Hermeneutika feminisme

Revisi sejak 21 Mei 2020 10.45 oleh Medelam (bicara | kontrib) (Added {{Expert needed}}, {{Original research}} dan {{Unreliable sources}} tags (dalam {{multiple issues}}) tag to article (TW))

Hermeneutika Feminisme adalah metode penafsiran  Alquran berbasis feminis, didasarkan  pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender.  Cara kerja metode ini,  menggunakan langkah–langkah  metodologis dan  prinsip-prinsip teori hermeneutika moderen. Hermeneutika Feminisme bagi penafsiran Alquran merupakan suatu metode  alternatif untuk penafsiran Alquran, terutama untuk menafsirkan ayat-ayat gender. Tokoh-tokoh feminis Islam telah membuktikannya dengan melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, yaitu tafsir yang berkeadilan gender.

Hermeneutika Feminisme bercorak moral dengan meletakkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas Islam. Hermeneutika feminisme bersifat kritis, yaitu kritis terhadap metodologi penafsiran Alquran, kritis terhadap produk tafsir klasik terkait perempuan serta kritis terhadap persepsi yang meminggirkan pengalaman perempuan dalam proses penafsiran. Sikap kritis ini bersifat emansipatoris.


Sejarah Hermeneutika Feminisme

Tokoh-tokoh feminis Islam yang mengintrodusir hermeneutika Alquran berbasis feminis  dapat dikategorikan  dalam dua generasi. Generasi pertama  adalah, Amina Wadud dan Musdah Mulia. Generasi kedua adalah, Asma Barlas, Aysha A. Hidayatullah dan Kecia Ali. Generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran berbasis feminis. Generasi ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasilkan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa, mengalami dominasi kaum laki-laki.  Karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan bahwa mereka tertindas. Generasi ini terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling kutip mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan  tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan.


Generasi kedua muncul tahun 1990,  dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.   Pemikiran generasi kedua  lebih moderat melawan sistem patriarki  dan mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain.


