Raja Pagaruyung
Kekuasaan diraja di Kerajaan Pagaruyung dipegang oleh sebuah triumvirat yang terdiri atas Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Konsep kekuasaan diraja ini dinamakan rajo tigo selo ("tiga raja yang duduk bersila"). Secara historis, Raja Alam adalah primus inter pares dari ketiganya dan memiliki gelar Yang Dipertuan Pagaruyung atau Yang Dipertuan Sakti, yang kemudian berubah pula menjadi gelar sultan setelah masuknya Islam. Sistem ini secara formal berakhir setelah Raja Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung ditangkap dan dibuang dari Pagaruyung oleh Belanda pada tahun 1833. Namun, pada hari ini terdapat beberapa orang yang mengklaim sebagai pewaris atau pemangku kedaulatan pada salah satu jabatan raja, terutama Raja Alam.
Sejarah
suntingAsal mula
suntingSecara umum, Adityawarman diterima luas sebagai orang pertama yang berkuasa sebagai raja di alam Minangkabau, yaitu berdasarkan manuskrip arca Amoghapasa (1347). Ia dipercaya memerintah di Malayapura dari tahun 1347 hingga wafatnya pada tahun 1375.[1][2] Adityawarman digantikan oleh puteranya Ananggawarman, yang disebutkan pada Prasasti Batusangkar yang beraksara Melayu. Ia merupakan putra Adityawarman dengan Puti Reno Jalito, dan memerintah antara tahun 1375 hingga 1417. Ananggawarman dipercaya merupakan raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam dan mengambil gelar Sultan Alif. Ia berperan memindahkan pusat kekuasaan dari Malayapura (kini sekitar Dharmasraya) ke nagari Pagaruyung di pedalaman Luak Tanah Datar.[3]
Tambo alam Minangkabau secara spesifik menyebutkan beberapa orang yang diyakini sebagai penguasa Pagaruyung setelah Adityawarman dan Ananggawarman, namun tidak ada riset modern yang dapat menjelaskan kapan persisnya mereka memerintah. Terdapat seorang penguasa perempuan bernama Puti Panjang Rambut, seorang perempuan yang dicatat sebagai Bundo Kanduang pertama di Minangkabau, yang merupakan putri dari Yang Dipatuan Rajo Nan Sati. Ia digantikan oleh putranya yang bergelar Dang Tuanku Sutan Rumanduang.[3]
Tambo juga mencatat seorang penguasa lain bernama Cindua Mato gelar Rajo Mudo dan putranya Sutan Lembak Tuah (bernama lain Sutan Aminullah), hasil perkawinannya dengan Putri Reno Bulan. Menurut Tambo, Bundo Kanduang, Dang Tuanku, dan Puti Bungsu pergi menyelamatkan diri ke negeri Lunang (kini di Pesisir Selatan) di Kerajaan Inderapura untuk menghindari serangan dari pasukan Kerajaan Sungai Ngiang. Pengungsian ini dipercaya melahirkan keturunan Mande Rubiah.[3]
Kesultanan
suntingSelepas masuknya agama Islam ke pedalaman Minangkabau, para Raja Alam mulai mengambil gelar Yang Dipertuan Sakti atau Yang Dipertuan Pagaruyung. Catatan sejarah pertama tentang perubahan gelar ini adalah surat Jacob Pits, seorang pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur kepada "Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas" bertanggal 9 Oktober 1668. Catatan lanjutan Belanda memperkirakan bahwa Ahmadsyah memerintah sampai kematiannya pada tahun 1674.[4]
Ahmadsyah digantikan sebagai Raja Alam oleh puteranya Indermasyah, yang memerintah antara tahun 1670 hingga 1730. Indermasyah juga melakukan korespondensi dengan VOC yang berkedudukan di Padang dan menyebutkan dirinya sebagai "raja Suruaso". Ia tercatat berbalas surat secara reguler dengan para pegawai Belanda sampai tahun 1730.[4]
Perang Padri
suntingPerang Padri pecah pada masa kekuasaan Muningsyah dan Bagagarsyah. Pada tahap-tahap awal, Sultan Muningsyah melakukan perundingan dengan kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau nan Salapan yang dipimpin Tuanku Nan Renceh. Kaum Padri mendesak agar Sultan meninggalkan beberapa kebiasaan yang menurut mereka bertentangan dengan agama Islam. Namun, perundingan tersebut tidak mencapai kata sepakat, sehingga pada tahun 1815 Tuanku Pasaman melancarkan serangan atas wilayah Raja Alam di Pagaruyung yang menyebabkan Sultan Muningsyah melarikan diri.
