Suku Mandailing

salah satu kelompok etnik Batak

Suku Mandailing (Mandailing: ᯔᯉ᯲ᯑᯤᯞᯪᯰ) adalah salah satu suku yang ada di Asia Tenggara. Suku Mandailing lebih banyak ditemui di seluruh pulau Sumatera Sumatra, Indonesia. Suku Mandailing merupakan suku yang jauh lebih tua dari suku batak atau toba. Hampir 100 % dari masyarakat Mandailing memeluk Islam. Suku ini juga tersebar di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak. Suku Mandailing merupakan suku perantau yang hebat dan sangat banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional yang terkenal.

Suku Mandailing
ᯔᯉ᯲ᯑᯤᯞᯪᯰ
Foto pasangan Mandailing dari daerah Pakantan, Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Daerah dengan populasi signifikan
Sumatera Utara3.000.000
Sumatra Barat650.000
Riau600.000
Jakarta150.000
Malaysia2.000.000[1]
Bahasa
Mandailing
Minangkabau
Melayu
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Suku Siladang
Suku Minangkabau
Suku Melayu[2]
Suku Angkola[3]
Suku Alas
Suku Gayo
Suku Karo[3]
Suku Batak[2][3]
Sopo Godang Pakantan

Etimologi

Mandailing merupakan gabungan dari dua kata: mande, yang berarti "ibu", dan hilang.

Sejarah

 
Menganyam tikar dan Menumbuk Padi di Pakantan

Suku Mandailing merupakan salah satu suku mayoritas di Sumatra. Suku Mandailing atau kelompok etnis (ethnic group) Mandailing merupakan salah satu dari sekian ratus suku bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang suku tersebut secara turun-temurun bermukim di wilayah Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara dan sekitarnya di Provinsi Sumatra Utara.

Menurut tradisinya, orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya “tanah lembah Mandailing”. Berdasarkan tradisi masa lalu, wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamakan Mandailiang Godang (Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatra Barat.


Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat agraris yang patrilineal. Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pendesaan dan hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi, kulit manis, dan sebagainya.

Sampai pada masa pemerintahan kolonial Belanda, penduduk di kawasan Mandailing Godang dipimpin oleh raja-raja dari marga (clan) Nasution, sedangkan penduduk di kawasan Mandailing Julu dipimpin oleh raja-raja dari marga Lubis. Pada masa itu di kedua kawasan tersebut terdapat banyak kerajaan tradisional yang kecil-kecil berupa komunitas yang dinamakan Huta atau Banua. Masing-masing memunyai kesatuan teritorial dan pemerintahan yang otonom.

Keberadaan masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing memunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa lain. Dan juga karena warga masyarkat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari warga masyarakat yang lain.

Secara historis, eksistensi atau keberadaan suku bangsa Mandailing didukung oleh kenyataan disebut nama Mandailing dalam pupuh atau syair ke-13 kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Prapanca sekitar tahun 1365 (abad ke-14). Dalam hal ini, Said (tanpa tahun) antara lain mengemukakan bahwa “teks sair ke-13 Negarakertagama tersebut dalam huruf Latin bahasa Kawi, dapat dikutip sebagian sebagai berikut.


Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ ning Jambi mwang Palembang i Teba len Darmmacraya tumut/ Kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/ Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak mwang i Barat

Seperti terlihat pada teks tersebut, ekspansi Majapahit ke Malaya (Sumatra) merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Haru, Mandahiling, jelasnya Mandailing. Teks tersebut memperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksud tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara dan sekitarnya.

Wilayah

Suku Mandailing lebih banyak tersebar di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Kelompok pertama yang datang di wilayah tersebut adalah Pulungan dan Nasution.

22 Marga yang Secara Sah diakui di Suku Mandailing adalah Pulungan, Nasution, Lubis, Rambe, Matondang, Jambak, Rangkuti, Batubara, Marbun, Sipahutar, Harahap, Dalimunthe, Parinduri, Mardia, Borotan, Hutasuhut, Siregar, Hasibuan, Chaniago, Daulay, Sitorus Pane, Pohan,Sinaga,Simanjuntak,Ginting,

Catatan: Batara Sinomba, Batara Pinayungan dan Puteri Lenggani diusir dari Pagaruyung karena perkawinan Inses. Kemudian Batara Pinayungan dan Puteri Lenggani diterima Baginda Dipertuan Kota Siantar Nasution dan Diberigelar Radja Mandailing.

Selanjutnya yang mengaku-ngaku keturunan Batara Pinayungan yakni imigran selanjutnya dari Pagaruyung-lah yg berjuang agar Mandailing keluar dari Batak.

Kontroversi

Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak.[4] Suku Mandailing memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak dan Melayu.[2]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ viva.co.id Didata Malaysia, Tor-tor Tetap Milik Tapanuli
  2. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama lubis
  3. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Masri
  4. ^ Leonard Y. Andaya (2002). "The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the 'Batak'". KITLV. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 Maret 2012. Diakses tanggal 26 Oktober 2015. 

Bacaan terkait

  • Mangaradja Ihoetan (1926), Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing: Berhoeboeng dengan perkara tanah Wakaf bangsa Mandailing, di Soengei Mati - Medan, Sjarikat Tapanoeli 
  • Syahmerdan Lubis gelar Baginda Raja Muda (1997), Adat Hangoluan Mandailing, Tapanuli Selatan, S. Lubis, OCLC 6169347 
  • Zulkifli Lubis; Enni Syarifah Hrp; Lizar Andrian; Naga Sakti Harahap; Septian H. Lubis (2012), Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing Dalam Tata Kelola Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sosial, Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, ISBN 6-0294-5723-3