Sistem endokrin

Revisi sejak 1 Desember 2020 03.09 oleh JohnThorne (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Sistem organ menggunakan HotCat)

Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk memengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan.[1]

Kelenjar endokrin utama pada manusia: 1.Kelenjar Pineal. 2.Kelenjar Hipofisis. 3.Kelenjar Tiroid. 4.Kelenjar Timus. 5.Kelenjar Adrenal. 6.Kelenjar Pankreas. 7.Ovarium. 8.Testis

Sistem endokrin merupakan bagian dari sistem koordinasi yang berfungsi untuk mengatur kegiatan-kegiatan dalam tubuh.[2] Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin.[1]

Secara keseluruhan, semua sel penghasil hormon pada seekor hewan menyusun sistem endokrin. Organ pensekresi hormon disebut sebagai kelenjar endokrin, dan juga disebut kelenjar buntu atau tanpa duktus karena mensekresikan pembawa pesan kimiawinya secara langsung ke dalam cairan tubuh.[3] Zat yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin disebut sekret. Proses pengeluarannya disebut sekresi. Sekresi hasil kelenjar endokrin disebut hormon.[4]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kata endokrin memiliki arti yaitu, kelenjar yang tidak memiliki saluran untuk mengalirkan hasil sekresinya.[5] Ilmu tentang kelenjar endokrin pada manusia dan vertebrata lainnya, khususnya mengenai hormon yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap proses dalam tubuh dikenal dengan istilah endokrinologi.[6][7]

Fungsi

Pada umumnya, sistem endokrin bekerja untuk mengendalikan berbagai fungsi fisiologis tubuh, seperti aktivitas metabolisme, pertumbuhan, reproduksi, regulasi osmotik, dan regulasi ionik.[8]

Sistem endokrin pada manusia memilki fungsi yang paling umum, yaitu:[1]

  1. Membedakan sistem saraf dan sistem reproduktif pada janin yang sedang berkembang;
  2. Menstimulus urutan perkembangan;
  3. Mengkoordinasi sistem reproduktif;
  4. Memelihara lingkungan internal yang optimal;
  5. Melakukan respons korektif dan adaptif ketika terjadi situasi darurat;
  6. Mengontrol dan merangsang aktivitas kelenjar tubuh;
  7. Merangsang pertumbuhan jaringan;
  8. Mengatur metabolisme.[9]

Struktur dan Komponen

Hormon

Hormon adalah sinyal kimiawi yang disekresikan oleh kelenjar endokrin ke dalam cairan tubuh dan mengkomunikasikan pesan-pesan yang bersifat mengatur di dalam tubuh. Hormon dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang sangat terbatas. Kelebihan atau kekurangan hormon dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh. Kekurangan satu jenis hormon tidak dapat digantikan oleh hormon yang lain, karena hormon memiliki fungsi yang spesifik dan organ tubuh yang dipengaruhi juga spesifik.[2] Hormon bisa mencapai semua bagian tubuh, tetapi jenis sel-sel tertentu saja, yang memiliki kemampuan untuk memberikan respon terhadap sinyal tersebut. [3] Hormon bisa mempengaruhi sel atau jaringan tertentu apabila sel atau jaringan tersebut mempunyai reseptor untuk hormon tertentu. Sel, jaringan, atau organ yang mengadakan repons terhadap hormon tertentu disebut sel target atau organ target.[10]

Mekanisme kerja hormon pada sel target organ adalah dengan cara menduduki atau berikatan dengan reseptor. Satu reseptor spesifik hanya dapat berikatan dengan satu jenis hormon saja. Reseptor hormon berada di sitoplasma sel untuk hormon steroid, sedangkan reseptor hormon non-steroid terletak di membran sel.[2]

 
Hormon protein/peptida berikatan dengan reseptor di permukaan sel. Sedangkan hormon berjenis steroid dan tiroksin berdifusi untuk berinteraksi dengan reseptor di dalam sitosol atau inti sel. Keterangan: (a) hormon, (b) membrane sel, (c) sitoplasma, dan (d) nukleus.

Berdasarkan sifat kimianya, hormon dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu:

  1. Hormon peptida diantaranya hormon-hormon hipotalamus, Angiostensin, Somatostatin, Gastrin, Sekretin, Kalsitonin, Glukagon, Insulin dan Parathormon. Sedangkan hormon protein besar diantaranya Hormon pertumbuhan, Prolaktin, LH, FSH, dan TSH;
  2. Hormon yang termasuk dalam kategori steroid ialah Testosteron, Estrogen, Progesteron, dan Kortikosteroid;
  3. Hormon yang merupakan turunan tirosin adalah Noradrenalin, Adrenalin, Tiroksin dan Triiodotironin.[8]

Pada sistem endokrin terdapat sejumlah zat kimia yang menyerupai hormon, antara lain bradikinin, eritropuitin, histamin, kinin, renin, prostaglandin dan hormon thymic.[8]

