Ekonomi Indonesia

perekonomian di Indonesia

Ekonomi Indonesia merupakan salah satu kekuatan ekonomi berkembang utama dunia yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar di Asia ketiga setelah China dan India. Ekonomi negara ini menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-16 dunia yang artinya Indonesia juga merupakan anggota G-20. Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang hebat pada pertengahan 1960an dibawah Presiden Soekarno, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto segera melakukan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai berai akibat berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca APBN yang ada dengan berbagai cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo hingga meminta IMF untuk mengasistensi pengelolaan fiskal Indonesia yang masih rapuh. Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari kegiatan industri dan perdagangan berbasis ekspor menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu The East Asia Miracle pada tahun 1990an, dimana Indonesia mampu menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi pondasi ekonomi yang kuat untuk menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam.

Ekonomi Indonesia
Jakarta, ibukota ekonomi dan politik Indonesia.
Peringkat16
Mata uangRupiah (IDR)
Tahun fiskalTahun kalender
Organisasi perdaganganAPEC, ASEAN, D-8, G-20, IORA, MIKT, OPEC, RCEP, WTO
Statistik
PDBKenaikan Rp 12.406 Triliun [1]
Pertumbuhan PDBKenaikan 5.0% (2016) [2]
PDB per kapita$3.605/Rp 47,96 Juta (2016)[3]
PDB per sektorpertanian: 15,3%, industri: 47%, jasa: 37,6% (perkiraan 2010)
Inflasi (IHK) 3,02% (2016)[4])
Penduduk
di bawah garis kemiskinan
10,86% (2016)[5]
Koefisien gini 0,39 (2016)[6]
Angkatan kerjaKenaikan 125,44 juta (2016)[7]
Angkatan kerja
berdasarkan sektor
pertanian: 38,3%, industri: 12,8%, layanan: 48,9% (2010 est.)
Pengangguran 5,61% (2016)[8]
Industri utamaMinyak dan gas alam, tekstil, pakaian, sepatu, pertambangan, semen, pupuk kimia, kayu lapis, karet, makanan, pariwisata
Peringkat kemudahan melakukan bisnisKenaikan 91 [9]
Eksternal
EksporPenurunan $144,43 miliar (2016)[10]
Komoditas eksporminyak dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet
Tujuan ekspor utama(2016)[11]
ImporPenurunan $135,65 miliar (2016) [12]
Komoditas impormesin dan peralatan, bahan kimia, bahan bakar, bahan makanan
Negara asal impor utama(2016)[12]
Modal investasi langsung asing$292.8 Miliar [13]
Utang kotor luar negeriRp 3.466,96 (2016)[14]
Pembiayaan publik
Utang publik27,9% dari PDB (2016)[15]
Defisit anggaranUS$ 16,8 Miliar (1,8% PDB)[16]
Pendapatan$119,5 miliar (perk. 2011)
Beban$132,9 miliar (perk. 2011)
Peringkat utangStandard & Poor's:[17]
BBB- (Domestic)
BBB- (Foreign)
BBB- (T&C Assessment)
Outlook: Stable
Moody's:[18]
Baa3
Outlook: Stable
Fitch:[18]
BBB-
Outlook: Positive
Cadangan mata uang asingKenaikan $116,4 miliar (2016)[19]
Sumber data utama: CIA World Fact Book

Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi seperti Jepang, Korea Selatan dan Thailand. Meski Indonesia berhasil mencapai stabilitas polsoshankam dan industri manufaktur dan pengolahan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata keberadaan infrastruktur transportasi seperti jalan tol, pelabuhan, kereta api dan bandara yang ada di Indonesia tidak mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di antara Pulau Jawa dan Pulau diluar Jawa akibat minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, mengakibatkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diperuntukkan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak hanya itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menunjukkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan kegiatan sektor finansial yang lemah karena minimnya kecakapan instansi untuk mengatur kegiatan sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pinjaman tidak bergerak (non-performing loan) yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk memberikan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.

