Cixi
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Februari 2018) |
Ibusuri Cixi (Hanzi: 慈禧太后;pinyin: Cíxǐ Tàihòu; Wade-Giles: Tz'u-Hsi T'ai-hou) (29 November 1835 – 15 November 1908), umumnya dikenal di Tiongkok sebagai Ibusuri Barat (Hanzi: 西太后), adalah istri Kaisar Xianfeng dari klan Yehenara Manchu. Bersama dengan Ibusuri Timur (Ci'an), ia memerintah dari balik tirai sesaat setelah wafatnya Kaisar Xianfeng.
Ibusuri Cixi 慈禧太后 | |||||
---|---|---|---|---|---|
Perwalian | 11 November 1861 - 15 November 1908 (47 tahun, 4 hari) bersama Ci'an (1861-1881) | ||||
Pendahulu | Sushun, Zaiyuan, Duanhua dan lima pejabat lain yang menjadi wali Kaisar Tongzhi | ||||
Penerus | Ibusuri Longyu dan Zaifeng sebagai wali Puyi | ||||
Pasangan | Kaisar Xianfeng | ||||
Keturunan | Kaisar Tongzhi | ||||
| |||||
Wangsa | Dinasti Qing | ||||
Ayah | Yehenara Huizheng | ||||
Ibu | Putri Fucha |
Cixi berasal dari keluarga Manchu yang sederhana. Suatu hari ia terpilih menjadi selir Kaisar Xianfeng. Cixi melahirkan seorang anak laki-laki sebelum kematian kaisar. Ia menjatuhkan menteri-menteri yang ditunjuk oleh kaisar, lalu memerintah dari balik tirai atas nama putranya, Kaisar Tongzhi. Pada tahun 1875, kematian menuntut nyawa Tongzhi. Cixi lalu menunjuk keponakannya Guangxu sebagai kaisar. Ia berkuasa di Tiongkok selama 47 tahun dari tahun 1861 sampai kematiannya pada tahun 1908.
Sang ibusuri adalah pemimpin konservatif yang menolak menerapkan model pemerintahan Barat. Ia menentang pandangan reformis mengenai pemerintahan, bahkan hingga menempatkan Guangxu dalam tahanan rumah karena mendukung para reformis. Akan tetapi, Cixi masih mendukung modernisasi teknologi dan militer Tiongkok.
Sejarawan Kuomintang dan Komunis menggambarkannya sebagai seorang despot dan penjahat yang bertanggung jawab atas jatuhnya Dinasti Qing. Sejarawan lain menyatakan bahwa ia adalah "kambing hitam"[1] dari masalah di luar kemampuannya.
Kehidupan awal
Kehidupan awal Cixi masih tidak jelas, namun banyak biografi mengklaim bahwa ia merupakan putri dari pejabat Manchu yang bernama Huizheng (Hanzi: 惠徵) dari klan Yehenara Manchu, dan istrinya, yang merupakan bagian dari klan Fucha (Hanzi: 富察) Manchu. Huizheng merupakan gubernur provinsi Anhui.
Cixi lahir pada tanggal 29 November 1835 dengan nama "Lan Kueu" (Anggrek Kecil), atau "Yu Lan". Terdapat banyak kisah mengenai latar belakang Cixi yang bukan merupakan catatan sejarah. Dalam cerita yang paling populer, Cixi berasal dari salah satu dari empat tempat berikut: wilayah Yangtze; Changzhi, Shanxi (versi ini menyatakan bahwa Cixi adalah suku Han yang diadopsi oleh keluarga Manchu); Suiyuan (kini Hohhot), Mongolia Dalam; dan Beijing.[2]
Secara umum diyakini bahwa ia menghabiskan kehidupan awalnya di provinsi Anhui sebelum pindah ke Beijing. Menurut biografi, ayahnya dipecat dari kepegawaian negeri tahun 1853, dua tahun setelah Cixi memasuki Kota Terlarang, karena tidak melawan Pemberontakan Taiping di Anhui dan meninggalkan tugasnya.[3] Beberapa biografi mengklaim bahwa ayahnya dipancung akibat kejahatannya.
