Hamengkubuwana V
Sri Sultan Hamengkubuwana V (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwono V, 24 Januari 1820 – 5 Juni 1855) adalah sultan kelima Kesultanan Yogyakarta, yang berkuasa tanggal 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17 Januari 1828 - 5 Juni 1855 yang diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwana II karena ketidakstabilan politik dalam Kesultanan Yogyakarta saat itu.
Hamengkubuwana V | |
---|---|
Sri Sultan Hamengkubuwono V | |
Sultan Yogyakarta | |
Bertakhta | 1823-1855 |
Penobatan | 1823 (Umur 3 tahun)[1] |
Pendahulu | Sultan Hamengkubuwana IV |
Penerus | Sultan Hamengkubuwana VI |
Wali raja[1] |
|
Kelahiran | Gusti Raden Mas Gatot Menol 20 Januari 1821 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta |
Kematian | 5 Juni 1855 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta[1] | (umur 34)
Pemakaman | |
Keturunan | GRM Timur Muhammad |
Wangsa | Mataram |
Ayah | Sultan Hamengkubuwana IV |
Ibu | GKR Kencono[1] |
Agama | Islam |
Riwayat pemerintahan
Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana V adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol, putra keenam Hamengkubuwana IV yang lahir pada tanggal 24 Januari 1820 dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Kencono. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1820 maka Sultan Hamengku Buwono V waktu permulaan bertakhta baru berumur 3 (tiga) tahun.
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo (nantinya naik takhta bergelar Hamengkubuwana VI). Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan sultan dengan GRM Mustojo. Keadaan semakin menguntungkan GRM Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. Kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 sultan sendiri, Kangjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwana V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.
Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan peristiwa wereng saketi tresno (bahasa Indonesia: wafat oleh yang dicinta), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kangjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sultan, suaminya.[2]
Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. 13 hari pasca sultan tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Seperti yang telah diperkirakan, Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan. Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).
Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.[2]
-
Gusti Kangjeng Ratu Kadhaton, garwa padmi (permaisuri) Sultan Hamengkubuwana V
Kepustakaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Pranala luar
- ^ a b c d Biografi singkat HB V. Website resmi kraton Yogyakarta. 2019. Diakses tanggal 20/07/2019
- ^ a b Tragedi pembunuhan Hamengkubuwana V. tirto.id. 5 Juni 2019. Diakses tanggal 22/07/2019
- (Inggris) HB V - Genealogy
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Hamengkubuwana IV |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1823-1826 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwana II |
Didahului oleh: Hamengkubuwana II |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1828-1855 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwana VI |