Tokoh Hermeneutika Feminisme

  • Aminah Wadud karyanya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective dan  Inside The Gender Jihad, Woman’s Reform in Islam. Tokoh  feminis Islam dan pejuang gender dari Amerika Serikat ini mengembangkan pemikirannya  mengenai metodologi tafsir Alquran, dia merujuk  pemikiran Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman.  Wadud membongkar bias gender yang mewarnai tradisi tafsir Alquran selama ini. Dia membedah ayat-ayat dan kata kunci tertentu dalam Alquran yang membatasi peran perempuan baik  secara individu maupun sosial. Ketika menemukan  beberapa aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam Alquran, Wadud melakukan reinterpretasi  ayat-ayat gender dalam Alquran dari perspektif perempuan tanpa steriotype  yang dibuat oleh kerangka interpretasi laki-laki. Wadud menggagas hermeneutika berbasis feminis yaitu  metode penafsiran Alquran yang  mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Wadud mengkritik  tafsir klasik,  baik metode, perspektif  maupun  isinya. Lalu menawarkan penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif. Wadud memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). Beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya, yaitu apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan. Ditambah lagi  dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan. Dengan hermeneutika berbasis feminis Wadud menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dan menghasilkan tafsir yang berkeadilan gender. Tafsir berkeadilan gender tidak hanya dalam teks, tapi dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam  dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan,  New York.  Shalat Jumat ini  dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Wadud kepemimpinan dalam ibadah telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran itu harus didobrak.  
  • Aysha A. Hidayatullah,karyanya Feminist Edges of the Qur’an (2014). Asisten Profesor Universitas San Fransisco ini menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir  Alquran berbasis feminis.  Aysha melakukan penyelidikan mendalam  dan kritik radikal  terhadap metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis dan pendekatannya. Aysha  mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan  paradigma tauhid.  Metode kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya  ayat atau wahyu  (asbab al-nuzul). Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik. Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran  dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Paradigma tauhid  berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu  tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah di bumi. Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi. Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah. Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender.
  • Siti Musdah Mulia karyanya Muslimah Sejati dan indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014). Profesor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini dikenal sebagai pejuang kesetaran dan keadilan gender yang gigih dan konsisten.  Dia bergerak dari ide ke aksi.  Di Indonesia, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Musdah menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran dan  membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir. Musdah telah lama  menyadari bahwa perempuan terkurung dalam penjara teologis, karena bias gender dalam penafsiran Alquran. Berangkat dari keyakinan  bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh, Musdah  melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan  memproduk tafsir feminis, diantaranya  menafsirkan ayat  poligami dan menafsir ulang konsep nusyuz dalam ayat Alquran. Menurut Musdah, poligami menafikkan kemanusiaan perempuan. Penafsirannya terhadap  konsep nusyuz adalah perintah Alquran hanya taat pada Allah SWT dan  hormat pada suami.  
  • Asma Barlas karyanya Believing woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretation of the Quran (2002). Tokoh yang   berasal dari Pakistan dan menjadi perempuan pertama di Pakistan pada masa Ziaul Haq yang bekerja untuk pelayanan luar negeri ( foreign service ). Dalam melihat bagaimana Islam berbicara tentang perempuan, Barlas menggunakan dua argumen penting: argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutika. Yang dimaksud dengan argumentasi sejarah adalah pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Sedangkan argumentasi hermeneutika dimaksudkan untuk menemukan apa yang ia sebut sebagai epistemologi egalitarianisme dan antipatriarchi  dalam Alquran. Barlas menjelaskan karakter teks Alquran yang polisemik dan membuka pelbagai kemungkinan pemaknaan, sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang reduksionis dalam kerangka patriarkis. Asma Barlas  memunculkan epistemologi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika berbasis feminis dalam penafsiran  ayat-ayat Alquran.  
  • Kecia Ali, karyanya Sexsual Etics & Islam: Feminist Reflectionson Qur’an, Hadith  and Yurisprudence (2012). Profesor  Departemen  Agama di Boston University ini  telah menulis berbagai buku tentang gender dalam Islam yang fokusnya pada hukum Islam tentang perempuan. Kecia Ali  membahas kekerasan seksual terhadap perempuan dan  memperlihatkan adanya tabrakan antara moral dan hukum. Dia berpandangan bahwa ayat-ayat Alquran ditafsirkan  dengan merendahkan perempuan, maka itu perlu refleksi feminis atas Alquran dan Hadis. Kecia  Ali melakukan refleksi feminis terhadap Alquran dan hadis serta hukum Islam,terutama mengenai pernikahan dan seksual serta masalah perbudakan dalam Islam. Dalam masalah perkawinan Kecia Ali membahas  soal mahar,  talak dan misoginis terhadap perempuan. Menurut Kecia Ali, pendekatan progresif terhadap teks Alquran  tidak dapat terbatas pada presentasi selektif ayat ayat egaliter dalam isolasi dari konteks kitab suci yang luas. Pendekatan seperti ini akan sia-sia, karena   argumen kesetaraan gender  dibangun dengan  menafsirkan ayat-ayat yang selektif. Disinilah metode yurisprudensi dapat ditawarkan. Karena  para ahli hukum akan terkait dengan sumber teks dengan konteks sosial. Hukum yang dibangun memiliki  sasaran tindakan penafsiran. Menurut Kecia   Ali, pemahaman terhadap teks Alquran harus berubah setiap waktu sesuai perubahan sosial.
  • Mardety, Karyanya HERMENEUTIKA FEMINISME REFORMASI GENDER DALAM ISLAM (2018). Hermeneutika Feminisme yang ditawarkan Mardety merupakan  hermeneutika  Alquran. Tokoh-tokoh Islam kontemporer, seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun  telah lebih dulu mengintrodusir hermeneutika Alquran, dan menawarkan berbagai hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial, tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Kemudian, muncul hermeneutika Alquran berbasis feminis dan berpihak kepada keadilan gender. Hermeneutika Feminisme disusun dengan memformulasikan pemikiran para tokoh feminis Islam yang melakukan kajian tentang hermeneutika Alquran berbasis feminis.  Hermeneutika Feminisme    merupakan hasil penelitian disertasi yang telah diuji dan sesuai dengan kaidah ilmiah. Berangkat dari bias gender dalam penafsiran Alquran yang membuat perempuan menjadi tawanan teologis, maka untuk membebaskan perempuan perlu reinterpretasi ayat-ayat Alquran. Bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh masalah metodologis, untuk itu ditawarkan Hermeneutika Feminisme bagi Alquran.

Model  Hermenutika Feminisme

Memahami pemikiran para tokoh feminis Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa bias gender dalam penafsiran ayat-ayat Alquran terkait perempuan  disebabkan oleh problem metodologis. Metode penafsiran klasik melahirkan tafsir bias gender yang merugikan perempuan. Karena ada  bias gender dalam penafsiran Alquran, maka disusunlah sebuah model model Hermeneutika Feminisme dengan cara   memformulasikan pemikiran tentang hermeneutika berbasis feminis dalam pemikiran tokoh-tokoh  di atas.  Hermeneutika Feminisme  dapat dijelaskan dalam 5 skema yaitu :

Pertama, didasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan. Pengalaman/pandangan perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila  Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman  laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir  tentang perempuan.

Kedua, berbingkai teori feminisme.  Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Bila hermeneutika kritis berbingkai teori kritis, maka Hermeneutika Feminisme berbingkai teori feminisme.

Ketiga menggunakan metode kontekstualisasi sejarah. Metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya  ayat atau wahyu  (asbab al-nuzul). Metode ini  bertujuan untuk membedakan  ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan  situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia.

Keempat, menggunakan metode intratekstualitas. Penerapan  metode intratekstualitas,dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk mengkorelasikan beberapa ayat yang membicarakan tema yang sama agar tampak pertalian yang sesuai dengan ayat-ayat Alquran, daripada menerapkan makna sekaligus terhadap satu ayat.

Kelima, paradigma tauhid.  Untuk memperoleh penafsiran yang adil terhadap perempuan, kita harus kembali kepada inti ajaran Alquran yaitu tauhid sebagai kerangka paradigma penafsiran Alquran. Konsep tauhid mengakui keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dan merupakan doktrin mengenai keesaan Tuhan yang tidak terbandingkan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya.  


Lihat Pula