Pada September 1851, Cixi ikut serta dalam seleksi selir Kaisar Xianfeng bersama enam puluh perempuan Manchu lainnya. Ia merupakan salah satu yang beruntung. Pada tahun 1855, Putri Yehenara (nama Cixi ketika memasuki Kota Terlarang) telah mengandung, dan pada 27 April 1856 melahirkan Tongzhi, satu-satunya anak laki-laki Kaisar Xianfeng.[4] Berkat kelahiran sang anak, pangkat Cixi dalam keseliran langsung meningkat.[4]
Kematian Kaisar Xianfeng
Pada September 1860, tentara Britania dan Prancis menyerang Beijing dalam fase akhir Perang Candu Kedua, dan membakar Kompleks Istana Musim Panas Kaisar. Serangan ini, di bawah komando Lord Elgin, merupakan balasan atas penangkapan duta besar Britania Harry Parkes pada tanggal 18 September dan penyiksaan serta eksekusi beberapa sandera barat. Kaisar Xianfeng dan orang-orang penting, termasuk Cixi, melarikan diri ke Rehe di Manchuria.[5] Setelah mendengar kabar hancurnya Istana Musim Panas, Kaisar Xianfeng (yang sudah menunjukan gejala demensia) mengalami depresi, lalu meminum minuman beralkohol dan obat-obatan, lalu akhirnya jatuh sakit.[6]
Pada 22 Agustus 1861, Kaisar Xianfeng meninggal dunia di Istana Rehe di kota Rehe (kini Chengde, Hebei). Sebelum kematiannya, Xianfeng memanggil delapan dari menteri-menterinya yang paling berwibawa, yang dikepalai oleh Sushun, Zaiyuan, dan Duanhua. Kaisar mengangkat mereka sebagai "Delapan Menteri Wali" untuk mengarahkan dan mendukung kaisar selanjutnya. Putranya, yang merupakan putra dari Cixi, masih berusia lima tahun. Menjelang kematiannya, Xianfeng memanggil Cixi dan Ci'an, memberikan mereka segel kerajaan. Ia berharap bahwa ketika anaknya menjadi kaisar, Cixi dan Ci'an akan bekerja sama membantu kaisar muda tumbuh dan dewasa. Selain itu, tujuan penyerahan segel kerajaan adalah untuk memeriksa kinerja Delapan Menteri Wali.[7]
Kudeta Xinyou
Pada saat wafatnya Kaisar Xianfeng, Cixi menjadi manipulator yang ulung. Di Rehe, sementara menunggu waktu yang tepat dalam astrologi untuk mengirim peti mati kaisar kembali ke Peking, Cixi berencana mengambil kekuasaan. Ia bersekutu dengan tokoh-tokoh kuat lainnya. Dengan memanfaatkan kenaifan Ci'an (istri utama kaisar), Cixi mengusulkan agar mereka memerintah bersama, dengan kekuatan lebih besar dari Delapan Menteri Wali.[8]
Ketegangan meningkat antara Delapan Menteri Wali, yang dikepalai oleh Sushun, dengan kedua Ibusuri. Menteri-menteri tidak menyukai campur tangan Cixi dalam masalah politik, dan konfrontasi yang sering terjadi membuat Ci'an kesal, hingga ia menolak menghadiri audensi istana, membiarkan Cixi menangani menteri-menteri. Diam-diam Cixi menerima dukungan dari menteri berbakat, tentara dan orang lain yang tidak menyukai Delapan Menteri Wali. Di antaranya adalah Pangeran Gong, yang memiliki ambisi besar dan tersingkirkan dari lingkaran kekuasaan, dan Pangeran Chun. Keduanya merupakan putra ke-6 dan ke-7 Kaisar Daoguang. Sementara ia bersekutu dengan pangeran-pangeran, petisi datang dari Shandong meminta Cixi "mendengarkan politik di belakang tirai", yang berarti meminta Cixi menjadi penguasa. Petisi itu juga meminta Pangeran Gong memasuki arena politik sebagai "pembantu" utama Kaisar.
Ketika prosesi pemakaman dimulai di Beijing, Cixi menggunakan persekutuannya dengan Pangeran Gong dan Pangeran Chun. Ia dan kaisar muda kembali ke ibu kota, sementara Sushun menemani peti mati Kaisar. Kembalinya Cixi ke Beijing bertujuan agar ia dapat bersekongkol dengan Pangeran Gong. Delapan Menteri Wali dipecat karena melakukan negosiasi yang tidak kompeten dengan "bangsa barbar" yang menyebabkan Kaisar Xianfeng melarikan diri ke Rehe.[8]
Untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Cixi memiliki standar moral yang tinggi, Cixi hanya menghukum mati tiga dari delapan menteri. Pangeran Gong mengusulkan agar Sushun dan lainnya dihukum mati dengan metode yang paling menyakitkan, yaitu dengan dipotong-potong bagian tubuhnya, namun Cixi menolak dan memutuskan untuk memancung Sushun, sementara yang lainnya, Zaiyuan dan Duanhua, diberikan sutra putih agar mereka bunuh diri.
