Maraden Panggabean

tokoh militer Indonesia
Revisi sejak 11 November 2017 10.32 oleh 120.188.64.28 (bicara)

Jenderal TNI (Purn.) Maraden Saur Halomoan Panggabean (29 Juni 1922 – 28 Mei 2000) adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan II serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan III. Selanjutnya pada tahun 1983-1988, Maraden menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Maraden Panggabean
[[Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia]] 8
Masa jabatan
1983 – 1988
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Idham Chalid
Pengganti
Sudomo
Sebelum
[[Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia]] 1
Masa jabatan
29 Maret 1978 – 19 Maret 1983
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Tidak Ada
Sebelum
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 3
Masa jabatan
28 Maret 1973 – 17 April 1978
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Soeharto
Pengganti
M. Jusuf
Sebelum
[[Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia]] 15
Masa jabatan
9 September 1971 – 29 Maret 1978
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Soeharto
Pengganti
M. Jusuf
Sebelum
[[Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban]] 2
Masa jabatan
19 November 1969 – 9 September 1971
PresidenSoeharto
Kepala Staf TNI Angkatan Darat 8
Masa jabatan
1 Mei 1967 – 25 November 1969
PresidenSoeharto
Informasi pribadi
Lahir(1922-06-29)29 Juni 1922
Hindia Belanda Tarutung, Sumatera Utara, Hindia Belanda
Meninggal28 Mei 2000(2000-05-28) (umur 77)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Partai politikGolkar
Suami/istriMatiur
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1945-1978
Pangkat Jenderal TNI
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal

Maraden lahir pada tanggal 29 Juni 1922, di Hutatoruan sebuah kampung yang terletak di lembah Silindung yang berjarak tujuh kilometer dari Tarutung ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Ayahnya bernama Marhusa, gelar Patuan Natoras dengan marganya adalah Panggabean dan ibunya bernama Katharina br Panjaitan. Maraden adalah anak kedua dari sepuluh bersaudara.[1]

Pada usia tujuh tahun ia masuk sekolah dasar di Pansurnapitu yang disebut dengan sekolah Zending.[2] Pada tahun 1930 saat ia duduk di kelas dua Sekolah Zending, ayahnya terpilih menjadi Kepala Negeri Pansurnapitu dan kemudian keluarganya pindah dari Hutatoruan ke Banjarnahor. Pada tahun 1934, Maraden harus berpindah sekolah karena ayahnya berhenti menjadi kepala negeri. Kemudian oleh ayahnya ia dimasukkan ke Schakelschool yang berada di Simarangkir.[3]

Karier Militer

Berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menggema di seluruh tanah air, termasuk di daerah Sumatera. Setelah berita proklamasi itu diketahui oleh rakyat di Sumatera, guna mewujudkan persatuan dan menguatkan semangat perjuangan bangsa, atas anjuran dari Mr. Teuku Mohamad Hasan dan Dr. Amir, pada tanggal 17 September 1945 dibentuklah “Panitia Kebangsaan”. Kemudian pada tanggal 23 September 1945 para pemuda Indonesia di Medan berkumpul di “Fusi Dori No. 6” yang sekarang telah dibongkar dan dibangun Hotel “Dirga Surya” menyusun Barisan Pemuda Indonesia untuk menegakkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Maraden Panggabean sebagai seorang Putera Indonesia yang patriotik dan telah mempunyai pengalaman dalam bidang kemiliteran sewaktu zaman penjajahan Jepang, melihat keadaan saat itu tidak mau ketinggalan dari teman-temannya, karena itu beliau terus ikut berjuang dengan aktif di daerahnya dalam rangka menegakkan dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945. Sekalipun beliau bekerja pada Jepang, bukan berarti jiwanya pada Jepang. Dia bekerja pada Jepang adalah untuk mencari pengalaman guna berjuang kelak mewujudkan cita-cita merdeka karena saat itu dapat dikatakan situasi belum mengijinkan untuk merebut kekuasaan dari tangan penjajah Jepang, hasrat Maraden Panggabean untuk berjuang melawan Jepang menjadi kenyataan, tatkala Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu dan didengungkan proklamasi kemerdekaaan Indonesia. Maraden Panggabean bersama pemuda lainnya dengan semangat pantang menyerah melaksanakan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang tanpa menghiraukan keselamatan jiwanya.

Guna lebih menigkatkan dan menyatukan perjuangan di daerah Sibolga, Maraden Panggabean membentuk “Pasukan Maraden”, yang nama resminya adalah “Barisan Pemuda Republik Indonesia”. Pasukan Maraden sekalipun nama pasukan bukan mencerminkan aparat resmi pemerintah, tetapi kontribusinya begitu banyak dalam penyusunan dan pembenahan kekuatan perjuangan di daerah Sibolga dan sekitarnya. Pembongkaran gudang-gudang dan pencurian senjata Jepang, penyergapan pos-pos penjagaan untuk memperoleh senjata telah membuahkan hasil yang cukup lumayan, sehingga dapat mengirim senjata-senjata ke ALRI di Tanjung Balai, ke Batalyon Pekanbaru pimpinan Kapten D. I. Panjaitan, dan kepada Marsose di Berastagi.

Dari keberhasilan-keberhasilan Pasukan Maraden dalam pengadaan senjata-senjata sekalipun dalam bentuk pencurian atau perampasan dari tentara Jepang, hal ini menunjukkan kepada kita tentang kehebatan dan kemampuan pasukan ini. Mereka mampu melaksanakan operasinya terhadap tentara Jepang yang persenjataan dan taktik militer jauh lebih unggul karena telah memiliki pangalaman-pengalaman tempur dalam perang Pasifik. Sekalipun pada awalnya Pasukan Maraden ini bukan aparat resmi pemerintah

dan kemampuannya telah dapat diandalkan, bukan berarti pasukan ini tidak loyal kepada pemerintah RI. Maraden Panggabean dengan tegas mengatakan

“….Saya tetap loyal kepada negara, khususnya kepada Soekarno-Hatta, selaku pimpinan negara….” .

Realisasi keloyalan dan kemampuan pasukan Maraden ini semakin jelas terbukti tatkala Pemerintah RI di Tapanuli menugaskannya untuk mengawal Kepala Kehakiman Tapanuli di Sibolga yaitu Prof. Dr. Mr. Hazairin, yang diangkat menjadi Residen pertama untuk daerah Bengkulu pada bulan Desember 1945. Pasukan Maraden di bawah pimpinan Agus Marpaung berhasil melaksanakan tugas dengan baik, di mana Residen sampai ke Bengkulu dengan selamat. Begitu mereka mendapat kepercayaan dari pemerintah, mereka langsung menerima dan melaksanakan tugas dengan penuh tanggungjawab tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kesulitan di lapangan. Sebenarnya banyak kesulitan yang dihadapi untuk melaksanakan tugas ini. Jarak yang akan ditempuh sekitar 1000 kilometer melalui empat Karesidenan yang satu sama lainnya belum ada koordinasi.

Sebagai tindak lanjut dari pengumuman pemerintah RI tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai-partai, maka barisan-barisan yang ada masing-masing memilih partai yang dirasakan paling sesuai dengan cita-cita perjuangannya. Sebaliknya partai-partai memilih atau membentuk pasukan yang sepaham dan ingin berafiliasi dengan mereka. Walaupun secara administratif antara Karesidenan Tapanuli dan Karesidenan Sumatera Utara terpisah, akan tetapi dalam masalah kepartaian kedua daerah ini adalah satu.

Kebanyakan partai mempunyai pusat di Medan namun cabang-cabangnya ada di Tapanuli. Pasukan yang terkuat saat itu baik dalam jumlah maupun persenjataan adalah Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Sumatera Timur. Maraden Panggabean dengan penuh keyakinan bahwa perjuangan Pemuda Sosialis Indonesia sesuai dengan cita-cita perjuangannya, akhirnya pasukan Maraden ini berobah menjadi Pasukan Pesindo Sibolga Julu, sesuai dengan kedudukan markasnya. Dari sekian banyak partai-partai yang ada di Sibolga, namun yang paling menonjol adalah Barisan Pesindo Sibolga Julu dengan gerakannya yang jauh lebih teratur dan persenjataan yang lengkap.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945 kemudian pada 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada tanggal 7 Januari 1946 berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) disusul kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tanggal 25 Januari 1946. Dengan adanya maklumat pemerintah RI tentang pembentukan TRI memberikan indikasi bahwa TRI-lah satu-satunya organisasi militer negara Republik Indonesia, akhirnya Pasukan Maraden mengintegrasikan diri kedalam TRI dan sebagian Pasukan Maraden berintegrasi dalam jajaran ALRI. Maraden panggabean sendiri diberi pangkat Kapten dan masuk kedalam Batalyon I Resimen IV TRI Divisi X / Tapanuli pimpinan Mayor Pandapotan Sitompul sebagai Kepala Staf.

Bersamaan dengan lahirnya maklumat pembentukan TRI khususnya untuk Sumatera, lahir pula keputusan pemerintah pusat mengenai pembentukan komando Sumatera yang membawahi satu Divisi VI di wilayah Tapanuli. Guna melengkapi divisi tersebut, maka batalyon-batalyon yang ada di Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan akan dijadikan resimen, yang kemudian akan membawahi batalyon-batalyon yang baru ini. Anggota Staf Resimen IV yang lama akan ditempatkan dalam staf divisi atau dalam staf resimen-resimen baru tersebut. Pertengahan bulan Juni 1946 dilakukan upacara pelantikan Divisi VI dengan komandannya Kolonel Muhammad Din, sedangkan Kepala Stafnya Letnan Kolonel Lucius Aruan. Pelantikan dilakukan di Lahat oleh Panglima Komandemen Sumatera Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo. Pelantikan resimen dan pejabat-pejabatnya dilakukan di Sibolga. Adapun pejabat-pejabat resimen yang dilantik pada saat itu adalah sebagai berikut :

  • Resimen I Divisi VI Sumatera berkedudukan di Sibolga, Komandan Mayor Pandapotan Sitompul tidak berapa lama kemudian menjadi Letnan Kolonel. Sedangkan Kepala Staf: Kapten Maraden Panggabean, tidak lama kemudian menjadi Mayor.
  • Resimen II Divisi VI Sumatera berkedudukan di Padangsidempuan, Komandan: Letnan Kolonel Sutan Mompang, Kepala Staf: Kapten Abdul Madjid Siregar.
  • Resimen III Divisi Sumatera berkedudukan di Tarutung, Komandan:Letnan Kolonel Jansen Siahaan, Kepala Staf: Mayor Elbiker Situmeang.