Hal tersebut mencapai titik klimaksnya ketika Krisis moneter 1998 merebak keberbagai negara di Asia, ketika jaring pengaman sistem keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang akhirnya menjadi awal kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal yang berakhir dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan pinjaman untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang sudah sakit akibat harus menanggung biaya yang sangat berat akibat kegagalan jaringan sistem pengamanan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya peningkatan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak mampu menciptakan ekonomi yang berpondasi kuat untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.

Sejarah Ekonomi Indonesia

Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Inflasi yang sangat tinggi

Peredaran mata uang yang berbeda-beda secara liar mengakibatkan munculnya ketidakstabilan kegiatan ekonomi di indonesia, dimana pada saat itu terdapat 3 mata uang yang berbeda yaitu, mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 miliar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan mencapai 1,6 miliar. Hal ini mengakibatkan terjadinya inflasi yang tidak terkendali dan hal ini mengakibatkan sebagian besar kalangan masyarakat kalangan bawah seperti masyarakat umum dan petani kesulitan untuk memakai uangnya untuk ditukarkan menjadi bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari karena harganya yang tidak terjangkau. Oleh karena itu, untuk sementara waktu Pemerintah RI menetapkan secara resmi tiga mata uang berlaku di wilayah RI. Meski kebijakan tri-currency diberlakukan, hal tersebut tidak berdampak secara signifikan pada laju inflasi yang terjadi di Indonesia, karena pada saat itu Indonesia masih berjuang lagi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah diketahui bahwa sekutu kembali ke Indonesia dibawah pimpinan Panglima AFNEI untuk mengembalikan Indonesia dari penjajahan Jepang kepada Belanda.

Kedatangan armada pasukan AFNEI diberbagai penjuru pulau Indonesia dimanfaatkan oleh sekutu dengan menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai instansi keuangan seperti kantor kas perbankan. Penguasaan bank-bank oleh Sekutu bertujuan agar mampu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 miliar untuk keperluan operasi mereka. Panglima AFNEI, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford pada tanggal 6 Maret 1946 mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu yang bertujuan untuk mengganti mata uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memprotes kebijakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru. Pemerintah RI langsung merespon langkah sekutu dengan mencetak dan mengedarkan mata uang baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi Indonesia yang dilaksanakan oleh Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 November 1946 yang dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo.

Blokade Transportasi Laut oleh Belanda

Perebutan Belanda untuk mengambil kembali indoensia dari kemerdekaan yang diraih pada masa kekosongan kekuasaan dilancarkan tidka hanya dari sisi militer, tetapi juga sisi transportasi barang dan ekonomi. Blokade laut yang dimulai sejak bulan November 1945 oleh Belanda bertujuan untuk menekan gerak ekonomi Indonesia untuk membiayai peperangan melawan sekutu dan Belanda. Blokade tersebut memberikan dampak yang cukup serius dalam beberapa hal seperti:

  • Kurangnya persenjataan yang masuk ke Indonesia
  • Minimnya pendapatan akibat pelarangan ekspor hasil-hasil bumi Indonesia
  • Sulitnya Indonesia mendapatkan bantuan luar negeri
  • Anggaran Negara menjadi tidak bermanfaat untuk membiayai perlawanan melawan Belanda

Perjuangan Mempertahankan Ekonomi Indonesia

Terdapat langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari segi ekonomi, seperti:

  • Digalakkannya Program Pinjaman Nasional yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Indonesia, Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946 untuk digunakan sebagai pengisi Anggaran Negara untuk dijadikan modal Pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana serta modal mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasional.
  • Melakukan pelanggaran blokade laut Belanda untuk mengamankan bantuan luar negeri berupa beras dari India seberat 500.000 ton dan mengadakan kontrak dengan perusahaan pelayaran swasta Amerika Serikat untuk membawa hasil bumi Indonesia untuk diekspor ke negara lain.
  • Konferensi ekonomi nasional yang dilaksanakan pada bulan Februari 1946 dengan tujuan untuk mendiskusikan permasalahan ekonomi yang dihadapi serta merumuskan solusinya dengan menghasilkan kesepakatan seputar masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan.
  • Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
  • Pembentukan Badan Perancang Ekonomi pada tanggal 19 Januari 1947 yang dipimpin oleh Menteri Persediaan Makanan Rakyat, IJ Kasimo untuk memberi rekomendasi dan saran terkait kebijakan pemerintah dalam mengelola dan membangun ekonomi Indonesia. Dibawah kepemimpinannya, BPE menghasilkan rencana 5 tahunan yang bernama Kasimo Plan yang bertujuan untuk mengembangkan dan membangun industri pangan Indonesia melalui langkah:
  1. Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
  2. Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
  3. Penanaman kembali tanah kosong
  4. Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.