Kudeta ini dikenal sebagai "Kudeta Istana Xinyou" (Hanzi: 辛酉政變) di Tiongkok.
Di balik tirai
Era baru
Provinsi | Gubernur | 中文 |
---|---|---|
Zhejiang | Zuo Zongtang | 左宗棠 |
Henan | Zheng Yuanshan | 鄭元善 |
Anhui | Li Xuyi | 李續宜 |
Hubei | Yan Shusen | 嚴樹森 |
Jiangxi | Shen Baozhen | 沈葆楨 |
Jiangsu | Li Hongzhang | 李鴻章 |
Guangxi | Liu Changyou | 劉長佑 |
Hunan | Mao Hongbin | 毛鴻賓 |
Pada November 1861, beberapa hari setelah kudeta, Cixi menghadiahi Pangeran Gong karena bantuannya. Ia menjadi kepala Urusan Umum dan Internal, namun Cixi tidak memberi Yixin kekuatan politik absolut. Sebagai salah satu dari tindakan pertama dari belakang tirai, Cixi (bersama dengan Ci'an) mengeluarkan dua dekret penting atas nama Kaisar. Dekret pertama menyatakan bahwa kedua Ibusuri adalah pembuat keputusan "tanpa campur tangan", dan dekret kedua mengubah nama era kekuasaan Kaisar dari Qixiang (祺祥) menjadi Tongzhi (同治).
Membersihkan birokrasi
Dampak dari Perang Candu Kedua masih menghantui negara. Pemberontakan Taiping terus berlanjut, menghancurkan Qing sedikit demi sedikit. Birokrasi digerogoti oleh korupsi. 1861 merupakan tahun pemeriksaan nasional, dimana pejabat-pejabat dari semua tingkat mempresentasikan laporan politik mereka dalam tiga tahun terakhir. Cixi meminta audensi dengan semua pejabat di atas tingkat gubernur provinsi, yang harus melapor kepadanya secara langsung. Cixi juga mengeksekusi dua pejabat penting: Qingying, shilang militer yang mencoba menyogok agar tidak diturunkan pangkatnya, dan He Guiqing, Viceroy Liangjiang, yang lari ke Changzhou ketika tentara tentara Taiping menyerang.
Tantangan penting lain bagi Cixi adalah meningkatnya kelemahan orang-orang penting Manchu. Sejak awal dinasti kebanyakan posisi penting di istana diduduki oleh orang Manchu. Cixi, melawan tradisi kerajaan, menyerahkan komando satuan militer paling kuat di Tiongkok kepada seorang suku Han, Zeng Guofan, untuk melawan pemberontak Taiping. Tahun-tahun berikutnya ia menunjuk pejabat Han untuk menjadi gubernur semua provinsi selatan Tiongkok.
Kemenangan melawan Taiping dan masalah Pangeran Gong
Di bawah komando Jendral Zeng Guofan, Dinasti Qing berhasil mengalahkan tentara Taiping dalam pertempuran besar di Tianjing (kini Nanjing) pada Juli 1864. Zeng Guofan mendapat gelar Marquess Yiyong, Kelas Satu, dan saudaranya Zeng Guoquan bersama dengan Li Hongzhang dan Zuo Zongtang, semua jenderal Han dalam perang, mendapatkan hadiah dengan gelar. Dengan hilangnya ancaman Taiping, Cixi bisa lebih fokus dalam ancaman internal baru terhadap kekuasaannya. Pangeran Gong memiliki banyak orang yang setia padanya (hampir setengah negara), dan juga menguasai urusan istana. Oleh sebab itu ia dianggap sebagai ancaman oleh Cixi.