Baru lima bulan setelah Resimen Divisi VI tersebut diresmikan, tepatnya bulan Nopember 1946 telah terjadi kericuhan-kericuhan di Resimen II Padangsidempuan akibat kebijaksanaan Komandan Resimen yang dianggap diskriminatif oleh anggotanya sehingga tidak disenangi oleh para perwiranya. Pada akhir tahun 1946 terjadi perintah penggabungan Resimen I Sibolga dan Resimen II Padangsidempuan menjadi Resimen I Divisi VI di bawah pimpinan Mayor Maraden Panggabean sedangkan Resimen III menjadi Resimen II Divisi VI Sumatera. Tatkala para perwira masih berkonsolidasi dan berpikir bagaimana agar dapat melaksanakan penggabungan resimen Tapanuli secara wajar dan tertib tanpa menimbulkan sakit hati.

Pertempuran Medan Area

Datang permintaan dari Divisi IV Sumatera Timur pada akhir bulan Nopember 1946 agar Divisi VI dan daerah Tapanuli mengirim kontingen untuk bertugas di Medan Area dalam rangka menghadapi aksi-aksi bangsa penjajah di kota Medan dan sekitarnya. Untuk memenuhi permintaan tersebut maka diberangkatkanlah kontingen yang terdiri dari satuan TRI, Kepolisian, dan Laskar Rakyat dari Tapanuli. Pimpinan pasukan gabungan ini dipercayakan kepada Mayor Maraden Panggabean. Sewaktu bertugas di Medan Area Mayor Panggabean mempunyai pengalaman yang tidak bisa dia lupakan, yaitu sewaktu dia bersama dengan empat orang temannya kembali dari tugas pengintaian dan penyusupan melalui jalan raya mereka ditembaki oleh pasukan tetangga sendiri, sebab disangka mereka pasukan Belanda. Karena mereka luput dari maut dalam peristiwa tersebut, maka Panglima Divisi VI Kolonel Sitompul menawarkan untuk “menepung tawari” Maraden Panggabean, sekalipun akhirnya ditolak.

Selama tiga bulan lamanya bertugas di Medan Area, kemudian pasukannya ditarik kembali ke induk pasukannya di Sibolga. Di bawah kepemimpinan Mayor Maraden Panggabean, pasukannya berhasil menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan penuh disiplin, sehingga memuaskan hati Komandan Front Medan Area Letkol Sucipto.

Agresi Militer Belanda I (1947)

Pada pertengahan tahun 1947, nampaknya Belanda telah merasa siap untuk melancarkan offensif militernya yang bertaraf menentukan dalam rangka usahanya untuk menjajah kembali Indonesia. Pada bulan Juni 1947, kekuatan militernya telah berkembang menjadi lebih kurang 100.000 orang dengan perlengkapannya yang serba modern. Pada tanggal 28 Juni 1947 pemerintah kerajaan Belanda telah mengeluarkan ijin buat mengadakan penyerbuan terhadap Republik Indonesia.

Upaya-upaya kekerasan Belanda semakin jelas kelihatan tatkala Belanda mengajukan tuntutan-tuntutan ultimatum kepada pemerintah RI, antara lain: Belanda menuntut kerjasama dalam bidang pemerintahan, keuangan, import eksport, devisa, dan kerjasama militer. Belanda memberi ultimatum batas waktu kepada pemerintah RI selama 14 hari sejak tuntutan itu diajukan pada tanggal 27 Mei 1947. Tuntutan-tuntutan Belanda ini pada umumnya diterima oleh pemerintah RI, kecuali kerjasama militer. Niat baik yang telah diajukan oleh pihak RI yang lebih banyak mengalah, ternyata oleh Belanda dipergunakan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan baru, antara lain menghentikan segala permusuhan, penghentian blokade makanan, pembatalan perjanjian luar negeri dan lain-lainnya. Selain itu Belanda juga tetap menuntut kerjasama militer. Namun demikian pemerintah Republik Indonesia tetap konsisten akan pernyataannya semula, biarpun ada tekanan dari Belanda bahwa kerjasama militer dengan Belanda tetap ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Republik Indonesia, karena disadari bahwa tidak mungkin bangsa yang telah merdeka sistem keamanannya dipegang oleh bangsa asing.

Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Belanda ternyata hanya merupakan suatu tipu muslihat belaka untuk memperkuat dirinya, terbukti pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan terhadap wilayah NKRI. Sejak jam 05.30 dilancarkanlah serangan-serangan dari udara atas lapangan-lapangan terbang, markas-markas, asrama-asrama dan garis-garis perhubungan dengan serbuan kilat. Di Sumatera Utara Belanda menyerbu dengan “Brigade Z”, di Sumatera Tengah dengan “Brigade U”, di Sumatera Selatan dengan “Brigade Y”, di Jawa Barat dengan “Divisi B” dan “Divisi 7 Desember”, di Jawa Tengah dengan “Brigade T”, di Jawa Timur dengan “Divisi A”. Dalam serangan ini Belanda yakin dapat menguasai RI dan dapat menghancurkan TNI. Dalam hal ini mereka lupa memperhitungkan semangat TNI, khususnya dari rakyat Indonesia yang telah bertekad lebih baik hancur lebur dari pada dijajah kembali.

Dalam rangka menghadapi Agresi Militer Belanda Pertama ini Panglima Besar Jenderal Sudirman pada hari yang sama tanggal 21 Juli 1947 mengeluarkan perintah kilatnya melalui RRI Yogjakarta yang hanya berisi beberapa kata, yaitu “Ibu Pertiwi Memanggil”. Kalimat pendek ini didengungkan tiga kali sebagai isyarat bahwa Belanda telah memulai agresi kolonialnya. Satuan-satuan bersenjata RI diperintahkan untuk menanggulangi serta menghadapi agresi Belanda tersebut. Pertahanan militer kita yang terdiri dari atas lini pertama, lini kedua dan garis belakang (yang terkenal dengan pertahanan Linier) telah terpecah. Serangan Belanda yang telah menjurus jauh ke dalam telah memporak-porandakan garis itu, sehingga tidak ada lagi lini kesatu, lini kedua dan garis belakang. Akibatnya tidak ada lagi daerah-daerah pemunduran untuk pasukan-pasukan kita yang gencar mendapat serbuan pasukan Belanda. Namun sesuai dengan salah satu prinsip dan merupakan hakiki dari perlawanan gerilya, pasukan kita beralih kepada prinsip perjuangan “front di mana-mana”. Seiring dengan Agresi Belanda Pertama tersebut, pertempuranpertempuran terjadi di mana-mana, termasuk di daerah Sumatera. Dengan senjata-senjata modern dan berat, kendaraan berlapis baja dan pesawat terbang yang lengkap dan canggih, pasukan Belanda dapat menguasai daerah-daerah di Sumatera, seperti Mariendal Medan, Pancur Batu, Pantai Cermin, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Parapat dan daerah-daerah lainnya. Mengingat persenjataan pasukan kita yang seadanya saat itu maka tidak mungkin bertahan di daerah-daerah yang diserang oleh pasukan Belanda kita memilih gerakan mundur sambil melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan vital dan menghancurkan markas-markas.

Ditengah suasana Agresi Militer Belanda, pada tanggal 26 Juli 1947 Wakil Presiden RI Drs. Mohammad Hatta tiba di Pematang Siantar dalam rencana perjalanan ke Aceh. Dalam pertemuan yang sempat diadakan di Pematang Siantar, pimpinan-pimpinan dan anggota laskar bersumpah untuk membuka jalan ke Aceh dengan merebut kembali kota Medan. Rencana perebutan kembali kota Medan oleh laskar-laskar akan dilakukan pada tanggal 28 Juli 1947. Rencana untuk merebut kota Medan tanggal 28 Juli 1947, ternyata tidak kunjung dapat dilaksanakan, karena satu hari sebelum rencana serangan, yaitu tepatnya pada tanggal 27 Juli 1947 pasukan kita dikagetkan dengan mendaratnya pasukan Belanda sebanyak 500 orang prajurit di Pantai Cermin, lebih kurang 40 kilometer sebelah Timur Kota Medan. Kemudian sore hari 27 Juli 1947 Lubuk Pakam dikuasai oleh Belanda, dan Tebingtinggi tanggal 28 Juli 1947. Setelah Wakil Presiden mendengar bahwa kota Tebingtinggi telah jatuh ke tangan Belanda, maka beliau memutuskan kembali ke Bukittinggi. Rute yang akan dilalui oleh Wakil Presiden ialah Brastagi – Seribu Dolok – Sidikalang – Siborong-borong – Sibolga – Padang Sidempuan – Bukittinggi, menghindari kota Parapat yang menurut dugaan akan menjadi salah satu sasaran Belanda berikutnya. Dalam rangka pengamatan rute perjalanan Wakil Presiden inilah, Maraden Panggabean mendapat perintah untuk mengamankan perjalanan beliau dari Sibolga sampai ke perbatasan Tapanuli – Sumatera barat. Sekalipun Wakil Presiden meninggalkan kota Pematang Siantar dengan penuh kerahasiaan, tetapi pasukan Belanda masih dapat mencium keberadaan Wakil Presiden tatkala malam hari tanggal 28 Juli 1947 beliau mengadakan resepsi kecil di hotel penginapannya di Brastagi. Oleh karena itu pasukan Belanda malam itu juga memasuki Tanah karo. Pada saat itu pertempuran hebat terjadi antara pasukan pimpinan Selamat Ginting dengan pasukan Belanda sampai wakil presiden melalui jalur tersebut.

