Pangan vs. bahan bakar
Pangan versus bahan bakar adalah dilema yang terkait dengan produksi bahan bakar hayati. Dimana produksi bahan bakar hayati dapat mempengaruhi suplai pangan. Perdebatan ini merupakan perdebatan yang panjang tentang topik yang kontroversial. [1][2][3][4] Topik tentang pentingnya permasalahan ini, penyebab, dan bagaimana menanganinya masih banyak diperdebatkan. Rumitnya dan tidak jelasnya permasalahan ini disebabkan oleh sejumlah besar dampak dan timbal balik yang dapat mempengaruhi sistem harga. Timbal balik yang ditimbulkan dapat bersifat positif maupun negatif. Juga, timbal baliknya berbeda untuk jangka panjang dan jangka pendek. Dan juga permasalahan ini memiliki dampak yang tertunda. Penggunaan berbagai model ekonomi dalam analisis strategi bisnis dapat menimbulkan pendapat yang berbeda. [5]
Bahan bakar hayati, atau biofuel, banyak menjadi pilihan di berbagai negara, khususnya untuk mengurangi ketergantungan minyak dan juga untuk menurunkan tingkat emisi. Produksinya di proyeksikan akan meningkat sekitar 7,5% dari 156 juta KL (2007) menjadi sekitar 167,8 juta KL (2025). Diproyeksikan, sekitar 55% produksi etanol global berasal dari jagung dan sekitar 26% berasal dari tebu. Sedangkan biodiesel yang berasal dari minyak sayur bekas sebesar 20% dan sisanya dari komoditas seperti kelapa sawit dan kedelai. Meningkatnya produksi dan pemintaan biofuel dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap harga bahan makanan. Bahan baku biofuel adalah komoditas pertanian seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, dan tebu. Tanpa adanya permintaan biofuel, harga komoditas tersebut sudah merangkak naik akibat didorong oleh permintaan untuk bahan makanan serta bahan baku barang konsumsi yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan tingkat populasi global.[6]
Sawit merupakan bahan baku bahan bakar hayati yang populer di Indonesia, sementara di Amerika Serikat banyak menggunakan jagung sebagai bahan baku biofuelnya. Sekitar 40% produksi jagung di Amerika digunakan untuk produksi etanol. Cina dan Kanada adalah negara lainnya yang memproduksi biofuel dari jagung. Penelitian menunjukkan bahwa nilai sosial dan ekonomi untuk memproduksi jagung sebagai pangan di Amerika Serikat adalah $1.492 per hektare, sementara untuk produksi biofuel hanya $10 per hektare. Artinya, penggunaan jagung sebagai pangan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan dibandingkan biofuel.[7]
Peningkatan produksi bahan bakar hayati, dan peningkatan terkait produksi bahan baku energi, menimbulkan masalah keberlanjutan pada isu-isu seperti penggunaan lahan, kompetisi antara tanaman energi dengan tanaman pangan, dan dampak terhadap ekosistem, termasuk sumberdaya air dan tanah. Tumbuhan yang sesuai sebagai bahan baku bioenergi adalah tanaman yang memiliki hasil panen yang tinggi, cepat tumbuh, memerlukan masukan energi yang relatif kecil untuk tumbuh dan di panen, dan mudah dikonversi menjadi bentuk yang berguna. Untuk mencapai keberlanjutan, tanaman energi harus tidak membutuhkan penggunaan lahan agrikultur utama secara ekstensif, dan harus memiliki produksi energi dari biomassa yang berharga rendah.[8]
Bahan Bakar dari Tanaman Pangan
Bahan Bakar dari Tanaman Energi
Salah satu tanaman yang berpotensi menjadi bahan baku biodiesel adalah jarak pagar, dengan memanfaatkan kandungan minyak dari biji. Tanaman jarak pagar adalah tanaman yang mudah ditanam, tahan terdapat cuaca dan hama serta biaya pemeliharaan yang rendah, dan tidak perlu membuka hutan baru untuk lahan tanaman karena lahan marginal yang sangat banyak di Indonesia dapat digunakan. Dan yang penting bahwa jarak pagar bukan tanaman pangan sehingga tidak mengganggu stabilitas ketahanan pangan.[9]
Penggunaan Lahan
Kebijakan
Sektor Ekonomi
Kenaikan harga
Subsidi dan Tarif
Referensi
- ^ Maggie Ayre (2007-10-03). "Will biofuel leave the poor hungry?". BBC News. Diakses tanggal 2008-04-28.
- ^ Mike Wilson (2008-02-08). "The Biofuel Smear Campaign". Farm Futures. Diakses tanggal 2008-04-28.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Michael Grundwald (2008-03-27). "The Clean Energy Scam". Time Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-25. Diakses tanggal 2008-04-28.
- ^ The Impact of US Biofuel Policies on Agricultural Price Levels and Volatility Diarsipkan 2017-08-10 di Wayback Machine., By Bruce A. Babcock, Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University, for ICTSD, Issue Paper No. 35. June 2011.
- ^ HLPE (June 2013). "Biofuels and food security" (PDF).
- ^ Pertamina (Persero), P. T. "Food Versus Fuel | Pertamina". www.pertamina.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-29.
- ^ Zuhra, Wan Ulfa Nur. "Biofuel dari Jagung, Lebih Besar Biaya dari Manfaatnya". tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-29.
- ^ de Siqueira Ferreira, Savio; Nishiyama, Milton Yutaka; Paterson, Andrew H.; Souza, Glaucia Mendes (2013-06-27). "Biofuel and energy crops: high-yield Saccharinae take center stage in the post-genomics era". Genome Biology. 14 (6): 210. doi:10.1186/gb-2013-14-6-210. ISSN 1474-760X. PMC 3707038 . PMID 23805917.
- ^ "Direktorat Jenderal EBTKE - Kementerian ESDM". ebtke.esdm.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-29.
Pranala luar
- Avoiding Bioenergy Competition for Food Crops and Land
- FAO World Food Situation
- Global Trade and Environmental Impact Study of the EU Biofuels Mandate Diarsipkan 2011-01-13 di Wayback Machine. by the International Food Policy Institute (IFPRI) March 2010
- Plenty of Space for Biofuels in Europe
- Policy Research Working Paper WPS 5371: Placing the 2006/08 Commodity Price Boom into Perspective, July 2010
- Reconciling food security and bioenergy: priorities for action, Global Change Biology Bioenergy Journal, June 2016.
- Towards Sustainable Production and Use of Resources: Assessing Biofuels, United Nations Environment Programme, October 2009