Museum Fatahillah
6°08′07″S 106°48′48″E / 6.135230°S 106.813301°E
Museum Fatahillah | |
Nama lama | Gedung Balai Kota Jakarta |
---|---|
Lokasi | Jalan Taman Fatahillah 1, Jakarta Barat, DKI Jakarta, Indonesia |
Koordinat | 6°08′07″S 106°48′48″E / 6.135199°S 106.813300°E |
Jenis | Museum Sejarah |
Arsitek | W. J. van de Velde |
Pemilik | Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta |
Akses transportasi umum | Halte Museum Sejarah Jakarta |
Situs web | jakarta-tourism |
Museum Fatahillah memiliki nama resmi Museum Sejarah Jakarta adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah Nomor 1, Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Bangunan ini dahulu merupakan Balai Kota Batavia (bahasa Belanda: Stadhuis van Batavia) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Bangunan ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan oleh bapak Ali Sadikin sebagai Museum Sejarah Jakarta.[1]
Sejarah
suntingSejarah gedung
suntingPada awal mulanya, balai kota pertama di Batavia dibangun pada tahun 1620 di tepi timur Kali Besar. Bangunan ini hanya bertahan selama enam tahun sebelum akhirnya dibongkar demi menghadapi serangan dari pasukan Sultan Agung pada tahun 1626.[2] Sebagai gantinya, dibangunlah kembali balai kota tersebut atas perintah Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1627. Lokasinya berada di daerah Nieuwe Markt (sekarang Taman Fatahillah).[3] Menurut catatan sejarah, balai kota kedua ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Tahun 1648 kondisi balai kota sangat buruk. Tanah di kota Batavia yang sangat labil dan beratnya bangunan ini menyebabkan perlahan-lahan turun dari permukaan tanah.
Akhirnya pada tahun 1707, atas perintah Gubernur-Jenderal Joan van Hoorn, bangunan ini dibongkar dan dibangun ulang dengan menggunakan pondasi yang sama. Peresmian Balai kota ketiga dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Abraham van Riebeeck pada tanggal 10 Juli 1710, dua tahun sebelum bangunan ini selesai secara keseluruhan.[3] Selama dua abad, balai kota Batavia ini digunakan sebagai kantor administrasi kota Batavia. Selain itu juga digunakan sebagai tempat College van Schepenen (Dewan Kotapraja) dan Raad van Justitie (Dewan Pengadilan). Awalnya sidang Dewan Pengadilan dilakukan di dalam Kastil Batavia. Namun dipindahkan ke sayap timur balai kota dan kemudian dipindahkan ke gedung pengadilan yang baru pada tahun 1870.[3]
Balai kota Batavia juga mempunyai ruang tahanan yang pada masa VOC dijadikan penjara utama di kota Batavia. Sebuah bangunan bertingkat satu pernah berdiri di belakang balai kota sebagai penjara. Penjara tersebut dikhususkan kepada para tahanan yang mampu membiayai kamar tahanan mereka sendiri. Namun berbeda dengan penjara yang berada di bawah gedung utama. Hampir tidak ada ventilasi dan minimnya cahaya penerangan hingga akhirnya banyak tahanan yang meninggal sebelum diadili di Dewan Pengadilan. Sebagian besar dari mereka meninggal karena menderita kolera, tifus dan kekurangan oksigen. Penjara di balai kota pun ditutup pada tahun 1846 dan dipindahkan ke sebelah timur Molenvliet Oost. Beberapa tahanan yang pernah menempati penjara balai kota adalah bekas Gubernur Jenderal Belanda di Sri Lanka Petrus Vuyst, Untung Suropati dan Pangeran Diponegoro.[3]
Di akhir abad ke-19, kota Batavia mulai meluas ke wilayah selatan. Sehingga kedudukan kota Batavia ditingkatkan menjadi Gemeente Batavia. Akibat perluasan kota Batavia, aktivitas balai kota Batavia dipindahkan pada tahun 1913 ke Tanah Abang West (sekarang jalan Abdul Muis No. 35, Jakarta Pusat) dan dipindahkan lagi ke Koningsplein Zuid pada tahun 1919 (sekarang Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9, Jakarta Pusat) sampai saat ini.[4] Bekas bangunan balai kota kemudian dijadikan Kantor Pemerintah Jawa Barat sampai tahun 1942. Selama masa pendudukan Jepang, bangunan ini dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini kembali digunakan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat disamping ditempati markas Komando Militer Kota I sampai tahun 1961. Setelah itu digunakan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi DKI Djakarta. Pada tahun 1970, bangunan bekas balai kota Batavia ini ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya.[5] Setelah itu Gubernur DKI Jakarta pada masa itu Ali Sadikin merenovasi seluruh bangunan ini dan diresmikan pada tanggal 30 Maret 1974 sebagai Museum Sejarah Jakarta.
