Dampak pandemi Covid-19 terhadap industri makanan

Revisi sejak 23 Maret 2021 01.24 oleh Spuspita (bicara | kontrib) (Menghapus sub judul tak perlu)

Penyakit koronavirus 2019 (COVID-19) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus yang diketahui pertama kali ditemukan dan menyebar di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019. Virus ini menyerang saluran pernapasan manusia yang ditandai dengan batuk, sesak napas hingga demam tinggi. Namun, terdapat sebagian besar orang yang terinfeksi tetapi tidak mengalami gejala-gejala tertentu sehingga tidak menyadari bahwa telah tertular Covid-19. Hal tersebut sangat ditentukan oleh kekebalan tubuh yang dimiliki setiap orang. Usia juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi individu dapat terjangkit virus Covid-19 atau tidak. Berdasarkan hasil analisis, individu pada usia yang relatif muda atau bahkan anak-anak cenderung sulit tertular karena memiliki sisitem imun yang masih cukup baik, sedangkan individu pada usia 45 tahun keatas cenderung lebih mudah untuk terinfeksi dikarenakan sistem imun yang menurun seiring dengan bertambahnya usia.[1]

Dampak umum

Penerapan kebijakan PSBB oleh pemerintah memberikan dampak yang sangat besar terhadap penurunan kegiatan ekonomi dimasyarakat terutama pada industri makanan. Industri makanan mengalami penurunan dalam hal penjualan makanan dan minuman karena masyarakat di anjurkan untuk tetap berada dirumah dan mereka cenderung menahan diri untuk melakukan konsumsi yang berlebihan dan memilih untuk berhemat selama masa PSBB. Adanya penurunan permintaan makanan dan minuman membuat harga kebutuhan pokok seperti ayam, telur, dan beras menjadi menurun secara drastis. Hal ini menyebabkan sejumlah pengusaha dalam sektor industri makanan membuat keputusan dengan menutup usahanya dan sebagian karyawannya dirumahkan atau melakukan pemutusan hubungan kerja karena beban operasional semakin lama semakin bertambah yang tetap berjalan seperti biaya sewa tempat,listrik maupun gaji karyawan sementara perusahaan beroperasi sehingga tidak ada pemasukan. Untuk sebagian pengusaha yang memiliki modal yang besar masih mampu bertahan untuk beberapa waktu kedepan.[2]

Pandemi Covid-19 menimbulkan krisis yang sangat besar untuk bisnis perhotelan dan industri makanan dan minuman seperti hotel, restoran, dan bar. Banyaknya restoran yang terpaksa tutup karena kebijakan lockdown dan pembatasan interaksi sosial pada awal tahun 2020. Hal ini juga mempengaruhi kondisi konsumen yang cenderung menghindari interaksi dengan orang lain di tempat umum.[3]

Indonesia masih berada pada tahap penyesuaian terhadap pandemi Covid-19. Meskipun Indonesia mengalami peningkatan dalam hal tantangan terhadap penanganan kesehatan manusia, Indonesia juga mengalami berbagai macam dampak akibat Covid-19 yaitu salah satunya pada hampir seluruh sektor bisnis yang berkaitan dengan food and beverages terkena dampak dari pandemi Covid-19. Bisnis seperti restoran menjadi sektor terparah pertama dan disusul oleh sektor restoran cepat saji dan layanan pesan antar.[4]

Dampak pada beberapa negara

China

Perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan dan minuman seperti Starbucks, KFC, Pizza Hut, dan McDonald's telah menutup restoran di Wuhan atau Hubei pada 27 Januari. Penutupan yang dilakukan oleh pemerintah di China tepat sebelum perayaan Tahun Baru Imlek dianggap sebagai momen paling buruk yang pernah dialami oleh negara China. Tahun Baru Imlek pada tahun 2020 dianggap sebagai peristiwa ekonomi terpenting di China, dengan pengeluaran tahun 2019 sebesar US $ 150 miliar. Sedangkan pada sektor jasa pada tahun 2020 mewakili 52% ekonomi di China.[5]

Ireland

Sehari setelah pengumuman McDonald's, sebagian besar kedai seperti kedai kopi Costa Coffee dan restoran cepat saji Subway mengumumkan bahwa akan menutup gerai yang ada di Irlandia, begitu pula perusahaan donat Krispy Kreme mengenai satu gerai Irlandia di Dublin. Adapun restoran cepat saji Irlandia, Supermac's telah mengumumkan pada hari yang sama dengan penutupan Costa dan Subway bahwa akan menutup semua restorannya pada tanggal 26 Maret.[6]