Cai Shaoqi, pejabat yang kurang terkenal, mengisi petisi yang meminta Pangeran Gong mundur. Pangeran Gong menganggap petisi ini tidak penting, namun Cixi menggunakan petisi ini sebagai salah satu cara untuk menjatuhkan Pangeran Gong. Pada April 1865, dengan menggunakan alasan bahwa ia "melakukan hal yang tidak pantas terhadap kedua Ibusuri" dan alasan lainnya, semua jabatan Pangeran Gong dicabut kecuali gelarnya.[9] Hal ini mengejutkan para pejabat dan bangsawan, dan menyebabkan munculnya petisi-petisi yang meminta dikembalikannya posisi Pangeran Gong. Yicong, Pangeran Tun, dan juga Yixuan, Pangeran Chun, meminta kembalinya posisi saudara mereka. Pangeran Gong sendiri, dalam audensi dengan kedua Ibusuri, meneteskan air mata.[10] Cixi mengembalikan posisi Pangeran Gong sebagai kepala menteri luar negeri karena banyaknya tekanan. Ia tidak pernah memperoleh kepentingan politik lagi. Penurunannya menunjukan tangan besi Cixi dalam politik Qing, dan juga ketidakinginannya memberikan kekuatan absolut pada siapapun, termasuk sekutunya yang paling penting dalam Kudeta Xinyou, Pangeran Gong.
Pengaruh asing
Kekalahan Tiongkok dalam Perang Candu Kedua menjadi panggilan bagi Qing untuk bangkit. Cixi menguasai negara yang strategi militer dan persenjataannya sudah kedaluwarsa. Merasakan ancaman langsung dari orang asing dan menyadari ekonomi berbasis agrikultur Tiongkok tidak akan menyaingi industri Barat, Cixi memilih untuk belajar dari kekuatan Barat dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Tiga pejabat Han, Zeng Guofan, Li Hongzhang dan Zuo Zongtang, memulai program industri di wilayah selatan Tiongkok. Untuk mendukung program tersebut, Cixi menyatakan pembukaan Tongwen Guan tahun 1862, institusi seperti universitas di Beijing yang menyewa orang asing sebagai pengajar. Beberapa pemuda juga dikirim untuk belajar di Amerika Serikat.
Sayangnya, sikap "belajar dari orang asing" Cixi tidak bertahan lama. Militer Tiongkok perlu direformasi, dan solusi Cixi, atas saran pejabat istana, membeli tujuh kapal perang Britania. Ketika kapal perang tersebut tiba di Tiongkok, kapal tersebut malah membawa pelaut Britania di bawah komando Britania Raya. Tiongkok marah dengan hal tersebut, dan negosiasi dibatalkan, lalu Tiongkok mengembalikan kapal perang Britania. Para ahli kadang-kadang menghubungkan kegagalan program luar negeri Cixi dengan pemikiran Cixi yang kuno. Dengan alasan terlalu berisik dan akan mengganggu makam Kaisar, Cixi melarang pembangunan rel kereta api. Ketika konstruksi berlangsung tahun 1877 atas rekomendasi Li Hongzhang, Cixi meminta kereta ditarik oleh kuda.[11] Cixi curiga dengan pemikiran liberal orang yang belajar di luar negeri, dan melihatnya sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Pada tahun 1881, Cixi menghentikan pengiriman pelajar ke luar negeri, dan menghentikan sikap terbukanya terhadap orang asing.
Pernikahan dan kekuasaan Tongzhi
Pada tahun 1872, ketika kaisar berusia 17 tahun, dengan panduan Ibusuri Ci'an, Kaisar Tongzhi menikah dengan Putri Alute. Kakek Alute adalah musuh Cixi selama Kudeta Xinyou. Sejak awal hubungan antara Cixi dengan Alute menegang.
Alute disukai oleh Ci'an, dan juga sering menghabiskan waktu dengan Kaisar Tongzhi, yang juga sering menghabiskan waktu dengan ibu kesayangannya, Ci'an. Cixi memusuhi Alute dan memberitahu mereka untuk lebih fokus mempelajari bagaimana mengurus negara. Cixi juga memata-matai Tongzhi menggunakan kasim. Setelah peringatannya diabaikan, Cixi memerintahkan Tongzhi fokus dalam mengurus negara. Tongzhi menghabiskan beberapa bulan di Istana Qianqing atas perintah Cixi.