Persinyalan Seluler

 
Ilustrasi Parakrin dan Autokrin

Sel-sel berkomunikasi satu sama lain melalui sinyal-sinyal kimiawi hormon, yang berupa molekul-molekul sederhana seperti asam amino atau asam lemak yang mengalami modifikasi, atau molekul-molekul peptida yang lebih kompleks, protein atau steroid. Komunikasi dapat terjadi secara lokal antar sel di dalam jaringan atau organ, atau pada jarak tertentu di jaringan antar organ yang berlainan. Komunikasi sel-sel yang berdekatan dilakukan melalui sekresi parakrin, yaitu komunikasi antar sel yang berdekatan dengan melepaskan sinyal-sinyal kimiawi ke dalam cairan ekstraseluler dan mencapai tujuan melalui proses difusi sederhana. Sedangkan komunikasi yang terjadi sebagai respons sel terhadap sekresi dirinya sendiri disebut sekresi autokrin.[11] Contoh sekresi parakrin adalah hormom histamin yang disekresi oleh mast cell dan sel parietal pada lambung sapi, akan merangsang pengeluaran asam lambung. Contoh sekresi autokrin adalah prostaglandin dan faktor pertumbuhan yang mirip insulin.[8]

Mekanisme Kerja

 
Pada aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal, corticotropin releasing hormone (CRH) menyebabkan hipofisis melepaskan ACTH. Kemudian ACTH merangsang korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Selanjutnya kortisol kembali memberikan umpan balik terhadap aksis hipotalamus-hipofisis, dan menghambat produksi CRH-ACTH. Kortisol melakukan kontrol umpan balik negatif untuk menstabilkan konsentrasinya sendiri didalam plasma.

Sistem endokrin berfungsi berdasarkan konsep mekanisme umpan balik. Untuk mempertahankan fungsi regulasi yang benar, kelenjar endokrin menerima informasi umpan balik yang konstan tentang kondisi sistem yang diatur, sehingga sekresi hormon dapat disesuaikan. Kadar hormon harus dipertahankan pada batas yang tepat karena jumlah hormon yang tepat sangat perlu untuk mempertahankan kesehatan sel atau organ. Faktor yang terkait dalam pengendalian hormon adalah kontrol umpan balik (feedback control). Kelenjar A di stimulasi untuk memproduksi hormon X. Hormon X menstimulasi organ B untuk mengubah (meningkatkan atau mengurangi) zat Y. Perubahan pada zat Y mencegah produksi hormon X.[11][10]

Mekanisme umpan balik pada kelenjar endokrin dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu:

  • Umpan balik negatif langsung, terjadi ketika peningkatan kadar suatu hormon di dalam sirkulasi, akan menyebabkan penurunan aktivitas sekresi dari sel-sel kelenjar endokrin yang memproduksi hormon tersebut.[11]
  • Umpan balik tidak langsung, terjadi ketika hormon yang di sekresi kelenjar target menghambat sekresi releasing hormone dari hipotalamus.[11]
  • Pada umpan balik loop pendek, pengaruh terhadap sekresi hormon beraksi secara langsung dengan menurunkan sekresi hormon.[6]
 
Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Gonad yang meregulasi hormon-hormon reproduksi pada laki-laki.

Kelenjar Endokrin

Kelenjar endokrin adalah organ tubuh yang mempunyai fungsi untuk menghasilkan substansi (hormon) yang secara biologis sangat berguna. Sekresi atau hormon dari kelenjar ini mengalir langsung ke dalam aliran darah dan dapat memberikan efek menyebar luas.[12] Kelenjar endokrin dapat berupa sel tunggal atau berupa organ multisel.[8] Sistem endokrin terdiri dari beberapa kelenjar diantaranya adalah hipotalamus, hipofisis, pankreas, adrenal, tiroid, paratiroid, ovarium, testis, serta timus. Kelenjar hipotalamus dan hipofisis merupakan kelenjar neuroendokrin. [1][2] Kelenjar timus berperan signifikan selama masa pertumbuhan dalam perkembangan imunitas, dan ketika dewasa fungsinya menjadi tidak signifikan.[12] Hormon thymic yang dihasilkan kelenjar timus berperan untuk mempengaruhi perkembangan sel limfosit B menjadi sel plasma, yaitu sel penghasil antibodi.[8] Kelenjar pineal mensekresikan hormon melatonin, dan sebagian besar fungsinya berkaitan dengan ritme biologis.[3]

Kelenjar Endokrin dan Hormon yang dihasilkan.
Kelenjar Hormon yang dihasilkan
Hipotalamus Corticotropin Releasing Hormone (CRH),

Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH),

Tryrotropin Releasing Hormone (TRH),

Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH),

Prolactin Inhibitory Factor / Dopamin

Somatostatin (SS)

[13]
Hipofisis

(Pituitari)

Adenohipofisis

(Pituitari anterior)

Thyroid Stimulating Hormone (TSH) / Tirotopin
Adrenocorticotropin Hormone (ACTH) / Corticotropin
Luteinizing Hormone (LH) / Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH)
Follicle Stimulating Hormone (FSH)
Somatotropin Hormone / Growth Hormone (GH) [2]
Prolaktin (PRL)
Hipofisis bagian Tengah

(Lobus intermediate)

Melanotropin Stimulating Hormone (MSH)
Neurohipofisis

(Pituitari posterior)

Antidiuretic Hormone / Vasopresin
Oksitosin
Tiroid Tiroksin (T4), Triiodotrionin (T3) dan Kalsitonin
Paratiroid Parathormon (PTH)
Pankreas Pulau-pulau Langerhans Insulin dan Glukagon
Adrenal Korteks adrenal Kortisol dan Aldosteron [12]
Medula adrenal Adrenalin [2]
Ovarium Estrogen, Progesteron, dan Relaksin
Testis Testosteron
Timus Hormon thymic (thymopoetin, timosin) [12][14]
Pineal Melatonin [3]

