Kerajaan Jambu Lipo
Kerajaan Jambu Lipo adalah sebuah kerajaan yang terletak di kecamatan Lubuk Tarok, kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat sekarang[1].
Etimologi
Telah ada data jejak yang pasti tentang asal usul nama Kerajaan Jambu Lipo. Diperkirakan nama Jambu Lipo berasal dari kata "jambhu dwipa" dalam bahasa bahasa Sanskerta yang berarti "tanah asal".[2] Sedangkan menurut Tambo Minangkabau nama Jambu Lipo berasal dari hasil perjanjian Rajo Tigo Selo di Pagaruyung yang tidak boleh saling melupakan, dengan asal kata "jan bu lupo" yang berarti "jangan ibu lupa".[3]
Sejarah
Kerajaan Jambu Lipo merupakan salah satu cabang Kerajaan Pagaruyung yang berdiri pada awal abad ke-10[4] dengan raja pertamanya bergelar Dungku Dangka. Susunan Pemerintah Kerajaan Jambu Lipo sama dengan Kerajaan Pagaruyung yang dipakai oleh Rajo Tigo Selo.
Pada awalnya pusat Pemerintahan Kerajaan Jambu Lipo berada di Bukit Jambu Lipo. Pada masa pemerintahan raja ke-4 yang bernama Buayo Kumbang bersama pembesar lainnya mengadakan perundingan terhadap pertentangan Putih Mengenang yang disepakati untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Nagari Lubuk Tarok. Kerajaan Jambulipo tidak lagi berada di puncak bukit Jambulipo.
Kerajaan Jambu Lipo merupakan salah satu cabang kerajaan Pagaruyung yang Menurut tambo, kerajaan ini berdiri pada awal abad ke-10 dengan raja pertamanya bergelar Dungku Dangka. Susunan pemerintah kerajaan Jambu Lipo sama dengan kerajaan Pagaruyung yang dipakai oleh Rajo Tigo Selo. Pada awalnya pusat pemerintahan kerajaan Jambu Lipo berada di Bukit Jambu Lipo. Pada masa pemerintahan raja ke-4 yang bernama Buayo Kumbang bersama pembesar lainnya mengadakan perundingan terhadap pertentangan Putih Mengenang yang disepakati untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Nagari Lubuk Tarok. Kerajaan Jambulipo pada awalnya berpusat di atas puncak bukit Jambulipo, sekitar 3 km dari jalan raya Lubuk Tarok. Raja yang pertama memegang tampuk pemerintahan adalah Dungku Dangka, dan kemudian kerajaan Jambulipo telah dipimpin oleh 14 raja.
Raja yang terakhir adalah Firman bergelar Bagindo Tan Ameh ke-14. Keberadaan kerajaan Jambulipo di puncak Bukit Jambulipo hanya sampai pada masa pemerintahan raja ke-4, yaitu Rajo Alam yang bergelar Bagindo Tan Ameh.Setelah mengadakan perkembangan wilayah ke berbagai daerah, seperti Nagari Paulasan, Taratak Baru, Sinyamu, dan sebagainya, pihak kerajaan Jambulipo menerima perundingan damai dari pihak Sutan Nan Paik di Puncak Koto. Perundingan itu kemudian berlanjut untuk membuat sebuah nagari yang sekarang dikenal dengan Nagari Lubuk Tarok. Sejak berdirinya Nagari Lubuk Tarok, Kerajaan Jambulipo tidak lagi berada di puncak bukit Jambulipo, tetapi kemudian berpusat di Rumah Gadang Bawah Pawuah atau disebut dengan Kelambu Suto.
Susunan pemerintahan di kerajaan Jambulipo sampai sekarang masih terpelihara dengan baik sebagaimana dahulunya dengan pucuk pimpinan Rajo Tigo Selo, yaitu: Rajo Alam dengan gelar Bagindo Tan Ameh, Rajo Ibadat dengan gelar Bagindo Maharajo Indo, Rajo Adat dengan gelar Bagindo Tan Putih. Selain Rajo Nan Tigo Selo terdapat beberapa pejabat inti kerajaan yang terdiri dari Sandi Kerajaan, Sandi Amanah, dan Sandi Padek serta beberapa hulubalang yang disebut Ampang Limo Rajo. Para pejabat di atas juga mempunyai bawahan masing-masing, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kebudayaan sebuah kelompok masyarakat dibentuk oleh tradisi leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Sama Hal nya dengan Kerajaan Sekala Brak Meskipun pada perkembangannya terjadi asimilasi budaya, namun tradisi yang dipertahankan akan jadi karakter tersendiri sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bagi generasi ke generasi, Seperti di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, tradisi peninggalan Kerajaan Jambu Lipo masih membudaya bagi sebagian masyarakatnya.