Kaisar Muda, yang tidak dapat menanggulangi penderitaan dan rasa sepinya, semakin menjadi pemarah. Ia mulai memperlakukan pelayannya dengan buruk dan memukuli mereka karena kesalahan kecil. Atas pengaruh kasim dan Zaicheng, putra sulung Pangeran Gong, yang juga merupakan teman baik Tongzhi, Kaisar Muda pergi keluar istana dan mencari kesenangan di Beijing. Ia menyamar sebagai rakyat jelata dan menghabiskan malam di rumah-rumah bordil di Beijing. Perilaku seksual Kaisar menjadi pembicaraan di antara pejabat-pejabat dan rakyat.
Tekanan yang ada pada kaisar muda membuatnya membenci belajar selama hidupnya. Menurut catatan Weng Tonghe, Kaisar tidak dapat membaca secara lengkap pada usia enam belas tahun. Khawatir atas ketidakmampuan anaknya, Cixi semakin menekan Tongzhi. Ketika dapat berkuasa sendiri pada usia 18 tahun, ia menjadi Kaisar yang tidak kompeten.
Tongzhi membuat dua kebijakan penting selama kekuasaannya yang pendek dari tahun 1873 hingga 1875. Pertama, ia menyatakan agar Istana Musim Panas/Yuan Ming Yuan yang dihancurkan oleh tentara Inggris dan Prancis selama Perang Candu Kedua dibangun kembali sebagai hadiah untuk Cixi dan Ci'an. Sejarawan menganggapnya sebagai usaha menyingkirkan Cixi dari Kota Terlarang agar dapat berkuasa tanpa intervensi.
Keuangan kerajaan hampir habis akibat masalah internal dan perang. Tongzhi meminta mencari dana, dan juga meminta pejabat dan bangsawan untuk menyumbangkan sebagian kekayaan mereka. Rekonstruksi Yuan Ming Yuan pun dimulai.
Merasa kaisar mengabaikan masalah nasional, Pangeran Yixin dan Yixuan bersama dengan pejabat penting istana meminta Kaisar menghentikan rekonstruksi Yuan Ming Yuan. Tongzhi tidak menerima kritik dan mengeluarkan dekret pada Agustus 1874 untuk menyingkirkan gelar Yixin dan menjadikannya rakyat jelata. Dua hari kemudian, Yicong, Yixuan, Yihui, Jingshou, Yikuang, Wenxiang, Baoju, Shen Guifen dan Li Hongzao juga mengalami hal yang sama.
Melihat hal ini, Cixi dan Ci'an mengkritik kaisar atas tindakannya dan memintanya mencabut dekret; Cixi mengatakan "tanpa Pangeran Gong, situasi kita sekarang tidak seperti ini."[12]
Kaisar akhirnya kembali ke kebiasaan lamanya. Terdapat rumor bahwa ia terkena penyakit sifilis. Tabib menyebarkan rumor bahwa kaisar terkena variola dan memberikannya perawatan medis. Dalam beberapa minggu, pada 13 Januari 1875, kaisar meninggal dunia. Dilihat dari perspektif modern, serangan sifilis datang bertahap, dan kematian kaisar tidak menunjukan gejala sifilis, sehingga banyak sejarawan mempertahankan pendapat bahwa Tongzhi meninggal karena variola.
Wali Kaisar Guangxu
Tantangan baru
Tongzhi meninggal tanpa keturunan laki-laki, menyebabkan terjadinya krisis pewaris takhta. Anggota keluarga kerajaan yang lebih tua dari Tongzhi tidak cocok untuk menjadi kaisar, dan haruslah orang yang berasal dari generasi bawah atau generasi yang sama dengan Tongzhi. Setelah persetujuan antara kedua Ibusuri, Zaitian, putra pertama Pangeran Chun dan saudara kandung Cixi, yang masih berusia empat tahun, terpilih menjadi kaisar baru. 1875 merupakan tahun deklarasi era Guangxu.
Kematian Ci'an pada April 1881 memberikan tantangan baru pada Cixi. Ci'an tidak begitu tertarik dengan urusan negara, tetapi merupakan pembuat keputusan dalam urusan keluarga. Rumor bahwa Cixi meracuni Ci'an menyebar karena konflik hampir terjadi antara Cixi dan Ci'an dalam masalah eksekusi An Dehai.[13] Pada Maret 1881 Ci'an mulai jatuh sakit dan Cixi menjadi satu-satunya wali di istana, dan dalam catatan kerajaan, Ci'an jatuh sakit pada 11 April, lalu meninggal pada sore hari.[14] Ci'an diyakini meninggal akibat serangan stroke. Kematiannya berarti bahwa struktur kekuasaan kini sepenuhnya berada di tangan Cixi.