Manuver-manuver Belanda ternyata tidak dapat dibendung lagi hingga daerah-daerah Sumatera Timur lainnya seperti Pematang Siantar, Tiga Balata arah Parapat, Paneh Tongah arah Tanah Karo dan Bah Birong Ulu diduduki Belanda. Setelah kota Pematang Siantar dan sekitarnya dikuasai oleh Belanda, mereka mengarahkan gerakannya ke kota Parapat (jaraknya kurang lebih 47 kilometer dari Pematang Siantar). Sebelum Belanda menerobos ke Parapat, mereka mendapat perlawanan keras di Aek Nauli (30 kilometer dari Pematang Siantar). Dalam pertempuran sekitar Parapat tersebut turut satu Batalion dari Resimen II Divisi VI (Tapanuli) pimpinan Mayor Jese Simanjuntak. Mengingat kota Parapat merupakan pintu masuk ke daerah Tapanuli, maka para pasukan kita berusaha agar pasukan belanda tidak memasuki kota Parapat. Apabila Parapat sudah berhasil diduduki dengan sendirinya pasukan Belanda akan memasuki daerah Tapanuli dan sekitarnya. Dengan pertimbangan inilah Maraden Panggabean mendapat tugas dari komandan divisi untuk meledakkan batu lubang (terowongan) yang terletak lebih kurang delapan kilometer dari Parapat dan jembatan yang didepannya, agar kendaraan dan pasukan musuh tidak dapat memasuki Parapat dan daerah Tapanuli. Para pemuda membawa linggisnya memanjat gunung yang penuh batu-batuan besar sekitar batu lubang itu, batu-batuan dicongkel dan digelindingkan ke bawah sehingga berserakan di atas jalan. Sementara itu, Mayor Maraden Panggabean dibantu oleh Letnan Agus Marpaung dan Letnan Parlindungan Hutagalung membawa satu bom besar yang beratnya lebih kurang 200 kg tanpa detonator, bensin dan karet dengan maksud meledakkan bom itu dengan cara membakarnya. Dalam suasana ketegangan akibat suara-suara tembakan ditambah lagi dengan suara pesawat terbang Belanda yang meraung-raung, Mayor Maraden Panggabean dengan kawan-kawan dapat melekatkan bom tersebut pada tiang jembatan dan membakarnya. Namun hasilnya tidak seperti yang mereka harapkan sebelumnya, sekalipun bom itu meledak hingga jembatan roboh tetapi terowongan masih tetap ada, dan hanya beberapa buah batu besar bergelinding menambah yang sudah ada di jalan.Memang ada keinginan mereka untuk mengulangi pekerjaan semula, akan tetapi waktu tidak ada lagi, sehingga Maraden Panggabean dengan kawan-kawan segera meninggalkan Kota Parapat, beberapa hari kemudian Kota Parapat dikuasai oleh Belanda.

Dengan adanya Agresi Militer Belanda terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata menarik perhatian dunia internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) memerintahkan Belanda agar menghentikan agresinya. Akhirnya pada tanggal 4 Agustus 1947, pemerintah RI dan Belanda mengumumkan penghentian tembak-menembak. PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Amerika Serikat, Australia dan Belgia untuk menengahi sengketa RI-Belanda.Dengan perantaraan KTN pada tanggal 17 Januari 1948 dilangsungkan perundingan politik yang menghasilkan persetujuan Renville. Salah satu keputusan yang utama dalam persetujan Renville adalah penarikan satuan TNI/TNI AD dari kantong-kantong gerilya masing-masing ke seberang “Garis Van Mook” dan pelaksanaannya mulai tanggal 1 Februari 1948 dan harus selesai tanggal 22 Februari 1948.

Lebih jauh arti persetujuan Renville bagi Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

  1. Politis, persetujuan Renville itu berarti pengakuan de jure Republik terhadap kedaulatan kerajaan Belanda atas tanah air kita.
  2. Militer, persetujuan itu berarti menyerahkan kantong-kantong gerilya kita yang tak dapat direbut oleh Belanda dan telah membuntukan serbuan-serbuan tentara penjajahan Belanda itu, kepada pihak Belanda. Dengan demikian kita menjadi terkepung dan terancam.
  3. Ekonomis, persetujuan itu berarti kita menerima keadaan bahwa semua kota-kota besar, pusat-pusat produksi dan perdagangan dan pelabuhanpelabuhan besar untuk – perdagangan keluar telah berada dalam tangan Belanda. Ekonomi kita berada dalam keadaan terkepung, terblokade dan tercekik.
  4. Psikologis, persetujuan itu berarti kekecewaan yang tiada taranya bagi patriot-patriot pejuang Republik di daerah-daerah sebelah garis ciptaan Van Mook, termasuk daerah-daerah diluar Sumatera dan Jawa

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagai akibat dari perjanjian Renville ini wilayah RI bertambah sempit, pasukan TNI terpaksa meninggalkan kantong-kantong pertahanan, artinya terjadi pemindahan pasukan. Pemindahan pasukan terjadi di Jawa Barat (hijrah pasukan Siliwangi ke Jawa Tengah). Di Ujung Jawa Timur, di Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Dengan adanya perintah Hijrah bagi pasukan TNI berarti harus meninggalkan wilayah di mana mereka selama ini bahu membahu berjuang dengan rakyat setempat, juga harus meninggalkan kampung halaman, anak dan istrinya.

Kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (Re-Ra) TNI (1948)

Dalam suasana Renville, pemerintah melaksanakan reorganisasi dan rasionalisasi (Rera) TNI pada tahun 1948. Tujuan dari Rera tersebut antara lain:

  1. Menyederhanakan organisasi, menyesuaikan persenjataan dengan manpower.
  2. Membuat organisasi lebih efisien.
  3. Mengurangi pangkat tinggi yang telah banyak.

Akibat adanya Rera tersebut, maka M. Panggabean yang sebelumnya telah dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel, turun lagi pangkatnya menjadi Mayor. Sekalipun diturunkan pangkatnya satu tingkat, namun Maraden Panggabean sebagai seorang prajurit yang berdisiplin dan patuh serta taat terhadap keputusan atasan, ia terima kenyataan itu dengan sadar dan ikhlas. Sehubungan dengan turunnya pangkat tadi, selanjutnya Mayor Maraden Panggabean dialihkan tugasnya menjadi Komandan Operasi Sub Komandemen Tapanuli/Sumatera Timur-Selatan di Padang Sidempuan

Agresi Militer Belanda II (1948)

Pada awal Desember 1948 Dinas Intelijen Republik Indonesia melaporkan bahwa pihak Belanda sedang mengadakan persiapan penyerbuan besar-besaran terhadap wilayah RI. Menanggapi kenyataan itu, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada para Panglima untuk mengadakan persiapan-persiapan seperlunya seperti merusak jalan-jalan menuju garis demarkasi, pengungsian barang-barang dan alat-alat penting, persiapan untuk membangun markas-markas rahasia dan lain-lain.

Untuk menghadapi kemungkinan terjadinya agresi militer Belanda, sekaligus untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia disusun sistem pertahanan berdasarkan konsep pertahanan rakyat semesta yang diberi nama Wehrkreise. Pasukan TNI direkonstruksi atas pasukan mobil dan pasukan teritorial. Dalam rangka itu oleh pemerintah dibentuklah Komando Jawa dan Komando Sumatera yang masing-masing komando dipimpin oleh seorang Panglima. Komando Jawa dijabat oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, sedangkan Komando Sumatera dipegang oleh Kolonel R. Hidayat. Salah satu bagian dari komando Sumatera adalah wilayah Komando sub Territorium VII dipimpin oleh Letnan Kolonel A. E. Kawilarang. Adapun organisasi dan susunan personalia Sub Terr VII itu adalah sektor I meliputi daerah Tapanuli Selatan dan Sumatera Timur dipimpin oleh Mayor Bejo, sektor II meliputi daerah Tapanuli Utara dan Simalungun dipimpin oleh Mayor Liberty Malau, sektor III meliputi Sidikalang dan sebagian Tanah Karo dipimpin oleh Mayor Selamet Ginting, sektor IV meliputi Kabupaten Tapanuli Tengah dipimpin oleh Mayor Maraden Panggabean.

Perkiraan para pejuang ternyata tidak meleset, karena pada tanggal 18 Desember 1948 jam 23.30 Belanda menyatakan kepada komisi jasa-jasa baik PBB, bahwa mulai tanggal 19 Desember 1948 jam 00.00 waktu Jakarta tidak terikat lagi persetujuan Renville. Malam itu juga pada jam 00.30 anggota-anggota delegasi Indonesia ditangkapi oleh Belanda. Selanjutnya tanggal 19 Desember 1948 jam 05.30 Belanda dengan pesawat-pesawat pembom Mitchell B-25 memecah ketenangan Ibu Kota RI Jogjakarta secara besarbesaran, serangan yang sama juga terjadi di Bukittinggi ibukota Sumatera. Dalam melancarkan perang penjajahannya itu, Belanda telah mengerahkan seluruh daya maupun militernya yang berjumlah 135.000 serdadu dengan perlengkapan-perlengkapan modern yang berasal dari bantuan “Marshall Plan” Amerika. Disamping itu perlengkapan perang tentara pendudukan sekutu di Indonesia pun hampir seluruhnya diwariskan kepada mereka waktu tentara sekutu ditarik mundur pada tahun 1946, dan ditambah lagi dengan perlengkapan pinjaman dari sekutu dari masa Perang Dunia II.