Dampak pada UMKM

Akibat pandemi COVID-19 juga dirasakan pada perekonomian sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berada dalam industri makanan. Sebagian besar UMKM di Indonesia sedang mengalami resesi karena melemahnya perekonomian dunia termasuk di Indonesia. Kesulitan yang dialami oleh UMKM selama pandemi Covid-19, antara lain: terjadi penurunan penjualan karena berkurangnya aktivitas masyarakat di luar rumah sebagai pelaku konsumen, kesulitan dalam permodalan usaha karena tingkat penjualan yang menurun sehingga perputaran modal menjadi untung menjadi susah, adanya hambatan pergerakan dalam proses penyaluran produk di wilayah-wilayah tertentu yang berdampak pada proses distribusi produk, dan kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan UMKM dalam proses membuat produk baik itu makanan atau minuman menjadi sulit didapatkan.[7]

Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Koperasi dan UMKM Indonesia bahwa koperasi atau UMKM yang bergerak pada bidang jasa dan produksi merupakan sektor yangpaling terdampak pada pandemi COVID-19. Sebagian besar pihak koperasi merasakan turunnya penjualan, kekurangan modal, dan terhambatnya distribusi barang. Sementara itu sektor UMKM yang paling terguncang selama pandemi COVID-19 adalah pada sektor industri makanan dan minuman serta industri kreatif dan pertanian.[8]

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh P2E LIPI, didapatkan bahwa dampak penurunan ekonomi terhadap UMKM yang bergerak dalam usaha makanan dan minuman mikro mencapai 27%, sedangkan dampak terhadap usaha kecil makanan dan minuman sebesar 1.77% dan usaha menengah sebesar 0.07%. Hal ini menggambarkan bahwa pandemi Covid-19 sangat berpengaruh dalam menurunkan perkembangan UMKM khusunya pada sektor kuliner atau makanan dan minuman, sehingga diperlukan strategi yang harus dilakukan agar dapat meminimalisir penurunan tersebut.[9]

Dampak pandemi Covid-19 juga membuat banyak UMKM Rumah Makan di daerah sekitaran kampus tidak bertahan lama. Pemilik UMKM tersebut menutup usahanya dengan alasan kalah bersaing dengan warung makan lainnya atau sepi pengunjung apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 dimana tempat beribadah, kerja, kuliah dan sekolah harus dilakukan di rumah. Selain itu konsumen yang membeli makanan atau minuman dilarang makan dan diminum di tempat rumah makan. Hal ini yang menyebabkan pendapatan UMKM menurun drastis.[10]

Distribusi pakan hewan

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diekluarkan oleh pemerintah sangat mempengaruhi distribusi atau transportasi pakan ternak dari produsen ke distributor mengalami hambatan menjadi lebih lama atau kurang lancar. Transportasi yang dapat dikategorikan lancar apabila dalam pengantaran pakan/bahan pakan bisa dilaksanakan dalam 1 x 24 jam. Transportasi sebelum terjadi pandemi selalu lancar dan hanya membutuhkan waktu 1 hari saja. Sedangkan, dalam kondisi pandemi dan diberlakukannya PSBB, transportasi menjadi lebih lama yang biasanya bisa sampai dalam waktu 1 x 24 jam menjadi 2 x 24 jam.[11]

Strategi penjualan

Strategi bisnis dalam penjualan sangat dibutuhkan oleh setiap penjual atau perusahaan yang bergerak di sektor industri makanan dan minuman. Media yang paling tepat untuk memasarkan produk makanan dan minuman di masa pandemi Covid-19 ini adalah melalui media elektronik atau sosial media. Adanya jarak antara produsen dan konsumen atau tidak bertemu secara langsung pada satu tempat membuat penggunaan media elektronik menjadi semakin digemari dan memiliki jangkauan pemasaran yang sangat luas.[12]

Dalam kondisi pandemi seperti ini, banyak strategi yang dapat ditempuh oleh UMKM dalam sektor industri makanan untuk tetap bertahan. Bentuk strategi yang dapat dilakukan, antara lain dengan memperadakan logo halal pada kemasan untuk memberikan tanda bahwa makanan tersebut bersih, kualitas terjaga dan aman untuk dikonsumsi. Hal ini juga dapat meningkatkan penjualan di Indonesia karena sebagian besar penduduk di Indonesia beragama Islam. Bentuk strategi yang lain adalah dengan melakukan transaksi pembelian produk secara daring untuk memudahkan pembeli dalam memilih serta membeli barang dengan nyaman.[13]

Referensi

  1. ^ Prakoso 2020, hlm. 2.
  2. ^ Prakoso 2020, hlm. 2-3.
  3. ^ Kim dan Lee 2020, hlm. 1.
  4. ^ Kurniawan, Wahyu dan Nurbaya 2020, hlm. 22.
  5. ^ Pham 2020.
  6. ^ RTE 2020.
  7. ^ Suryani 2021, hlm. 1591-1592.
  8. ^ Amri 2020, hlm. 125.
  9. ^ Aryansah, Mirani dan Martina 2020, hlm. 324-325.
  10. ^ Fatimah dan Tyas 2020, hlm. 246.
  11. ^ Harmen 2020, hlm. 134-135.
  12. ^ Rosmadi 2021, hlm. 124.
  13. ^ Kamila 2020, hlm. 38.

Daftar pustaka