Pangeran Gong frustasi dengan kekuasaan Cixi, dan sedikit mempertanyakan Cixi dalam urusan negara, dan juga mendukung keterlibatan Tiongkok dalam Perang Tiongkok-Prancis. Cixi menggunakan kekalahan Tiongkok dalam perang untuk menyingkirkan Pangeran Gong dan pembuat keputusan penting lainnya di Dewan Penasehat tahun 1885. Ia menurunkan posisi Pangeran Gong menjadi penasehat, dan mengangkat jabatan Pangeran Chun. Setelah terpilih menjadi kepala angkatan laut, Pangeran Chun setia kepada Ibusuri Cixi, tetapi sebenarnya bertindak untuk melindungi putranya, sang Kaisar Baru. Ia memindahkan dana militer untuk merekonstruksi Istana Musim Panas di luar Beijing sebagai tempat pensiun Cixi. Pangeran Chun tidak mau Cixi campur tangan dalam urusan putranya Guangxu ketika ia sudah mapan. Cixi tidak menolak pembangunan istana tersebut.
Kaisar Guangxu naik takhta
Guangxu mendapat hak berkuasa pada usia 16 tahun. Cixi mengeluarkan dekret agar diadakan upacara untuk hal tersebut, namun pejabat istana menolak Guangxu berkuasa sendiri, dengan alasan kaisar masih terlalu muda. Shiduo, Yixuan, dan Weng Tonghe, dengan alasan yang berbeda-beda, meminta pengangkatan Guangxu ditunda. Cixi menerima dan terus berkuasa untuk "membantu" Kaisar Guangxu.
Cixi pelan-pelan mulai melepas tangan besinya karena istana mempersiapkan upacara pernikahan Kaisar Guangxu tahun 1889. Pada saat itu kaisar sudah berusia 18 tahun, lebih tua daripada usia pernikahan konvensional kaisar. Saat pernikahan, api besar berkobar di sebuah gerbang di Kota Terlarang, mengikuti rentetan bencana alam di Tiongkok, yang menurut teori politik Tiongkok berarti penguasa saat itu kehilangan "Mandat Surga".
Dalam tindakan politik lainnya, Cixi memaksa Guangxu memilih Jingfen, keponakannya, menjadi maharani, namun Guangxu lebih memilih menghabiskan waktu dengan selir Zhen. Pada tahun 1894, Cixi menjatuhkan hukuman cambuk kepada selir Zhen dengan alasan campur tangannya dalam urusan politik. Meskipun Guangxu mulai berkuasa secara resmi pada usia 19 tahun, Cixi terus menjadi pembuat keputusan.
Reformasi Seratus Hari
Kaisar Guangxu merupakan orang yang berpaham reformatif, berbeda dengan Cixi yang konservatif. Setelah mengalami kekalahan dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama tahun 1894, pemerintah Qing menghadapi tantangan-tantangan baik tantangan internal maupun eksternal. Atas pengaruh Kang Youwei dan Liang Qichao, Guangxu percaya bahwa dengan mempelajari monarki konstitusional di Jepang dan Jerman, Tiongkok akan menjadi lebih kuat dalam bidang politik dan ekonomi. Pada Juni 1898, Guangxu memulai Reformasi Seratus Hari (戊戌变法), yang bertujuan melakukan perubahan di bidang politik, budaya, ekonomi dan pendidikan. Kaisar Guangxu juga mengeluarkan dekret untuk melakukan modernisasi besar-besaran.
Sayang, reformasi ini terlalu cepat dilakukan untuk Tiongkok yang masih berada di bawah pengaruh neo-Konfusius yang besar, dan membuat Cixi tidak senang karena mengancam kekuasaannya. Beberapa pejabat pemerintahan dan militer memperingatkan Cixi bahwa ming-shih (biro reformasi) berusaha melakukan konspirasi. Dengan adanya tuduhan pengkhianatan terhadap kaisar dan juga tuduhan adanya pengaruh Jepang terhadap gerakan reformasi, Cixi kembali meneruskan perannya sebagai wali.
