Pengusaha Jawa merujuk pada ranah masyarakat suku Jawa yang bekerja sebagai wirausahawan. Berdasarkan data demografi, mayoritas orang Jawa di Indonesia tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Dari daftar provinsi Indonesia berdasarkan PDRB (data BPS tahun 2020), gabungan ekonomi provinsi Jateng, DIY, dan Jatim adalah yang terbesar di Indonesia.[1]

Latar belakang

Masyarakat suku Jawa memiliki stereotip yang membedakan golongan priyayi dengan wong cilik (orang kebanyakan). Golongan priyayi terdiri atas pegawai negeri dan kaum terpelajar, sementara wong cilik adalah masyarakat lapisan bawah.[2] Dunia bisnis dianggap pekerjaan kasar karena mengejar profit, bukan pangkat dan status yang dapat membuat mereka semakin disegani di lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu, banyak orang Jawa yang kurang mempunyai jiwa bisnis. Mereka merasa lebih terhormat jika mempunyai pangkat (kedudukan) dalam birokrasi pemerintahan.[3]

Suku Jawa cenderung menganggap penting profesi PNS yang dipandang sebagai kelompok elit, sekalipun keluarga suku Jawa tersebut tidak tinggal di Pulau Jawa. Orang tua cenderung memberikan dukungan secara moril dan materiil terhadap anaknya yang mendaftar CPNS, seperti menjual harta dan lahan serta berdoa di makam orang yang dituakan. Fenomena PNS merupakan kelanjutan nilai-nilai yang telah ada dan diadopsi di dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat feodal, sejak zaman kerajaan sampai sekarang. Makna pegawai negeri sipil di dalam masyarakat tidak semata-mata sebagai mata pencaharian saja, melainkan ada makna lain yang diartikan oleh masyarakat yang meninggikan dari profesi pegawai negeri sipil itu sendiri.[4] Suku Jawa juga menganggap penting profesi sebagai dokter dan guru dibandingkan sebagai pengusaha.[butuh rujukan]

Pada masa sekarang, banyak orang Jawa yang juga mulai berbisnis. Banyak toko, warung, dan berdagang di pasar yang mulai dilirik oleh orang Jawa dengan cara-cara yang lebih profesional. Hal ini menunjukkan penilaian orang Jawa tentang bisnis mulai bergeser. Banyak orang Jawa melihat bahwa pekerjaan sebagai pengusaha adalah pekerjaan yang sangat menjanjikan untuk mencapai kesuksesan hidup dan meningkatkan status sosial ketika bisnis mereka berhasil.[3]

Sementara itu, Jennifer Alexander, seorang antropolog, dalam tulisannya menyebutkan bahwa para pedagang Jawa beroperasi di pasar dalam suatu model yang terpadu dan bersifat kewirausahaan. Ia memperdebatkan bahwa mereka bukan pengusaha karena kegiatan usaha mereka tidak diperluas dan jarang berlangsung dari generasi ke generasi. Ia juga menulis bahwa perusahaan dagang Jawa bukanlah "perusahaan keluarga". Basis perusahaan dibangun dengan sangat lemah. Perusahaan besar beroperasi dengan dasar hukum yang sedikit selain izin pemerintah yang amat terbatas, tidak membayar pajak, dan pembukuan yang amat terbatas.[5]

Sejarah

Eksistensi pengusaha Jawa menurut sejarah paling awal dapat dilacak pada zaman kerajaan Majapahit. Pedagang asal Tiongkok Wang Ta Yuan mencatat komoditas ekspor pengusaha Jawa saat itu adalah lada, garam, kain, dan burung Kakaktua; sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga.[6] Pedagang Jawa zaman Majapahit yang menukar beras dengan lada dibebaskan dari cukai oleh Kerajaan Samudera Pasai.[7] Pada abad 15 pedagang Jawa juga berperan besar dalam perdagangan Rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.[8] Kawasan Laweyan sejak lama telah menjadi pusat pedagang batik.[9] Pengusaha di Jepara juga telah lama mengandalkan kerajinan kayu ukiran dan kayu ukir untuk diekspor.[10]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ https://www.bps.go.id/indicator/52/286/1/-seri-2010-produk-domestik-regional-bruto-.html
  2. ^ Agung Ariyanto, Dio Dera Darmawan, Ganang Setiyo Nugroho. 2013. Pengaruh Sistem Politik Masyarakat Jawa terhadap Sistem Politik di Indonesia Diarsipkan 2015-01-28 di Wayback Machine.. J Parental 1 (1).
  3. ^ a b Eko Kurniawan Wibowo. Etika Jawa dalam (Ber)bisnis.
  4. ^ Ria Mardalena. Makna Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Simbol Status Sosial bagi Masyarakat Desa Kerujon, Kecamatan Semendawai Suku III, Kabupaten Oku Timur Diarsipkan 2015-01-28 di Wayback Machine.. Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sriwijaya.
  5. ^ Djoko Pitono (penerbit dan editor buku). 25 September 2007. Suara Merdeka, Penjual, Profesi yang Agung Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine..
  6. ^ Referensi masih diragukan, mohon bantuan pengecekan. Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
  7. ^ http://atjehpost.co/m/read/4204/Kisah-Otonomi-Pasai-dan-Majapahit//
  8. ^ Marwati Djoened Poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia: Kemunculan penjajahan di Indonesia, ±1700-1900 Diarsipkan 2015-01-15 di Wayback Machine.. Jakarta: Balai Pustaka.
  9. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-15. Diakses tanggal 2015-02-02. 
  10. ^ http://regional.kompas.com/read/2011/09/19/03100217/Jepara.Bertopang.pada.Kayu.dan.Ukiran//