Bagagarsyah, seorang kerabat Sultan Muningsyah, melakukan perundingan dengan Belanda yang berkedudukan di Padang. Oleh Belanda, Bagagarsyah dianggap menyerahkan kedaulatan Pagaruyung dan mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar pada tanggal 10 Februari 1821.[5] Beberapa tokoh kaum adat pada saat itu menganggap bahwa Bagagarsyah tidak berhak untuk mengadakan perjanjian dengan Belanda, tetapi pada titik ini Belanda sudah terlibat dalam pertempuran melawan kaum Padri.[6] Sultan Muningsyah masih memerintah, tetapi ia wafat pada tahun 1825 dan dimakamkan di Pagaruyung yang telah direbut kembali dari kaum Padri.[4] Bagagarsyah kemudian ditabalkan sebagai pengganti Muningsyah.
Selepas penaklukan Lintau pada bulan Agustus 1831, seluruh Luak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda, dan Bagagarsyah dapat kembali ke Pagaruyung di mana ia memerintah sebagai Sultan dan Regent sekaligus.[4] Namun, pada bulan Mei 1833, ia ditangkap oleh Kolonel Cornelis Elout atas tuduhan pengkhianatan di Batusangkar. Kedudukan Regent Tanah Datar diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuah, salah seorang pembesar kerajaan yang termasuk ke dalam Basa Ampek Balai. Bagagarsyah dibuang ke Batavia dan hidup di sana sampai akhir hayatnya pada bulan Februari 1849.[4]
Gelar
suntingSepanjang sejarahnya, para raja Pagaruyung menggunakan berbagai macam gelar. Adityawarman tercatat menggunakan gelar Maharajadiraja ("raja para raja"); catatan lain menuliskannya sebagai Tuan Janaka, Mantrolot Warmadewa, dan Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.[7] Putranya Angganawarman mengambil gelar sebagai Yuvaraja ("putera mahkota") pada masa pemerintahan ayahnya dan menyebut ayahnya sebagai Suravasavan ("penguasa Suruaso").[7]
Tidak dapat dipastikan kapan nama Yang Dipertuan atau Yang Dipertuan Sakti mulai digunakan, namun legenda yang diterima luas memercayai bahwa Raja Alam di Pagaruyung adalah salah satu dari tiga pemimpin dunia yang mewarisi kekuasaan atas alam semesta bersama-sama dengan Kaisar Tiongkok dan Kaisar Romawi Timur di Konstantinopel.[3]
Kekuasaan
sunting"Their government, in the abstract, however insignificant in itself, is there [in distant parts] an object of veneration. Indeed to such an unaccountable excess is this carried, that every relative of the sacred family, and many who have no pretensions to it assume that character, are treated wherever they appear, not only with the most profound respect by the chiefs who go out to meet them, fire salutes on their entering the dusuns, and allow them to level contributions for their maintenance; but by the country people with such a degree of superstitious awe, that they submit to be insulted, plundered, and even wounded by them, without making resistance, which they would esteem a dangerous profanation. Their appropriate title ... is Yang de per-tuan, literally signifying Tie who ruleth."