Tradisi Kerajaan Jambu Lipo, keberadaan raja masih terus dilestarikan, yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat. Pelestarian Kerajaan Jambu Lipo bukan bermakna raja di atas negara, namun berhubungan dengan kultur dan budaya, jadi bukan secara administrative. Menurut peneliti Sejarah dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat “ Zusneli “ dalam kajian sejarah Kerajaan Jambu Lipo dulunya memiliki daerah kekuasaan, meliputi kawasan yang saat sekarang bernama Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok Selatan, dan Kabupaten Dharmasraya. Zusneli juga mengatakan, "Untuk melakukan penelitian ini saya didukung oleh dua anggota, Efrianto dan Rismadona. Selama berada di Kabupaten Sijunjung, kami melakukan audiensi dengan Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan, Ketua LKAAM, Rajo Alam, Rajo ibadat, Walinagari Lubuak Tarok, dan tokoh masyarakat setempat." Ditemukan beberapa tradisi Kerajaan Jambu Lipo yang masih membudaya di tengah masyarakat. Salah satunya, tradisi 'menjalani rantau' yang digelar sekali dua tahun oleh Rajo Ibadat. "Pelestarian tradisi ini berisi kegiatan silaturahmi, penobatan pucuk adat, menyelesaikan sengketa yang ada di daerah rantau, dakwah Islam, dan pengobatan. Peninggalan Kerajaan Jambu Lipo, di antaranya; Istano, Keris (Sokin, Soka Daguk), Pedang Emas, Tombak Jogi, Pending Emas, Destar, Sepit Janggut sebanyak 12 buah, Guncang, Bintang (tempat nasi), Carano dan Talam.
Berdasarkan memori kolektif dan tradisi yang masih lestari di tengah masyarakat Kanagarian Lubuk Tarok Dra. Zusneli Zubir, M.Hum., Ketua Tim Peneliti bersama para anggotanya: Efrianto, SS., dan Rismadona, S.Sos. melaporkan hasil kajian mereka tentang keberadaan Kerajaan Jambu Lipo pada Seminar Hasil Kajian Nilai Budaya, digelar oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sumatera Barat (BPNB Sumbar) pada Senin 16 - 17 November 2020 di Kyriad Bumiminang Hotel, Jalan Bundo Kanduang No. 20 - 28, Padang. BPNB Sumbar di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia membedah 10 laporan penelitian pada seminar tersebut.
Zusneli Zubir bersama Tim melaporkan hasil kajian berjudul 'Eksistensi Tradisi Kerajaan Jambu Lipo dalam Perkembangan Masyarakat di Kabupaten Sijunjung (1980 – 2000)', mereka tampil pertama di hari pertama seminar tersebut dari pukul 9.10 - 10.40 WIB. Kajian mereka dibedah oleh Dr. Nopriyasman, M.Hum., Ketua Pasca Sarjana Sejarah Universitas Andalas dihadapan 30 orang peserta seminar yang antusias menanggapi penelitian tersebut. Zusneli Zubir mengatakan, "Eksistensi Kerajaan Jambu Lipo hingga hari ini masih terlihat dalam tingkatan upacara, keindahan dan keagungan peninggalan-peninggalan budaya, seni yang dipagelarkan, serta lingkungan alam daerah kawasan kerajaannya. Berbagai tradisi mereka warisi secara turun temurun yang masih dilaksanakan sampai sekarang, terkait dengan keberadaan Kerajaan Jambu Lipo antara lain adalah acara: bakaua (merupakan upacara syukuran), ziarah ke kubur Rajo, dan manjalang rantau.” Saat ini telah terjadi perpaduan antara modernitas dan tradisionalitas, yang sejalan dengan upaya pemerintah daerah menjadikan peninggalan sejarah budaya sebagai salah satu aset berharga untuk menunjang pariwisata di daerah. Dalam konteks seperti ini, warisan budaya Kerajaan Jambu Lipo muncul sebagai andalan memakmurkan negeri. Zusneli Zubir juga mengatakan, kemunculan dunia kerajaan sebagai salah satu identitas Minangkabau berkaitan dengan strategi harga diri Harun Al Rasyid Zein (Gubernur Sumatera Barat) dalam mengangkat kembali kebudayaan Minangkabau yang disimbolkan melalui pembangunan Istana Basa. Istana dan segala bentuk peninggalan kerajaan pada akhirnya menjadi simbol par excellence dari identitas daerah di Indonesia dalam era otonomi.
Referensi
- ^ https://www.utusanriau.co/berita/44918-zusneli-zubir-angkat-keberadaan-kerajaan-jambu-lipo-di-sijunjung-di-seminar-bpnb-sumbar.html/
- ^ Tambo Alam Minangkabau: Penghapusan Sejarah dan Kekacauan Logika, 17 November 2011. Diakses pada 20 Desember 2011.
- ^ Djamaris, Edwar (1991). Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/jambu-lipo-kerajaan-pagaruyung/