Komselindo

perusahaan asal Indonesia
Revisi sejak 27 Januari 2021 02.57 oleh Medelam (bicara | kontrib) (diskusi masih berlangsung)

Singkatan dari PT Komunikasi Selular Indonesia, Komselindo didirikan pada 25 Januari 1995, sebagai perusahaan patungan yang dimiliki oleh PT Elektrindo Nusantara (anak perusahaan Bimantara Citra yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo) sebesar 65% dan Telkom sebesar 35%. Perusahaan ini diberikan izin untuk menjadi operator seluler dengan sistem AMPS, dan mulai beroperasi pada 1 Juni 1995. Modal dasar pelanggannya adalah pelanggan dari Elektrindo yang dijadikan pelanggan Komselindo sejak Maret 1995.[2][3] Perlu diketahui sebelumnya bahwa PT Elektrindo sebenarnya bukanlah sebuah operator jaringan seluler yang sudah berdiri sendiri pada masanya, melainkan sebuah perusahaan telekomunikasi yang memproduksi dan menyediakan berbagai sarana dan jasa komunikasi. Perusahaan ini sendiri diberi izin untuk membangun sistem AMPS khusus telepon mobil (istilah resminya STKB-N, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Nasional) pada 26 November 1988 oleh Deparpostel (sekarang Kemenparekraf) di sejumlah kota-kota besar, seperti Semarang, Medan, dan Jakarta menggunakan skema bagi hasil bersama Telkom. Pembangunan proyek AMPS ini dilakukan awalnya di Jakarta dan Bandung (dengan kapasitas untuk 25.000 pengguna), dilanjutkan dengan di Medan dan Ujungpandang dan dalam operasionalnya menggunakan frekuensi 10 MHz.[4] Seiring dengan pembentukan Komselindo, maka bagian Elektrindo yang menjalankan jasa operator seluler digabungkan ke perusahaan ini.

Komselindo
PT Komunikasi Selular Indonesia
Anak perusahaan (2003-2007)
IndustriOperator dan layanan telekomunikasi seluler Indonesia
NasibMerger dengan Mobile-8 Telecom
PenerusMobile-8 Telecom
Didirikan25 Januari 1995
Ditutup11 Juni 2007
Kantor pusatJalan Tanah Abang II/83 Jakarta[1]
Kemudian berpindah ke:
Gedung Elektrindo, Jalan Kuningan Barat 8, Jakarta, Indonesia
ProdukAMPS (1995-2002)
PemilikBimantara Citra (via PT Elektrindo Nusantara) (1995-2003)
Telkom Indonesia (1995-2003)
Mobile-8 Telecom (2003-2007)
Situs webwww.komselindo.co.id di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 16 Agustus 2000)

Sebagai bagian dari skema pemerintah saat itu, Komselindo sendiri diberikan hak untuk beroperasi di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jabodetabek dan Sumatra Utara serta Aceh,[5] dan untuk melayani konsumennya juga membangun jaringan di 18 kota di 12 provinsi di Indonesia seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Ujungpandang, Yogyakarta, Surabaya dan Banjarmasin dengan menggunakan frekuensi 825-835 MHz.[6] Dalam tahun pertama beroperasinya, Komselindo sendiri mematok target pelanggan sebesar 95.000 dan menyiapkan modal senilai US$ 40 juta, ditambah dengan kerjasama dengan sejumlah pabrikan ponsel seperti Motorola, Ericsson dan Nokia dan kerjasama roaming dengan perusahaan telekomunikasi asing seperti Telstra dari Australia.[7] Pada tahun 1997, Komselindo tercatat sudah memiliki 152 BTS di berbagai wilayah, sehingga operasinya meluas ke hampir seluruh Indonesia dan tercatat memiliki pelanggan sebanyak 166.500. Karena itulah, Komselindo dianggap sebagai perusahaan komunikasi bersistem AMPS terbesar di Indonesia.[8] Komselindo juga dikenal sebagai operator yang cukup inovatif, misalnya pada 1997 menandatangani kesepakatan dengan MbF Mastercard untuk membentuk kerjasama kartu kredit serta mempunyai sistem proteksi sejak Oktober 1995.[9]