Kelenjar endokrin lain yang mensekresikan hormon atau senyawa menyerupai hormon, antara lain:

  • Saluran pencernaan (Usus) : Gastrin, Sekretin, CCK (cholecystokinin), gastric-inhibitory peptide (GIP), pancreatic polypeptide, motilin, neurotensin, enteroglucagon.
  • Ginjal  : Renin, Eritropoietin, Prostaglandin, nitric oxide, dan endothelin.[14]

Sel-Sel

Pada sistem endokrin terdapat berbagai macam tipe sel yang berperan dalam menghasilkan hormon-hormon dan merupakan bagian penyusun dari suatu jaringan dan organ di dalam sistem endokrin. Sel-sel penyusun organ endokrin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sel neurosekretori dan sel endokrin sejati. Sel neurosekretori adalah sel yang berbentuk seperti saraf, tetapi berfungsi sebagai penghasil hormon. Contohnya ialah sel saraf pada hipotalamus, yang menunjukkan fungsi endokrin sehingga dapat disebut sebagai sel neuroendokrin. Sesungguhnya, semua sel yang dapat menghasilkan sekret disebut sebagai sel sekretori. Oleh karena itu, sel saraf yang terdapat pada hipotalamus disebut sel neurosekretori.[8] Sedangkan sel endokrin yang benar-benar berfungsi sebagai penghasil hormon dan tidak memiliki bentuk seperti sel saraf disebut sel endokrin sejati.[8]

  1. Hipotalamus
  2. Hipofisis
    • Adenohipofisis tersusun atas sejumlah jenis sel-sel yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik warna dalam pengecatan mikroskop, yaitu:
      • Kromofob yang menyerap warna sangat sedikit dan bergranula halus, merupakan sel-sel cadangan atau dalam keadaan istirahat;
      • Basofil yang berwarna biru atau ungu, merupakan kelompok sel yang mensekresikan hormon adrenokortikotrofik, gonadotropin, dan tiroid stimulating hormone (TSH);
      • Asidofil yang berwarna merah atau oranye, adalah kelompok sel terbanyak yang menghasilkan growth hormone / somatotropin dan prolaktin.[6]
    • Secara histologis, sel-sel kelenjar hipofisis dikelompokkan berdasarkan jenis hormon yang disekresi yaitu:
      • Sel-sel somatotrof berbentuk besar dan mengandung granula sekretori, yang menghasilkan somatotropin;
      • Sel-sel laktotrof mengandung granula sekretoris, yang menghasilkan prolaktin atau laktogen;
      • Sel-sel tirotrof berbentuk polihedral dan bergranula sekretoris, menghasilkan TSH;
      • Sel-sel gonadotrof bergranula sekretoris, menghasilkan FSH dan LH;
      • Sel-sel kortikotrof merupakan granula terbesar yang menghasilkan ACTH.[1]
  3. Tiroid
  4. Paratiroid
    • Sel-sel utama (chief cells ) mensekresikan parathormon.[15]
       
      Visualisasi sel pulau Langerhans menggunakan double immunostaining. Merah: antibodi glukagon. Biru: antibodi insulin.
  5. Pulau-pulau Langerhans (Pankreas)
    • Sel alpha menghasilkan hormon glukagon;
    • Sel beta menghasilkan hormon insulin;[16]
    • Sel delta menghasilkan somatostatin dalam jumlah kecil.[15]
  6. Adrenal terdiri dari bagian medula adrenal yang berasal dari jaringan saraf primitif, dan korteks adrenal berasal dari jaringan mesodermis, dan dapat diidentifikasi tiga zona jaringan terpisah, yaitu:
    • zona glomerulosa terbentuk dari sekelompok sel-sel kecil yang mensekresi mineralokortikoid ;
    • zona fasikulata tersusun atas sel-sel kolumna yang mensekresi glukokortikoid (dan sebagian hormon seks);
    • zona retikularis terdiri atas massa kecil sel-sel kromafin dengan sinus-sinus vena diantaranya.[12]
       
      Jaringan penyusun kelenjar adrenal
  7. Ovarium
  8. Testis

Penyakit dan Kelainan

Kelenjar Hipofisis

  • Hipopituitarisme paling sering disebabkan oleh adenoma nonfungsional (kromofob). Menyebabkan defisiensi sekresi GH, FSH, LD pada saat awal, disusul defisiensi sekresi TSH dan ACTH. Pada penderita anak-anak menyebabkan infatilisme hipofisis (kurcaci Peter Pan - kecil tapi terbentuk dengan baik dengan proporsi tepat).[18]
  • Hiperpituitarisme disebabkan oleh adenoma hipofisis. Adenoma ini hampir selalu mengeluarkan hormon sehingga sering disebut functioning tumor, seperti Prolactin-secreting tumor atau prolaktinoma, Somatotroph tumors (hipersekresi GH), dan Corticotroph tumors (sekresi ACTH).[10]
  • Akromegali disebabkan oleh hormon pertumbuhan (GH) yang berlebihan pada orang dewasa di usia 20-40 tahun (setelah penyatuan epifisis), sedangkan pada anak-anak menyebabkan gigantisme. Hormon GH yang berlebihan menyebabkan pertumbuhan yang berlebih pada jaringan lunak, termasuk kulit, lidah dan visera serta tulang.[18]
  • Penyakit Diabetes insipidus disebakan oleh defisiensi vasopresin (ADH) yang disekresikan oleh hipofisis posterior.[18]

Kelenjar Tiroid

  • Penyakit yang umum diketahui pada kelenjar tiroid adalah gondok/goiter. Gondok adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh meningkatnya sekresi thyroid-stimulating hormone (TSH) sekunder akibat berkurangnya output hormon tiroid. Hal ini dapat terjadi karena defisiensi iodium.[18][19] Defisiensi iodin akan berdampak pada menurunnya produksi hormon tiroid yang membuat kelenjar hipofisis meningkatkan sekresi TSH sebagai respons terhadap kurangnya hormon tiroid dalam darah (tidak ada umpan balik negatif), sehingga kelenjar tiroid akan membesar sebagai kompensasinya.[10]
  • Hipotiroidisme adalah status metabolik yang diakibatkan oleh kekurangan hormon tiroid, baik dalam bentuk T4 atau T3. Faktor yang menyebabkan adalah atrofi jaringan tiroid, hilangnya stimulasi trofik, dan lingkungan. Penderita hipotiroidisme bisa atau bisa juga tidak mengalami goiter. Gejala yang timbul adalah cepat lelah, letargi, dan merasa lemah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.[10] Jika penderita adalah anak-anak dapat mengakibatkan kekerdilan (kretinisme).[4]
  • Hipertioridisme terjadi akibat kelebihan hormon tiroid (T4 dan/atau T3). Penyakit Graves adalah bentuk hipertiroidisme yang paling umum.[18] Gejala yang timbul adalah peningkatan metabolisme, denyut jantung cepat, mudah gugup dan emosional.[4]
  • Tiroiditis adalah peradangan pada kelenjar tiroid. Tiroiditis bisa terjadi akut, subakut, dan kronis.[10] Tiroiditis akut bisa sering timbul setelah infeksi saluran napas bagian atas atau infeksi mikroba lain.[18] Pada kondisi kronis yang paling sering ditemukan disebut sebagai tiroiditis autoimun, istilah yang ditujukan untuk gangguan kelenjar tiroid dimana terdapat antibodi tiroid bersikulasi dalam plasma, selain itu ditemukan sel-sel limfoid dan sel plasma yang berlebihan dalam kelenjar tiroid. Penyakit Hashimoto adalah keadaan di mana tiroiditis autoimun menyebabkan terbentuknya goiter nodular keras. Palpasi menunjukkan masa yang keras, licin, tidak nyeri, dan dapat digerakkan.[10][18]

Kelenjar Adrenal

  • Kadar glukokortikoid yang terlalu banyak akan mengakibatkan sekumpulan tanda dan gejala yang disebut sindrom Cushing. Sindrom Cushing primer terjadi ketika terlalu banyak produksi kortisol yang diakibatkan oleh adenoma atau karsinoma adrenal. Pada sindrom Cushing sekunder, produksi kortisol terlalu banyak yang diakibatkan oleh hyperplasia adrenal karena banyak seklai ACTH. Pada sindrom Cushing iatrogenic, kadar kortisol yang sangat tinggi sebagai akibat terapi glukokortikoid eksogen dalam dosis tinggi yang berlangsung lama.[10]
  • Aldosteronisme primer (Sindrom Conn) diakibatkan oleh hiperplasia adrenal bilateral (kedua adrenal) atau salah satu adrenal (unilateral) dengan adenoma yang menghasilkan aldosteron. Kelebihan sekresi aldosteron yang menstimulasi reabsorpsi natrium oleh tubula ginjal sebagai pengganti kalium dan hidrogen. Meningkatnya retensi natrium menyebabkan peningkatan retensi air sehingga volume cairan tubuh meningkat, yang bisa menimbulkan pembesaran pada ventrikel kiri dan retinopati.[10] Aldosteronisme sekunder diakibatkan oleh adanya penyebab eksogen yang merangsang sistem renin-angiostensin-aldosteron. Sekresi renin yang meningkat disebabkan oleh berkurangnya perfusi ginjal.[10]
  • Penyakit Addison disebabkan oleh kerusakan pada bagian korteks kelenjar adrenal dan berakibat pada menurunnya sekresi hormon adrenalin. Penyakit ini ditandai dengan kelelahan, nafsu makan berkurang, mual dan muntah-muntah, serta bercak-bercak merah pada kulit.[4][20]

Kelenjar Pankreas

  • Diabetes melitus disebabkan oleh defisiensi hormon insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Gejala yang timbul adalah sering mengeluarkan urin dalam jumlah banyak, sering merasa haus dan lapar, serta badan terasa lemas.[20]

Neoplasia Endokrin Multipel / Multiple Endocrine Neoplasia (sindrom MEN)

Terdapat dua sindrom dominan autosomal (kromosom 10) yang utama. Tumor berasal dari dua atau lebih jaringan endokrin (atau neural) dan menghasilkan hormon peptida.

