Hegemoni budaya

Revisi sejak 29 Oktober 2017 14.45 oleh Caw252 (bicara | kontrib)

Dalam filsafat Marxis, budaya hegemoni adalah dominasi dari masyarakat beragam budaya yang diatur oleh kelas penguasa yang membentuk (atau memanipulasi) budaya masyarakat tersebut — dari sisi keyakinan, persepsi, nilai-nilai, dan adat istiadat— sehingga pandangan mereka menjadi norma budaya umum. Norma umum yang terbentuk ini kemudian menjadi ideologi dominan yang sah secara universal dan membenarkan status quo di bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai sesuatu yang alami, tak terelakkan, abadi, dan bermanfaat bagi semua orang, dan bukan sebuah konstruksi sosial yang menguntungkan kelas penguasa saja.[1][2]

Intelektual Marxis Antonio Gramsci (1891-1937) mengembangkan teori hegemoni budaya yang membantu terbentuknya pandangan dunia terhadap kelas pekerja.

Dalam filsafat dan sosiologi, istilah hegemoni budaya memiliki denotasi dan konotasi yang berasal dari kata Yunani Kuno ἡγεμονία (hegemoni) yang berarti aturan dan kepemimpinan. Dalam politik, hegemoni adalah metode geopolitik imperial dominasi tidak-langsung dimana hegemon (pemimpin negara) mengatur serikat di bawahnya dengan intervensi bukan dengan kekuatan militer (invasi, penjajahan, aneksasi).[3]

Latar belakang

Etimologi

Evolusi etimologi dan historis dari kata Yunani ἡγεμονία berlangsung demikian:

  • Di Yunani Kuno (abad ke-8 SM – abad ke-6 M), ἡγεμονία (kepemimpinan) melambangkan dominasi politik–militer sebuah kota-negara terhadap kota-negara lainnya, seperti di Gedung League (338 SM), sebuah federasi negara–kota Yunani yang didirikan oleh Raja Philip II dari Makedonia, untuk memudahkan akses ke dan pemanfaatan militer Yunani dalam melawan Kekaisaran Persia.
  • Pada abad ke-19, hegemoni (kekuasaan) melambangkan dominasi geopolitik dan budaya satu negara atas negara-negara lain, seperti pada jaman Kolonialisme Eropa di Amerika, Afrika, Asia, dan Australia.[4]
  • Pada abad ke-20, denotasi politik-ilmu dari hegemoni (dominasi) meluas hingga mencakup penjajahan budaya; budaya, dan dominasi oleh kelas penguasa di masyarakat yang memiliki strata sosial. Bahwa dengan memanipulasi ideologi dominan (nilai-nilai budaya dan adat istiadat) masyarakat setempat, kelas penguasa dapat mendominasi kelas-kelas sosial lainnya secara intelektual dengan memberlakukan pandangan dunia (Weltanschauung) yang membenarkan status quo di ranah sosial, politik, dan ekonomi masyarakat seolah-olah hal tersebut wajar, normal, dan tidak dapat dihindari.[5][6][7]

Sejarah

Pada tahun 1848, Karl Marx mengusulkan bahwa resesi ekonomi dan kontradiksi praktis ekonomi kapitalis akan memprovokasi kelas pekerja untuk melakukan revolusi proletar, menggulingkan kapitalisme, dan merestrukturisasi lembaga-lembaga sosial (ekonomi, politik, sosial) sesuai faham sosialisme. Semua ini akan membawa masyarakat menuju transisi ke komunisme. Oleh karena itu, perubahan dialektika pada fungsi ekonomi masyarakat menentukan superstruktur sosial (budaya dan politik).