Gunting Syafruddin

Gunting Syafruddin merupakan kebijakan yang digagas oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara untuk mengurangi defisit anggaran yang mencapai Rp 5,1 Miliar. Kebijakan yang disahkan pada tanggal 20 Maret 1950 SK Menteri Keuangan Nomor 1 tanggal 19 Maret 1950 ini bertujuan untuk memotong nilai uang yang Rp. 2,50 ke atas menjadi tinggal setengahnya. Hal ini memberikan keuntungan pada Pemerintah Indonesia dengan berkurangnya jumlah peredaran uang dan hal ini menjadi alasan Pemerintah Belanda meminjamkan dana sebesar Rp 200 Juta, sekaligus meningkatkan kredibilitas anggaran negara.

Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

Sistem Ekonomi Gerakan Benteng merupakan program pemerintah Republik Indonesia untuk mendorong transisi ekonomi Indonesia dari berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Program yang digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri serta Perdagangan Indonesia bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi nasional dari berbasis kolonial menjadi ekonomi pembangunan. Program ini mengakomodasi kegiatan seperti:

  • Menumbuhkan dan mengembangkan minat kewirausahaan dikalangan masyarakat bangsa Indonesia untuk tidak bergantung kepada instansi pemerintahan atau menggantungkan ekonomi pada pendapatan dari pekerjaan belaka.
  • Memberikan edukasi dan kesempatan kepada wirausahawan nasional untuk mendapatkan akses keuangan yang terjangkau dan pendidikan pengelolaan finansial usaha untuk mengembangkan usahanya yang sekaligus berkontribusi bagi pembangunan ekonomi Indonesia dengan bentuk penyerapan tenaga kerja, produktivitas usaha yang efektif dan peningakatn nilai tambah usaha terhadap produk domestik bruto nasional.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Namun, program ini tidak dapat berjalan dengan baik, hal ini terjadi karena:

  • Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki edukasi dan wawasan yang layak dan memadai untuk menerapkan disiplin ilmu usaha.
  • Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki mental meningkatkan pendapatan, masih sebatas untuk mendapatkan pemasukan.
  • Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kreativitas untuk menyiasati ketidakmampuannya dalam menunjang kegiatan usahnya.
  • Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kepercayaan diri untuk mengembangkan usahanya dengan mudah.
  • Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kesabaran dalam meniti perkembangan usahanya dengan baik.
  • Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki integritas terhadap apa yang diamanahkan kepadanya.

Program yang diharapkan mampu menjadi stimulus ekonomi Indonesia, malah menjadi penyebab sumber defisit anggaran 1952 yang mencapai Rp 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun 1951 sebesar 1,7 miliar rupiah.

Demokrasi Parlementer (1951-1959)

Nasionalisasi De Javasche Bank

Nasionalisasi De Javasche Bank oleh Pemerintah Indonesia yang terjadi pada akhir tahun 1951, merupakan bentuk perlawanan ekonomi Indonesia untuk kembali merebut kedaulatan ekonomi nasional. Nasionalisasi diambil oleh pemerintah Indonesia setelah melewati berbagai diskusi yang menghasilkan kesimpulan bahwa, peraturan mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda sangat menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter untuk menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia. Nasionalisasi ini bertujuan untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor serta melakukan penghematan secara drastis. De Javasche Bank yang dinasionalisasi berubah nama menjadi Bank Indonesia pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951 yang bertindak sebagai bank sentral dan bank sirkulasi dimana fungsi ini dulunya dipegang oleh Bank Nasional Indonesia.