Sekalipun tentara Belanda dalam Agresi II tersebut berhasil menawan Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta, bukan berarti riwayat bangsa Indonesia sudah tamat sebagaimana yang diklaim oleh Belanda, karena Presiden sebelum ditawan telah memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk melanjutkan memimpin pemerintahan, yang selanjutnya dikenal dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Sumatera. Biarpun kota-kota penting di Jawa dan Sumatera sudah dikuasai Belanda, namun rakyat bersama TNI bertahan di desa-desa dan lereng-lereng gunung, kampung-kampung yang tidak bisa dijangkau oleh musuh untuk bergerilya.Dengan demikian Belanda tidak bisa berbuat banyak terhadap rakyat serta TNI yang bergerilya di lereng-lereng gunung dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dalam rangka Agresi Militer Belanda II ini, tentara Belanda mendaratkan pasukannya di Sibolga, dan pada tanggal 2 Januari 1949 Padang Sidempuan telah diduduki. Sewaktu Padang Sidempuan diserbu, pihak TNI mundur dan malam harinya TNI bersama-sama dengan pemuda mengadakan serangan terhadap kedudukan Belanda. Dengan adanya serangan malam yang dilakukan oleh pasukan Maraden maka pihak Belanda merasa dirinya tidak aman menempati daerah itu, terutama malam hari.

Pertempuran-pertempuran gerilya berkobar di mana-mana dengan heroik dan patriotik, termasuk di daerah Sumatera. Para anggota TNI Sub Territorium VII dalam melaksanakan taktik gerilya sulit sekali dihadapi oleh tentara Kolonial Belanda, sehingga sering memaki-maki dengan kata “Syaitan alas”. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Komandan Sektor IV pimpinan Mayor M. Panggabean di Tapanuli telah menimbulkan kerugian-kerugian yang tidak sedikit bagi pasukan Belanda, terutama di sepanjang jalan antara Tarutung dan Sibolga. Jalan tersebut merupakan urat nadi untuk menyalurkan perbekalan pasukan Belanda di daerah bersangkutan, sehingga diberi nama julukan sebagai “de dodenweg” (jalan kematian), disebabkan penghadangan-penghadangan dan seranganserangan yang hampir setiap hari dilakukan oleh pasukan Sektor IV. Dengan tidak kenal menyerah, Komandan Sektor IV Mayor Maraden Panggabean dibantu dengan Kapten Sahala Hutabarat, Kapten Henry Siregar, Letnan Sinta Pohan, Letnan Agus Marpaung, Letnan Parlindungan dan Letnan Pangihutan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Belanda. Akibat perlawanan-perlawanan gerilya yang ditampilkan oleh Mayor. M . Panggabean dan kawan-kawan, maka Belanda terpaksa mengerahkan pesawat-pesawat udaranya guna melakukan pemboman dan penembakan secara membabibuta terhadap wilayah Tapanuli dan sekitarnya, sehingga menimbulkan banyak korban terutama anak-anak, orangtua, dan para ibu. Namun demikian, para gerilyawan tidak gentar dalam mengadakan perlawanan terhadap Belanda, bahkan semakin membakar semangatnya untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia yang dicintai.

Pada minggu kedua bulan Mei 1949 diterima berita dari Komandan Sub Terr VII Letkol A. E Kawilarang bahwa pertengahan bulan Juni 1949 Presiden Ir. Soekarno dan Wakilnya Drs. Moh. Hatta akan kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan perundingan dengan Belanda atas desakan Dewan Keamanan PBB.Bersamaan dengan berita ini, Komandan Sub Terr. VII memberi instruksi untuk meningkatkan penggempuran dan penghadangan terhadap konvoi Belanda, karena informasi yang masuk bahwa pimpinan tentara Belanda akan berkeliling mengadakan inspeksi ke daerah-daerah untuk melihat usaha pembersihan oleh pasukan Belanda. Mendapat berita semacam ini, Mayor M. Panggabean sebagai Komandan Sektor IV segera bergerak untuk mengatur penghadangan secara taktis. Pada tanggal 24 Mei 1949 konvoi pasukan Belanda yang dikawal olehempat panser bergerak dari Sibolga menuju Tarutung, Komandan Sektor IV Mayor Maraden Panggabean memimpin langsung Raum “A”, Raum I, II, III, dan IV melakukan penghadangan. Dalam pengahadangan yang berlangsung dari pukul 07.00 – 09.00 terjadi kontak senjata yang seru di Km 8 – 10 desa Simaninggir, Bonandolok yakni daerah operasi Raum I pimpinan Henry Siregar dan Raum III pimpinan Agust Marpaung.

Sebagaimana biasa, selesai melakukan serbuan dengan perhitungan waktu, tenaga, dan peluru yang sudah direncanakan sebelumnya, pasukan segera mengundurkan diri. Namun suatu keanehan terjadi, karena konvoi Belanda yang dikawal oleh empat panser yang bergerak menuju Tarutung, setelah terjadi kontak senjata dengan tiba-tiba berputar haluan kembali ke Sibolga, tidak lama kemudian muncul konvoi dari Tarutung menuju Sibolga yang maksudnya bergabung dengan pasukan yang datang dari Sibolga menuju Tarutung. Konvoi ini mendapat hantaman yang sangat telak dari pasukan yang sudah siap menghadang, dengan susah payah dan merangkak setapak demi setapak, akhirnya konvoi ini berhasil lolos ke Sibolga. Menjelang sore diperoleh informasi bahwa konvoi Belanda yang bergerak dari Sibolga menuju Tarutung, tetapi antara pukul 10.00 – 11.00 kembali ke Sibolga dan langsung ke rumah sakit setelah menerima hantaman pasukan gerilya di sekitar Bonandolok. Di rumah sakit diturunkan seseorang yang terluka terkena tembakan dan mendapat pengawalan yang sangat ketat. Pada siang hari itu juga mendaratlah sebuah pesawat Katalina di Teluk Sibolga, kemudian dengan pesawat ini, korban yang tertembak pagi tadi diterbangkan langsung ke Jakarta. Keesokan harinya tanggal 25 Mei 1949, diterima berita dari Radio Belanda bahwa Jenderal Spoor telah meninggal dunia. Pada waktu itu belum dapat dipastikan apakah Jenderal Spoor tertembak dalam pertempuran, versi Pemerintah Belanda di Jakarta mengatakan bahwa Ia meninggal di rumah sakit tentara (sekarang RSPAD Gatot Subroto) karena menderita penyakit trombase atau penyakit jantung, yang jelas pihak Belanda sangat tertutup tentang informasi kematian Jenderal Spoor. Namun demikian, banyak masyarakat yang meyakini bahwa tewasnya Jenderal Spoor adalah tertembak dalam pertempuran penghadangan tanggal 24 Mei 1949. Hal ini berdasarkan kesaksian Siti Rahmanun Sitompul, seorang anggota palang merah TNI yang merupakan istri dari Lettu M. Idris Nasution yang sedang bergerilya. Pada saat itu ia selesai berobat ke rumah sakit Sibolga karena infeksi payudaranya akibat ditusuk jarum peneti, dengan maksud air susunya keluar, sehingga bisa menyusui bayinya Ketika Siti Rahmanun Sitompul hendak ke luar dari rumah sakit terdengar sirene meraung, dan semua jalan diblokir sehingga ia tidak dapat ke luar. Menurutnya, serdadu Belanda sangat sibuk, dan tidak lama kemudian konvoi berhenti di depan rumah sakit dan menurunkan peti mati yang ditutupi bendera Belanda dengan dikawal empat perwira Belanda. Setelah itu seorang dokter Belanda ke luar dari ruangan menuju kearah peti mati, dengan suara tidak keras dokter tersebut bertanya kepada salah seorang perwira Belanda dengan kalimat Wie is het? (Siapa itu), dijawab Onze General is al dood. Hij is er al geweest (Jenderal kita sudah mati. Dia sudah dari sana). Kesaksian lain adalah dari mantan Kopral KNIL bernama Justin Lumbantobing yang mengatakan kepada M. Panggabean pada tahun 1951, ia mengatakan bahwa pada tanggal 24 Mei 1949 bertugas mengawal Jenderal Spoor, Jenderal ini bukan mati karena serangan jantung tetapi karena luka-luka akibat penghadangan di daerah antara Sibolga dengan Aek Maranti Kesaksian tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Sersan Mayor Tumanggor mantan ajudan Jenderal Spoor, pada tahun 1951 ia mengatakan pada pak Bedjo, bahwa Jenderal Spoor bukan mati karena serangan jantung, tetapi karena penghadangan dan serangan yang dilakukan oleh TNI di Sumatera Utara.

Meskipun menurut beberapa saksi bahwa Sektor IV yang dipimpin oleh M. Panggabean berhasil menewaskan Jenderal Spoor, yakni Panglima tentara Belanda di Indonesia, namun M. Panggabean tidak membanggakan diri, dan tidak pernah mengemukakan bahwa Jenderal Spoor tewas karena diserang oleh pasukannya di Sektor IV, bahkan untuk menjawab polemik kesimpang siuran tewasnya Jenderal Spoor, ia mengatakan “Biarlah sejarah yang berbicara”.

Agresi Militer Belanda di Jawa dan Sumatera dijawab oleh kekuatan TNI dan rakyat Indonesia dengan letusan senjata, hal ini meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri pertikaian antara Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Alhasil pada tanggal 27 Desember 1949 ditandatangani persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda yang isinya Belanda mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sejak saat itulah berakhir perseteruan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda.

