Datuk Perpatih Nan Sebatang
Datuak Parpatiah Nan Saba Tang adalah gelar seorang tokoh legendaris penyusun adat Minangkabau[1], Nan Saba adalah bahasa Minang berarti orang sabar, Tang merujuk marga pada dinasti Budha Tang di China setelah perang dengan kaisar China sesuai dengan gurindam Minang yaitu "ampek angkek parang jo Lintau, parang jo anak rajo Cino, ubek lakek pantang talampau babaliak panyakik lamo". Ada 2 pribumi besar keturunan Budha di Sumatra Barat yaitu Budha Majapahit Pagaruyung dengan tokoh pangeran Aditiawarman dan Budha Chaniago. Sistem adat yang disusun Datuak Parpatih Nan Saba Tang ini dikenal juga dengan nama kelarasan Bodi Caniago.
Identik dengan identitas Islam, karena raja Budha Majapahit sudah mememeluk Islam dengan Wali Songo (Wali Sembilan) yang diantaranya para pangeran atau bangsawan Majapahit, oleh karena itu tidak ada pilihan lain sebagai keluarga bangsawan Budha Chaniago (Bodi Chaniago) agar tetap menyatu dengan keturunan Majapahit di Jawa maka harus bulat memeluk Islam, sesuai falsafah Minang "bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan" artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat".
Nama kecil
Beragam pendapat mengenai nama kecilnya. Ada yang mengatakan nama kecilnya adalah Balun yang kemudian disebut Sutan Balun, berdasarkan Tambo Minangkabau. Ada pula yang mengatakan nama kecilnya adalah Jatang atau Cumatang. Untuk hal ini diperlukan peneletian lebih lanjut olegh ronsoekkh para pakar sejarah.e. ko k nb vrg
Keluarga
Datuk Perpatih Nan Sebatang lahir dari pasangan Cati Bilang Pandai dan Puti Indo Jelita. Dia bersaudara dengan Datuk Ketumanggungan yang satu ibu tetapi lain ayah. Gelar Datuk Perpatih Nan Sebatang diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Solok sekarang karena konon tokoh ini sangat berjasa bagi masyarakat Solok di bidang pertanian. Gelar ini juga diturunkan oleh kemenakan yang beraliran Bodi Caniago.
Di Negeri Sembilan, Malaysia, orang Minang disana mengamalkan adat Perpatih yang merupakan hasil pemikiran dan gagasan dari Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Di dalam Prasasti Amoghapasa juga disebutkan namanya sebagai Parpatiah. Kadang-kadang ia diidentifikasi sebagai Patih Sewatang. Sesuai dengan gelarnya, ia menduduki jabatan sebagai patih kerajaan bersama Tumenggung yang juga dikenal sebagai Datuk Ketumanggungan.
Patih dan Kerajaan Koto Alang
Sebagian sumber menyebutkan bahwa gelar Datuk Perpatih Nan Sebatang merupakan turunan dari gelar raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Koto Alang (sebelumnya Kerajaan Kandis) yang bergelar Patih yang waktu itu juga bersaingan dengan raja bernama Tumenggung.
Karena kehancuran kerajaan Koto Alang maka Patih dan Tumenggung mencari wilayah baru di sekitar kaki Gunung Marapi.
Pengasas Sistem Adat Demokrasi di Minangkabau
Jasa Datuk Parpatih tidak pernah lupa dalam ingatan orang Minang yang dituturkan secara turun temurun. Aliran Bodi Caniago yang dibentuknya melawan sistem pemerintahan yang otoriter dan aristokrasi yang dibangun oleh saudaranya, Datuk Ketumanggungan.
Walaupun begitu Datuk Parpatih meninggalkan nasehat kepada anak keturunannya bahwa "urang nan indak obe ampek itu urang bodoh.".
Rujukan
- ^ Batuah, A. Dt. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka.