Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Aapriano (Kontrib • Log) 1236 hari 1227 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan adalah sebuah komite pakar regional di Eropa yang bertugas untuk memantau pelaksanaan Konvensi Eropa 1987 berkaitan dengan Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (disebut Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan).[1] Komisi ini menjalankan tugasnya atas dasar kesepakatan konvesi HAM Uni Eropa untuk menguatkan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks pencegahan perbuatan kekerasan ilegal universal.[2]
Landasan komite ini ialah melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.[3] istilah "penyiksaan" yang dimaksud di sini berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.
Tidak ada pengecualian atau batasan dari definisi yang disepakati tersebut. Selain penyiksaan, ketentuan itu biasanya berlaku untuk untuk kasus-kasus kekerasan yang parah dan kondisi pengamanan yang buruk.[2] Di dalam konteks ini, negara tidak dapat mendeportasi atau menyerahkan individu yang mungkin mengalami penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat, di negara penerima.[4] Setiap negara anggota harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Termasuk, perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.[1]
Berdasarkan hal tersebut, tidak ada satu negara anggota pun yang boleh mengusir, mengembalikan atau mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran penyiksaan. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di negara tersebut.[3]
Sejarah
Komite ini didirikan pada 26 Juni 1987 berdasarkan rekomendasi konvensi negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, yang mulai berproses sejak Februari 1989.[5] Penyiksaan adalah kejahatan yang tidak bisa dan tidak akan ditoleransi di dunia. Sejak akhir Perang Dunia II, perjanjian hak asasi manusia internasional (baik global maupun regional) yang melindungi individu dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh otoritas negara telah disepakati bersama.[5] Setelah adopsi perjanjian-perjanjian ini, ada seruan untuk memperkuat perlindungan yang diatur dalam perjanjian, yang mengarah pada pembentukan badan penegak hukum yang dirancang untuk menghukum dan mencegah kejahatan penyiksaan. PBB kemudian merekomendasikan Uni Eropa untuk mengadakan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat, sebuah perjanjian global, diadopsi pada 1984.[6] Di Amerika, Konvensi internal Amerika untuk Pencegahan dan Penghukuman Penyiksaan telah diadopsi pada 1987. Konvensi Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat mulai berlaku pada tahun 1989. Ketiga perjanjian ini, masing-masing berlaku di wilayah tertentu dan memiliki penekanannya sendiri. Khususnya dalam hal menciptakan perlindungan mendasar individu terhadap tindakan penyiksaan.[7]
Pertemuan di Jenewa pada April 1988 menimbulkan kesepakatan-kesepakatan yang intensif. Di dalam prosesnya, komite ini melaksanakan pemberantasan praktek penyiksaan di dunia merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh PBB di tahun-tahun tersebut. Untuk memastikan perlindungan yang memadai untuk semua orang terhadap penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat tersebut PBB telah mengadopsi standar yang berlaku secara universal dengan standar proses kodifikasi menjadi memerangi praktik penyiksaan. [8] Dalam mengembangkan instrumen yang berharga ini, PBB tidak hanya menuliskan secara tematis kumpulan permasalahan penyiksaan tetapi juga mengelompokkan prinsip-prinsip yang pelaksanaan dan ketaatannya akan tidak dikendalikan oleh apapun atau siapapun. Sifat dari komite ini adalah untuk memastikan bahwa Konvensi dipatuhi dan dilaksanakan.