Pasca Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia (1950)

Setelah pengakuan kedaulatan, karier Maraden Panggabean tidak berhenti disitu saja, karena pada tahun 1950 beliau dipercaya menjadi Komandan Batalyon 104 / Waringin, Brigade III TT I/Bukit Barisan di Pematang Siantar (Sumatera Timur). Sewaktu menjabat Komandan Batalyon 104 terjadi aksi-aksi rakyat menuntut supaya Negara Sumatera Timur dengan pasukan “Blauwe Pijpers-nya”, dibubarkan. Aksi-aksi tersebut dilancarkan di beberapa daerah seperti: di Tanah Karo, Sumatera Tengah, Sumatera Timur-Selatan, Langkat, dan Deli.

Pada tanggal 30 dan 31 Januari 1950, aksi dilancarkan di Pancur Batu, yang kemudian gerakannya sampai ke Medan. Untuk menjaga agar aksi-aksi tersebut tidak menjadi lebih gawat lagi, maka pemerintah mengadakan tindakan-tindakan untuk mengatasinya. Dalam mengatasi aksi-aksi inilah Mayor M. Panggabean ditunjuk oleh pemerintah. Berkat adanya kerjasama yang baik antara rakyat, TNI dan pemerintah setempat, akhirnya aksi-aksi tersebut dapat diatasi. Tanggal 13 Agustus 1950 Dewan Sementara Negara Sumatera Timur membubarkan Negara Sumatera Timur.

Mayor M. Panggabean menerima penyerahan wilayah Simalungun/Pematang Siantar dari Komandan Batalyon “Blawe Pijpers” setempat. Pada waktu bersamaan M. Panggabean dengan batalyonnya juga diperintahkan untuk menghancurkan gerombolan Marmata Cs, yang masih mengganggu daerah Simalungun khususnya jalan raya “Harangan ganjang” antara Pematang Siantar dan Parapat, di mana tugas dilaksanakan secara tuntas dalam waktu yang relatif singkat dengan memimpin sendiri secara langsung operasi-operasi penghancuran gerombolan tersebut. Setelah berhasil menumpas gerombolan Marmata Cs, Komandan Batalyon 104 Waringin TT. I/Bukit Barisan Mayor Inf M. Panggabean mendapat penghargaan dari Komando atas untuk mengikuti pendidikan Militer Chandradimuka pada tahun 1952 di Bandung. Selesai mengikuti pendidikan, Mayor Inf M. Panggabean mendapat amanah jabatan baru pada tahun 1952, yaitu dari Komandan Batalyon 104 Waringin TT.I/Bukit Barisan menjadi Komandan Brigade X TT. II/Sriwijaya, Palembang.

Pindah Tugas ke TT II / Sriwijaya (1952)

Keberhasilan M. Panggabean mengatasi kekacauan di daerah-daerah Sumatera dan seusai mengikuti pendidikan kursus Chandradimuka di Bandung, kemudian pada bulan Mei 1952 M. Panggabean mendapat kepercayaan dari Pemerintah RI untuk menjabat sebagai Komandan Brigade X TT. II/Sriwijaya. Pada saat awal kepindahannya ke satuan baru, Brigade X TT. II/Sriwijaya terdiri dari dua Resimen Infantri, yaitu satu berkedudukan di Telukbetung dengan daerah tugasnya seluruh daerah Lampung, dan satu lagi Resimen Infantri yang berkedudukan di Palembang di mana Mayor Inf. M.Panggabean ditempatkan dengan daerah tugasnya Sumatera Selatan (Palembang, Jambi, dan Bengkulu). Dua Brigade ini kemudian dilikuidasi menjadi satu Resimen dengan nama Resimen Infanteri 5 TT. II/Sriwijaya, dan sebagai pejabat Komandannya adalah Mayor Inf. M. Panggabean.

Pada tahun 1953 M. Panggabean selaku Komandan Resimen 5 TT. II/Sriwijaya mendapat perintah untuk mengirim satu Batalyon yang akan diperbantukan ke TT. III/Siliwangi dalam usaha penumpasan DI/TII di Jawa Barat. Suatu ketika M. Panggabean berkesempatan untuk meninjau Batalyon yang dikirimnya ke daerah operasi disekitar Tasikmalaya, dengan menggunakan kendaraan Jeep yang telah disediakan Komandan TT. III/Siliwangi. Dalam peninjauan ke daerah Tasikmalaya tersebut M. Panggabean hanya ditemani seorang ajudan dan seorang pengemudi langsung menuju ke daerah Tasikmalaya. Pada suatu simpang tiga dekat Malangbong, M. Panggabean dengan ditemani 2 orang dan tanpa senjata otomatis berhenti dan bertanya kepada masyarakat setempat arah jalan menuju ke Tasikmalaya. Dengan keheranheranan penduduk setempat kapada M. Panggabean yang terlalu berani melewati daerah Malangbong hanya dengan ajudan dan pengemudi. Malangbong merupakan tempat kelahiran Kartosuwiryo dan di daerah ini beroperasi Batalyon Kalipaksi yang diandalkan oleh Kartosuwiryo. Setibanya di pos Komando, Kapten Bargowo selaku komandan Batalyon 201 yang dikirim M. Panggabean ke TT. III/SLW sangat kagum terhadap Komandan Resimen 5 TT. II/Sriwijaya yang sangat berani menembus jalan yang terkenal sangat berbahaya hanya bersama ajudan dan pengemudi saja.

Selama peninjauannya M. Panggabean memberikan petunjuk kepada Kapten Bargowo, tentang hubungan TNI dengan rakyat dan segi-segi territorial lainnya. Ini bertujuan agar rakyat bisa merasakan perbedaan tingkah laku pengacau dengan tingkah laku anggota TNI yang ber Sapta Marga.Pada tahun yang sama tepatnya tanggal 20 September 1953 meledaklah pemberontakan Daud Beureuh di Aceh yang diakibatkan kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat Jakarta yang tidak memberikan status propinsi pada tanah Aceh atau menyatakan sebagai daerah istimewa setelah perjuangan selesai. Daud Beureuh yang pernah menjadi Gubernur pada waktu itu juga tidak mempunyai tempat dalam pengelolaan Negara. Dengan terjadinya pemberontakan Daud Beureuh ini M. Panggabean mendapat perintah untuk mengirimkan pasukan dalam penumpasan pemberontakan Daud Beureuh di Aceh. Dalam operasi penumpasan ini M. Panggabean mengirimkan 2 batalyon yaitu dibawah pimpinan Kapten Subroto dan Batalyon Kapten Juhartono. Dalam setiap pengiriman pasukan ke daerah operasi. Maraden Panggabean selalu menyempatkan untuk mengunjungi dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahannya agar berhasil dalam pelaksanaan tugasnya.

Pada tahun 1954 pangkat Maraden Panggabean naik satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula dari Mayor menjadi Letnan Kolonel. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Sukarno nomor: 213/M Tahun 1954 tanggal 28 Agustus 1954.

Pada tanggal 17 Pebruari 1955 Letkol M. Panggabean tergabung dalam Tim Perwira TT. II untuk memberikan masukan-masukan dalam Konferensi Perwira Angkatan Darat di Yogyakarta dalam rangka membina keutuhan Angkatan Darat. Tim perwira TT. II/Sriwijaya berjumlah 15 orang, terdiri dari Kolonel 1 orang, Letkol 2 orang, Mayor 7 orang, dan Kapten 5 orang, nama-namanya sebagai berikut:

  1. Kolonel Bambang Utoyo Panglima TT. II/Sriwijaya.
  2. Kapten Alamsyah Ratu Perwiranegara Kasi 2 TT. II/Sriwijaya.
  3. Mayor Darmo Sugondo Komandan Batalyon Inf. D.
  4. Mayor D. I Pandjaitan Wakil Kepala Staf TT. II.
  5. Mayor Haffiludin Komandan Batalyon PM. II.
  6. Mayor Hasan Kasim Pa CIAD TT. II/Sriwijaya.
  7. Letkol Ibnu Sutowo Kepala DKAD TT. II/Sriwijaya.
  8. Kapten J. M Patiasena Komandan Batalyon Genie PL. TT. II/Sriwijaya.
  9. Mayor Jusuf Kepala Cabang BPAT II.
  10. Letkol M. Panggabean Komandan RI 5 TT. II/Sriwijaya.
  11. Mayor Musanif Ryacudu Komandan KMKB Palembang.
  12. Kapten Nur Nasution Komandan IPRI TT. II/Sriwijaya.
  13. Mayor Roosman Komandan RI 6 TT. II/Sriwijaya.
  14. Kapten Supardjo Komandan Depot Batalyon Tjurup.
  15. Kapten S. Brotohamidjojo Sekretaris rapat-rapat khusus rahasia.

Ketika menjabat Komandan Resimen Infanteri 5 TT. II/Sriwijaya pernah mendapat penghargaan dari komando atas, yaitu ditetapkannya sebagai Komandan Defile pada tanggal 17 Agustus 1955 di Jakarta, hal ini berdasarkan surat keputusan Kasad No: 273/Kasad/Kpts/55 tanggal 26 Juli 1955 yang ditandatangani Asisten I Kasad Letkol Inf Sapari Soeriadibrata. Skep Kasad tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat perintah Wakil Kepala Staf Angkatan Darat No: 352/Kasad/SP/55 tanggal 26 Juli 1955 tentang perintah kepada Panglima TT. II/Sriwijaya yang saat itu dijabat oleh Kolonel Bambang Utoyo untuk memerintahkan Letkol Inf M.Panggabean Nrp 12150 jabatan Komandan Resimen Infanteri 5 TT. II/Sriwijaya untuk menjabat sebagai Komandan Defile pada tanggal 17 Agustus 1955 di Jakarta.