Untuk itu, Antonio Gramsci mengusulkan perbedaan strategis antara Perang Posisi dan Perang Manuver. Perang Posisi adalah perjuangan intelektual dan budaya dimana revolusi anti-kapitalis menciptakan budaya proletar yang sistem nilai aslinya melawan hegemoni budaya kaum borjuis. Budaya proletar akan meningkatkan kesadaran kelas, mengajarkan teori revolusi dan analisis sejarah, serta dengan demikian menyebarkan organisasi revolusi secara lebih jauh ke kelas-kelas sosial. Untuk memenangkan Perang Posisi, pemimpin sosialis kemudian akan memegang kekuasaan politik dan mendapatkan dukungan untuk memulai manuver kesejahteraan yang dikumandangkan oleh sosialisme revolusioner.

Dominasi budaya awalnya diterapkan sebagai sebuah analisis Marxisme mengenai "kelas ekonomi" (basis dan suprastruktur). Antonio Gramsci kemudian mengembangkannya untuk memahami "kelas sosial; oleh karena itu, hegemoni budaya mengusulkan bahwa norma-norma budaya yang berlaku di suatu masyarakat dan diterapkan oleh kelas penguasa (hegemoni budaya borjuis), tidak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Sebaliknya, harus dianggap sebagai konstruksi sosial (oleh lembaga, praktek, keyakinan, dan sebagainya) yang harus diselidiki lebih lanjut tentang akar filosofisnya sehingga dapat menjadi instrumen dominasi kelas sosial. Pengetahuan praxis seperti ini sangat diperlukan untuk pembebasan intelektual dan politik dari kaum proletariat, sehingga pekerja dan petani, orang-orang perkotaan, dan bangsa suatu negara dapat membuat budaya kelas pekerja mereka sendiri yang membahas kebutuhan sosial dan ekonomi kelas sosial mereka masing-masing.

Dalam suatu masyarakat, hegemoni budaya itu bukanlah praxis intelektual monolitik maupun kesatuan sistem nilai-nilai, namun merupakan struktur strata sosial yang kompleks dimana masing-masing kelas sosial dan ekonomi memiliki tujuan sosialnya masing-masing. Setiap kelas juga memiliki logikanya masing-masing yang memungkinkan anggotanya untuk berperilaku secara unik dan berbeda dari perilaku anggota kelas-kelas sosial lainnya, namun semuanya hidup berdampingan satu kesatuan masyarakat.

Karena memiliki tujuan sosial yang berbeda-beda, kelas-kelas dapat bersatu menjadi satu masyarakat dengan misi sosial yang lebih besar. Ketika seorang pria, seorang wanita, atau anak-anak memandang struktur sosial hegemoni budaya borjuis, akal sehat setiap pribadi akan melakukan peran ganda struktural (peran pribadi dan peran masyarakat). Individu akan menggunakan akal sehat untuk mengatasi kehidupan sehari-hari sesuai pemahamannya menurut status quo yang dimiliki masing-masing kelas sosial. Di dalam masyarakat, keterbatasan persepsi pribadi tersebut menghambat individu untuk memahami eksploitasi sosio-ekonomi sistematis yang dimungkinkan oleh hegemoni budaya. Karena adanya perbedaan dalam memahami status quo —hirarki sosio-ekonomi dari budaya borjuis— kebanyakan orang menyibukkan diri dengan masalah pribadinya masing-masing daripada memikirkan tentang masalah yang tidak langsung berhubungan dengan mereka (masalah publik), sehingga mereka pun tidak memikirkan atau mempertanyakan asal-muasal terjadinya ketidak adilan sosio-ekonomi di bidang sosial, politik, maupun pribadi.[8]

Efek dari hegemoni budaya terasa jelas di tingkat pribadi. Walaupun setiap orang menjalani hidup penuh makna dalam kelas sosialnya masing-masing, tetapi pembagian kelas-kelas sosial tidak begitu terasa artinya ketika dilihat per kehidupan pribadi setiap individu. Namun, ketika dilihat secara keseluruhan masyarakat, setiap orang memberikan kontribusi yang besar terhadap hegemoni sosial. Meskipun keragaman sosial, ekonomi, dan kebebasan politik muncul karena kebanyakan orang melihat kehidupan yang berbeda-keadaan, mereka tidak mampu memahami pola besar hegemoni yang terbuat ketika kehidupan yang mereka saksikan menyatu dalam satu masyarakat. Hegemoni budaya diwujudkan dan dipertahankan oleh keberadaan kondisi-kondisi satuan yang berbeda-beda, sebuah perbedaan yang tidak selalu sepenuhnya dirasakan oleh anggota masyarakat.[9]

