Sulah nyanda
Sulah nyanda adalah rumah adat suku baduy yang berada di Provinsi Banten.[1] Atapnya terbuat dari daun nipah yang disebut sulah nyanda.[2] Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang.[2] Salah satu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.[2] Rumah tradisional Baduy ini disebut juga Imah dan harus menghadap ke selatan.[3] Berbentuk empat persegi panjang dengan atap kampung dan sosoran di salah satu sisinya.[3] Selain itu, rumah adat ini memiliki hiasan di atas atap rumah yang menyerupai bentuk tanduk.[4] Hiasan ini terbuat dari ijuk (sabut aren) yang dibulatkan dan diikat.[4] Pembangunan rumah adat sulah nyanda mengikuti kontur tanah sehingga tiang-tiang rumah adat Suku Baduy tidak memiliki ketinggian yang sama.[1]
Struktur bangunan
Sosoro
Ruang ini terletak di sisi selatan yang digunakan untuk menerima tamu dari luar daerah.[3] Untuk menerima tamu dari daerah tersebut menggunakan golodog.[3] Dalam bahasa Indonesia, sosoro ini disebut teras atau ruang depan.[5] Selain itu, dapat dijadikan ruang keluarga, ruang tamu, ruang masak, ruang simpan dan ruang tidur anak perempuan.[3]
Tepas
Tepas di sisi samping memanjang ke belakang dan digunakan untuk ruang kegiatan keluarga.[5] Imah yang merupakan inti rumah digunakan untuk kegiatan intern keluarga.[5] Selain itu, dapat dijadikan ruang keluarga, ruang tamu, ruang masak, ruang simpan dan ruang tidur anak perempuan.[3] Ruang sosoro di depan menyambung dengan ruang tepas tanpa pembatas, membentuk huruf “L”.[5]
Ipah
Ipah adalah ruang belakang rumah digunakan sebagai tempat menyimpan persediaan makanan pokok seperti beras, jagung, lauk pauk dan lain-lain.[5] Selain di gunakan sebagai tempat penyimpanan makanan pokok, ipah juga di gunakan sebagai dapur tempat mereka memasak.[5] Sementara Imah tertutup dengan hanya satu pintu.[5] Pintu rumah merupakan satu-satunya pintu masuk ke dalam rumah.[5] Terdapat di sebelah sisi bangunan, ditandai dengan adanya emperan atau teras kecil serta anak tangga.[5]
Konstruksi bangunan
Pondasi
Konstruksi bangunan merupakan rumah panggung dengan material menggunakan bahan-bahan bangunan yang terdapat di sekitar lokasi.[5] Pondasi bangunan menggunakan batu utuh tanpa dipecah dan tidak tertanam. Batu ini digunakan untuk landasan tiang kayu rumah.[5]
Tiang
Kontruksi utama rumah seperti tiang dan balok menggunakan kayu tanpa sentuhan akhir.[5] Sambungan-sambungan dengan purus dan coak diperkuat dengan pasak, tanpa paku.[5]
Lantai
Rangka lantai menggunakan bambu, bagian atasnya ditutup dengan bambu pecah yang diratakan.[5] Untuk tidur ataupun kegiatan yang lain biasanya kemudian dibentangkan tikar pandan.[5]
Dinding
Dinding dibuat dari anyaman bambu dengan tulangan dari bambu motif anyaman seperti kepang.[5] Anyaman pada dinding atas lebih jarang-jarang sementara pada dinding bagian bawah lebih rapat. Anyaman model yang lain ditemui pada pintu masuk, berupa anyaman bambu vertikal dari bilah bambu.[5] Anyaman dengan jenis yang mirip juga digunakan untuk alas tempat penyimpanan di atas dengan rangka dari bambu.[5]
Atap
Rangka atap bangunan menggunakan kayu dengan rangka penutup atap dari bambu, sementara penutup atapnya menggunakan anyaman daun nipah.[5] Secara umum konstruksi rumah menggunakan sistem knock down.[5] Masyarakat Baduy dalam membangun rumahnya biasa mempersiapkan elemen dan material bangunannya lebih dahulu, kemudian secara bergotong royong merakitnya menjadi sebuah rumah, sehingga waktu untuk mendirikan rumah tidak terlalu lama.[5]
Konsep bangunan
Bangunan Baduy didesain secara ekologis memadu dengan lingkungan alam.[3] Untuk pembangunan digunakan material dan konstruksi yang alami bersumber dari wilayah terdekat tidak menggunakan campuran bahan kimia.[3] Dalam membuat rumah mereka mempergunakan patokan arah Kulon – Wetan sejalan dengan arah matahari yang menyinari bangunan sehingga cahaya matahari dan angin akan masuk ke dalam bangunan melalui celah-celah dinding.[3]
Dimensi Bangunan
Dimensi yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan dimensi pada rumah tinggal urang baduy adalah penggunaan bagian-bagian dari tubuh manusia yang ada di rumah.[3] Sebagai contoh untuk menentukan lebar pintu maka dipakai ukuran tubuh kepala keluarga laki-laki sedang bertolak pinggang.[3] Sedangkan, tinggi pintu menggunakan ukuran tinggi kepala keluarga laki-laki dengan menaruh telapak tangannya di atas kepala.[3]
Sistem Drainase dan Pengelolaan Sampah