Tugas Belajar ke Amerika Serikat (1956)

Atas keberhasilan Letkol Inf.Maraden Panggabean dalam menjalankan tugasnya sebagai Komandan Defile 17 Agustus, maka komando atas memberikan penghargaan kepadanya untuk mengikuti pendidikan Infantry Officer Advanced Course, di Negara Amerika Serikat. Hal ini dengan dikeluarkannya surat perintah Kepala Staf Angkatan Darat Nomor: SP – 81/5/1956 tanggal 22 Mei 1956 tentang perintah untuk mempersiapkan diri guna pemberangkatan ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan Infantery officer Advanced course (7.0.3), sedangkan tanggal pemberangkatan akan ditentukan lebih lanjut

Dalam surat perintah ini, ada 5 Pamen yang mendapat penghargaan pimpinan, yaitu Komandan Resimen Infanteri 5 Terr. II/Sriwijaya Letkol M.Panggabean, K-II Staf Umum Terr. III Letkol Moersjid, Perwira menengah diperbantukan pada Plm. Terr. V Letkol CH. Soedono, Perwira menengah diperbantukan KSAD Mayor Prijatna, Pejabat Komandan PPI Mayor Brotosewojo, Perwira menengah SUAD Mayor Soeharjo.

Surat tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat perintah Kepala Staf Angkatan Darat Nomor: SP – 235/7/1956 tanggal 4 Juli 1956 tentang perintah sambil menunggu keberangkatan ke Amerika Serikat, 4 Pamen dari 6 Pamen tersebut diperbantukan masing-masing sebagai berikuat: Letkol M. Panggabean tetap Komandan Resimen Infanteri 5 Terr. II/Sriwijaya, Letkol Moersjid sebagai Kepala Staf Umum 5 TT. III, Letkol CH Soedono sebagai Perwira menengah diperbantukan pada inspektorat Territorial dan perlawanan rakyat, Mayor Prijatna tetap perwira menengah diperbantukan pada KSAD.

Perintah selanjutnya Letkol M. Panggabean berangkat ke luar negeri yakni Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan Infantry officer Advanced Course (7.0.3), setelah selesai pendidikan, pada tahun 1958 Letkol M.Panggabean dipromosikan sebagai Perwira Menengah diperbantukan Inspektorat Jenderal Pendidikan Umum TNI Angkatan Darat tmt 1-6-1958, hal ini berdasarkan surat keputusan Kepala Staf Angkatan Darat No: KPTS – 324/6/1958 tanggal 12 Juni 1958 tentang keputusan pemberhentian dari jabatan lama diangkat dalam jabatan baru.

Karena kondisi negara yang tidak kondusif dengan banyaknya terjadi pemberontakan di daerah, Letnan Kolonel M. Panggabean diangkat menjadi Komandan RTP (Resimen Team Pertempuran) III Palopo dalam rangka penumpasan gerombolan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakar dan PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia –Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Sebagai Komandan RTP (Resimen Team Pertempuran) III Palopo Letkol M. Panggabean mempersiapkan dengan sebaik-baiknya RTP III yang akan ditugaskan, dalam rangka mengemban tugas :

Kesatu : Mengadakan operasi Penumpasan terhadap pasukan-pasukan DI/TII Kahar Muzakar dan pasukan-pasukan PRRI-Permesta,

Kedua : Memisah dan mencegah pasukan-pasukan PRRI-Permesta bergabung dengan pasukan-pasukan Kahar Muzakar.

Ketiga : Mengusahakan agar para pemberontak kembali ke pangkuan ibu pertiwi dengan jaminan akan mendapat perlakuan sesuai dengan kebijaksanaan KSAD.

Keempat : Menjalankan operasi territorial untuk menciptakan dan memeliahara normalisasi dalam kehidupan masyarakat.

Letkol M. Panggabean telah menyiapkan semua Pengorganisasian RTP III di Jakarta, dengan berintikan kekuatan RTP yang berasal dari satu Batalyon Kodam Kalimantan di bawah pimpinan Mayor Sutoyo, kemudian digantikan oleh Mayor Sony Subagio dan batalyon dari Kodam Udayana di bawah pimpinan Kapten Suntoro.Pada saat penyusunan organisasi RTP III para staf lama ditarik kembali ke Kodam induknya antara lain Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya, maka dalam pengorganisasian RTP III Letkol M. Panggabean mendapat bantuan dari SUAD III, dengan susunan organisasi sebagai berikut :

  1. Komandan RTP-III : Letkol Maraden Panggabean
  2. Kepala Staf : Mayor Bawadi Simatupang
  3. Pa Seksi I/Intel : Kapten Sudewo
  4. Pa Seksi II/Ops : Kapten R. F Sudirdjo
  5. Pa Seksi III/Pers : Kapten Johan Marpaung
  6. Pa Seksi IV/Log : Kapten Matulo
  7. Pa Seksi V/Ter : Kapten Suhindio
  8. Komandan Detasemen Staf : Lettu Sudarsono
  9. Perwira Penerangan : Lettu I G. Dwipayana
  10. Dokter RTP III : Kapten dr. Subagio

Dalam pemberangkatan pasukan ke Palopo Letkol M. Panggabean memerintahkan tiga perwira untuk berangkat naik kapal laut mendahului guna mempersiapkan akomodasi bagi staf RTP, namun karena kerusakan propeler, kapal tersebut baru dapat mendarat di Palopo tanggal 18 November 1958 pukul 08.00. Pada tanggal 19 November 1958, Letkol Maraden Panggabean berangkat ke Makassar dan tiga hari kemudian menerima Komando RTP III dari Kodam XIV Hasanuddin. Mengenai keadaan pasukan lawan, Letkol Maraden Panggabean memperoleh informasi, bahwa di daerah rawa-rawa di sebelah utara Palopo bercokol beberapa pasukan dari Kahar Muzakkar yang mungkin sudah mempunyai kontak untuk kerjasama dengan pasukan PRRI-Permesta yang menyusup ke daerah itu. Akan tetapi masih perlu dicari tambahan informasi mengenai konsentrasi dan maksud lawan.

Di sebelah barat Palopo ada pasukan Kahar Muzakkar di bawah pimpinan Bahar Mataliu yang tadinya merupakan orang kedua dari Kahar Muzakkar. Belakangan mereka berdua berselisih paham, sehingga Bahar Mataliu hendak dikirim oleh Kahar Muzakkar ke luar negeri. Bahar Mataliu kemudian merintis jalan untuk “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. Sewaktu Letkol Maraden Panggabean memegang Komando RTP III ini, hal itu dapat direalisasikan dan Bahar Mataliu melapor kepada M. panggabean di Palopo. Acara ini dilakukan kira-kira pada awal Desember 1958. Pasukan Bahar Mataliu tampaknya sangat tertib, apalagi pakaian seragamnya yang hijau lebih bagus daripada yang dipakai oleh Anggota TNI. Sewaktu Maraden Panggabean bertemu dengan Bahar Mataliu dan menanyakan dari mana dia mendapatkan pakaian seragam yang begitu bagus, dia hanya tersenyum dan menjawab “Tidak tahu Pak, saya tinggal pakai”. M. Panggabean mendapat informasi bahwa pakaian seragam itu mereka peroleh sebagai imbalan atau hasil barter kopi dari pedalaman Sulawesi Selatan ke Tawao atau Singapura. Menunggu penempatan selanjutnya, pasukan Bahar Mataliu ini oleh M. Panggabean ditempatkan sebagai cadangan umum dari RTP III di sekitar daerah Palopo.

Dalam pelaksanaan tugas RTP III, daerah RTP III M. Panggabean membagi atas dua Vak, yaitu Vak Utara dan Vak Selatan, dengan menugaskan satu batalyon untuk setiap Vak Tugas Komando Batalyon sebagai Komando Vak untuk membersihkan daerahnya masing-masing. Dengan cara tersebut di atas keadaan di daerah operasi RTP III menjadi relatif aman, sehingga perhatian dapat dicurahkan kepada masalah kehidupan rakyat yang sangat memprihatinkan, terutama di Tana Toraja. Karena berada di daerah pegunungan di tengah-tengah pulau Sulawesi yang keadaan jalannya pun jelek, serta kendaraan sangat terbatas, kebutuhan Sembilan bahan pokok yang esensial pun tidak dapat dipenuhi di daerah itu. Minyak tanah misalnya harus didatangkan dari Palu yang diangkut dalam tabung-tabung bambu. Selain itu pasukan DI/TII sering juga mengganggu satu-satunya jalan arteri dari daerah Palopo ke Tana Toraja itu. Maka M. Panggabean menginstruksikan, supaya harus diadakan patroli terusmenerus agar bahan-bahan pokok dapat tersalur ke Tana Toraja tanpa gangguan.

Dari Kas Koandait hingga Deyah Kalimantan (1959)

Setelah keberhasilannya sebagai Komandan RTP III, oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno Letkol M. Panggabean akan dipromosikan sebagai Panglima Kodam XV Pattimura, namun promosi jabatan tersebut tidak terlaksana. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Kasad No. Kpts –845/10/1959 tanggal 7 Oktober 1959 tentang penetapan Letkol M.Panggabean Nrp 12150 Komandan RTP Daerah III Palopo sebagai Kas Koandait (Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia Timur). Surat tersebut ditindaklanjuti dengan Radiogram Kasad No. T–4252/1959 tanggal 21 Oktober 1959 tentang penunjukan Letkol M.Panggabean Nrp 12150 sebagai Kas Koandait.

Surat komando atas ditindaklanjuti oleh Deputy Kepala Staf Angkatan Darat No. SP – 0763/12/1959 tanggal 7 Desember 1959 tentang perintah kepada Letkol M. Panggabean Pamen Itjen PU ditugaskan sebagai Komandan RTP Daerah III Palopo untuk segera menerima tugas jabatan sebagai Kas Koandait. Selanjutnya Pangkoandait Mayjen TNI Ahmad ani mengeluarkan surat perintah Nomor 0095/2/60 tentang pengangkatan Letkol M. Panggabean sebagai Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia Timur.

