Jacques Chirac

Presiden Prancis ke-22
Revisi sejak 8 Januari 2006 02.44 oleh Chobot (bicara | kontrib) (robot Adding: ko)

Jacques René Chirac (lahir pada 29 November 1932 di Paris) adalah seorang politikus Perancis yang merupakan Presiden Republik Perancis sejak 17 Mei 1995. Ia dikenal memiliki pribadi yang hangat, pandai bicara, dan senang bergaul. Ia adalah anak tunggal dari keluarga menengah atas. Sejak kecil, ia memang berotak cemerlang dan terbiasa menimba ilmu di sekolah yang prestisius. Di Lycee Carnot (sekolah menengah) dan Lycee Louis-le-Grand, ia lulus dengan penghargaan. Chirac kemudian melanjutkan kuliah di Institut d’Etudes Politiques.

Berkas:JacquesChirac.jpg
Foto resmi Jacques Chirac

Ketika Perancis berperang dengan Aljazair, ia ikut bertempur dan mengalami cedera. Ia menikah dengan Bernadette Chodron de Courcel yang berasal dari keluarga Katholik Aristokrat. Ia kemudian menyelesaikan kuliahnya di Perguruan Tinggi Ecole Nationale d’Administration (1959). Setiaknya, ia telah menghabiskan 40 tahun dalam kehidupannya untuk berpolitik. Sejak awal kariernya, ia telah menunjukkan akan menjadi politisi ulung.

Ia memiliki kemampuan tinggi dalam menyelesaikan masalah. Salah satu keberhasilannya adalah bernegosiasi dengan pelajar, mahasiswa, dan buruh yang melakukan mogok makan tahun 1968. Di bawah pimpinan Presiden Valery Giscard d’Estaing (1974-1981), ia menjabat perdana menteri untuk pertama kali menikmati kursi kekuasaan (1974). Periode pertama (27 Mei 1974-26 Agustus 1976) terhenti karena ia kalah. Kejatuhannya dari kursi kekuasaan pada tahun 1976 seperti mendapat energi kembali untuk mendirikan partai sayap kanan yang Gaullis bernama Rassemblement pour la République (RPR) di tahun 1976.

Pada tahun 1977, ia terpilih menjadi Walikota Kota Paris dan jabatan ini bertahan selama 18 tahun atau baru berakhir tahun 1995. Pada saat inilah ia berkenalan dengan dunia gemerlap politik yang penuh godaan. Jabatan perdana menteri pada pariode kedua (20 Maret 1986-10 Mei 1988) seperti menjadi sebuah masa yang gemilang. Ketika hampir seluruh partai politik mengalami kesulitan dana, RPR justru bergelimang uang.

Dari periode ini pula kemudian mundul tuduhan yang terus menghantuinya. Ia dituduh memperkaya partai dan memperkaya diri dengan cara ilegal. Tuduhan ini berulang kali dibantahnya. Tetapi, ia juga terus menolak penyidikan hukum atas kasusnya. Sebagai presiden, ia memang memiliki kekebalan hukum. Namun, skandal korupsi membuat kredibilitasnya rusak.

Periode Kohabitasi

Terbentuknya koalisi pemerintahan partai berhaluan sayap kanan yang terdiri dari figur-figur kalangan Partai Republiken Independen, UDR, dan partai-partai kecil lainnya. Sedang, sayap kanan terdiri dari PS (Mitterand dan kawan-kawan) dan Partai Komunis (PCF). UDR terbelah menjadi dua, yaitu antara yang meneruskan faham Gaullis dan yang non-Democratie Francaise yang lebih berhaluan liberal. Dukungan dari PS dan PCF pada Pemilu Presiden April-Mei 1981 menempatkan Francois Mitterand sebagai presiden. Pierre Mauroy yang ditunjuk menjadi perdana menteri membentuk kabinet sayap kiri.

Dukungan semakin menguat diperoleh dari Gerakan Radikal Kiri (MRG) dalam pemilu legislatif pemerintahan sayap kiri memperkenalkan jaminan sosial, perbaikan kondisi kerja, serta sejumlah perusahaan dan industri besar, berbagai institusi keuangan vital, dinasionalisasi. Maret 1986, aliansi sayap kiri menderita kekalahan dengan sayap kanan dalam pemili legislatif untuk membentuk Majelis Nasional yang semula 491 kursi menjadi 577 kursi.