— William Marsden, History of Sumatra, 1783.[8]
Para raja Pagaruyung adalah salah satu monarki yang berpengaruh di dunia Melayu. Meskipun kekuasaan teritorialnya sendiri terbatas kepada nagari Pagaruyung, tetapi mereka memiliki kekuasaan yang besar atas wilayah rantau Pagaruyung, dengan pengaruh yang mencapai hingga ke Semenanjung Melayu.
Pembagian kekuasaan
suntingPenjelajah Portugis Tomé Pires dipercaya merupakan orang Eropa pertama yang mencatat tentang sistem kerajaan Pagaruyung. Dalam karyanya Suma Oriental (1512), Pires mencatat tentang sebuah kerajaan di pedalaman Minangkabau yang memiliki tiga orang raja, dan salah seorang dari mereka telah memeluk agama Islam setidaknya lima belas tahun sebelumnya.[9]
Sarjana modern seperti Drakard, Kato, dan de Josselin de Jong mencatatkan triumvirat rajo tigo selo sebagai sebuah kesatuan di mana Raja Alam berfungsi sebagai primus inter pares, yang paling utama di antara yang utama. Navis mencatat bahwa Raja Alam, yang berkedudukan di Pagaruyung, memegang tampuk kekuasaan secara keseluruhan. Urusan adat diserahkan kepada Raja Adat di Buo, sedangkan urusan agama Islam diurus oleh Raja Ibadat di Sumpur Kudus.[10]
Di Buo, berkuasa seorang Raja Adat yang bertugas memutuskan masalah-masalah tentang adat yang tidak dapat diselesaikan oleh Basa Ampek Balai. Dikatakan bahwa jika Raja Adat tidak dapat pula menyelesaikan urusan tersebut, maka akan diputuskan oleh Raja Alam.[11] Pada tahun 1684, seorang penjelajah berkebangsaan Portugis, Thomas Dias, melaporkan pertemuannya dengan Raja Adat di Buo. Sang Raja dikatakan tinggal pada sebuah rumah adat yang berhalaman luas dan mempunyai pintu gerbang yang dikawal sebanyak 100 orang hulubalang. Ia dikawal oleh orang-orang yang berpakaian haji. Dalam lawatannya, Dias mendapatkan gelar Orang Kaya Saudagar Raja Dalam Istana.[12]
Raja ketiga adalah Raja Ibadat, yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Ia dikatakan bertanggungjawab atas persoalan agama Islam dan pendidikan yang diserahkan oleh Basa Ampek Balai. Sama seperti Raja Adat, persoalan yang tak dapat diselesaikan oleh Raja Ibadat diserahkan untuk diputuskan oleh Raja Alam di Pagaruyung.[11]
Wilayah kekuasaan
suntingStruktur kerajaan Pagaruyung berdasarkan atas konfederasi nagari. Para raja Pagaruyung kekuasaannya terbatas atas wilayah yang kini menjadi nagari Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar. Di luar itu, mereka hanya memiliki kekuasaan simbolis, sementara kekuasaan yang sebenarnya dijalankan oleh para datuak dan pangulu di nagari.