Pada saat menjabat Kas Koandait, pangkat Maraden Panggabean naik satu tingkat lebih tinggi dari Letkol ke Kolonel terhitung mulai tanggal 1 Januari 1960, hal ini sesuai dengan Skep Presiden RI No. Kpts 6/M/1960 tanggal 16 Januari 1960, ketika itu yang menjabat sebagai Deyahit adalah Mayjen TNI Ahmad Yani. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari Kolonel Inf Maraden Panggabean mendapat kepercayaan dari Mayjen TNI Ahmad Yani yang juga menjabat sebagai Deputi I KSAD merangkap Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur untuk menggantikannya karena berbagai kesibukan di Jakarta. Sewaktu menjabat Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia bagian Timur Kolonel Inf Maraden Panggabean berdasarkan Surat Perintah Pangkoandait NRP-nya mengalami kekeliruan, sebagaimana yang tertulis dalam surat perintah Deyahit No: SP – 0198/4/1960 tanggal 26 April 1960 bahwa Nomor Register Prajurit (NRP) Kolonel Inf Maraden Panggabean tertulis 291489. Kekeliruan penulisan ini kemudian dibetulkan dengan diterbitkannya surat perintah Deputi Wilayah Koandait Nomor: SP - 0198 a/4/1960 tanggal 3 Mei 1960 tentang perubahan dan pembetulan NRP, dari 291489 ke 12150.

Perubahan jabatan Kolonel M. Panggabean dari Komandan RTP Daerah III Palopo ke Kas Koandait guna persiapan untuk merebut kembali Irian Barat yang diperkirakan bahwa penyerangan secara fisik dapat dilakukan pada tahun 1963, namun perlu diperisapkan sedini mungkin. Saat peringatan 13 tahun serangan Militer Belanda ke Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961 di depan rapat umum di Yogyakarta, Presiden Ir. Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Setelah digelorakan tekad Trikora kemudian dibentuk Komando Tertinggi (Koti) yang langsung dipegang oleh Presiden selaku Panglima Tertinggi (Pangti) dengan Jenderal A. Yani sebagai Kepala Stafnya.

Kolonel M. Panggabean selaku Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia bagian Timur segera melaksanakan tugasnya untuk mengunjungi Kodam-Kodam yang akan menjadi daerah loncatan dan pendukung administrasi dan logistik dalam operasi militer terhadap Irian Barat, Kodam- Kodam tersebut antara lain Kodam Merdeka (Sulut dan Sulteng), Kodam Hasanuddin (Sulsel) dan Kodam Pattimura (Maluku). Dalam kunjungannya ke Kodam-Kodam tersebut Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia bagian Timur Kolonel M. Panggabean menjelaskan tentang Trikora untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi serta memberikan petunjuk kepada Panglima Daerah untuk mempersiapkan sukarelawan yang akan ditugaskan ke Irian Barat dan hal-hal yang berkaitan dengan Operasi Pembebasan Irian Barat.

Setelah bertugas sebagai Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia bagian Timur yang bermarkas di Makassar, selanjutnya pada tahun 1963 mendapat tugas sebagai Deputi Wilayah Kalimantan. dan pada pertengahan tahun 1963 berdasarkan keputusan Presiden Nomor: 60/MABAD/1963 tertanggal 17 Agustus 1963, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1963 pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal.

Awal memangku jabatan Deputi Wilayah Kalimantan, tugas berat yang ada di depan mata adalah memuncaknya ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1964, maka Brigadir Jenderal M. Panggabean selain menjabat sebagai Deputi Wilayah Kalimantan juga diangkat menjadi Panglima Mandala II. Karena itu dapat dibayangkan betapa beratnya tugas yang dihadapi karena daerahnya langsung berbatasan dengan Malaysia.

Konfrontasi Republik Indonesia-Malaysia (1964)

Pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden RI Ir. Soekarno dengan resmi mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), yang isinya :

  1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
  2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei untuk membubarkan negara boneka

Pada tanggal 16 Mei 1964 terbentuk Komando Siaga (Koga) yang tugasnya mengkoordinasikan kegiatan militer untuk menghadapi Malaysia. Koga dipimpin oleh Marsekal Madya Udara Omar Dhani, Panglima AURI, dengan Laksamana Muda Mulyadi dari ALRI sebagai Wakil Panglima I dan Brigjen TNI Achmad Wiranatakusumah dari AD sebagai Wakil Panglima II.

Serangan-serangan militer dilakukan sekitar bulan Agustus dan September 1964, akan tetapi tidak berhasil. Dengan mengambil contoh dari pengalaman sewaktu Trikora, kemudian Letnan Jenderal A. Yani dalam kedudukannya sebagai Kepala Staf Koti, menekankan perlu adanya koordinasi yang dipegang oleh seorang pimpinan yang telah berpengalaman.

Angkatan laut menyetujui gagasan ini dan dalam bulan September 1964, Laksamana Mulyadi dan Brigadir Jenderal A. Wiranatakusumah berangkat menemui Presiden Ir. Soekarno yang sedang berada di Wina untuk operasi ginjal. Presdien dapat menerima restrukturisasi melalui pembentukan Komando Mandala Siaga (Kolaga) untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan semua kegiatan militer di Sumatera dan Kalimantan terhadap Malaysia. Omar Dhani dipertahankan sebagai Panglima Kolaga, akan tetapi sebagai Wakil Panglima I diangkat Mayor Jenderal Soeharto sejak tanggal 1 Januari 1965. Komando Mandala Siaga ini kemudian dibagi dua, masing-masing mencakup Sumatera dan Kalimantan. Mayjen TNI A. J. Mokoginta, Deyah Sumatera, menjabat sebagai Panglima Komando Mandala Siaga I (Pangkolaga I), dan Brigjen M. Panggabean selaku Deyah Kalimantan menjadi Pangkolaga II. Oleh karena konflik perbatasan terjadi hanya di Kalimantan, maka kesibukan Pangkolaga II jauh lebih banyak.

Karena keberhasilannya dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Deputi Kalimantan , maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 83/KOTI/1965 tertanggal 19 Agustus 1965 Brigjen TNI Maraden Panggabean dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal.

Peristiwa G30S/PKI (1965)

Pada saat terjadinya Peristiwa G30S/PKI, Mayjen TNI Maraden Panggabean berada di Jakarta dalam perjalanan dinas dan kebetulan ditemani oleh Istrinya. Pada tanggal 30 September 1965 M. Panggabean melapor kepada Letnan Jenderal A. Yani, Men/Pangad di Mabad untuk pamitan kembali esok harinya ke Banjarmasin. Sebagaimana biasanya, apabila sedang bertugas ke Jakarta, M. Panggabean juga mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Mayor Jenderal S. Soeprapto, Mayor Jenderal S. Soeparman, Brigadir Jenderal D. I Panjaitan, Mayor Jenderal Soetoyo, dan Mayor Jenderal Haryono yang semuanya kebetulan pula berada di SUAD pada hari itu. Sama sekali di luar dugaan, ternyata pertemuan itu merupakan pertemuan terakhir dengan para pejabat teras TNI-AD tersebut. Karena besok harinya mereka telah diculik dan menjadi korban kebiadaban PKI.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 05.30, mereka bertiga, yaitu istri, Pak Cilik Riwut (almarhum), mantan anggota DPA/Gubernur Kalimantan Tengah dan M. Panggabean sedang minum kopi di teras atas Mess Koanda Kalimantan di Jalan Blora. Pada saat itu Nampak iring-iringan truk tentara penuh dengan pasukan bergerak dari arah Senayan menuju utara ke arah Jalan Thamrin. Menyelutuk Pak Cilik Riwut “Kok, banyak benar pasukan, mau kemana pagi hari seperti ini?” Karena memang tidak mengetahuinya, M. Panggabean pun tidak dapat menjawab pertanyaannya. Tetapi M.Panggabean menduga “mungkin persiapan latihan dalam rangka perayaan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965 nanti”.

Kemudian mereka bertiga berkemas dan berangkat menuju Kemayoran. M. Panggabean satu mobil dengan istri, sedang Pak Cilik Riwut menggunakan kendaraan pribadi. Mereka menempuh rute Jalan Thamrin melalui Bank Negara Indonesia, air mancur, depan kantor DKI, Hotel Transaera, kantor Shell, Lapangan Banteng dan Jalan Gunung Sahari. M. Panggabean mengenakan pakaian dinas harian Angkatan Darat. Mulai air mancur sepanjang Lapangan Monas, M. Panggabean melihat pasukan Angkatan Darat mengambil posisi siap tempur. Mereka semua memakai syaal, sedang pada bahu lengan kiri melekat pita berwarna merah. Pemakaian syaal dan pita seperti itu adalah biasanya sebagai tanda pengenal dalam pertempuran.

Melihat keadaan ini, M. Panggabean meminta sopir agar mengurangi kecepatannya. M. Panggabean sengaja melongokkan kepala keluar pintu kaca belakang mobil dan berulang-ulang mengucapkan “Selamat pagi”. Karena tidak pernah dijawab, M. Panggabean merasa agak tersinggung dan bertanya dalam hati: “Mengapa pasukan Angkatan Darat ini tidak berdisiplin?”. Saat singgah di Surabaya untuk mengisi bahan bakar M. Panggabean turun dan berjalan menuju terminal di mana telah berkerumun banyak orang. Mereka segera menghampiri M. Panggabean dan menghujani M. Panggabean dengan pertanyaan yang terkait dengan apa yang terjadi di Jakarta. M. Panggabean pun terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, karena diajukan dengan wajah yang penuh ketegangan dan kecemasan. M.Panggabean menduga mereka menanyakan mengenai sesuatu kejadian di Jakarta yang mungkin mereka dengar melalui RRI sewaktu M. Panggabean masih berada di pesawat antara Jakarta dan Surabaya. Sehingga yang dapat diceritakan M. Panggabean adalah hanya apa yang dia lihat antara Mess Koanda Kalimantan sampai Lapangan Udara Kemayoran. Setelah selesai mengisi bahan bakar, pesawat segera berangkat ke Banjarmasin. Setibanya di Lapangan Udara Ulin, M. Panggabean telah ditunggu oleh Panglima Daerah Kodam X/Lambung Mangkurat Brigjen TNI Amir Mahmud, Pangkodau dan Pangkoanda Polri Sukahar. Mereka pun bertanya tentang apa yang terjadi di Jakarta. M. Panggabean ajak mereka untuk membicarakannya di ruangan Pangkodau yang ada di terminal.

