks tersebut dibacakan kepada para hadirin. Respon peserta rapat sangat antusias, dengan ramai mereka mendengungkan pekik, "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!" Setelah itu Mayor Dolf Runturambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara-saudara setuju?" Serentak menjawab, "Setuju! Setuju!"

Kembali suasana yang sangat ramai dari para hadirin. Setelah rapat tersebut, Kolonel D. J. Somba selaku pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di Lapangan Sario, Manado. Ia membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang isinya: "Rakyat Sulawesi Utara dan Tengah termasuk militer, solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI."

Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan-kawannya, dari Angkatan Darat. Saat itu pula para pelajar, mahasiswa, pemuda, dan ex-KNIL mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan dalam Angkatan Perang Permesta. Bagi mereka yang telah mendaftar, langsung diberi latihan di Mapanget. Dalam hal ini pula keterlibatan Amerika Serikat benar-benar terlihat, dengan mendatangkan penasehat militernya.serta memberikan sejumlah bantuan berupa amunisi, mitraliur anti pesawat terbang, juga bantuan untuk memperkuat Angkatan Perang Revolusioner (AUREV).

Amerika Serikat juga mendatangkan sejumlah pesawat terbang, antara lain: pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu P-51 Mustang, Beachcraft, Consolidated PBY Catalina, dan pembom B-26 Invader. Di sisi lain juga Permesta membentuk suatu badan dan satuan kepolisian yaitu, pertama, Polisi Revolusioner. Kedua, Pasukan Wanita Permesta (PWP), dan ketiga Permesta Yard, yaitu sebuah badan intelejen.

Selain dari Amerika Serikat, Permesta juga mendapat bantuan dan dukungan dari sekutu pro Barat, seperti Taiwan, Korea Selatan, Filipina, serta Jepang. Dengan dukungan yang begitu besar, Permesta tidak pernah kehabisan perbekalan ketika bertempur. Sejumlah besar anggota Komando Pemuda Permesta wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta Komando Pemuda Permesta. Sebelumnya tugas mereka adalah untuk membantu pemerintah daerah guna mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah-daerah.

Pergolakan ini pun terus berlanjut dan semakin menuju terjadinya Perang Saudara. Ketika itu Republik Indonesia, yang baru berdiri kurang lebih 10 tahun setelah pengakuan kedaulatan, benar-benar berada di ujung tanduk. Keutuhan Negara Republik Indonesia sangat membahayakan terlebih saat itu di daerah lainnya juga muncul pemberontakan terhadap Pemerintah RI, yaitu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Republik Maluku Selatan.

Selain itu, di dalam tubuh pemerintahan RI banyak terjadi pergolakan politik.terutama dengan silih bergantinya kabinet seiring dengan penerapan Demokrasi Liberal. Di sisi lain, hubungan Dwi-Tunggal Soekarno dan Hatta mengalami keretakan. Hal ini terjadi akibat dari kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang selalu memusuhi Hatta. Akhirnya dengan berat hati, Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di kala suasana negara yang kritis. Akibat pemutusan hubungan Permesta dengan pusat, Kota Manado menjadi sangat mencekam. Kegelisahan meghantui setiap penjuru Manado. Warga seakan tak bisa tenang untuk sesaat pun karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah Pusat yang diperkirakan tak lama lagi akan datang menyerbu daerah yang dikuasai Permesta.

Banyak masyarakat Manado yang mengungsi ke luar kota untuk menghindari Perang Saudara yang tampaknya akan menjadi sebuah kenyataan, Di lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin besar. Dengan masuknya Kolonel Alexander Evert Kawilarang setelah berhenti sebagai Atase Militer RI pada Kedubes RI di Washington, DC, Amerika Serikat, ia berhenti dari dinas militer, dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya pulang ke Sulawesi Utara untuk bergabung dengan Permesta. Disana ia mendapat jabatan sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat Mayor jenderal dan selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta.

