Biomassa

materi biologis (yang tidak lagi hidup) digunakan sebagai sumber energi terbarukan

Biomassa adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut semua senyawa organik yang berasal dari tanaman pertanian, alga, dan sampah organik. Pengelompokan biomassa terbagi menjadi biomassa kayu, biomassa bukan kayu, dan biomassa sekunder. Biomassa juga dapat dikategorikan menjadi limbah pertanian, limbah kehutanan, tanaman kebun energi, dan limbah organik. Sifat kimia, sifat fisik, kadar air, dan kekuatan mekanis pada berbagai biomassa sangat beragam dan berbeda-beda. Biomassa merupakan sumber energi terbarukan dengan kualitas yang rendah. Teknologi transformasi energi termal yang menggunakan biomassa sangat rumit dan harus disesuaikan dengan pemanfaatannya. beragam tergantung pemanfaatannya dan relatif rumit. Dalam proses gasifikasi, karakteristik utama biomassa berkaitan dengan analisis proksimat, analisis ultimat, temperatur abu fusi, sifat mempan gerus, dan indeks pengembangan.[1]

Biomassa tersusun dari berbagai macam senyawa organik. Sebagian besar biomassa tersusun dari karbohidrat, lemak, dan protein. Sisanya merupakan mineral yang tersusun dari natrium, fosfor, kalsium, dan besi. Senyawa utama yang membentuk biomassa adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin.[2] Ketiga senyawa ini merupakan pembentuk dinding sel pada tanaman.[3] Biomassa dapat digunakan sebagai bahan bakar secara langsung atau melalui proses pembriketan. Selain itu, biomassa juga digunakan sebagai bahan bakar penghasil energi listrik.[4]

Penggunaan istilah sunting

Istilah ''biomassa'' pertama kali digunakan dalam suatu literatur pada tahun 1934. Ilmuwan berkebangsaan Rusia yang bernama Bogorov menggunakan kata biomassa dalam Journal of Marine Biology Association sebagai tata nama biologi. Dalam jurnal tersebut, biomassa dirujuk sebagai suatu bobot plankton laut yang teah dikeringkan untuk menyelidiki perubahan pertumbuhan musiman pada plankton.[5] Kini, biomassa diartikan sebagai bahan massal penghasil energi yang diperoleh dari tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Biomassa secara tidak langsung merupakan biomassa yang diperoleh dari peternakan dan industri makanan.[5]

Sumber daya sunting

Sumber daya biomassa berasal dari berbagai spesies tanaman darat dan tanaman laut. Biomassa dapat diiperoleh melalui pertanian, perkebunan, limbah residu, limbah industri, dan kotoran hewan.[5] Berdasarkan siklus karbon yang memanfaatkan fotosintesis, sumber daya biomassa bersifat tidak terbatas dan dapat digunakan berulang kali.[6] Sumber daya biomassa yang berkelanjutan sepenuhnya dipengaruhi oleh ekosistem tanaman yang memperhatikan faktor panen, laju pertumbuhan dan perlindungan lingkungan.[7]

Komponen penyusun sunting

Selulosa sunting

Sebagian besar kandungan biomassa tersusun dari senyawa selulosa. Persentase kandungan berbeda-beda pad tiap jenis tanaman dengan kisaran mencapai 33% hingga 90%. Rumus kimia selulosa adalah C6H10O5. Selulosa memiliki polimer dari glukosa dengan panjang rantai hingga 10.000 molekul. Pada kayu kering dengan massa jenis yang padat, kandungan selulosa mencapai 40% hingga 44%. Peran selulosa dalam biomassa adalah sebagai penghasil tar selama proses pirolisis.[8]

Hemiselulosa sunting

Hemiselulosa merupakan polimer yang terdiri dari senyawa glukosa dengan lima atom karbon. Persentase hemiselulosa di dalam biomassa mencapai 15% hingga 35%. Kandungan hemiselulosa mengalami penurunan lebih cepat dibandingkan dengan selulosa dan lignin selama proses pirolisis. Hemiselulosa dapat menghasilkan gula arabinosa dan furfural apabila mengalami perebusan dengan temperatur 200 ˚C.[8]