  • MEN tipe I : Kondisi ini mengacu pada adenoma jinak dari paratiroid, pulau-pulau Langerhans pancreas, dan hipofisis anterior. Tumor pada sel pulau menimbulkan efek sesuai sel asalnya: insulinoma (hipoglikemia), gastrinoma (sindrom Zollinger-Ellison), glukagonoma (hiperglikemia), dan tumor yang mensekresi polipeptida usus vasoaktif.[18]
  • MEN tipe 2a : Kondisi ini mengacu pada hubungan antara kanker tiroid meduler (MTC) yang menghasilkan kalsitonin, feokromositoma, dan yang lebih jarang, adenoma atau hiperplasia paratiroid.[18]
  • MEN tipe 2b : Kondisi ini mengacu pada hubungan yang sangat jarang terjadi antara gambaran tipe 2a dengan habitus Marfanoid, neuroma mukosa, dan divertikula kolon multiple disertai megakolon.[18]

Sistem Endokrin pada Hewan lainnya

Sistem Endokrin pada Invertebrata

Kelenjar endokrin dapat ditemukan pada hewan yang mempunyai sistem sirkulasi, baik vertebrata maupun invertebrata. Hewan invertebrata yang sering menjadi objek studi endokrin adalah insekta, krustasea, sefalopoda, dan moluska.[8] Sejumlah invertebrata tidak mempunyai organ khusus untuk sekresi hormon sehingga sekresinya dilaksanakan oleh sel neurosekretori. Sel neurosekretori dapat ditemukan diantaranya pada kelompok Coelenterata, Platyhelminthes, Annelida, Nematoda, dan Moluska.[8]

Kelenjar endokrin pada invertebrata cenderung berupa struktur yang sederhana, dengan jaringan amorfus melepaskan hormon langsung ke sirkulasi terbuka. Sistem kendali berupa akson neurosekretori melepaskan neuropeptida langsung menuju jaringan target. Hormon pada invertebrata lebih menitikberatkan pada regenerasi dan pertumbuhan, reproduksi (determinasi seksual dan aktivitas gonad), serta peran yang terbatas dalam sistem homeostatis.[14]

Pada kelompok hewan terdapat juga Feromon. Feromon adalah suatu senyawa kimia spesifik yang dilepaskan oleh hewan ke lingkungannya, yang dapat menimbulkan respons perilaku, respons perkembangan, atau respons reproduktif pada individu lain. Senyawa kimia tersebut sangat bermanfaat bagi hewan untuk memberikan daya tarik seksual, menandai daerah kekuasaan, mengenali individu lain dalam spesies yang sama dan berperan penting dalam sinkronisasi siklus seksual.[8]

Coelenterata

 
Gambar mikroskopis bagian kepala beserta tentakel dari Hydra viridissima

Hidra, yang termasuk dalam golongan ini, mempunyai sejumlah sel yang mampu menghasilkan zat kimia yang berperan dalam proses reproduksi, pertumbuhan, dan regenerasi. Suatu molekul peptida yang disebut aktivator kepala akan dikeluarkan oleh tubuh Hidra ketika kepalanya terpotong. Zat tersebut menyebabkan sisa tubuhnya dapat membentuk mulut dan tentakel, dan selanjutnya membentuk daerah kepala.[8]

Platyhelminthes

Hewan ini dapat menghasilkan hormon yang berperan penting dalam proses regenerasi, dan hormon tersebut juga terlibat dalam regulasi osmotik dan ionik, serta proses reproduksi.[8]

Nematoda

Sistem endokrin pada kelompok hewan ini merupakan struktur khusus yang berfungsi untuk sekresi neurohormon, yang berkaitan dengan sistem saraf. Struktur khusus tersebut terdapat pada anterior ganglion di daerah kepala dan beberapa diantaranya terdapat pada korda saraf, namun tidak ada organ neurohemal khusus. Fungsi utama neurohormon adalah kontrol molting.[8][14]

Annelida

Pada kelompok seperti Polichaeta, Oligochaeta, dan Hirudinae sudah memiliki derajat sefalisasi yang memadai. Otak hewan tersebut memiliki sejumlah besar sel saraf yang berfungsi sebagai sel sekretori. Sistem sirkulasi pada kelompok ini juga telah berkembang sangat baik sehingga mampu mendukung penyelenggaraan sistem endokrin. Sistem endokrin Annelida berkaitan erat dengan aktivitas pertumbuhan, perkembangan, regenerasi, dan reproduksi. Salah satu proses yang dikendalikan oleh sistem neuroendokrin pada Polichaeta adalah Epitoki. Dalam proses tersebut, beberapa ruas tubuh mengalami perubahan bentuk akan terlepas dari tubuh utamanya, dan berkembang menjadi organisme yang hidup bebas. Epitoki hanya akan berlangsung pada saat kadar hormon yang disekresi rendah, dan sekresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan.[8] Polichaeta mempunyai sel-sel neurosekretori di ganglia kepala, ganglia supraesofagial, dan berbagai ganglia di korda saraf, serta terdapat strujtur neurohemal di dasar otak yang menerima akson dari ganglia kepala. Neurohormon termasuk annetocin (berhubungan dengan hormon vasopressin di vertebrata) berperan penting dalam pertumbuhan, regenerasi, dan reproduksi pada annelida. Serta berimplikasi pada osmoregulasi dan keseimbangan glukosa. Organ neurohemal bernama kelenjar infraserebral diduga sebagai kelenjar endokrin sejati. Polichaeta juga memiliki hormon endokrin sejati yang berasal dari oosit immature, dan disebut "feedback substance" karena mencegah produksi sel telur berlebihan.[14]