Dalam perkembangannya, Komselindo sendiri awalnya berusaha untuk mengembangkan teknologinya menjadi sistem digital, yaitu D-AMPS, dan selanjutnya disiapkan untuk ditingkatkan menjadi CDMA yang direncanakan dimulai sejak 1997. Ujicoba dengan sistem CDMA ini pertama kali dilakukan pada September 1995.[10] Selanjutnya, demi memajukan proyek CDMA ini, Komselindo menggandeng Lucent Technologies, sebuah perusahaan telekomunikasi AS dan New T&T dari Hong Kong untuk membangun sistemnya. Target awal dari sistem CDMA Komselindo adalah sebesar 65.000 pelanggan, di Jakarta, Bandung, serta sebagian Sulawesi dan Sumatra dan mematok target tertingginya sebesar 750.000 pelanggan.[11] Proyek ini memakan biaya US$ 100 juta. Walaupun awalnya ditargetkan pada Oktober 1999 proyek ini sudah bisa diluncurkan, sayangnya proyek ini harus terhambat oleh pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 yang membuat Komselindo terjerat hutang.[12][13] Tetap menggunakan sistem AMPS (ditambah efek krisis ekonomi 1997-1998) membuat pelanggan Komselindo dalam perkembangannya semakin menurun, dimana pada tahun 1998 menjadi sebesar 65.000, pada Juni 1999 merosot lagi menjadi 53.744 pelanggan, sedangkan tahun 2000 turun lagi menjadi 36.500 pelanggan.[14][15] Hal ini seiring dengan pangsa pasar AMPS yang menurun tajam, dari 48,4% pada 1995 menjadi 4,4% pada 1999 yang disebabkan kalah dengan GSM yang masif.[16] Untuk mengatasi masalah ini, Komselindo sempat menjalin kerjasama dengan perusahaan lain yang bergerak di AMPS juga, yaitu Metrosel yang beroperasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam bentuk kerjasama jaringan sehingga harga jaringan keduanya bisa ditekan hingga 40%. Selain itu, pada 2001-2002, Komselindo juga meluncurkan berbagai produk, seperti Kartu Gesit (yang diklaim paling murah dibanding operator GSM dan merupakan prabayar pertama AMPS),[17] paket pascabayar Nasional, Spada dan Menari dan promosi panggilan Prorata yang berharga murah.[18]

Masalah lain yang membelit Komselindo adalah efek krisis ekonomi sehingga membuat perusahaan ini terjerat hutang, sebesar Rp 126 M, US$ 143 juta dan Sin$ 13.356. Sementara itu, di situasi sulit tersebut, PT Telkom yang merupakan pemegang saham 35% di Komselindo justru ingin menjual sahamnya karena ingin fokus pada bisnis utamanya.[19] Dalam menangani masalahnya, pemegang saham utama Komselindo Bimantara Citra melakukan restrukturisasi hutang Komselindo pada Juli 2002 yang mencapai US$ 172 juta, mengajukan perdamaian (PKPU) kepada 41 kreditor dan meminta pengalihan hutang menjadi saham.[20][21] Dalam perkembangannya, Bimantara kemudian memutuskan untuk melanjutkan proses konversi AMPS Komselindo menjadi CDMA karena dianggap lebih prospektif, dan selanjutnya, pada 8 Agustus 2003 perusahaan yang terafiliasi dengan Bimantara, PT Centralindo Pancasakti Cellular dan Telkom sepakat melakukan pertukaran saham: Telkom menjual seluruh sahamnya di Komselindo kepada PT Centralindo sebesar 14,20% (ditambah 20,17% saham Metrosel dan 100% saham Telesera) dengan biaya Rp 185,10 M, dan sebagai gantinya, PT Centralindo menyerahkan saham PT Indonusa Telemedia (penyelenggara TV kabel TelkomVision) sebesar 35% dan memberi hak untuk membeli 16,85% sahamnya di Pasifik Satelit Nusantara pada Telkom. Manajemen sendiri menyediakan dana sebesar Rp 900 M untuk menuntaskan transaksi ini, yang berakhir dengan akuisisi seluruh saham Telkom sebesar 35% di Komselindo di tahun yang sama.[22][23] Sebelumnya, Komselindo juga berusaha menarik investor strategis, namun tampaknya masih sulit di tengah penurunan pasar dan telah menyiapkan anggaran US$ 150 juta pada 200 untuk melanjutkan proyek CDMA-nya bersama perusahaan dari Kanada.[24]

Namun pada akhirnya rencana untuk mengembangkan Komselindo sendiri tidak dilanjutkan oleh manajemen Bimantara, melainkan mereka memutuskan untuk membangun merek baru dengan melanjutkan pembangunan jaringan CDMA yang disiapkan Komselindo. Perusahaan baru itu dikenal dengan nama Mobile-8 Telecom yang didirikan akhir 2002, dan sebagai persiapannya Bimantara menjadikan dua perusahaan komunikasi yang telah diakusisinya, yaitu Metrosel dan Telesera serta Komselindo menjadi anak perusahaan Mobile-8.[25][26][27] Pada akhirnya, sebagai "penerus" Komselindo adalah Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 yang berbasis CDMA 2000 dengan modal awal salah satunya adalah bekas pelanggan AMPS Komselindo yang dipindah menjadi CDMA, yang pada saat itu sudah menurun drastis menjadi hanya 23.485 pengguna.[28] Sejak saat itu, Komselindo hanya menjadi anak perusahaan Mobile-8 yang tidak terlalu aktif, namun tetap kadang-kadang digunakan misalnya untuk mengikuti tender jaringan 3G pada 2006.[29] Pada akhirnya, PT Komunikasi Selular Indonesia dimerger dengan induknya, Mobile-8 pada 11 Juni 2007.[30]

Lihat pula

Referensi

Pranala luar