Sistem Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi Ali-Baba merupakan program pemberdayaan pengusaha Indonesia antara pengusaha pribumi dan non-pribumi untuk mengembangkan minat kewirausahaan pengusaha pribumi dan meningkatkan kerjasama dengan pengusaha non-pribumi. Program yang diprakarsai oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, Industri dan Perdagangan Indonesia, Iskaq Tjokrohadisurjo pada masa Kabinet Ali I. Tujuan dari program ini adalah:

  • Untuk mengembangkan minat, edukasi dan wawasan kewirausahaan pengusaha pribumi.
  • Agar terbentuk kerjasama antara para pengusaha pribumi dan pengusaha non-pribumi untuk memajukan ekonomi nasional.
  • Mendorong transisi ekonomi nasional yang digerakkan dari sistem ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Tionghoa. Lewat program ini, Pemerintah menyediakan dan menyalurkan kredit dan lisensi usaha bagi wirausahawan swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba ini mewajibkan pengusaha pribumi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan-latihan kepada tenaga kerja Indonesia sebagai bentuk pertanggungjawaban pengusaha terhadap aliran kredit dan lisensi yang diberikan negara kepada pengusaha. Lagi-lagi, program ini tidak berjalan dengan baik sebab:

  • Wirausahawan pribumi kurang memiliki usaha untuk menambahkan edukasi dan wawasan pada usahanya untuk memberikan nilai tambah pada kegiatannya.
  • Wirausahawan pribumi terkesan tidak mau sulit dalam beradaptasi pada dunia usaha, sehingga muncul wirausahawan pribumi ingin dimanja dunia usaha.
  • Wirausahawan pribumi sulit beradaptasi pada dunia usaha yang cepat berubah karena sifatnya yang tidak mau repot beradaptasi dalam dunia usaha.

Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, Menteri Luar Negeri Indonesia Ida Anak Agung Gde Agung menjadi ketua delegasi Indonesia yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia menuju Jenewa, Swiss untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:

  • Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
  • Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
  • Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.

Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

  • Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
  • Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Musyawarah Nasional Pembangunan

Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:

  • Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
  • Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
  • Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.

Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Sesudah Dekret Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, Pemerintah masa Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959 membentuk Badan Negara yang bernama Dewan Perancang Nasional (Nama terdahulu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) untuk menyusun perencanaan pembangunan ekonomi nasional. Badan Negara yang pimpin oleh Moh. Yamin dan beranggotakan sebanyak 50 orang ini sebenarnya sudah direncanakan untuk dibentuk sebelum masa demokrasi parlementer berakhir dengan berupa landasan hukum PP no 23 Tahun 1958 yang kemudian disahkan oleh Parlemen menjadi UU no 8 Tahun 1958. Depernas sendiri untuk pertama kalinya sejak dibentuk, telah menghasilkan produk perencanaan pembangunan ekonomi nasional yang bernama "Pembangunan Nasional Semesta Tahapan Tahun 1961-1969" yang kemudian disahkan oleh MPRS sebagai Tap MPRS no II/MPRS/1960 menjadi landasan hukum pembangunan ekonomi nasional. Pada tahun 1963, Depernas berubah nama menjadi Bappenas dan posisi Moh. Yamin sebagai kepala Depernas digantikan oleh Presiden Soekarno.

Devaluasi Rupiah

Kebijakan devaluasi rupiah diambil pada tanggal 25 Agustus 1959 oleh Pemerintah Indonesia setelah melewati berbagai kajian dan diskusi secara intensif dengan Bank Sentral dan Kementerian terkait untuk menyelesaikan masalah inflasi yang perkembangannya tidak terkendali. Kebijakan yang akan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat ini berdampak pada:

  • Nilai uang berdenominasi Rp 5.00,00 menjadi Rp 50,00
  • Nilai uang berdenominasi Rp 1.000,00 menjadi Rp 100,00
  • Pembekuan rekening tabungan yang bernilai Rp 25.000,00 keatas

Namun, kebijakan ini sendiri malah tidak berdampak signfikan untuk menahan perkembangan inflasi.