Moluska

Moluska memiliki sejumlah besar sel neuroendokrin yang terletak pada ganglia penyusun sistem saraf pusat. Hewan ini juga memiliki organ endokrin klasik. Senyawa yang dilepaskan menyerupai protein dan berperan penting dalam mengendalikan osmoregulasi, pertumbuhan, serta reproduksi. Pada beberapa spesies hewan yang bersifat protandri, ditemukan adanya hormon yang menstimulus pelepasan telur dari gonad dan pengeluaran telur dari tubuh. Pada Cephalopoda, proses reproduksi dikendalikan oleh organ endokrin klasik, terutama kelenjar optik yang diduga menyekresi beberapa hormon yang diperlukan untuk perkembangan sperma dan telur.[8]

Krustasea

Sistem endokrin pada krustasea umumnya berupa sistem neuroendokrin, meskipun mempunyai organ endokrin klasik. Sistem endokrin berfungsi mengendalikan osmoregulasi, laju denyut jantung, komposisi darah, pertumbuhan, dan pergantian kulit. Sistem kendali endokrin pada kelas Malakostra berkembang paling baik.[8]

  • Organ neuroendokrin krustasea terdapat pada tiga daerah utama berikut:
  1. Kompleks kelenjar sinus atau disebut juga kompleks kelenjar sinus-organ X, yang menerima akson sel neuroendokrin dari ganglion kepala dan lobus optik di tangkai mata. Sekresi berupa molting-inhibiting hormone (MIH);
  2. Organ post-komisural, menerima akson dari otak dan berakhir pada awal esofogus;
  3. Organ pericardial, terletak sangat dekat dengan jantung dan menerima akson dari ganglion toraks.[8]
  • Sel endokrin klasik yang dimiliki Krustasea, yaitu:
  1. Organ Y merupakan sepasang kelenjar yang terletak di toraks, tepatnya pada ruas maksila dan ruas antenna. Hormon crustecdysone yang dihasilkan kelenjar ini mempengaruhi proses molting;[14]
  2. Kelenjar mandibula terletak di dekat organ Y dan diduga memiliki fungsi endokrin juga.[8]

Krustasea juga mempunyai kelenjar androgenik yang diyakini berperan dalam perkembangan testis dan produksi sperma.[8] Krustasea mampu merubah warna kulitnya untuk menyesuaikan diri dengan warna latar belakang mereka sehingga dapat terhindar dari perhatian musuhnya. Perubahan warna kulit krustasea dipengaruhi oleh penyebaran pigmen yang terdapat dalam kromatofor dan dikendalikan oleh sistem endokrin. Hormon peptida yang disekresikan oleh kompleks kelenjar sinus menyebabkan pigmen pada kromatofor mengumpul atau menyebar. Hormon yang dilepaskan organ perikardial juga dianggap dapat mempengaruhi fungsi kromatofor.[8] Metamorfosis pada krustasea dilakukan oleh methyl farnesoate (MF), prekursor hormon juvenile seperti pada insekta. Hormon hiperglikemik terdapat pada beberapa spesies.[14]

Insekta

Insekta memliki tiga kelompok sel neuroendokrin utama yang terletak pada sistem saraf, yaitu:

  1. Sel neurosekretori medialis, merupakan kelompok sel dengan akson yang membentang hingga ke korpora kardiaka. Korpora kardiaka adalah sepasang organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pelepasan neurohormon;
  2. Sel neurosekretori lateralis, kelompok sel dengan akson yang membentang hingga ke korpora kardiaka;
  3. Sel neurosekretori subesofageal, terdapat pada bagian di bawah kerongkongan dan memiliki akson yang membentang ke korpora alata, yang merupakan organ endokrin klasik.[8]
  • Organ endokrin klasik lainnya yaitu kelenjar protoraks. Pada insekta yang sudah lebih maju, kelenjar ini terletak di daerah toraks, namun pada insekta yang kurang berkembang dapat ditemukan pada daerah kepala.[8]

Sistem endokrin pada insekta berfungsi untuk mengendalikan berbagai aktivitas, antara lain aktivitas pertumbuhan. Pertumbuhan insekta terjadi dalam beberapa tahap dan memerlukan serangkaian proses pengelupasan rangka luar (kulit luar). Proses perubahan bentuk tubuh dan pengelupasan kulit tersebut dikenal dengan istilah metamorfosis. Proses metamorfosis berlangsung di bawah kendali hormon. Kelompok sel neurosekretori medialis menghasilkan hormon protorasikotropik (PTTH), yang dilepaskan melalui ujung akson pada korpora kardiaka. PTTH akan merangsang kelenjar protoraks untuk sekresi hormon ekdison. Hormon ekdison menyebabkan pengelupasan kulit (ekdisis) pada insekta. Hormon juvenil dilepaskan oleh korpora alata dan bertanggung jawab mengendalikan (menghambat) proses metamorfosis insekta .[8][20]

Sistem Endokrin pada Vertebrata

Sistem endokrin pada vertebrata terutama sekali tersusun atas berbagai organ endokrin klasik. Sistem endokrin vertebrata dapat dibedakan menjadi tiga kelompok kelenjar utama, yaitu hipotalamus, hipofisis atau pituitari, dan kelenjar endokrin tepi. Berbagai organ endokrin tepi bekerja di bawah kendali kelenjar pituitari bagian depan (anterior), yang merupakan salah satu organ endokrin pusat. Pituitari anterior bekerja di bawah pengaruh hipotalamus yang bekerjanya dipengaruhi oleh saraf.[8] Adenohipofisis merupakan inti pada sistem endokrin vertebrata dan mensekresikan tujuh hormon kunci "tropik", yaitu: hormon pertumbuhan (GH), prolaktin, ACTH (atau corticotropin), MSH, TSH, dan dua gonadotropin (GnH) LH dan FSH.[14] Kelenjar pineal memproduksi melatonin, yang disintesis dari triptofan. Pada mayoritas vertebrata, terkecuali mamalia dan ular, kelenjar pineal memiliki unit fotoreseptor dengan sambungan saraf ke otak dan sensitif terhadap cahaya. Namun, kelenjar pineal pada mamalia hanya menerima informasi tentang siklus cahaya dari mata, melalui neuron dari nukleus suprachiasmatik hipotalamus.[14]

