Elpidius van Duijnhoven
R.P. Elpidius (Frans) Van Duijnhoven, O.F.M.Cap. (7 Oktober 1906 - 14 Februari 1993) adalah seorang imam Gereja Katolik Roma dan misionaris asal Belanda yang berkarya di Sumatra Utara, khususnya Kabupaten Simalungun dan sekitarnya.[1] Pater Elpidius dijuluki sebagai Ompung Dolok (dibaca: Oppung Dolok) oleh orang - orang yang mengenalnya. Namanya diabadikan sebagai nama sekolah, yakni SMA Van Duijnhoven di Saribudolok.[2] Kisah hidupnya telah disusun dalam sebuah buku biografi karya Simon Saragih yang berjudul Elpidius Van Duijnhoven Oppung Dolok, Rasul Dari Simalungun Atas.[3]
Elpidius Van Duijnhoven | |
---|---|
Keuskupan agung | Keuskupan Agung Medan |
Informasi pribadi | |
Nama lahir | Fransiscus Van Duijnhoven |
Lahir | Erp, Meierijstad, Brabant Utara, Belanda | 7 Oktober 1906
Meninggal | 14 Februari 1993 Saribu Dolok, Simalungun, Sumatra Utara | (umur 86)
Makam | Sirpang Haranggaol, Simalungun, Sumatra Utara |
Denominasi | Katolik Roma |
Orang tua | Hendrikus van Duijnhoven (ayah) Johanna Penninx (ibu) |
Kehidupan Awal dan Latar Belakang Keluarga
Elpidius Van Duijnhoven lahir di Erp, sebuah kota kecil di bagian selatan Belanda, tanggal 7 Oktober 1906. Kedua orangtuanya (Henricus van Duijnhoven dan Joanna) berprofesi sebagai petani yang mesti bekerja keras menghidupi keluarga dari sebuah ladang pertanian yang mereka sewa. Elpidius merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Dia diberi nama kecil “Fransiskus” karena keluarganya pengagum St. Fransiskus dari Asisi.[4]
Sejak muda Epidius sudah akrab dengan kehidupan para biarawan Kapusin karena di dekat Erp terdapat sebuah biara Kapusin, Handel, dan seorang pamannya membaktikan hidupnya sebagai biarawan Kapusin, yakni Bruder Willebrordus. Latar belakang keluarganya sebagai umat Katolik saleh yang menggumi St. Fransiskus dan kedekatan dengan para biarawan Kapusin, merupakan motivasi awal bagi Elpidius dalam menentukan panggilan hidupnya menjadi Imam sekaligus biarawan Kapusin. Dia masuk seminari tanggal 7 September 1925 (umur 19 tahun). Setelah menyelesaikan pendidikan Filasafat dan Teologi, dia ditahbiskan menjadi Imam pada tanggal 11 Maret 1933 (umur 27 tahun).[5]
Menaburkan dan Menyirami Benih Injil di Tanah Batak
Kira-kira tujuh tahun setelah menerima tahbisan Imam, Elpidius berangkat ke Hindia Timur, tepatnya menuju Batavia (Jakarta) dengan kapal Johan de. Dia tiba di Belawan tanggal 16 Februari 1934 dan ditempatkan di Pematangsiantar.[6] Sejak itu, Elpidius menghabiskan seluruh hidupnya sebagai misionaris di daerah Sumatra Utara. Karya misionernya telah melewati tiga tahap penting dalam garis besar sejarah Indonesia: Era Penjajahan Belanda, Era Pendudukan Jepang, Era Kemerdekaan.