Pengaruh Gramsci 

 
Pada tahun 1960-an, pemimpin mahasiswa Jerman, Rudi Dutschke dari 68er-Bewegung, mengatakan bahwa borjuisme Jerman Barat perlu diubah dengan tindakan long march oleh lembaga-lembaga masyarakat yang seharusnya mengidentifikasi dan memerangi hegemoni budaya. Kutipan ini sering disalah kutipkan sebagai kutipan milik Antonio Gramsci.[10]

Pada tahun 1967, pemimpin gerakan mahasiswa Jerman Rudi Dutschke merumuskan ulang filosofi hegemoni budaya Antonio Gramsci dengan kalimat long march melalui kelembagaan (Bahasa Jerman: Marsch durch die Institutionen) untuk mengidentifikasi politik Perang Posisi, sebuah kiasan untuk Long March (1934-35) dari Tentara Pembebasan Masyarakat Komunis Tiongkok, dimana kelas pekerja membuat sendiri intelektual dan budayanya (ideologi dominan) untuk menggantikan paham yang dibentuk oleh kaum borjuis.[11][12][13][14][15]

Kritik terhadap Gramsci

Aparatur Negara yang Ideal

Dalam lingkup kritik konseptual hegemoni budaya, filsuf strukturalis Louis Althusser mempresentasikan teori aparatur negara yang ideal untuk menjelaskan struktur hubungan kompleks antar banyak anggota badan dalam sebuah administrasi negara. Dalam situasi tersebut, ideologi disebarkan ke masyarakat. Althusser menggambarkan adanya konsep hegemoni pada hegemoni budaya tetapi ia menolak historisisme absolut yang diusulkan oleh Gramsci.

Bahwa aparatur negara yang ideal (ISA) merupakan tempat dimana terjadinya konflik antar idealisme berbeda-beda yang datang dari kelas sosial masyarakat yang berbeda-beda pula. Bahwa, bertolak belakang dengan aparatur negara yang represif (RSA) seperti yang berlaku di militer dan kepolisian, ISA dapat hadir secara majemuk. Jika kelas berkuasa dapat mengendalikan RSA, dalam kasus ISA semua kelas masyarakat saling berebut kuasa. Lagipula, ISA bukanlah badan-badan sosial monolitik, dan tersebar di seluruh lapisan masyarakat, baik di ranah publik maupun swasta, sehingga persaingan di dalam dan antar kelas masyarakat akan terus terjadi.

Di On the Reproduction of Capitalism (1968), Louis Althusser mengatakan bahwa aparatus negara yang ideal merupakan zona masyarakat yang berlebihan karena mencakup elemen rumit dari produk ideologi-ideologi di masa lalu, dan dengan demikian akan terus menjadi alat politik. ISA ini diantaranya adalah:

  • ISA religius (sistem keagamaan, misalnya kelompok keagamaan)
  • ISA pendidikan (sistem pendidikan, misalnya sekolah negeri dan sekolah swasta)
  • ISA keluarga
  • ISA legalitas
  • ISA politik (sistem politik, misalnya partai politik)
  • ISA serikat buruh
  • ISA komunikasi (media, radio, TV, dll)
  • ISA budaya (sastra, seni, olahraga, dll)