Ikan

Hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari dan neuroendokrin berperan dalam mengontrol proses diferensiasi gonad pada beberapa jenis ikan.[21] Ikan di kelompok Elasmobranchii terdapat sel neurosekretori besar di saraf tulan belakang yang disebut sel Dahlgreen yang berperan penting mengatur keseimbangan cairan. Sedangkan pada kelompok Teleostei terdapat organ neurohemal bernama urofisis, mensekresikan sejumlah peptida yang disebut urotensin, berperan dalam regulasi tekanan darah (UTI), kontraksi jaringan otot (UTII), dan asupan natrium (UTIII) pada insang sebagai bagian respon osmoregulasi pada spesies air tawar, dan efek antidiuretik (UTIV).[14]

Ikan pada kelompok Teleostei memiliki organ Korpuskula Stannius (CS), yang merupakan kelenjar endokrin kecil yang berada di permukaan ginjal. CS mengandung hormon yang meregulasi kadar kalsium. Kontrol sistem osmoregulasi pada Teleostei diatur oleh sejumlah hormon-hormon dari hipofisis seperti prolaktin, dan GH, serta hormon kortisol dari kelenjar interrenal, yang berperan penting dalam aklimasi osmotik. Kortisol bersama dengan GH menstimulasi pengeluaran ion pada keadaan hiperosmotik, dan kerjasama antara kortisol dan prolaktin berperan untuk meningkatkan asupan ion di keadaan lingkungan hipoosmotik.[22]

Amfibia

Hormon tiroid tidak hanya mengatur pertumbuhan dan pematangan seksual, tetapi juga mengontrol metamorfosis.[15] Semua kelompok Amfibi, termasuk Anura dan Caudata, mempunyai dua jenis hormon gonadotropik yang secara stuktur dan fungsi mirip dengan LH dan FSH pada mamalia. Stimulasi pelepasan hormon gonadotropik dihasilkan dari pengaruh Gonadotropin-releasing hormone (GnRH). GnRH merupakan neurohormon utama yang mengaktifkan reproduksi amfibi, dihasilkan oleh hipotalamus.[23]

Aksis Hipotalamus-Pituitari-Gonad meregulasi reproduksi pada amfibi. Hormon GnRH yang diproduksi hipotalamus mengontrol sekresi FSH dan LH oleh kelenjar pituitari. Kedua hormon tersebut meregulasi perkembangan gamet dan sekresi hormon-hormon estrogen dan hormon androgen oleh ovarium dan testis. Metamorfosis pada amfibi dikendalikan oleh aksis hipotalamus-pituitari-tiroid (HPT) dan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Aksis HPT berperan dalam produksi corticotropin-releasing factor (CRF) di hipotalamus, yang menstimulus TSH dari pituitari. TSH menstimulus sintesis T3 dan T4, yang bertanggung jawab mengendalikan metamorfosis. CRF mengaktivasi aksis HPA, dengan menstimulasi sekresi ACTH dari pituitari yang kemudian menstimulasi sekresi corticosterone (CORT) dari jaringan interrenal.[23]

Reptilia

Kelenjar endokrin pada reptil adalah hipofisis, adrenal, tiroid, pankreas, testis, ovarium, dan pineal. Terdapat beberapa perbedaan hormon pada reptil dibandingkan dengan mamalia. Pituitari (hipofisis) posterior reptil mensekresikan hormon AVT (arginine vasotocin) dan mesotocin. Sekresi dari korteks adrenal adalah corticosterone.[14]

Aves

Kelenjar pituitari posterior menghasilkan AVT dan mesotocin.[14] Kelenjar tiroid kelompok unggas memiliki keunikan karena tidak terdapat sel-sel kalsitonin, yang letaknya terpisah di kelenjar ultimobranchial. Sintesis hormon tiroid mirip dengan sintesis pada mamalia, yaitu terdapat hormon T3 dan T4.[24]

Mamalia

Kelenjar endokrin vertebrata, terutama mamalia, sudah dipelajari dengan baik. Peranan kelenjar endokrin dalam memelihara kondisi homeostasis telah diuraikan dengan cukup detail.[15] Kelenjar endokrin utama pada mamalia adalah hipotalamus, hipofisis, tiroid, paratiroid, timus, pankreas, adrenal, dan gonad. Hormon-hormon yang disekresi oleh kelenjar tersebut mempengaruhi berbagai sel dan satu sama lainnya selama perkembangan mamalia. Plasenta merupakan salah satu sumber hormon penting berhubungan dengan fungsi reproduksi, hanya terdapat pada mamalia betina. Selama kehamilan plasenta mensekresikan estrogen dan progesteron, serta chorionic gonadotropin pada kelompok Primata.[14]

