Abdoel Moeis

pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Abdoel Moeis (bahasa Arab: عبد المعز 'Abd Al-Mu'iz) (3 Juli 1886 – 17 Juni 1959) adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdoel Moeis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959.[1]

Abdoel Moeis
Abdoel Moeis
Abdoel Moeis
Lahir(1886-07-03)3 Juli 1886
Sungai Puar, Agam, Sumatra Barat
Meninggal17 Juni 1959(1959-06-17) (umur 75)
Bandung, Jawa Barat
PekerjaanPenulis
Kebangsaan Indonesia
Karya terkenalSalah Asuhan

Latar belakang

 
Sutan Sulaiman, Demang Sungai Puar, ayah Abdul Muis

Abdoel Moeis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai dari ELS, Abdoel Moeis melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta.[2] Namun karena sakit, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.

Kehidupan

Abdoel Moeis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung.[2] Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.

Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda.[3] Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Moeis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis.[butuh rujukan]

Tahun 1917, ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan. Pada tahun 1918, Abdoel Moeis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.[4]

Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli-Toli, Sulawesi Tengah, dibunuh setelah ia berpidato di sana. Abdoel Moeis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu dia dipersalahkan dan dipenjara.[3] Selain berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya pada harian berbahasa Belanda De Express, Abdoel Moeis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.[butuh rujukan]

Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia mengunjungi Padang, Sumatra Barat. Di sana ia mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya tinggal di Sumatra Barat dan keluar dari Pulau Jawa. Kemudian ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Di kota ini ia menyelesaikan novelnya yang cukup terkenal yaitu Salah Asuhan.

Abdoel Moeis merupakan tokoh yang begitu komitmen terhadap perjuangan dan nasib rakyat yang saat itu sedang dijajah. Tidak hanya melalui garis profesi sastrawan, ia bahkan berjuang dalam dunia politik. Tulisan-tulisan Abdoel Moeis yang tajam dan gerakan-gerakan politiknya itulah yang kemudian menyebabkannya dilarang tinggal di tempat kelahirannya. Ia kemudian memilih daerah Garut sebagai tanah pengasingannya, dan di sanalah ia menghabiskan sisa-sisa hidupnya.[5]

Tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Dan enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).

Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda.[3] Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.[butuh rujukan].

Karya

Terjemahan

  • Don Kisot (karya Miguel de Cervantes, 1923)
  • Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
  • Sebatang Kara (karya Hector Malot, 1922)
  • Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)

Trivia

Pranala luar

Referensi

  1. ^ "DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA". Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959
  2. ^ a b (Indonesia) Eneste, Pamusuk (2001). Buku pintar sastra Indonesia : biografi pengarang dan karyanya, majalah sastra, penerbit sastra, penerjemah, lembaga sastra, daftar hadiah dan penghargaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 9799251788.  halaman 5
  3. ^ a b c (Inggris) Moeis, Abdoel (2010). Never the twain. Jakarta, Indonesia: Lontar. ISBN 9789798083549.  page 221.
  4. ^ Setiono, Benny. G (2002). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia. hlm. 355. 
  5. ^ Faidi, A (2014). Jejak-jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Saufa. hlm. 15–16. ISBN 9786022554646.