Althusser mengatakan bahwa struktur parlemen negara dimana “kemauan masyarakat” diwakilkan melalui perwakilan delegasi merupakan terapan dari aparatur negara yang ideal. Bahwa sistem politik itu sendiri merupakan aparatur ideal karena menyertakan “fiksi, menimpali realitas 'tertentu' yang bagian komponen sistem politiknya serta prinsip fungsinya berdasarkan pada ideologi 'kebebasan' dan 'persamaan hak' dari para individu pemberi suara dan ‘pilihan bebas’ dari perwakilan rakyat, yang mewakili keseluruhan masyarakat.”[16]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Bullock, Alan; Trombley, Stephen, Editors (1999), The New Fontana Dictionary of Modern Thought Third Edition, pp. 387–88.
  2. ^ The Columbia Encyclopedia, Fifth Edition. (1994), p. 1215.
  3. ^ Ross Hassig, Mexico and the Spanish Conquest (1994), pp. 23–24.
  4. ^ Bullock & Trombley 1999.
  5. ^ Clive Upton, William A. Kretzschmar, Rafal Konopka: Oxford Dictionary of Pronunciation for Current English. Oxford University Press (2001)
  6. ^ Oxford English Dictionary
  7. ^ "Timeline", US Hegemony, Flagrancy 
  8. ^ Hall, Stuart (1986). "The Problem of Ideology — Marxism without Guarantees" (PDF). Journal of Communication Inquiry. 10 (2): 28–44. doi:10.1177/019685998601000203. [pranala nonaktif permanen]
  9. ^ Gramsci, Antonio (1992). Buttigieg, Joseph A, ed. Prison Notebooks. New York City: Columbia University Press. hlm. 233–38. ISBN 0-231-10592-4. OCLC 24009547. 
  10. ^ Buttigieg, J. A. (1 March 2005). "The Contemporary Discourse on Civil Society: A Gramscian Critique". boundary 2. 32 (1): 33–52. doi:10.1215/01903659-32-1-33. 
  11. ^ Gramsci, Buttigieg, Joseph A, ed., Prison Notebooks (edisi ke-English critical), p 50 footnote 21, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-16, Long March Through the Institutions21 
  12. ^ Buttigieg, Joseph A. (2005). "The Contemporary Discourse on Civil Society: A Gramscian Critique". Boundary 2. 32 (1): 33–52. doi:10.1215/01903659-32-1-33. ISSN 0190-3659. Diakses tanggal 2010-06-30. 
  13. ^ Davidson, Carl (6 April 2006), Strategy, Hegemony & ‘The Long March’: Gramsci’s Lessons for the Antiwar Movement (web log) .
  14. ^ Marsch durch die Institutionen at German Wikipedia.
  15. ^ Antonio Gramsci: Misattributed at English Wikiquote for the origin of “The Long March Through the Institutions” quotation.
  16. ^ Althusser, Louis (2014). On the Reproduction of Capitalism. London/New York: Verso

Bacaan lebih lanjut

  • Beech, Dave; Andy Hewitt; Mel Jordan (2007). The Free Art Collective Manifesto for a Counter-Hegemonic Art. England: Free Publishing. ISBN 978-0-9554748-0-4. OCLC 269432294. 
  • Bullock, Alan; Trombley, Stephen, ed. (1999), The New Fontana Dictionary of Modern Thought (edisi ke-3rd) .
  • Flank, Lenny (2007). Hegemony and Counter-Hegemony: Marxism, Capitalism, and Their Relation to Sexism, Racism, Nationalism, and Authoritarianism. St. Petersburg, Florida: Red and Black Publishers. ISBN 978-0-9791813-7-5. OCLC 191763227. 
  • Gramsci, Antonio (1992), Buttigieg, Joseph A, ed., Prison notebooks, New York City: Columbia University Press, ISBN 0-231-10592-4, OCLC 24009547  More than one of |author-link=, |author-link=, dan |authorlink= specified (bantuan); More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan); More than one of |oclc= dan |OCLC= specified (bantuan)
  • Abercrombie, Nicholas; Turner, Bryan S. (June 1978). "The Dominant Ideology Thesis". The British Journal of Sociology. The London School of Economics and Political Science: Wiley-Blackwell. 29 (2): 149–70. doi:10.2307/589886. JSTOR 589886. 
  • Anderson, Perry (1977). "Antinomi dari Antonio Gramsci", Baru Meninggalkan Review, http://newleftreview.org/static/assets/archive/pdf/NLR09801.pdf

Pranala Luar