Referensi

  1. ^ a b c d e Manurung, Nixson; Manurung, Rostinah; Bolon, Christina M. T. (2017). Asuhan Keperawatan Sistem Endokrin Dilengkapi Mind Mapping dan Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 1, 3, 6, 7. ISBN 978-602-453-342-7. 
  2. ^ a b c d e f Furqonita, Deswaty (2007). Seri IPA Biologi 3 SMP Kelas IX. Jakarta: Yudhistira. hlm. 61–69. ISBN 978-979-746-790-6. 
  3. ^ a b c d Campbell, Neil A.; Reece, Jane B.; Mitchell, Lawrence G. (2004). Biologi. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Erlangga. hlm. 129, 139. ISBN 9796884704. 
  4. ^ a b c d Arisworo, Djoko; Yusa. IPA Terpadu (Biologi, Kimia, Fisika) : Kelas IX. Jilid 3. Jakarta: PT Grafindo Media Pratama. ISBN 978-979-758-331-6. 
  5. ^ "Arti kata endokrin - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". www.kbbi.web.id. Diakses tanggal 2020-11-06. 
  6. ^ a b c Astuti, Pudji (2017). Endokrinologi Veteriner. Yogyakarta: UGM Press. hlm. 39, 50, 51. ISBN 9789794209189. 
  7. ^ "Arti kata endokrinologi - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". www.kbbi.web.id. Diakses tanggal 2020-11-06. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Isnaeni, Wiwi (2019). Fisiologi Hewan. Edisi Revisi. Sleman: Kanisius. hlm. 145–167. ISBN 9789792162714. 
  9. ^ Azhar; Lubis, Triva Murtiva; Adam, Mulyadi; Gholib (2017). Pengantar Fisiologi Veteriner : Buku untuk mahasiswa. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. hlm. 93. ISBN 978-602-5679-18-6. 
  10. ^ a b c d e f g h i j Baradero, Mary; Dayrit, Mary Wilfrid; Siswandi, Yakobus (2005). Klien Gangguan Endokrin Seri Asuhan keperawatan. Jakarta: EGC. hlm. 2, 50, 51. ISBN 978-979-448-950-5. 
  11. ^ a b c d Shahab, Alwi (2017). Dasar-dasar Endokrinologi. Jakarta: Rayyana Komunikasindo. hlm. 2, 9, 10, 12. ISBN 9786026111227. 
  12. ^ a b c d e Broom, Bryan (1998). Anatomi Fisiologi Kelenjar Endokrin dan Sistem Persarafan. Edisi 2. Jakarta: EGC. hlm. 2, 8, 13, 14, 30. ISBN 9794484148. 
  13. ^ Roosita, Katrin; Subandriyo, Vera U.; Ekayanti, Karina R,; Nurdin, Naufal M. (2016). Fisiologi Manusia. Bogor: IPB Press. hlm. 65, 68. ISBN 9789794939826. 
  14. ^ a b c d e f g h i j k l m Willmer, Pat; Stone, Graham; Johnston, Ian (2005). Environmental Physiology of Animals 2nd Edition (dalam bahasa Inggris). Malden: Blackwell Publishing. hlm. 347–349, 352–360. ISBN 978-1-4443-0922-5. 
  15. ^ a b c d e Fried, George H.; Hademenos, George J. (2006). Schaum's Outline Biologi Ed.2. Diterjemahkan oleh Tyas, Damaring. Jakarta: Erlangga. hlm. 244, 245. ISBN 9789797817138. 
  16. ^ Wibowo, Daniel S. (2008). Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo. hlm. 94. ISBN 9789797328887. 
  17. ^ a b Heffner, Linda J.; Schust, Danny J. (2010). At a Glance Sistem Reproduksi Ed.2. Jakarta: Erlangga. hlm. 13, 14. 
  18. ^ a b c d e f g h i j Rubenstein, David; Wayne, David; Bradley, John (2007). Kedokteran Klinis Ed. 6. Diterjemahkan oleh Rahmalia, Annisa. Jakarta: Erlangga. hlm. 161, 165, 170–176. ISBN 978-979-781-823-4. 
  19. ^ Susilowarno, R. Gunawan; Mulyadi, R. Sapto Hartono; Murtiningsih, Th. Enik Mutiarsih; Umiyati (2007). Biologi SMA/MA Kls XI (Diknas). Jakarta: Grasindo. hlm. 285. ISBN 978-979-025-020-8. 
  20. ^ a b c Aryulina, Diah; Muslim, Choirul; Manaf, Syalfinaf; Winarni, Endang W. (2004). BIOLOGI SMA dan MA untuk Kelas XI : Jilid 2. Jakarta: ESIS. hlm. 270–272. ISBN 978-979-734-550-1. 
  21. ^ Hayati, Alfiah (2019). Biologi Reproduksi Ikan. Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 26. ISBN 978-602-473-177-9. 
  22. ^ Baldisserotto, Bernardo; Mancera, Juan Miguel; Kapoor, B.G. (2018). Fish Osmoregulation (dalam bahasa Inggris). Boca Raton: CRC Press. hlm. 88. ISBN 978-1-4398-4311-6. 
  23. ^ a b Norris, David O.; Lopez, Kristin H. (2011). Hormones and Reproduction of Vertebrates, Volume 2: Amphibians (dalam bahasa Inggris). London: Academic Press. hlm. 89, 132. ISBN 978-0-08-095808-8. 
  24. ^ Sturkie, Paul D. (2012). Avian Physiology 4th edition (dalam bahasa Inggris). New York: Springer Science & Business Media. hlm. 453–545. ISBN 978-1-4612-4862-0. 

Pranala luar