Raja Alam memiliki kekuasaan atas wilayah rantau Minangkabau, di mana ia berwenang untuk mengangkat wakil-wakilnya yang diberi kewenangan dan gelar urang gadang ("orang besar") atau rajo kaciak ("raja kecil"). Mereka setiap tahun mengantarkan ameh manah ("emas persembahan") kepada Raja Alam.[butuh rujukan] Secara umum, wilayah rantau Pagaruyung terdiri atas wilayah-wilayah di pesisir timur Sumatera, yaitu di sepanjang Batang Rokan, Batang Kampar Kiri (Rantau Tuan Bujang), Batang Singingi (Rantau Tuan Gadih), Batang Tapuang Kiri dan Kanan, Batang Kampar (Nan Kurang Aso Tigo Puluah), Batang Kuantan (Rantau nan Kurang Aso Duo Puluah); di sepanjang Batang Sangir dan hulu Batang Jujuan (Rantau Duo Baleh Koto atau Rantau nan Dipatuan Rajo Bungsu), di Batang Hari (Pulau Punjuang, Sambilan Koto Silago, Cati Nan Batigo dan Koto Basa), dan Negeri Sembilan. Di pesisir barat, terdapat wilayah rantau Pasaman, Tiku - Pariaman, Bayang Nan Tujuah, Singkil (Rantau Rajo), Barus, Padang, Banda Sapuluah, dan Ranah Indojati.[3] [11] [10]
Pengaruh dan karisma
suntingPengaruh raja-raja Pagaruyung disifatkan sebagai sebuah pengaruh yang simbolis dan magis. Sejarah Melayu menceriterakan bahwa raja pertama di alam Minangkabau adalah salah satu dari tiga orang pangeran yang muncul di Bukit Siguntang.[13] Garis diraja Pagaruyung dianggap sebagai salah satu yang tertua di antara kerajaan-kerajaan Melayu, setaraf dengan Kesultanan Melaka. Jane Drakard mencatat bahwa banyak keluarga diraja di Sumatera yang berhubungan darah dengan keluarga diraja Pagaruyung, seperti Jambi, Inderapura, dan Siak, hingga yang berkuasa di Semenanjung Melayu dan Pulau Kalimantan seperti Kedah, Brunei, dan lain-lain.[14]
Beberapa sarjana mencatat bahwa raja-raja Pagaruyung dipercaya luas memiliki kekuasaan magis yang membuat mereka ditakuti oleh para penguasa lain. Pada manuskrip tahun 1825 berjudul Een Nota en statistique bijzonderheden over Padang, seorang Belanda bernama van Zuylen van Nijevelt mencatat bahwa seorang raja Pagaruyung mengatakan kepadanya bahwa ia memiliki kuasa untuk menghukum para raja di rantau yang mengingkari kekuasaannya dengan mengirimkan kutukan gagal panen atau wabah penyakit pada orang dan hewan ternak di wilayah tersebut.[15][16]
Sarjana lain memperkirakan bahwa kekuasaan raja Pagaruyung adalah sebagai figur pemersatu yang netral atas masyarakat Minangkabau yang terbagi-bagi atas lareh, suku, dan luak. Kajian yang sama menempatkan raja Pagaruyung sebagai perwakilan kaum lelaki pada sebuah masyarakat yang matrilineal. Sang raja ditempatkan sebagai "pemberi daulat kepada negeri dan melambangkan persatuan alam Minangkabau secara keseluruhan."[17]
Hubungan luar negeri
suntingBeberapa daerah yang berada di bawah pengaruh Pagaruyung tercatat beberapa kali meminta para raja Pagaruyung untuk ikut campur untuk menyelesaikan konflik internal mereka. Di Rao, misalnya, raja Pagaruyung mengirimkan kerabatnya untuk memerintah sebagai Yang Dipertuan Padang Nunang.[butuh rujukan] Di Duo Koto Cubadak, raja Pagaruyung mengirimkan Tuanku Rajo Sontang; di Kabuntaran Talu Tuanku Bosa; di Pasaman Yang Dipertuan Parik Batu; di Kinali Yang Dipertuan Kinali. Di Tambusai Yang Dipertuan Tambusai; di Rokan Yang Dipertuan Rokan; juga di Kepenuhan. Di Kampar Kiri raja Pagaruyung mengirimkan Yang Dipertuan Gunung Sahilan; di Kuantan raja Pagaruyung mengirimkan Yang Dipertuan Basarah. Raja Kesultanan Kota Pinang juga berasal dari Putra Raja Pagaruyung yang kemudian menurunkan Raja-raja Bilah, Panai, Asahan dan Kualuh. Batu Bara juga didirikan oleh putra Raja Pagaruyung setelah menikahi putri Raja Simalungun yang kemudian diberikan tanah yang kelak menjadi negeri Batu Bara.