Seperti umumnya di Eropa, balai kota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan Stadhuisplein. Menurut sebuah lukisan yang dibuat oleh Johannes Rach, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju Stadhuiplein. Tetapi air mancur tersebut hilang pada abad ke-19. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’ untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jayakarta.
Sejarah museum
suntingPada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia, yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini Museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekadar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya Museum Sejarah Jakarta berusaha menggambarkan “Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya” dari berbagai kelompok suku baik dari dalam maupun dari luar Indonesia dan sejarah kota Jakarta seutuhnya. Museum Sejarah Jakarta juga selalu berusaha menyelenggarakan kegiatan yang rekreatif sehingga dapat merangsang pengunjung untuk tertarik kepada Jakarta dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Arsitektur
suntingArsitektur bangunannya bergaya Neoklasik[3] dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
Museum ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
Koleksi
suntingObjek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Tiongkok, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang Batavia.
Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada zaman penjajahan Belanda.
Galeri koleksi
sunting-
Salah satu koleksi meriam yang ada di Museum Fatahillah
-
Replika prasasti Tugu.
-
Replika prasasti Ciaruteun.
-
Replika Padrão Sunda Kalapa.
-
Pot Keramik Jepang dari abad ke-17.
-
Mural yang belum selesai oleh Harijadi Sumodidjojo.
-
Lempengan batu bergambar kapal VOC di dinding Museum Sejarah Jakarta.
Tata Pamer Tetap
suntingDengan mengikuti perkembangan dinamika masyarakat yang menghendaki perubahan agar tidak tenggelam dalam suasana yang statis dan membosankan, serta ditunjang dengan kebijakan yang tertuang dalam visi dan misi museum, mengenai penyelenggaraan museum yang berorientasi kepada kepentingan pelayanan masyarakat, maka tata pamer tetap Museum Sejarah Jakarta dilakukan berdasarkan kronologis sejarah Jakarta, dan Jakarta sebagai pusat pertemuan budaya dari berbagai kelompok suku bangsa baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, Untuk menampilkan cerita berdasarkan kronologis sejarah Jakarta dalam bentuk display, diperlukan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan sejarah dan ditunjang secara grafis dengan menggunakan foto-foto, gambar-gambar dan sketsa, peta dan label penjelasan agar mudah dipahami dalam kaitannya dengan faktor sejarah dan latar belakang sejarah Jakarta.
Sedangkan penyajian yang bernuansa budaya juga dikemas secara artistik di mana terlihat terjadinya proses interaksi budaya antar suku bangsa. Penataannya disesuaikan dencan cara yang seefektif mungkin untuk menghayati budaya-budaya yang ada sehingga dapat mengundang partisipasi masyarakat. Penataan tata pamer tetap Museum Sejarah Jakarta dilakukan secara terencana, bertahap, skematis dan artistik, sehingga menimbulkan kenyamanan serta menambah wawasan bagi pengunjungnya.
Aktivitas
suntingSejak tahun 2001 sampai dengan 2002 Museum Sejarah Jakarta menyelenggarakan Program Kesenian Nusantara setiap minggu ke-II dan ke-IV untuk tahun 2003 Museum Sejarah Jakarta memfokuskan kegiatan ini pada kesenian yang bernuansa Betawi yang dikaitkan dengan kegiatan wisata kampung tua setian minggu ke III setiap bulannya.