Deklarasi Ekonomi (Dekon)

Deklarasi Ekonomi yang dipublikasikan pada tanggal 28 Maret 1963 oleh Pemerintah Indonesia bertujuan untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis dan bebas dari imperialisme untuk mencapai tahapan ekonomi sosialis dengan cara terpimpin dari negara. Deklarasi ini juga menjadi langkah pemerintah untuk menghadapi ekonomi yang kian memburuk. Dalam pelaksanaannya, dekon sendiri justru mengakibat terjadinya stagnansi ekonomi bagi Indonesia, karena banyaknya ketidakmampuan yang Pemerintah selesaikan dalam menangani masalah ekonomi, seperti:

  • Meningkatnya CAD/DTB (Current-Account Deficit/Defisit Transaksi Berjalan) hingga mencapai 40 kali dari penerimaan Anggaran Negara
  • Tidak terkendalinya pencetakkan uang yang mengakibatkan terjadinya inflasi yang tidak terkendali
  • Meningkatnya biaya hidup masyarakat hingga 70% akibat naiknya barang kebutuhan sebesar 400%

Hal ini diakibatkan karena:

  • Penanganan masalah ekonomi yang tidak rasional dan objektif
  • Pendahuluan kepentingan politik mengakibatkan masyarakat menderita

Dekon sendiri menjadi salah satu kebijakan ekonomi yang paling muram dalam sejarah kebijakan ekonomi di Indonesia.

Orde Baru (1966-1998)

Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret sebagai landasan hukum untuk mengijinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik. Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan dimana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden.

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.

Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.

Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

Pasca Suharto

Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun [20] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.

Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[21] oleh IMF dalam juta rupiah.

Tahun PDB % Pertumbuhan/tahun
(bunga majemuk)
1980 60,143.191
1985 112,969.792 13.5
1990 233,013.290 15.5
1995 502,249.558 16.6
2000 1,389,769.700 22.6
2005 2,678,664.096 14.0
2010 6,422,918.230 19.1

Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.

Kajian Pengeluaran Publik

Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi di mana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar [1] tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar [2] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar [3] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.

Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar [4] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.

Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [5] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.

Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.

Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [6] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen [7] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 [8] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB [9]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [10]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [11], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Referensi

  1. ^ "Ekonomi Indonesia 2016". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 2017-06-06. 
  2. ^ http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170206114541-78-191533/ekonomi-indonesia-tumbuh-502-persen-sepanjang-2016/
  3. ^ https://www.bps.go.id/brs/view/1363
  4. ^ http://bisnis.liputan6.com/read/2694582/inflasi-2016-mencapai-302-persen
  5. ^ https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1229
  6. ^ https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1280
  7. ^ "Angkatan Kerja Indonesia 2016". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 2017-06-06. 
  8. ^ https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1230
  9. ^ "Ease of Doing Business in Indonesia". Doingbusiness.org. Diakses tanggal 2017-06-06. 
  10. ^ "ekspor-imporIndonesia". Beritasatu.com. Diakses tanggal 2017-06-06. 
  11. ^ https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3396964/neraca-perdagangan-ri-desember-2016-surplus-us-990-juta
  12. ^ a b "ekspor-imporIndonesia". https://finance.detik.com/. Diakses tanggal 2017-06-06.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  13. ^ "COUNTRY COMPARISON :: STOCK OF DIRECT FOREIGN INVESTMENT – AT HOME". The World Factbook. Diakses tanggal 06 Juni 2017. 
  14. ^ "perbendaharaanfiskal". https://finance.detik.com/. Diakses tanggal 2017-06-06.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  15. ^ http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3430651/utang-pemerintah-ri-sekarang-rp-3549-t
  16. ^ http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170212130213-78-192961/defisit-transaksi-berjalan-q4-cuma-08-persen-dari-pdb/
  17. ^ "Sovereigns rating list". Standard & Poor's. Diakses tanggal 26 May 2011. 
  18. ^ a b Rogers, Simon; Sedghi, Ami (15 April 2011). "How Fitch, Moody's and S&P rate each country's credit rating". The Guardian. Diakses tanggal 31 May 2011. 
  19. ^ http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/09/164840626/cadangan.devisa.indonesia.akhir.2016.capai.116.4.miliar.dollar.as
  20. ^ http://www.antaranews.com/berita/1273491621/bps-pdb-2010-minimal-rp6300-triliun
  21. ^ Edit/Review Countries