Lignin sunting

Biomassa memiliki makromolekul pengikat yaitu lignin yang merupakan makromolekul dari senyawa dasar fenolik. Lignin digunakan sebagai sulfaktan dalam bentuk ligno-sulfonat. Sulfaktan ini dimanfaatkan sebagai penjaga kestabilan lumpur pengeboran. Sifat yang dimiliki lignin yaitu tahan pengaruh termal, penurunan nilai kandungan terjadi di akhir proses pirolisis (350–500˚C). Hasil penurunan nilai kandungan lignin setelah gasifikasi akan menghasilkan tar dan senyawa fenolik pada gas dan sifatnya berbahaya bagi kesehatan manusia. Kontak udara yang terjadi pada tar dan senyawa fenolik menyebabkan depolimerisasi yang membentuk deposisi dalam saluran gas.[9]

Pati sunting

Pati merupakan polisakarida yang mengandung glukosa dan terikat oleh glikosida. Sebagian besar jenis pati dapat larut di dalam air panas, sedangkan sebagian lainnya tidak dapat larut. Pati memiliki nilai yang tinggi pada makanan sehingga dapat ditemukan pada biji, umbi, atau batang pada tanaman.[10]

Protein sunting

Protein merupakan senyawa makromolekul dengan kandungan asam dipolimerisasi yang tinggi. Sifat-sifat protein ditentukan oleh jenis asam dipolimerisasi dan derajat keasaman. Dalam biomassa, jumlah protein lebih sedikit dibandingkan dengan selulosa, hemiselulosa dan lignin.[10]

Komponen organik dan anorganik sunting

Dalam biomassa, komponen organik dan anorganik ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Komponen organik yang utama ialah gliserida dan sukrosa, sedangkan sisanya yaitu alkaloid, pigmen, terpena, dan bahan berlilin. Komponen anorganik berupa abu yang tersusun dari unsur kalsium, kalium, fosforus, magnesium, silikon, aluminium, besi, dan natrium.[11]

Karakteristik sunting

Karakteristik gasifikasi sunting

Biomassa memiliki karateristik tertentu dalam proses gasifikasi. Dalam proses gasifikasi, karakteristik biomassa diperoleh melalui analisis proksimat, dan analisis ultimat. Pada analisis proksimat diperoleh karakteristik kadar air, abu, zat terbang dan nilai kalor. Pada analisis ultimat diketahui kadar karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur. Selain itu, proses gasifikasi juga memperlihatkan adanya temperatur fusi abu, sifat mempan gerus, dan indeks pengembangan pada biomassa.[1]

Kadar air sunting

Biomassa memiliki kadar air bebas dan kadar air terikat. Selama proses pengeringan, kadar air bebas menghilang dan mengalami perubahan sesuai dengan tingkat kelembaban udara. Sedangkan peleyapan kadar air terikat harus dilakukan dengan teknik pengeringan karena berada di dalam pori-pori biomassa.[12]

Abu sunting

Biomassa yang dibakar akan menghasilkan bahan-bahan organik berbentuk abu. Kandungan utama dari abu ini berupa silika, aluminium, besi, kalsium, magnesium, titanium, natrium, dan kalium. Biaya penanganan abu pada akhir proses gasifikasi dan teknologi konversi yang digunakan, ditentukan oleh kadar abu.[13] Faktor utama dalam pemilihan teknik gasifikasi ditentukan oleh karakteristik abu pada keadaan temperatur tinggi. Temperatur operasi pembuatan gas harus melebihi nilai temperatur abu fusi ketika abu yang dibuang berbentuk terak. Sedangkan pada penghasil gas dengan abu buangan berbentuk abu kering, temperatur operasi tidak boleh melebihi nilai temperatur abu fusi.[14]

Zat terbang sunting

Ketika biomassa mengalami proses pemanasan atau pemanggangan, terjadi pelepasan senyawa-senyawa yang disebut zat terbang. Zat terbang tersusun dari gas hidrogen, karbon monoksida, karbon dioksida, metana, hidrokarbon ringan, tar, amonia, sulfur, dan oksigen. Setelah melalui proses pirolisis, pada biomassa masih tersisa padatan yang disebut karbon terikat. Padatan ini sebagaian besar mengandung karbon.[13]