Pertanyaan-pertanyaan para panglima tentang apa yang terjadi di Jakarta, M. Panggabean pun belum bisa menjawab karena terbatasnya informasi. M. Panggabean hanya dapat menguraikan apa yang terjadi sejak keberangkatan dari Mess Koanda Kalimantan sampai ke Lapangan Terbang Kemayoran, serupa dengan yang diuraikan kepada sekelompok masyarakat yang bertanya kepada M. Panggabean di Surabaya. Keadaan yang tidak jelas ini memaksa M. Panggabean untuk hari itu juga kembali ke Jakarta dengan pesawat yang sama, karena naluri M.Panggabean mengatakan, bahwa ada sesuatu kejadian yang sangat penting, bahkan mungkin sangat fatal di Jakarta. Kepada para Panglimanya kemudian berpesan untuk meningkatkan kewaspadaan dalam rangka mengawal negara milik kita bersama dan yang kita cintai itu. M. Panggabean menandaskan, jika ada golongan yang hendak memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang tidak konstitusional, agar ditangkap dan ditahan saja.

Dalam penerbangan dari Banjarmasin ke Surabaya M. Panggabean diundang oleh Kapten Pilot untuk memasuki kokpit pesawat, saat itu terdengar RRI menyiarkan pengumuman dari yang menamakan dirinya “Dewan Revolusi” di Jakarta, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Dari siaran itu jelas dapat diketahui, bahwa memang telah terjadi suatu pengambilalihan pemerintahan yang sah oleh Dewan Revolusi, dengan alasan mencegah suatu “Dewan Jenderal” mengadakan kudeta terhadap Pemerintah dan Presiden Ir. Soekarno. Kemudian ada pengumuman, bahwa pangkat tertinggi adalah Letnan Kolonel sesuai dengan pangkat Ketua Dewan Revolusi, Letnan Kolonel Untung sendiri. Segera timbul pertanyaan dalam hati M. Panggabean: Kenapa tidak ada sesuatu pesan dari Bung Karno? Lagi pula, kenapa tidak ada sesuatu pesan dari salah seorang Waperdam ataupun dari Jenderal A. Yani sebagai KAS Koti? Kenapa untuk masalah nasioanal yang begitu penting, RRI dipercayakan kepada seorang yang hanya berpangkat Letnan Kolonel dan kebetulan bernama Untung?.

Akhirnya M. Panggabean mengambil kesimpulan, bahwa di Jakarta pasti telah terjadi suatu kudeta yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kecuali PKI. Karena itu M. Panggabean harus lebih waspada jika tiba di Surabaya atau Jakarta nanti. Setibanya di Surabaya M. Panggabean melihat terminal penumpang kosong. Akan tetapi di luarnya, banyak orang sedang bergerombol. Seperti tadi pagi, mereka terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh M. Panggabean dan mereka menjadi kecewa. M. Panggabean memandang sekelilingnya, baru sadar, bahwa M.Panggabean berpakaian seragam AD dengan tanda pangkat Mayor Jenderal. Sedang baru saja “Dewan Revolusi” mengumumkan bahwa M. Panggabean tidak berhak lagi menyandang pangkat Jenderal. Tetapi M. Panggabean tidak memperdulikan hal itu, yang menjadi masalah ialah, bahwa semua penerbangan ke Jakarta telah dibatalkan, sehingga ke manakah M. Panggabean harus menginap malam itu? Bagaimana pula keadaan Kodam Brawijaya? Apakah mereka mematuhi “Dewan Revolusi” itu?.

Syukur kepada Tuhan, dari tengah-tengah orang banyak itu muncul Kolonel Soedarmono, seorang anggota Staf SUAD, ia juga mengenakan seragam AD dan menawarkan jasa jasanya untuk mencarikan penginapan yang aman bagi Mayor Jenderal TNI M. Panggabean, bukan di Mess Kodam Brawijaya, tentu Mayor Jenderal TNI M. Panggabean sangat gembira menerima bantuannya. Mayor Jenderal TNI M. Panggabean dibawa ke suatu rumah yang ternyata adalah Mess dari Pabrik Rokok Faroka/BAT. Pengurusnya sangat ramah, bahkan meminjamkan satu kemeja putih kepada Mayor Jenderal TNI M. Panggabean. Hingga, sekarang Mayor Jenderal M. Panggabean masih ingat kabaikan hatinya dan berkata “mudah-mudahan pada suatu ketika saya dapat membalasnya”.

Melihat keadaan yang masih serba gelap, Mayor Jenderal M. Panggabean kemudian merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Sedapatmungkin, Mayor Jenderal TNI M. Panggabean akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Jika hal itu tidak mungkin, Mayor Jenderal TNI M. Panggabean akan kembali ke Kalimantan dengan alat transportasi apa pun juga, baik melalui udara, maupun melalui laut. Dalam keadaan yang sejelek-jeleknya Mayor Jenderal TNI M. Panggabean akan menyeberang ke Kalimantan dengan perahu sekaligus untuk menyelamatkan anak-anak yang masih tinggal di Banjarmasin. Semuanya ini perlu diatur dengan cepat dan cermat, oleh karena Dewan Revolusi pasti akan mengganti para pejabat lama. Apabila Mess tempat penginapan Mayor Jenderal M. Panggabean pada waktu itu terancam, Mayor Jenderal M. Panggabean akan pindah ke rumah Mayor Risbanten, mantan Asisten I dari Kolonel Kretarto. Mayor Jenderal TNI M.Panggabean mengenalnya sewaktu sama-sama bertugas di Sumatera Selatan. Bilamana hal ini pun tidak mungkin, Mayor Jenderal M. Panggabean akan pindah ke rumah Pendeta Napitupulu. Rencana tersebut oleh Mayor Jenderal M. Panggabean disimpan diotak dan tidak memberitahukannya kepada ajudan. Untunglah, ternyata bahwa ajudannya pun sudah dibina oleh PKI.

Pada pukul 19.00 Mayor Jenderal M. Panggabean nyetel radio untuk mendengarkan siaran RRI Jakarta, diluar dugaan terdengar suara Mayor Jenderal Soeharto membacakan suatu pidato. Dalam pidato tersebut dia mengatakan bahwa suatu gerakan bernama G30S di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, telah menculik enam perwira tinggi dan satu perwira menengah, termasuk di dalamnya Men/Pangad Letnan Jenderal A. Yani. Keadaan telah dapat dikuasai dan Mayor Jenderal Soeharto untuk sementara waktu memegang pimpinan TNI Angkatan Darat, Presiden Ir. Soekarno den Jenderal A. H. Nasution berada dalam keadaan sehat walafiat. Mayor Jenderal M. Panggabean sangat gembira mendengar pidato itu dan rasanya Mayor Jendral M. Panggabean hendak meloncat-loncat dan menari-nari karena kegelisahannya hari-hari itu terjawab. Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi Mayor Jenderal M. Panggabean memanggil becak untuk berkeliling kota melihat keadaan.

Karier politik

Maraden juga aktif dalam kegiatan organisasi di Golongan Karya (Golkar) dan pernah menjadi anggota Dewan Pembina (1973), Ketua Dewan Pembina Golkar (1974-1978), dan Wakil Ketua Dewan Pembina/Ketua Presidium Harian Dewan Pembina Golkar (1979-1988). Selain itu, ia juga aktif membina komunitas masyarakat Batak, sebagai Ketua Penasihat Lembaga Permufakatan Adat dan Kebudayaan Batak (LPAKB) dan Pembina Yayasan Bina Bona Pasogit (1989-2000) yang pendiriannya dilatarbelakangi penanggulangan bencana alam gempa di Tarutung.

Meninggal Dunia

Maraden Panggabean Meninggal Dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, setelah dirawat sekitar satu bulan akibat stroke. Jenazah jenderal bintang empat ini disemayamkan di rumah kediaman Jalan Teuku Umar No 21 Jakarta Pusat, dan dilangsungkan upacara adat Batak dan upacara gereja.Kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara militer.

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ Panggabean 2010, hlm. 9.
  2. ^ Panggabean 2010, hlm. 13.
  3. ^ Panggabean 2010, hlm. 25.
Daftar pustaka
  • Panggabean, M (2010). Berjuang dan mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ISBN 979-416-214-0. 
  • M.Panggabean. Jenderal dari Tano Batak. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. 2011. 
  • Janarto, Herry Gendut (2010). Matiur M.Panggabean. Bunga Pansur dari Balige. Pengabdian dan Keteguhan Iman Seorang Istri Prajurit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-6489-0. 

Pranala luar

Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
Idham Chalid
Ketua Dewan Pertimbangan Agung
1983–1988
Diteruskan oleh:
Sudomo
Jabatan politik
Jabatan baru Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
1978–1983
Diteruskan oleh:
Surono Reksodimedjo
Didahului oleh:
Soeharto
Menteri Pertahanan dan Keamanan
1973–1978
Diteruskan oleh:
Andi Muhammad Jusuf
Jabatan militer
Didahului oleh:
Soeharto
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
1971–1978
Diteruskan oleh:
Andi Muhammad Jusuf
Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
1969–1973
Kepala Staf TNI Angkatan Darat
1968–1969
Diteruskan oleh:
Umar Wirahadikusumah