Presiden Taiwan Chiang Kai Shek pernah merencanakan untuk mengirimkan 1 resimen marinir dan 1 skuadron pesawat tempur untuk merebut Morotai bersama sama dengan Permesta, namun Menteri Luar Negeri Taiwan Yen Kung Chau menentang gagasan itu.karena khawatir Republik Rakyat Tiongkok akan ikut serta membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan mungkin akan memiliki alasan untuk mengintervensi. terhadap Taiwan. walaupun demikian. Taiwan sebelumnya memang sudah membantu Permesta dengan mengirimkan persenjataan dan dua squadron pesawat tempur ke Minahasa untuk Angkatan Udara Revolusioner. Bantuan Taiwan akhirnya tercium oleh Pemerintah Pusat. Bulan Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis yang dipegang oleh penduduk WNI asal Taiwan dan sejumlah surat kabar, sekolah ditertibkan.

Operasi Militer

Pemerintah Pusat melalui KSAD Mayor Jenderal Nasution melakukan pesiapan guna melakukan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di Sulawesi. operasi ini di sebut Operasi Militer IV dengan pimpinan Letkol Bardosono dengan rincian sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah pada bulan Maret 1958. Palu dan Donggala telah direbut oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dan Pasukan Mobile Brigade, di bawah pimpinan Kapten Frans Karangan. Dikabarkan bahwa akhir Maret 1958, Permesta mendapatkan bantuan gerombolan Jan Timbuleng (Pasukan Pembela Keadilan/PPK) juga turut bergabung gerombolan pemberontak lainnya, kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa) yang dipimpin Daan Karamoy serta bekas istri Jan Timbuleng, Len Karamoy sebagai komandan pasukan, menawarkan diri untuk melatih sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).

serta mereka Pula melakukan rencana untuk menyerang Jakarta. Namun secara bertahap. rencana ini di beri nama Operasi Djakarta II. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut: a. merebut kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat, lalu menyerang dan menduduki Balikpapan. b. sasaran kedua adalah Bali; c. sasaran ketiga adalah Pontianak; d. sasaran terakhir adalah Jakarta.

Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat agar mau berunding dengan PRRI. Dan pada 13 April 1958 pesawat pesawat milik AUREV menyerang lapangan udara Mandai, Makassar, serta tempat tempat lainya seperti Ternate, Balikpapan dan Donggala dan serangan yang paling fatal adalah serangan terhadap Kapal Hang Tuah yang sedang bersandar di pelabuhan Balikpapan enyebabkan Kapal tersebut tenggelam. Pada tanggal 18 mei 1958 dilakukanlah Operasi Mena II di bawah Komando Letkol. KKO Huhnholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.

Soedomo selaku Kepala Staf memerintahkan untuk berlayar ke Pulau Tiaga di lepas Pantai Ambon dengan di dukung Pesawat P-51 Mustang dan B-26 serta Pasukan Gerak Cepat, Pasukan Angkatan Darat dan Gabungan Marinir. Lalu Datanglah serangan dari Allen Pope menggunakan Pesawat B-26 Invader. Sebelumya ia telah menyerang Ambon setelah terbang dari Mapanget. Seketika pun Allen Pope menukikan pesawatnya untuk menyerang kedudukan Pasukan APRI. Melihat tanda bahaya, para awak yang berada di dalam kapal dengan serentak melakukan tembakan balasan. Hampir seluruh pasukan yang ada di dalam kapal melakukanya. Mulai dengan penangkis udara, senapan serbu, senapan otomatis, senapan infanteri bahkan pistol.

Di sisi lain bantuan untuk Pemerintah Pusat pun datang dari penerbang bernama Ignatius Dewanto dengan menggunakan Pesawat kopkit P-51. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas untuk membantu iring-iringan ALRI yang diserang. Tetapi dia tidak menemukan B-26 AUREV. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas di laut. Lalu terlihatlah konvoi kawan-kawanya yang diserang B-26 milik AUREV buruannya. Dengan cepat ia mengejar Dewanto lalu mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan namun, berkali-kali lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7 karena jaraknya lebih dekat, memungkinkan ia dapat mengenainya lebih besar.

Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran. Lalu semua awak yang berada di dalam kapal melihat pesawat milik AUREV itu terbakar lalu terlihatlah dua buah parasut yang jatuh, ada yang jatuh di sebuah pohon, serta luka terhempas karang. Kedua orang itu adalah Allen Pope dan Harry Rantung, Pope adalah seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat yang sedang melakukan tugas untuk membantu Permesta. Akibatnya adalah melemahnya kekuatan Permesta di udara, menyebabkan Apri dengan mudah menguasai setiap Wilayah yang semula diduduki Permesta. Kemudian Pasukan RPKAD bersiap untuk menyerang Mapanget namun mengalami kegagalan serta menewaskan Miskan, seorang Prajurit dan Sersan Mayor Tugiman,

Setelah Pasukan RPKAD gagal kemudian AURI menyerang Mapanget dengan Pesawat P-51 Mustang dengan sasaran menembak awak kanon anti udara. Pertempuran sengit pun terjadi para awak kanon anti udara, Permesta terus melakukan penembakan terhadap pasukan AURI secara Terus menerus. Bahkan, dari merka ada yang sampai terpental namun tidak mengalami luka, lalu kembali memegang kanon anti udara mereka maisng masing dan akhirnya serangan ini kembali tidak membuahkan hasil. Para kanon anti udara Permesta menjadi Pahlawan karena berhasil mengusir setiap serangan yang selalu datang.sebelumnya, mereka juga sempat merontokan tiga pesawat milik AURI.

AURI pun mengakui keunggulan Pertahanan udara Permesta yang mereka nilai paling tersulit selama melakukan operasi militer. Kebanyakan dari mereka adalah pasukan Ex-KNIL jadi sudah sangat terlatih walaupun umur mereka banyak yang sudah tua, namun berkat pengalaman yang mereka miliki mereka dapat berbuat banyak. Sementara itu Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang menyatakan pembekuan segala aktivitas yang Berkaitan dengan Permesta dan kemudian Amerika Serikat menarik segala bantuannya terhadap Permesta.

Karena malu terhadap Pemerintah Pusat setelah pesawat yang di kemudikan Pope terjatuh yang membongkar segala bantuan Amerika terhadap Permesta. Sebelum pesawat itu jatuh, Amerika Serikat dengan sangat bersikeras menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dengan PRRI maupun Permesta. Seperti yang dikutip oleh John Foster Dulles, “Apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam Negeri Negara lain.” Kemudian, Eisenhower selaku Presiden Amerika Serikat, mengadakan jumpa pers terkait Peristiwa yang terjadi di Sumatera dan Sulawesi serta penemuan beberapa senjata buatan AS.

Isi dari jumpa pers itu adalah, “Senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI adalah senjata yang dengan mudah dapat ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran.” Tetapi tuduhan bahwa Amerika Serikat terlibat disini semakin nyata, setelah tubuh Pope digeledah dan terdapat beberapa identitas tentang dirinya. seperti surat keterangan yang mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer AS di Philpina. Juga ada kartu klub perwira di pangkalan itu.

Hal ini membuat Amerika benar-benar kehilangan muka di dunia bahkan segala buku yang mengisahkan sepak terjang CIA selalu memojokan Amerika. Untuk meraih hati Presiden Soekarno, Amerika menawarkan bantuan senjata serta bersedia mengimpor beras kepada Indonesia dengan bayaran rupiah, selain itu dengan sangat terpaksa, Amerika menghentikan segala bantuannya kepada PRRI dan Permesta sehingga membuat keduannya semakin melemah. Sementara itu peperangan antara pemerintah pusat dan Permesta semakin gencar saling menguasai beberapa tempat terjadi.

Pada tanggal 17 Pebruary 1959 Permesta secara serentak melakukan serangan besar besaran yang di beri nama operasi Operation Djakarta Special One. Tujuan dari serangan itu adalah. menduduki beberapa Kota Srategis seperti Langowan, Tondano dan Amurang-Tumpaan. untuk menghancurkan segala prasarana musuh. Namun, operasi tersebut mengalami kegagalan walaupun Permesta sempat menduduki beberapa tempat hanya untuk beberapa jam saja karena tempat tersebut berhasil direbut oleh Pasukan APRI dan AURI. Setelahnya pasukan APRI dan AURI berhasil menduduki beberapa tempat yang sebelumnya merupakan basis terkuat dari Permesta.