Dalam kudeta yang dilancarkan oleh personel Jenderal Ronglu pada 21 September 1898, Kaisar Guangxu dibawa ke istana di sebuah pulau di Zhongnanhai, yang terhubung dengan Kota Terlarang. Cixi lalu mengeluarkan dekret yang mengungkap aib Kaisar Guangxu dan menyatakan bahwa Guangxu "tidak cocok menjadi kaisar". Era Kaisar Guangxu pun berakhir.
Akibatnya, krisis terjadi di istana Qing, namun karena meningkatnya tekanan barat dan rasa tidak puas rakyat terhadap isu ini, Cixi tidak menjatuhkan Guangxu dari takhta. Era Guangxu secara resmi terus berlangsung hingga tahun 1908, tetapi kaisar kehilangan kehormatan, kekuatan dan harta benda, dan juga kebebasannya. Banyak pendukungnya, seperti Kang Youwei, dibuang, sementara enam tokoh reformasi penting lainnya dihukum mati di depan umum. Kang terus bekerja untuk Qing yang progresif selama dalam pembuangan, tetap setia kepada Kaisar Guangxu dan berharap bisa mengembalikan kekuasaannya. Sayangnya usahanya sia-sia.
Pemberontakan Boxer
Pada tanggal 2 November 1899, Pemberontakan Boxer pecah di Tiongkok utara. Cixi berhasrat untuk memelihara nilai tradisional Tiongkok, sehingga ia mendukung pergerakan tersebut. Ketika Barat membalas dengan membentuk Aliansi Delapan Negara, militer Tiongkok tidak dapat mencegah tentara Sekutu memasuki Peking[15] dan menguasai Kota Terlarang karena gubernur regional menolak menurunkan tentara regional untuk membantu.[16][17] Cixi, bersama dengan Kaisar Guangxu dan Maharani Longyu, melarikan diri ke Xi'an. Untuk mencegah pemberontakan lainnya di Tiongkok, Barat memaksakan perjanjian yang memalukan terhadap Tiongkok (Protokol Boxer), dan Cixi terpaksa menandatanganinya.[16] Perjanjian ini meminta kehadiran tentara internasional di Beijing dan ganti rugi sebesar £67 juta.
Kaisar dan Cixi tidak kembali ke ibu kota hingga Januari 1902.[16] Setelah kembali, Cixi mencoba merayu Barat. Ia mengundang istri korps diplomatik ke acara minum teh siang di Kota Terlarang. Cixi juga mengangkat pejabat yang sangat reformis, terutama Yuan Shikai. Pejabat-pejabat tinggi dikirim ke Jepang dan Eropa untuk mengumpulkan fakta dan menyusun rencana reformasi hukum, pendidikan, struktur pemerintahan, dan kebijakan sosial. Ironisnya, Cixi mendukung penerapan program reformasi yang lebih radikal daripada yang diusulkan oleh reformis-reformis yang ia penggal tahun 1898.[18]
Kematian
Cixi meninggal dunia pada tanggal 15 November 1908 setelah memasang Puyi sebagai kaisar baru Dinasti Qing pada 14 November. Ia meninggal sehari setelah Kaisar Guangxu meninggal.
Pada 4 November 2008, tes forensik melaporkan bahwa kematian kaisar diakibatkan oleh keracunan arsenik akut. China Daily mengkutip seorang sejarawan, Dai Yi, yang berspekulasi bahwa Cixi tahu ia akan meninggal dan takut Guangxu akan meneruskan reformasi setelah kematiannya. CNN melaporkan bahwa kandungan arsenik di mayatnya 2.000 kali lebih tinggi daripada orang biasa.[19]
Cixi dimakamkan di Makam Qing Timur (Hanzi: 清東陵), 125 km sebelah timur Beijing, bersama dengan Ci'an. Pada Juli 1928, makam Cixi diduduki oleh jenderal Kuomintang Sun Dianying dan tentaranya. Mereka membuka peti mati Cixi, melempar mayatnya ke lantai dan mencuri semua perhiasan di dalam peti mati tersebut, dan juga mutiara besar yang diletakkan di mulut Cixi untuk melindungi mayatnya dari pembusukan. Setelah tahun 1949, kompleks makam Cixi direstorasi oleh Republik Rakyat Tiongkok, dan masih berdiri hingga hari ini.
Cixi dalam kebudayaan populer
- Novel Pearl S. Buck Imperial Woman berisi kehidupan Cixi dari hari terpilihnya sebagai selir hingga kematiannya. Cixi digambarkan sebagai perempuan tegas dan bermotivasi yang memiliki gaya hidup dan pemerintahan lama dan menolak perubahan yang dibawa oleh barat.