Komite ini merupakan implementasi dari penjagaan nilai-nilai HAM universal.[9] Dasar berdirinya komisi ini ialah resolusi 32/62 pada 8 Desember 1977 yang disetujui oleh Majelis Umum dalam resolusi 34529(XXX) pada 19 Desember 1975.[7] Di dalam konvesi waktu itu, disepakati upaya perlindungan bagi semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.[6] Sidang kemudian menyerahkannya pada Komisi Hak Asasi Manusia Uni Eropa untuk mendeklarasikan perlidungan atas penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam deklarasi.[1] Pada sidangnya yang keempatpuluh, diselesaikan konsep, termasuk ketentuan-ketentuan agar penerapan konvensi itu efektif dengan memperhatikan resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1984/21, 6 Maret 1984, yang berisi keputusan komisi ini untuk menyerahkan naskah konsep konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, yang tercantum dalam lampiran pada laporan Kelompok Kerja yang kemudian diterima Majelis Umum.[3]
Fokus Perjuangan
Fokus perjuangan komite ini ialah memastikan keamanan tempat penahanan dengan mengunjungi semua tempat penahanan negara-negara anggota Dewan Eropa.[4] Tempat-tempat penahanan, sebagaimana didefinisikan oleh konvensi, adalah semua tempat di mana orang ditahan tanpa persetujuan mereka.[2] Tempat ini mencakup penjara dan lembaga psikiatri tertutup, dan juga pusat penahanan imigrasi, panti jompo dan sejenisnya. Tempat-tempat inilah yang menurut konvesi rentan terjadi penyiksaan.[3]
Kunjungan merupakan ketentuan awal yang dilakukan oleh tim kecil anggota komite ini dan didampingi ahli-ahli tambahan untuk memastikan bahwa tidak ada potensi penyiksaan di tempat-tempat tersebut.[9] Setelah kunjungan dilakukan setiap kalinya, komite ini menyusun laporan rekomendasi kepada Dewan Eropa tentang temuan di lapangan, kasus-kasus yang ditemukan, situasi-situasi yang berisiko, bahkan kejadian-kejadian penyiksaan.[7] Dewan Eropa kemudian akan menyusun kesimpulan dan menentukan kebijakan yang kemudian diteruskan kepada negara-negara anggotanya.[2] Laporan ini bersifat rahasia dan dipublikasikan hanya apabila pemerintah terkait memintanya. Meskipun demikian, tetap ada ruang agar laporan itu diubah statusnya menjadi publik dan diketahui oleh masyarakat sipil.[3]
Proses tersebut melibatkan negara-negara yang menyetujui kesepakatan-kesepakatan. Misalnya, setiap negara anggota harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya.[10] Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan, dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut serta dalam penyiksaan. Setiap negara anggota harus mengatur agar pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya.[9]
Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua negara terkait yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran, akan menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu harus disesuaikan dengan hukum negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan.[5]
Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal berdasarkan fakta yang ada. Seseorang yang ditahan ini harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan negara yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan negara tempat ia biasanya menetap. Apabila suatu negara telah menahan seseorang, negara tersebut harus segera memberitahu negara yang bersangkutan bahwa orang tersebut berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya.[1]
Moto
Komite ini memiliki moto yang berbunyi: “Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat”.[4] Moto ini termaktub dalam pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Larangan penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya memiliki status khusus dalam perlindungan internasional dari hak asasi manusia. Ini termasuk dalam sejumlah perjanjian internasional dan regional dan juga merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional, yang mengikat semua Negara. Larangan penyiksaan adalah mutlak dan tidak pernah dapat dibenarkan dalam keadaan apapun. Larangan ini tidak dapat dikurangi, yang berarti bahwa suatu negara tidak diperbolehkan untuk sementara membatasi larangan penyiksaan dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat publik lainnya. Lebih lanjut, larangan penyiksaan juga diakui sebagai norma hukum internasional. Dengan kata lain, ia mengesampingkan setiap ketentuan yang tidak konsisten dalam perjanjian lain atau hukum adat. Mengingat pentingnya larangan penyiksaan, kewajiban tradisional negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia dilengkapi dengan kewajiban lebih lanjut untuk mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya. Negara-negara diharuskan mengambil langkah-langkah positif untuk mencegah terjadinya. “Dalam kasus penyiksaan, persyaratan agar Negara segera melembagakan langkah-langkah pelaksanaan nasional merupakan bagian integral dari kewajiban internasional untuk melarang praktik ini.
Moto ini diperkuat dengan kekuatan normatif yang ditunjukkan oleh negara-negara anggota sebagai indikator untuk merepresi penyiksaan di dalam dan di luar hukum, lembaga peradilan pidana, dan pemenjaraan politik.[5] Indikator ini dikonfirmasi oleh Dewan Eropa untuk melindungi hak asasi manusia untuk semua orang terlepas dari perilaku korban dan mendukung penuh martabat manusia mereka dan hak-hak politik dan sipil mereka.[7] Komite ini menyediakan rekomendasi dan laporan yang akan dikirimkan ke pemerintah masing-masing. Laporan ini diterbitkan secara berkala untuk mengantisipasi situasi berisiko.
Setiap negara anggota harus menjamin bahwa pelaporan, pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dicantumkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, dan orang-orang lain yang mungkin terlibat dalam penahanan, interogasi atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. Bahkan, harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.[5]
Isu-Isu yang Diperjuangkan
Isu-isu yang menjadi tugas pokok perjuangan komite pakar ini berlangsung dalam semangat memperkuat perlindungan orang-orang yang dirampas kebebasannya dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan, dengan membentuk mekanisme non-yudisial yang bersifat preventif, berdasarkan kunjungan.[4] Secara terperinci terdapat empat isu yang menjadi tugas pokok perjuangannya, sebagai berikut:
- Penyiksaan dan perlakuan buruk
- Kepatuhan dengan hukum hak asasi manusia internasional
- Perawatan tahanan dan kondisi kehidupan penjara
- Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada narapidana
Isu-isu yang diperjuangkan ini sebetulnya merupakan perpanjangan dari definisi di pasal-pasal konvesi bahwa penyiksaan merupakan suatu perlakuan buruk yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah, baik fisik maupun mental. Tidak menyoal siapa yang melakukannya, hukum ditegakan terhadap siapapun baik itu pejabat negara, atau individu swasta yang bertindak dengan persetujuan atau persetujuan pejabat negara.[4] Oleh karena itu, ada kewajiban yang berkaitan dengan domain nasional dan internasional di dalam mengaplikasikan isu-isu tersebut. Di tingkat nasional, negara-negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah tindakan penyiksaan. Tidak ada keadaan luar biasa, atau perintah dari orang yang berpangkat lebih tinggi, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Semua tindakan penyiksaan harus menjadi tindak pidana menurut hukum nasional dan harus dikecam dengan hukuman yang mempertimbangkan sifat kejahatan yang berat.[5]
Di tingkat internasional, komite ini membudayakan prinsip yurisdiksi universal. Dengan demikian, suatu negara memiliki yurisdiksi atas orang-orang yang dicurigai melakukan tindakan penyiksaan, terlepas dari kebangsaan mereka dan tempat di mana dugaan kejahatan itu dilakukan.[11] Tindakan penyiksaan harus diklasifikasikan sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang ada di antara negara-negara anggota. Akan tetapi, tidak ada negara anggota yang berhak mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana terdapat alasan kuat untuk meyakini bahwa dia akan berada dalam bahaya menjadi sasaran penyiksaan. Jika orang-orang yang dicurigai tidak diekstradisi, mereka harus diadili di negara tempat mereka ditemukan.[11] Orang-orang yang mengeluh telah menjadi korban penyiksaan harus segera diperiksa kasusnya dan tidak memihak, dan mereka harus dilindungi dari segala tindakan pembalasan. Korban penyiksaan harus diberi kompensasi. Pengakuan yang diperoleh di bawah penyiksaan tidak boleh digunakan sebagai bukti di pengadilan. Aparat penegak hukum harus dididik dan diinformasikan mengenai hukuman penyiksaan. Aturan, instruksi, metode, dan praktik yang berkaitan dengan interogasi harus tetap ditinjau secara sistematis.[11]
Instansi-instansi yang berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya. Hal ini mencakup jaminan agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin.[11] Setiap negara anggota harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah ditetapkan sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat. Dengan begitu, terlihat pencegahan di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.[11]
Keanggotaan
Anggota-anggota di dalam komite ini menjalankan tugasnya menurut kapasitasnya masing-masing, independen dan tidak mewakili Negara di mana mereka telah dipilih dan mereka berasal dari 47 Negara Anggota Dewan Eropa. Anggota komite adalah ahli independen dan tidak memihak dari berbagai bidang, misalnya pengacara, dokter dan profesional penjara atau polisi. Mereka dipilih guna melaksanakan tugas-tugas yang akan ditentukan lebih lanjut. Komite ini terdiri dari sepuluh ahli yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang hak asasi manusia, yang akan bertugas dalam kapasitas pribadinya. Ahli-ahli ini dipilih oleh negara-negara anggota dengan pertimbangan diberikan pada pembagian geografis yang adil, dan pada manfaat dari keikutsertaan mereka yang mempunyai pengalaman hukum.[11]