Selain itu, sejak tahun 2001 Museum Sejarah Jakarta setiap tahunnya menyelenggarakan seminar mengenai keberadaan Museum Sejarah Jakarta baik berskala nasional maupun internasional. Seminar yang telah diselenggarakan antara lain adalah seminar tentang keberadaan museum ditinjau dari berbagai aspek dan seminar internasional mengenai arsitektur gedung museum.
Untuk merekonstruksi sejarah masa lampau khususnya peristiwa pengadilan atas masyarakat yang dinyatakan bersalah, ditampilkan teater pengadilan di mana masyarakat dapat berimprovisasi tentang pelaksanaan pengadilan sekaligus memahami jiwa zaman pada abad ke-17.
Aktivitas yang dapat diikuti pengunjung, antara lain:
- Wisata Kampung Tua, minimal 20 Orang
- Jelajah Malam Museum, minimal 20 Orang
- Workshop Sketsa Gedung Tua, minimal 10 Orang
- Nonton Bareng film-film Jadul, minimal 20 Orang
- Pentas Seni Ala Jakarta
- Kunjungan ala tentara indonesia
Tiket masuk
suntingBagi orang dewasa tiket masuk akan dikenakan tarif Rp5.000 per orang[1], bagi anak-anak akan dikenakan biaya Rp2.000 per orang. Lain halnya dengan pengunjung yang menunjukkan identitas mahasiswa, tiket masuk Museum Jakarta bisa didapat dengan harga Rp3.000 per orang.
Fasilitas
suntingPerpustakaan
suntingPerpustakaan Museum Sejarah Jakarta mempunyai koleksi buku 1200 judul. Bagi para pengunjung dapat memanfaatkan perpustakaan tersebut pada jam dan hari kerja Museum. Buku-buku tersebut sebagian besar peninggalan masa kolonial, dalam berbagai bahasa diantaranya bahasa Belanda, Melayu, Inggris dan Arab. Yang tertua adalah Alkitab/Bible tahun 1702.
Kantin Museum
suntingdengan suasana nyaman Taman menawarkan makanan dan minuman khas betawi yang khas.
Souvenir Shop
suntingMuseum menyediakan cenderamata untuk kenang-kenangan para pengunjung yang dapat diperoleh di "souvenir shop" dengan harga terjangkau.
Sinema Fatahillah
suntingMenampilkan Film-film Dokumenter Zaman Batavia dan Film Populer Dalam Dan Luar Negeri.
Musholla
suntingMuseum ini menyediakan musholla dengan perlengkapannya sehingga pengunjung tidak perlu khawatir kehilangan waktu salat.
Ruang Pertemuan dan Pameran
suntingMenyediakan ruangan yang representatif untuk kegiatan pertemuan, diskusi, seminar dan pameran dengan daya tampung lebih dari 150 orang.
Taman Dalam
suntingTaman yang asri dengan luas 1000 meter lebih, serta dapat dimanfaatkan untuk Gathering, resepsi pernikahan, Pentas Seni.
Referensi
sunting- ^ a b "Museum Sejarah Jakarta - Sistem Registrasi Nasional Museum". Sistem Registrasi Nasional Museum Kemdikbud. Diakses tanggal 2024-06-03.
- ^ Schets van de verlegging der Rivier van Batavia in 1632.
- ^ a b c d e A. Heuken SJ. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Cipta Loka Caraka, 2015. ISBN 974-602-70395-7-5
- ^ "Gedung Balai Kota". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-07. Diakses tanggal 2017-01-27.
- ^ "Jakarta History Museum". Indonesia Tourism. IndonesiaWebPromotion. Diakses tanggal 2009-12-29.
Pranala luar
sunting- (Indonesia) Situs resmi Jakarta Tourism - Museum Fatahillah
- (Indonesia) Kemendikbudristek - Museum Fatahillah