Di semenanjung Melayu raja Pagaruyung pernah mengirimkan kerabatnya untuk memerintah wilayah Rembau, Sungai Ujong, dan Naning. Yang paling terkenal barangkali adalah Raja Melewar, seorang kerabat diraja Pagaruyung yang dikirimkan untuk berkuasa di Negeri Sembilan pada tahun 1773.[18]
Pergantian kekuasaan
suntingPada Prasasti Suruaso, Adityawarman disebut menyelesaikan pembangunan sebuah kanal yang dibangun pada masa pemerintahan pamannya, yaitu Akarendrawarman. Bukti ini dipergunakan oleh beberapa sarjana, seperti Uli Kozok, untuk menyatakan bahwa pergantian kekuasaan raja-raja Pagaruyung pada mulanya bersifat matrilineal, yaitu dari mamak (paman) ke kamanakan (keponakan).[19] Namun, Adityawarman sendiri digantikan oleh putranya Ananggawarman. Franz von Benda-Beckmann, di sisi lain, mencatat bahwa pergantian raja diturunkan dari ayah ke putera lelaki tertuanya, sehingga bersifat patrilineal.[20]
Penerusan daulat
suntingSetelah diasingkannya Bagagarsyah, kekuasaan Pagaruyung atas wilayah Minangkabau secara resmi digantikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang berwujud Keresidenan Pantai Barat Sumatra (Sumatra's Westkust), dan seterusnya pemerintahan Republik Indonesia yang kini diwakili oleh Provinsi Sumatera Barat.
Beberapa orang mengklaim sebagai penerus sah kekuasaan Raja Alam Pagaruyung. Di Sumatera Barat, Sutan Muhammad Taufiq Thaib diterima resmi sebagai pewaris Raja Alam dengan gelar Tuanku Mudo Mangkuto Alam[21]. sampai ia wafat pada bulan Februari 2018.[22] Ia dinobatkan sebagai Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pada tahun 2002, menggantikan mamaknya Sutan Ismael Tuanku Mudo.[23] Saudari Taufiq Thaib, Puti Reno Raudha Thaib, saat ini memegang gelar Bundo Kanduang.[24] Setelah Sutan Taufiq Thaib, Raja Alam dijabat oleh saudaranya yakni Sutan Muhammad Farid Thaib Tuanku Abdul Fatah yang naik tahta pada 29 September 2018.[25]
Pada 2009, Muchdan Bakri hadir dalam upacara penobatan Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Muhriz ibni Munawir di Istana Besar Seri Menanti, Kuala Pilah.[26] Ia mengklaim bahwa Bagagarsyah diasingkan ke Batavia bersama anak pertamanya, Sultan Mangun Tuah. Berdasarkan silsilah tersebut, menurutnya, Sultan Mangun Tuah mempunyai enam orang anak dan ia merupakan merupakan cucu dari anak pertama Sultan Mangun Tuah yang bernama Raja Sabaruddin.[26] Ia mengklaim sebagai pewaris yang sah terhadap pemerintahan Raja Alam Minangkabau terakhir dan menyatakan sedang menjejaki cucu Sultan Jamin (anak Sultan Mangun Tuah) yang dipercayai berada di Batu Kikir, Kuala Pilah.[26]
Daftar
suntingMaharajadiraja & Yuwaraja
sunting- Maharajadiraja Akarendrawarman di Parhyangan (k. 1316);
- Maharajadiraja Adityawarman di Malayapura dan Surawasa (1347-1375);
- Yuwaraja Ananggawarman di Malayapura (1375-1417);
- Yuwaraja Bijayendrawarman di Parwatapuri (~abad ke-14);
- Maharajadiraja Wijayawarman di Malayapura (1417-1440).