Hal tersebut memaksa Presiden Francois Mitterand mencari perdana menteri dari sayap kanan. Terjadilan situasi kohabitasi, dimana presiden yang berdiri di pucuk pimpinan adalah dari golongan kiri (sosialis) sementara kabinetnya dan para menteri dari golongan kanan. Situasi kohabitasi pernah terjadi pada periode 1986-1988, 1993-1995, dan 1995-1997. Melalui situasi kohabitasi, Jacques Chirac memulai pemerintahannya semenjak 17 Mei 1995. Pada tahun itu, ia memerintah bersama Perdana Menteri Lionel Jospin.

Pemilu 2002

Pemilu Presiden putaran pertama (21 April 2002) yang diperkirakan berbagai kalangan memunculkan nama Presiden Jacques Chirac dan Perdana Menteri Lionel Jospin meleset dari kenyataan. Jacques Chirac memperoleh suara 19,88%, Lionel Jospin (16,18%), dan pemimpin Front Nasional Jean Marie Le Pen (16,86%). Perancis terkejut. Kelompok kiri atau simpatisan kiri tak punya kandidat pada babak kedua. Mereka diperhadapkan pada pilihan yang sulit.

Lionel Jospin kalah karena terbelahnya suara yang mendukung kiri oleh banyaknya kandidat kiri dalam pemilu yang terdiri tidak kurang 16 kandidat. Arlette Laguiler dari Partai Perjuangan Buruh yang ekstrem kiri mendapatkan 5,72% suara. Gaya kampanye Jospin yang membosankan dianggap juga punya peran.

Sikap dan program kerja Le Pen dan Front Nasional (FN) cukup menakutkan bagi para pemilih. Le Pen menyatakan dengan jelas bahwa ia anti-imigran. Ia mengatakan untuk segera menyuruh keluar imigran gelap, membatasi hak mencari suaka, dan mendahulukan orang Perancis di semua bidang. Le Pen juga menyatakan ingin keluar dari Uni Eropa (UE), memberlakukan kembali mata uang franc yang tergeser oleh euro, dan berniat mengembalikan apa yang disebutnya sebagai prestige Perancis di mata dunia dengan menolak dominasi Amerika Serikat dan PBB.

Le Pen mampu memperoleh suara lebih banyak karena memanfaatkan kata kunci L’insecurite. Ketidaknyamanan yang dirasakan rakyat karena meningkatnya kriminalitas mencapai 8% pada masa Perdana Menteri Lionel Jospin serta isu terorisme internasional adalah hal yang dipakainya. Selain, ia menganjurkan toleransi nol terhadap kriminalitas dan terorisme juga menginginkan diberlakukannya kembali hukuman mati dan pembangunan lebih banyak penjara untuk menampung 200.000 lebih banyak narapidana.

 
Chirac dan George W. Bush pada tahun 2002.

Dengan memanfaatkan faktor rasa tidak aman itu, Le Pen berhasil menimbulkan rasa nasionalisme sempit pada sebagian pemilih. Tetapi, mungkin saja, seseorang memilih Le Pen untuk memberi peringatan pada Jacques Chirac agar ia menjalankan pemerintahan yang baik ketika terpilih kembali. Isu korupsi juga dimanfaatkan Le Pen dalam kampanye, bahkan dinyatakan bahwa pemerintahannya akan menjalankan pemerintahan yang bersih.

Persatuan pun digalang. Tokoh-tokoh kelompok kiri mendorong pada pengikutnya untuk bergabung dengan golongan kanan-tengah untuk memberikan suara bagi Jacques Chirac agar Le Pen tak bisa menang. Ribuan bahkan ratusan ribu atau sampai satu juta orang turun ke jalan di berbagai kota di seluruh negeri. Kaum Sosialis, Komunis, dan Hijau bersama dengan kelompok-kelompok lain turun ke jalan untuk menyatakan dukungan pada Presiden Jacques Chirac terutama untuk mencegah kemenangan Le Pen.

Mahasiswa-mahasiswa kiri, bahkan anak-anak muda yang baru pertama kalinya memilih dan tidak punya afiliasi yang jelas juga ikut turun. Di Paris, unjuk rasa damai yang diikuti ratusan ribu orang katanya lebih besar dibanding Revolusi Perancis. Ancaman ekstrem kanan membangunkan rasa solidaritas para warga negara. Media menyebutkan unjuk rasa luar biasa pada 1 Mei 2002 merupakan saat agung harapan bersama dari semua kelas sosial, semua asal, dan semua generasi.

Pranala luar