Kerajaan Wengker

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Wengker adalah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Ponorogo. Wilayah kekuasaannya berada di bagian barat Gunung Wilis hingga bagian timur Gunung Lawu.[1]

Silsilah wangsa Rajasa. Raja di Kerajaan Wengker diberi gelar Bhre Wengker.

Etimologi

Nama Kerajaan Wengker berasal dari keratabasa bahasa Jawa "wêwêngkon kang angkêr" yang berarti wilayah yang menakutkan. Penamaan ini didasari oleh banyaknya bandit di wilayah kekuasaan Kerajaan Wengker, terutama di antara Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Selain itu, penguasa Kerajaan Wengker sering memberontak kepada Kerajaan Kadiri pada masa pemerintahan Airlangga.[2]

Wilayah kekuasaan

Pusat Kerajaan Wengker diduga berada di daerah Kecamatan Jetis dan Kecamatan Sambit di Kabupaten Ponorogo.[3] Kerajaan Wengker merupakan kerajaan dengan wilayah yang berada di antara pegunungan. Wilayahnya terbagi-bagi antara Gunung Wilis di batas timur, Gunung lawu di batas barat, dan pegunungan Seribu di batas selatan. Topopgrafi ini membuat Kerajaan Wengker sulit dijangkau dari daerah luar dan pemukiman yang terpusat menjadi sulit terbentuk.[4]

Kerajaan Wengker menjadi salah satu bawahan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini menjadi salah satu bagian penting dalam lingkungan politik Kerajaan Majapahit, sehingga diberi kekuasaan secara mandiri.[5]

Keagamaan

Kerajaan Wengker merupakan kerajaan yang sebagian penduduknya beragama Hindu. Penduduknya sering melakukan ritual mistik dan memberikan sesajen pada penguasa tempat-tempat yang dikeramatkan.[6]

Kesenian

Kesenian Reog merupakan salah satu hasil perkembangan budaya dari Kerajaan Wengker.[7] Reog digunakan dalam latihan perang yang diiringi dengan gamelan.[8] Salah satu cerita tentang warok berasal dari kisah pertentangan Kerajaan Wengker dan Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu menjadi pemimpin bagi Kerajaan Wengker, sedangkan Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Bhre Kertabumi, Prabu Brawijaya V.[9]

Kebudayaan

Warok

Warok adalah gelar yang digunakan oleh raja Kerajaan Wengker yang bernama Prabu Jaka Bagus (Sri Gasakan). Gelar ini mulai digunakan pada tahun 941 Masehi. Selanjutnya gelar ini berubah makna menjadi gelar kehormatan bagi orang yang menguasai ilmu kanuragan.[10] Para warok kemudian bertugas menjadi pelindung di wilayah-wilayah Kerajaan Wengker.[11]

Gemblak

Gemblak merupakan tradisi bagi para pemlik gelar Warok. Tradisi ini berupa menunda pernikahan atau tidak menjalin hubungan dengan wanita sama sekali. Gemblak merupakan salah satu paham dari ilmu kanuragan.[12]

Peninggalan arkeologi

Prasasti Pucangan

Prasasti Pucangan menceritakan tentang keadaan Kerajaan Wengker sebelum masa kekuasaan Airlangga. Prasasti ini ditulis pada tahun 963 Saka atau November 1041 Masehi. Prasasti ini dibagi menjadi dua bagian. Sebagian menggunakan bahasa Sanskerta, sedangkan sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa Kuno. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno membahas tentang kerja sama antara Kerajaan Wengker, Kerajaan Sriwijaya, dan Kerajaan Lwaran dalam mengakhiri kekuasaan Dharmawangsa Teguh.[13]

Prasasti Mruwak

Prasasti Mruwak ditemukan di Desa Mruwak. Prasasti ini berangka tahun 1108 Saka (1186 Masehi). Isi prasasti berupa keterangan tentang asal-usul keluarga dari raja Kerajaan Wengker. Dalam prasasti disebutkan bahwa Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, merupakan keturunan keluarga raja Kerajaan Kadiri. Pembuatan prasasti dimaksudkan untuk memperingati masa pemerintahannya yang berlangsung sejak tahun 1186 hingga 1204 Masehi.[14]

Prasasti Renek

Prasasti Renek bertarikh 1379 Saka atau 1457 Masehi, dikeluarkan oleh Girishawardhana yang menyebut sebagai Bhatara ring Wengker menganugerahkan sima (tanah perdikan) kepada warga di Desa Renek.[15][16]

Candi Surawana

Candi Surawana dibangun pada abad ke-14 Masehi. Candi ini terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Tujuan pembangunannya adalah untuk memuliakan raja Kerajaan Wengker yang bernama Bhre Wengker. Ia wafat pada tahun 1388 Masehi.[17]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Sugianto 2016, hlm. 45.
  2. ^ Nurdianto 2018, hlm. 3.
  3. ^ Sugianto 2016, hlm. 47.
  4. ^ Nurdianto 2018, hlm. 3–4.
  5. ^ Nurdianto 2018, hlm. 4.
  6. ^ Krismawati 2018, hlm. 125.
  7. ^ Achmadi 2014, hlm. 22.
  8. ^ Achmadi 2014, hlm. 12.
  9. ^ Sugianto 2016, hlm. 49.
  10. ^ Krismawati 2018, hlm. 118.
  11. ^ Sugianto 2016, hlm. 46.
  12. ^ Krismawati 2018, hlm. 120.
  13. ^ Hidayati 2014, hlm. 168–169.
  14. ^ Hidayati 2014, hlm. 173.
  15. ^ Suhadi, dkk 1986, hlm. 53-61.
  16. ^ Achmad 2021, hlm. 22.
  17. ^ Mulyadi 2018, hlm. 18–19.

Buku

  • Mulyadi, Lalu (2018). Makna Motif Relief dan Arca Candi Surowono dan Candi Tegowangi Situs Kerajaan Kediri. Malang: CV. Dream Litera Buana. ISBN 978-602-5518-36-2. 
  • Achmad, Sri Wintala (2021). Pesona & Sisi Kelam Majapahit. Yogyakarta: Araska Publisher. ISBN 978-623-7910-39-8. 

Jurnal

  • Achmadi, Asmoro (2014). "Aksiologi Reog Ponorogo: Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa". Teologia. 25 (1): 3–27. 
  • Krismawati, Nia Ulfia (2018). "Eksistensi Warok Dan Gemblak di tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980". Religió: Jurnal Studi Agama-agama. 8 (1): 116–138. ISSN 2503-3778. 
  • Nurdianto, Saifuddin Alif (2018). "Ponorogo: Menggali Jati Diri Untuk Membangun Harmoni". Jantra. 13 (1): 1–9. ISSN 1907-9605. 
  • Sugianto, Alip (2016). "Kebudayaan Masyarakat Jawa etnik Panaragan". Aristo. 4 (1). 
  • Suhadi, Machi; Soekarto, M.M. (1986). "Berita Penelitian Arkeologi No. 37". Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. ISSN 0126-2599. 

Prosiding

  • Hidayati, Nuril (2014). Kontestasi Politik Budaya antara Wengker dan Kadiri: Fragmentasi Genealogi Kesenian Jaranan. Dalam Prosiding Filsafat Islam: Historisitas dan Aktualisasi (Peran dan Kontribusi Filsafat Islam bagi Bangsa). Yogyakarta: FA Press. hlm. 162–193. ISBN 978-602-70288-5-2.