Campur tangan asing

Selama 1957 pihak Amerika meningkatkan perhatian bahwa Indonesia akan sangat rapuh di bawah komunisme akibat meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia. Pada January 1958, Central Intellegence Agency mulai mengembangkan jaringan dukungan misi rahasia kepada pemberontak PRRI dan Permesta. CIA mendukung pemberontak Permesta dalam bentuk pemberian 15 buah bomber B-26 dan fighter P-51 Mustang yang membentuk pemberontak angkatan udara bernama Angkatan Udara Revolusioner dengan markas di lapangan udara Manado, jumlah besar senjata dan peralatan lainnya, dana yang signifikan, ditambah agen CIA internasional dan tentara bayaran dari Taiwan, Filipina, dan Amerika.[4] Merasa berani dengan suplai dari CIA, para pemberontak memulai serangkaian serangan udara di Sulawesi dan Maluku yang dipegang pemerintah pusat. Kota-kota tersebut dibom oleh pesawat-pesawat pemberontak yang dipiloti CIA, termasuk Balikpapan, Makassar, dan Ambon. Pada 15 Mei 1958, para pesawat pemberontak membom pasar Ambon, membunuh sejumlah besar warga sipil yang menghadiri hari kenaikan Yesus di hari minggu.

Menanggapi serangan para pemberontak, Presiden Sukarno memerintahkan militer Indonesia untuk menghancurkan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Permesta. Sejumlah serbuan Angkatan Udara Republik Indonesia di Manado menghancurkan pesawat-pesawa B-26. Sementara itu, seorang dari mereka ditembak jatuh pada 18 Mei 1958 oleh pilot Indonesia diatas Kepulauan Ambon. Pilot B-26, agen CIA Amerika Allen Pope, tertangkap hidup, yang menyorot keterlibatan lebih dalam CIA di pemberontakan tersebut. Konsekuensinya CIA memulai menarik dukungannya pada pemberontakan. Pope sudah berusaha mengakui dan dihukum mati di Jakarta, sebelum dilepaskan di kemudian hari.

Setelah menyingkirkan pemberontak Angkatan Udara Revolusioner, tentara pemerintah pusat meluncurkan serangan amfibi dan udara di jantung kota pemberontakan Manado yang dinamakan Operasi Merdeka. Tentara Indonesia dengan cepat mengeluarkan para pemberontak dari Manado, setelah mereka bertahan melakukan pertahanan gerilya sekitar area Danau Tondano. Bagaimanapun, pemerintah pusat memulai kampanye keberhasilan menawarkan amnesti untuk mereka yang menyerah secara sukarela. Para pemberontak yang mempunyai hubungan kekeluargaan dan keramahan dengan banyak prajurit pemerintah pusat mulai menyerah. Prajurit Permesta terakhir menyerah dan menyatakan sumpah kesetiaannya kepada pemerintah pusat pada 1961.

Kembali ke NKRI

Pada tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan pemerintah pusat. Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Nicolas Bondan. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta tapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan juga berhak menerimanya.

Sesudah keluar keputusan itu, beramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Pada tahun itu pula Permesta dinyatakan bubar.

Bacaan

Pranala luar

Catatan kaki

  1. ^ Lundstrom-Burghoorn, W (1981). Minahasa Civilization: A Tradition of Change. Göteborg: ACTA Universitatis Gothoburgensis. hlm. 43. 
  2. ^ Schouten, M.J.C. (1998). Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian society: Minahasa 1677–1983. Leiden: KITLV Press. hlm. 215. 
  3. ^ Jacobson, M (2002). Cross border triangles and deterritorialising identities. Assessing the diaspora triangle: Migrant-Host-Home. SEARC Working Papers Series. 19. Hong Kong: South East Asia Research Series Publications. hlm. 2–3. 
  4. ^ Hellstrom, Leif (July–August 1999). "Air War in Paradise: the CIA and Indonesia 1958". Air Enthusiast (82): 24–38.