Para anggota Komite dipilih melalui pemungutan suara secara rahasia berdasarkan daftar orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara anggota. Setiap negara anggota dapat mencalonkan satu orang warganegaranya sendiri. Negara-negara anggota mempertimbangkan manfaat pencalonan orang-orang yang juga menjadi anggota Komite Hak asasi Manusia yang didirikan menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang bersedia bertugas dalam Komite Menentang Penyiksaan.[11]
Pemilihan para anggota Komite dilakukan pada sidang dua tahunan antar-negara anggota yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam sidang itu, dua pertiga negara-negara anggota yang hadir merupakan kuorum; orang-orang yang terpilih sebagai anggota komite adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-negara Pihak yang hadir dan memberikan suara.[11]
Pemilihan pertama harus diadakan paling lambat enam bulan setelah tanggal diberlakukannya Konvensi ini. Sekurang-kurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada negara-negara anggota yang meminta agar dalam waktu tiga bulan mereka sudah mengajukan calon-calonnya. Sekretaris Jenderal mempersiapkan suatu daftar menurut abjad semua calon beserta negara-negara anggota yang mencalonkannya dan kemudian mengajukannya kepada negara-negara anggota.[11]
Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Jika dicalonkan kembali, mereka dapat dipilih lagi. Akan tetapi, masa jabatan dari lima orang di antara para anggota yang dipilih pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun kedua; segera setelah pemilihan pertama nama-nama dari lima orang anggota ini akan dipilih lewat undian oleh Ketua Sidang.[11] Kalau seorang anggota Komite meninggal atau mengundurkan diri atau karena suatu alasan tidak dapat lagi menjalankan tugas-tugasnya dalam Komite, negara anggota yang mencalonkannya harus menunjuk seorang ahli lain di antara warganegaranya untuk bertugas selama sisa masa jabatannya, setelah ada persetujuan mayoritas dari negara-negara yang bersangkutan.[11] Persetujuan dianggap telah diberikan, kecuali kalau setengah atau lebih negara-negara anggota memberi jawaban negatif dalam waktu enam minggu setelah diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penunjukan orang yang diusulkan. Komite memilih-pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun dan dapat dipilih kembali. Komite menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatan-kegiatannya berdasarkan konvensi ini kepada negara-negara anggota dan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[11]
Struktur Organisasi
Pimpinan
Pimpinan komite ini adalah independen yang terdiri dari 1 (satu) Ketua, dan 2 (dua) Wakil Ketua serta masing-masing merangkap Anggota.[12]
Ketua
Ketua komite ini adalah pimpinan yang juga merangkap sebagai anggota yang mengomandoi segala proses organisatoris komite ini. Saat ini dijabat oleh Alan Mitchell dari United Kingdom.[12]
Wakil Ketua
Wakil ketua komite ini merupakan pimpinan yang juga merangkap sebagai anggota dan bekerja di bawah naungan ketua komite. Saat ini dijabat oleh Hans Wolff dari Switzerland dan Therese Maria Rytter dari Denmark.[12]
Anggota
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komite ini dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Adapun daftar nama-nama anggota dan negara asalnya: adalah sebagai berikut:[12]
Nama | Negara Asal |
---|---|
Djordje Alempijevic | Serbia |
Régis Bergonzi | Monako |
Dagmar Breznoščáková | Slowakia |
Marius Caruana | Malta |
Vânia Costa Ramos | Portugal |
Juan Carlos Da Silva Ochoa | Spanyol |
Vincent Delbos | Prancis |
Vanessa Durich-Moulet | Andorra |
Gergely Fliegauf | Hongaria |
Mykola Gnatovskyy | Ukraina |
Per Granström | Swedia |
Nico Hirsch | Luksemburg |
Georg Høyer | Norwegia |
Gordan Kalajdjiev | Makedonia Utara |
Ifigeneia Kamtsidou | Yunani |
Mark Kelly | Republik Irlandia |
Julia Kozma | Austria |
Marie Lukasová | Ceko |
Philippe Mary | Belgia |