Sistem drainase untuk mengalirkan air hujan dibuat di sekitar rumah.[3] Mereka tidak membuat saluran khusus melainkan jalan di antara rumah difungsikan sebagai saluran drainase.[3] Mereka menyusun batu kali di sekeliling rumah untuk memproteksi tanah di bawah bangunan dari gerusan air yang mengalir saat hujan dari curahan atap rumah.[3] Disini terlihat adanya usaha untuk mengkonservasikan sistem air di kampung agar air meresap kembali ke dalam tanah.[3]
Ukuran rumah
Ukuran luas rumah setiap warga tidak sama satu dengan lainnya. Hal ini bukan tidak disengaja, di antara sebab adanya pebedaan luas rumah di antaranya karena lahan semakin terbatas, biaya yang tidak sedikit. Untuk mendirikan sebuah rumah, setiap warga tidak sembarang langsung membangun pada lahan yang kosong begitu saja. Melainkan harus ada surat ijin khusus dari perangkat adat, termasuk untuk penentuan posisi rumahnya. Adapun ukuran luas rumah pada umumnya berkisar 7 m x 7 m, 9 m x 10 m, bahkan ada yang 12 m x 10 m. Rumah Tumbuk Padi (saung lisung). Disebut dengan saung lisung karena rumah ini memang dipergunakan untuk menumpuk padi bila ada kegiatan-kegiatan adat yang memerlukan padi yang mengharuskan menumbuk sendiri. Di antaranya dapat dicontohkan, ketika pada hari ke tujuh dari kematian salah satu warga, maka nasi yang dipergunakan untuk selamatan berasal dari padi yang ditumbuk oleh ibu-ibu kampung setempat. Adapun asal bahan yang digunakan untuk membangunan saung lisung ini berasal dari daerah sekitar pemukiman. Bahannya berupa daun rumbia], daun nipah yang digunakan sebagai atapnya dan disebut hateup. Untuk tiang-tiang dan kerangka bangunan bahannya dari kayu dan bambu. Demikian pula sebagai alat tumbuknya berasal dari kayu kokosan. Wadah penumbuk disebut lisung dan alat untuk menumbuk disebut halu.
Pola pemukiman
Masyarakat Etnik Baduy Dalam, memiliki pola pemukiman klaster. Artinya rumah-rumah berhimpun terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan mengelilingi kampungnya sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan. Orientasi rumahnya berpaku pada letak rumah dinas Puun yang berada di arah Selatan, sehingga rumah pejabat adat dan rumah warga tidak berada di belakang atau di samping rumah Puun. Rumah pejabat adat dan rumah warga berada di depan rumah Puun. Adapun tata letaknya bahwa rumah Dinas Girang Serat (staf ahli Puun) berada di depan sebelah kanan rumah Dinas Puun. Demikian pula dengan letak Rumah Dinas Jaro. Rumah para mantan pejabat adat berada di depan kanan dan kiri rumah Dinas Puun. Perlu diketahui bahwa para pejabat adat seperti Puun, Girang Serat, dan Jaro selama menjabat dapat dipastikan wajib menempati rumah dinasnya. Para pejabat ini akan tidak menempati rumah dinas bila sudah tidak menjabat. Adapun waktu menjabatnya disesuaikan dengan kemampuan fisik dan non fisiknya, bila merasa sudah tidak mampu lagi maka berhak mengajukan ke kokolot adat untuk undur diri. Rumah Puun berhadapan langsung dengan Balai adat. Balai Adat ini berfungsi untuk melaksanakan berbagai kepeluan adat, seperti rapat adat, prosesi sunatan, prosesilamaran.Saung lisung (balai untuk menumbuk padi) berada di belakang sebelah kanan Balai adat. Rumah warga berbentuk panggung dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu digunakan sebagai tiang dan kerangka rumah. Bambu digunakan sebagai sebagian kerangka, dnding dan tali-temali. Daun nipah digunakan untuk atap. Rumah tradisional adat Etnik Baduy tidak memiliki jendela, namun memiliki lubang berbentuk kubus atau persegi dengan ukuran yang beragam tiap rumah tidak sama. Perkiraan ukurannya lebih kurang 10 cm x 10 cm, atau 10 cm x 15 cm. Lubang tersebut dipergunakan untuk memantau keamanan lingkungan rumahnya. Rumah ini hanya memiliki satu pintu ke luar masuk, pintu itu disebut dengan Panto. Pintu ini tidak terletak di depan persis tetapi di kiri dan di depan pintu terdapat terasan yang disebut papange. Di depan papangge terdapat tangga untuk naik turun yang disebut taraje. Hutan berada di sekeliling komplek pemukiman, adapun tumbuhan yang ada dalam hutan di antaranya, pohon durian, pohon bambu yang tumbuh di pinggir kanan kiri sungai. Demikian pula dengan tumbuhan untuk pengobatan, seperti pohon Kiseureuh, Hanjuang, Honje, Hantu Kalabang, Hareundang, Harendong, Palungpung, Jukut Bau, jeung Jambu Biji.
Rujukan
- ^ a b Miftakul Mala. 2018. Makalah Etnografi:Suku Baduy. IAIN Tulunggagung. Hal. 18-20.
- ^ a b c http://www.pusat4.litbang.depkes.go.id/buku/2014/pikukuh.pdf
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p http://journal.ipb.ac.id/index.php/jtep/article/viewFile/7436/5781
- ^ a b "Rumah suku Baduy Luar » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-02-25.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jtsp/article/download/9499/6167