Yand Dipertuan Sultan (Raja Alam) & Regent Tanah Datar
sunting- Yang Dipertuan Sultan Ahmadsyah di Pagaruyung (1668-1674);
- Yang Dipertuan Sultan Indermasyah di Suruaso dan Pagaruyung (1674-1730);
- Yang Dipertuan Sultan Arifin Muningsyah di Pagaruyung (1780-1821);
- Yang Dipertuan Sultan Tunggul Alam Bagagarsyah (kemudian Regent Tanah Datar) di Pagaruyung (1821-1833).
Referensi
sunting- ^ Kern, J.H.C., (1907), "De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka.", Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
- ^ Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.
- ^ a b c d e Tambo-BM.
- ^ a b c d e Dobbin.
- ^ Stuers.
- ^ Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
- ^ a b Mangkudimedja.
- ^ Marsden-Sumatra, hlm. 206.
- ^ Pires.
- ^ a b c Kato.
- ^ Putri, Risa H. "Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra". Historia. Diakses 12 Juni 2020.
- ^ Drakard, hlm. 3.
- ^ Drakard, hlm. 4.
- ^ Dobbin, hlm. 119.
- ^ S.M. Latif, "De Positie en de Macht van Jang Di Patoean, Vorst van Minangkahau en zijne Nakomlingen", Vrijzinnig Weekblad, No. 7 (1924), pp. 516-9.
- ^ de Jong.
- ^ Jong, P. E. de Josselin de (2012-12-06). Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-94-009-8198-0.
- ^ Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
- ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in Social Continuity: Continuity and Change in the Maintenance of Property Relationships through Time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58.
- ^ Ila Sean (1 Februari 2018) "Raja Pagaruyung Sultan Muhammad Taufiq Thaib Tutup Usia" Diarsipkan 2020-06-12 di Wayback Machine.. Covesia.com. Diakses 12 Juni 2020.
- ^ Ila Sean (1 Februari 2018) "Raja Pagaruyung Taufiq Thaib Tutup Usia, Ini Profil Singkatnya" Diarsipkan 2020-10-06 di Wayback Machine.. Covesia.com. Diakses 12 Juni 2020.
- ^ Hasril Chaniago, ed. (2023). Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang. 3. Padang: UMSB Press.
- ^ Agnes Rita Sulistyawaty (16 April 2009) "Kisah Waris Istana Pagaruyung". Kompas. Diakses 12 Juni 2020.
- ^ Nugroho, Joko (29 September 2018). "Farid Thaib raja Alam Pagaruyuang". ANTARA News. Diakses tanggal 15 Juni 2020.
- ^ a b c "Pewaris Pagaruyung cari keturunan Sultan Jamin" Diarsipkan 2009-10-24 di Wayback Machine.. Utusan Malaysia, 22 Oktober 2009. Diakses 12 Juni 2020.
Sumber
sunting- Cortesão, Armando, ed. (1512). The Suma Oriental of Tomé Pires An Account of the East, from the Red Sea to Japanome Pires. Routledge. ISBN 9781315085128.
- Marsden, William (1783). The History of Sumatra. London: Oxford University Press.
- Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (1850). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. 2. P.N. van Kampen.
- Datuak Batuah, A.; Datuak Madjoindo, A. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka.
- de Jong, P.E. De Josselin (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhratara.
- Mangkudimedja, R.M. (1979). Serat Pararaton. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 2020-06-12.
- Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan. hlm. 652.
- Kato, Tsuyoshi (1981). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Balai Pustaka. hlm. 291. ISBN 9796903601.
- Dobbin, Christine (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Routledge. ISBN 978-1138226074.
- Navis, Ali Akbar (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. hlm. 298.
- Drakard, Jane (1993). A kingdom of Words: Minangkabau Sovereignty in Sumatran History. Canberra: Australia National University. doi:10.25911/5d70f00fc99ad.
- Hadler, Jeffrey (2008). Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau [Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism]. Diterjemahkan oleh Berlian, Samsudin. Freedom Institute. ISBN 9789791946650.