Arsitektur kolonial di Indonesia

Revisi sejak 14 Mei 2020 22.55 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (Menolak perubahan teks terakhir (oleh 116.206.30.47) dan mengembalikan revisi 14917440 oleh OrophinBot)

Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dibangun di seluruh Nusantara yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar bangunan era kolonial yang lebih baik dan permanen terdapat di Jawa dan Sumatra, yang secara ekonomi dianggap lebih penting selama masa penjajahan Belanda. Akibatnya, lebih banyak bangunan kolonial yang bertahan masih terdapat di kedua pulau tersebut. Banyak benteng dan gudang era VOC lama tersebar di seluruh Nusantara, terutama di sekitar Kepulauan Maluku dan Sulawesi.

Gedung Sate di Bandung menunjukkan upaya kolonial untuk mencapai perpaduan arsitektur asli Indonesia antara Jawa lokal, arsitektur Hindu-Buddha kuno di Indonesia, dan gaya barat.

Arsitektur awal: menyalin negara asal

 
Benteng Rotterdam di Makassar sebuah benteng khas Belanda dari abad ke-17.

Setibanya di Hindia Timur, arsitektur Belanda terutama berasal dari pengetahuan dan keahlian dari negara asal. Pada kebanyakan kasus, bangunan pertukangan batu disukai pada sebagian besar konstruksi mereka. Sebelumnya, kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan di Hindia, kecuali beberapa arsitektur keagamaan dan istana utama. Selama periode awal kolonisasi, koloni-koloni Belanda terutama diperintah oleh VOC, yang terutama memerhatikan fungsionalitas bangunannya daripada membuat bangunan sebagai ekshibisi bergengsi.[1]

Salah satu permukiman Belanda besar yang pertama adalah Batavia (Jakarta saat ini), yang pada abad ke-17 dan ke-18 adalah kota batu bata dan pertukangan batu berbenteng yang dibangun di atas dataran rendah.[2] Permukiman Belanda pada abad ke-17 umumnya intra-muros, dengan pertahanan bertembok untuk melindungi mereka dari serangan oleh rival perdagangan Eropa lainnya dan pemberontakan penduduk pribumi. Benteng itu merupakan pangkalan militer dan pusat perdagangan dan pemerintahan.[3] Kota ini ditata ke dalam sebuah kisi-kisi dengan blok-blok yang dibagi oleh kanal-kanal, lengkap dengan sebuah Balai Kota dan Gereja-gereja, seperti setiap kota Belanda lainnya pada saat itu. Rumah-rumah di Batavia digambarkan "cukup tinggi dengan fasad sempit dan dinding berplester disisipi dengan jendela sengkang yang dilengkapi anyaman rotan untuk ventilasi". Dan seperti di Belanda, mereka sebagian besar merupakan rumah bertingkat dengan halaman kecil.[1] Perilaku serupa dalam perencanaan dan arsitektur kota dapat dilihat dalam pembangunan pelabuhan VOC di Semarang pada abad ke-18.[4]

Selama hampir dua abad, para kolonis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan arsitektur Eropa mereka dengan iklim tropis.[5] Di Batavia, misalnya, mereka membangun kanal melalui dataran rendahnya, yang digawangi oleh rumah baris berjendela kecil dan berventilasi buruk, kebanyakan bergaya campuran Tionghoa-Belanda. Kanal-kanal tersebut menjadi tempat pembuangan untuk limbah berbahaya dan kotoran dan tempat berkembang biak yang ideal untuk nyamuk anopheles, dengan malaria dan [disentri]] menyebar ke seluruh ibu kota kolonial Hindia Belanda.[5] Dan pada paruh kedua abad ke-17, penduduk di dalam Batavia bertembok mulai membangun properti dan vila luar kota yang besar sepanjang Kanal Molenvliet, contoh terbaik yang bertahan adalah bekas rumah besar Reyner de Klerk yang dibangun dengan gaya Eropa yang kaku.

Referensi

  1. ^ a b http://www.pac-nl.org/downloads/colonialarchitectureinindonesia.pdf
  2. ^ Schoppert & Damais 1997, hlm. 38-39.
  3. ^ Tjahjono 1998, hlm. 105.
  4. ^ Pratiwo. (2005). The City Planning of Semarang 1900–1970. In F. Colombijn, M. Barwegen, P. Basundoro & J. A. Khusyairi (Eds.), Old City, New City: The History of the Indonesian City Before and After Independence. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  5. ^ a b Dawson, B., Gillow, J., The Traditional Architecture of Indonesia, p. 8, 1994 Thames and Hudson Ltd, London, ISBN 0-500-34132-X

Kutipan karya

  • Gunawan Tjahjono, ed. (1998). Architecture. Indonesian Heritage. 6. Singapore: Archipelago Press. ISBN 9813018305. 
  • Schoppert, P.; Damais, S. (1997). Java Style. Paris: Didier Millet. ISBN 9625932321.