Alexander Minchev | Bulgaria |
Ömer Müslümanoğlu | Turki |
Vitalie Nagacevschi | Moldova |
Slava Novak | Slovenia |
Olga Noyanova | Rusia |
Judith Öhri | Liechtenstein |
Solvita Olsena | Latvia |
Helena Papa | Albania |
Kristina Pardalos | San Marino |
Jari Pirjola | Finlandia |
Ceyhun Qaracayev | Azerbaijan |
Răzvan Horaţiu Radu | Rumania |
Vytautas Raškauskas | Lithuania |
Davor Strinović | Kroasia |
Arman Tatoyan | Armenia |
Aleksandar Tomcuk | Montenegro |
Elsa Bára Traustadóttir | Islandia |
Tinatin Uplisashvili | Georgia |
Marika Väli | Estonia |
Chila Van Der Bas | Belanda |
Gunda Wössner | Jerman |
Elisabetta Zamparutti | Italia |
Naskah Resolusi Konvesi
Komisi ini memiliki nota kesepakatan berupa naskah yang muncul dari rekomendasi Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang disetujui Majelis Umum dalam resolusi 34529 (XXX) pada l 9 Desember 1975.[11] Dengan mengingat, menimbang dan memperhatikan ketetapan-ketetapan Resolusi 32/62 pada 8 Desember 1977, resolusi 38/119, 16 Desember 1983, resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1984/21, 6 Maret 1984, hukum internasional dan nasional, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, kewajiban Negara-Negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama Pasal 55, Pasal 5 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Naskah ini dibagi ke dalam 3 bab yang berisi 33 pasal.[5]
Ketentuan naskah resolusi konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran.[9] Dengan diterbitkannya naskah resolusi konvesi ini, maka akan terkonsentrasi semangat untuk melakukan penerapan yang lebih efektif atas larangan-larangan yang ada berdasarkan hukum internasional dan nasional terhadap praktek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia sehingga menjadikan perjuangan lebih efektif dan efisien melawan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia.[2]
Referensi
- ^ a b c d (Inggris) Morgan, R. (2002). Cassese, A. (1989). A new approach to human rights: the European Convention for the prevention of torture. American Journal of International Law, 83(1), 128-153. ISSN: 0002-9300
- ^ a b c d e (Inggris) Evans, M., Bicknell, C., Morgan, R. (2018). Strasbourg Cedex: Council of Europe. ISBN: 978-92-871-8748-2
- ^ a b c d e (Inggris) Heinz, W. S. (2018). The European Committee for the Prevention of Torture and Its Work with the Police. In The Police and International Human Rights Law (pp. 305-319). New York: Springer Cham. ISBN: 978-3-319-71338-0
- ^ a b c d e (Inggris) Kicker, R. (2012). The European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (the CPT). Human rights monitoring mechanisms of the Council of Europe. London/New York: Routledge, 43-70. ISBN: 978-1-136-667-93-0
- ^ a b c d e f g (Inggris) Morgan, R., & Evans, M. (2002). Combating torture in Europe: the work and standards of the European Committee for the Prevention of Torture (CPT). Strasbourg: Council of Europe. ISBN: 92-871-4614-4
- ^ a b (Inggris) Morgan, R. (2002). Another angle on European harmonisation: the case of the European Committee for the Prevention of Torture. In The New European Criminology (pp. 174-197). London: Routledge. ISBN: 97-802-030-304-86
- ^ a b c d (Inggris) Morgan, R., Evans, M. and Evans, M.D. eds., (1999). PROTECTING PRISONERS: the Standards of the European Committee for the Prevention of Torture in Context. Oxford University Press on Demand. ISBN: 978-01-982-982-12
- ^ (Inggris) Pantelić, N. (2005). European Committee for the Prevention of Torture. Bezbednost, Beograd, 47(4), 565-575.
- ^ a b c d (Indonesia) Nasution, Adnan Buyung. (1997). Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN: 979-46-124-05
- ^ (Inggris) Danisi, C. (2009). Preventing torture and controlling irregular immigration: the role of the European Committee for the prevention of torture and its activities in Italy. Essex Human Rights Review, 6(1).
- ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) OHCR Website. Professional Interest. Diakses Juli 2021. https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cat.aspx
- ^ a b c d (Inggris) CPT Website. CPT Members. Diakses Juli 2021. https://www.coe.int/en/web/cpt/cpt-members