- Era Penjajahan Belanda
Elpidius tidak serta merta dapat menjalankan pewartaan Injil dengan leluasa ketika pertama kali tiba Sumatra Utara. Dia mesti menunggu kira-kira satu tahun hingga pemerintah Kolonial Belanda secara resmi mengizinkan misi Katolik memasuki tanah Batak.[7] Sejak itu Elpidius mengembara dari desa ke desa di daerah Simalungun; bertemu, bertukar pikiran, membantu dan juga mendidik penduduk asli seraya menaburkan benih-benih Injil. Daerah lain yang pernah menjadi tempat pewartaannya adalah tanah Karo dan Aceh Tenggara.[8]
- Era Pendudukan Jepang
Masuknya tentara Jepang ke Indonesia berkat kemenangan dalam perang pasifik, menimbulkan pergolakan di sejumlah wilayah Indonesia. Sumatra Utara terseret dalam pusaran perang karena perwakilan pemerintah Belanda di Sumatra Utara menolak takluk kepada Jepang dan memilih medan perang sebagai arena mempertahankan kekuasaan.[9] Perang tersebut merenggut banyak nyawa, termasuk warga sipil. Elpidius tetap menjalankan pelayanannya di tengah kecamuk perang tersebut, memimpin ibadah penguburan para korban perang. Dalam menjalankan tugasnya, Elpidius beberapa kali berhadapan dengan ancaman bahaya seperti dihadang, bahkan disandera tentara Jepang dan dihentikan perampok dalam perjalanan dari daerah misi, namun dia selalu tegar dan tak pernah ragu menjalankan tugas demi sesama dan untuk melayani Tuhan.[10]
- Era Kemerdekaan
Kekalahan Jepang dalam perang dunia II, membuka jalan dan titik terang bagi rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Namun kemerdekaan itu tidak serta merta mebawa kenyaman dan kesejahteraan hidup masyarakat. Pergolakan-pergolakan kecil terjadi di sejumlah daerah dan pusat (Jakarta). Kemudian sebuah prahara nasional melanda negeri ini, yang kemudian kita kenal dengan istilah G-30- S-PKI.[9] Gerakan anti PKI merebak dengan cepat ke seluruh pelosok negeri, diikuti tindakan-tindakan represif bahkan brutal. Penindasan dan pembunuhan marak terjadi dengan slogan “membersihkan antek-antek PKI”. Elpidius dalam tugas pewartaannya turut merasakan imbas dari situasi tersebut. Dia sempat dicurigai oleh Tentara sebagai bagian dari PKI karena medoakan arwah para korban G30SPKI. Dia sempat diintrogasi oleh Kodam setempat.[11] Pada sisi lain, kesibukannya semakin meningkat karena jumlah umat berkembang pesat terutama karena banyak orang yang sebelumnya tidak beragama berlomba-lomba menginisiasikan diri dengan sebuah agama untuk menghindari cap PKI. Elpidius mengerahkan segenap tenaga untuk melayani umat, bukan hanya dalam bidang kerohanian, tetapi juga membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan, membantu orang sakit dan meningkatkan pendidikan.
Oppung Dolok
Kedekatan Elpidius dengan umat dan semua warga yang ada di sekitarnya, tercermin dari sebuah julukan yang kini melekat dalam namanya. Oppung (kakek) adalah panggilan akrab warga setempat dan semua orang yang sempat mengenal dan meyaksikan teladan hidupnya. Dolok secara harafiah berarti “bukit”. Tapi kata tersebut kemungkinan besar merujuk pada wilayah Saribudolok, tempat tinggal misionaris yang hobi berjalan kaki dan naik sepeda ini. Dia dikenang dan namanya diabadikan karena secara tuntas telah memberi contoh dan teladan hidup tentang kesalehan (iman), kepedulian akan sesama dan kepekaan sosial sejak kehadirannya di tanah Simalungun secara khusus dan di Indonesia secara umum. Sebuah ungkapan dari Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap (Uskup Agung Medan) kiranya tepat mewakili seluruh kesaksian tentang imam yang telah berpulang kepada Pencipta tahun 1993 ini:"Kita harus menyatakan komitmen bersama, seperti Oppung Dolok, mengabdi Allah dan manusia".[12]
Referensi
- ^ Lih. http://www.peduligerejakatolik.org/2014/02/penjualan-buku-elpidius-van-duijnhoven.html[pranala nonaktif permanen], diakses 10 Maret 2015
- ^ Lih. http://smavanduynhoven.blogspot.com/2013/05/sma-van-duynhoven-saribudolok-sebagai.html, diakses 5 Maret 2015
- ^ Saragih Simon,Elpidius Van Duijhoven, Oppung Dolok, Rasul dari Simalungun Atas. Medan: Bina Media Perintis, 2014.
- ^ Bdk.Saragih Simon, Elpidius...hlm. 3-5
- ^ Ibid
- ^ Bdk. Saragih Simon, Elpidius...hlm.6
- ^ Bdk. Saragih Simon, Elpidius...hlm.7
- ^ Bdk. Saragih Simon, Elpidius...hlm.7-8
- ^ a b Lih. Riclefs M.C., A History of Modern Indonesia c. 1200. Dimuat dalam http://www.univpgri-palembang.ac.id/perpus-fkip/Perpustakaan/History/Sejarah%20Indonesia%20Modern%201200.pdf[pranala nonaktif permanen], diakses 5 Maret 2015
- ^ Saragih Simon, Elpidius...hlm. 15, 17-19
- ^ Saragih Simon, Elpidius...hlm. 23-24
- ^ Saragih Simon, Elpidius...hlm. xvi