- Novel "Empress Orchid" (2004) dan "The Last Empress" (2007), oleh Anchee Min, menggambarkan kehidupan Cixi melalui sudut pandang orang pertama.
- Cixi ditampilkan dalam novel George McDonald Fraser, Flashman and the Dragon (1985).
- Novel Wij Tz'e Hsi Keizerin Van China yang ditulis oleh pengarang Belanda Johan Fabricius tahun 1968 adalah buku harian fiksi Cixi.
- Cixi ditampilkan oleh Flora Robson pada film 55 Days At Peking tahun 1963 dan Lisa Lu dalam film "The Last Emperor" tahun 1987.
- Forbidden City: Portrait of An Empress, yang ditampilkan oleh Singapore Repertory Theatre, berkisah mengenai kehidupan Ibusuri Cixi.
- Towards the Republic produksi China Central Television menggambarkan Cixi sebagai pemimpin yang cakap, meskipun tidak sepenuhnya positif.
Daftar pustaka
- Chung, Sue Fawn. "The Much Maligned Empress Dowager: A Revisionist Study of the Empress Dowager Tz'u-Hsi (1835-1908)." Modern Asian Studies 13, no. 2 (1979): 177-96.
- Hummel, Arthur William, ed. Eminent Chinese of the Ch'ing Period (1644-1912). 2 vols. Washington: United States Government Printing Office, 1943.
- Warner, Marina. The Dragon Empress: Life and Times of Tz'u-hsi 1835-1908. Weidenfeld & Nicolson, 1972.
- Hayter-Menzies, Grant, "Imperial Masquerade: The Legend of Princess Der Ling." Hong Kong University Press, 2008.
- 雷家聖(Lei Chiasheng)《力挽狂瀾-戊戌政變新探》,台北:萬卷樓,2004 ISBN 957-739-507-4
Catatan kaki
- ^ Woo (2002)
- ^ "传奇一生:揭开慈禧太后扑朔迷离的身世之谜(图) Membongkar misteri Kehidupan Cixi". Caijing. Diakses tanggal 2008-04-29.
- ^ Chung, S.F, The Much Maligned Empress Dowager, hal. 3.
- ^ a b Laidler, Keith (2003), "The Last Empress" (hal. 58), John Wiley & Sons Inc., ISBN 0-470-84881-2.
- ^ Immanual Hsu (1985), The Rise of Modern China (hal. 215).
- ^ Edward Behr, The Last Emperor, 1987, hal. 44
- ^ Sui Lijuan: Carrying out the Coup. CCTV-10 Series on Cixi, Ep. 4
- ^ a b Edward Behr, The Last Emperor, 1987, p. 45
- ^ 清史稿:恭忠親王奕訢,宣宗第六子
- ^ 清史稿:恭忠親王奕訢傳記載:“王入謝,痛哭引咎”。
- ^ Professor Sui Lijuang: Lecture Room Series on Cixi, Episode 9
- ^ 《清德宗實錄》
- ^ Edward Behr, The Last Emperor, 1987, hal. 49
- ^ 清德宗實錄
- ^ Sterling Seagrave, Peggy Seagrave (1993). Dragon lady: the life and legend of the last empress of China. Vintage Books. hlm. 311. ISBN 0679733698. Diakses tanggal 2010-06-28.
- ^ a b c Jaques Gernet, a history of chinese civilization second edition Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "ReferenceA" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Joseph Esherick (1988). The origins of the Boxer Uprising. University of California Press. ISBN 0520064593. Diakses tanggal 2010-6-28.
- ^ Douglas Reynolds, China, 1898-1912: The Xinzheng Revolution and Japan (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993). ISBN 0-674-11660-7 passim.
- ^ http://www.cnn.com/2008/WORLD/asiapcf/11/04/china.emperor/index.html?eref=rss_world
Pranala luar
Media tentang Empress Dowager Cixi di Wikimedia Commons
- Cixi - Biografi Ibusuri Cixi atau Tz'u-hsi di womenshistory.about.com
- Royalty.nu - Sejarah Tiongkok - Ibusuri Tzu Hsi atau Cixi di www.royalty.nu
- Putri Der Ling di solongletty.tripod.com
- Cixi: The Woman Behind the Throne -- Smithsonian.com