Nilai kalor sunting

Biomassa yang mengalami pembakaran secara sempurna dan stoikiometrik akan menghasilkan pelepasan energi yang disebut dengan nilai kalor atau panas pembakaran. Nilai kalor dapat dinyatakan dalam nilai kalor lebih tinggi atau nilai kalori kotor, dan dapat pula dinyatakan dalam nilai kalor lebih rendah atau nilai kalor bersih. Perbedaan antara nilai kalor kotor dan nilai kalor bersih terletak pada nilai panas pengembunan air hasil pembakaran. Temperatur acuan yang digunakan untuk mencatat nilai kalor kotor dan nilai kalor bersih adalah 25 ˚C.[13]

Jenis sunting

Biomassa kayu sunting

Biomassa kayu merupakan biomassa yang berbentuk kayu pohon yang diperoleh dari hasil penebangan hutan. Selain itu, biomassa kayu juga berbentuk sisa-sisa kayu yang tidak diperlukan dalam industri kehutanan. Pohon-pohon yang ditebang tidak memiliki nilai komersial sehingga dapat dijadikan sebagai bahan energi biomassa. Pohon yang ditanam sebagai hutan penghasil biomassa dibuat berjarak agar tunggul pohon memiliki ruang untuk mengalami pertumbuhan. Pada iklim sedang, siklus penebangan diulang dalam jangka waktu berkisar 50 hingga 100 tahun. [15]

Biomassa herba sunting

Biomassa herba merupakan biomassa yang berbentuk tanaman liar, tanaman pangan, residu tanaman pangan, rumput, bambu, dan legum. Rumput merupakan biomassa herba yang dapat menghasilkan bahan energi dalam waktu yang singkat. Legum merupakan biomassa herba yang ramah lingkungan karena mampu mengikat nitrogen melalui bantuan bakteri rhizobium sehingga mengurangi penggunaan pupuk kimia nitrogen dalam produk biomassa.[16]

Tanaman gula dan pati sunting

Biomassa dalam bentuk gula dan pati dapat diubah menjadi biofuel. Limbah residu yang mengandung selulosa dan hemiselulosa pada pati dan gula dapat diubah menjadi glukosa melalui proses fermentasi. Tanaman pati yang dapat menjadi biomassa secara langsung yaitu padi, kentang, ubi jalar, gandum, barli, ubi kayu, dan sagu. Sedangkan tanaman gula yang dapat menjadi biomassa secara langsung yaitu tebu dan bit gula.[17]

Biomassa penghasil minyak sunting

Biomassa penghasil minyak merupakan biji atau buah tanaman yang dapat menghasilkan lemak dan minyak. Jenis biomassa ini digunakan untuk bahan makanan, bahan baku industri, dan pengganti minyak diesel mineral dalam produksi biodiesel.[18] Biomassa penghasil minyak yang utama adalah kedelai, sesawi dan kelapa sawit.[19]

Pemanfaatan sunting

Sumber energi terbarukan sunting

Biomassa merupakan salah satu bahan baku dalam produksi bioenergi. Sumber biomassa yang digunakan pada bioenergi berasal dari sampah kota. Biomassa menghasil energi primer yang berbentuk cair sebagai bahan bakar nabati. Pada bentuk gas, biomassa digunakan sebagai biogas, sedangkan dalam bentuk padat biomassa dimanfaatkan sebagai biobriket. Ketiga energi primer ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk sarana transportasi atau industri. Selain itu, energi primer ini dapat diubah lagi menjadi energi sekunder yaitu energi listrik berbahan bakar nabati. Penggunaan biomassa untuk menghasilkan produk bioenergi tidak memerlukan proses khusus dan dapat langsung digunakan sebagai energi primer.[20]

Konversi biomassa menjadi energi dapat melalui proses termokimia, biokimia, atau ekstraksi biji yang berminyak. Pada konversi biomassa dengan alur termokimia, biomassa mengalami proses pembakaran, gasifikasi, pirolisis, torefaksi dan hidrotermal.[21] Panas pembakaran bahan bakar padat diubah menjadi energi panas dan gas cerobong yang terdiri dari karbon dioksida dan uap air. Panas pembakaran selanjutnya dimanfaatkan pada pemanas fluida kerja turbin kukus untuk produksi kukus. Panas hasil pembakaran juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan usaha yang memerlukan reaksi kimia.[22] Bahan bakar padat berbentuk arang dengan kualitas yang lebih tinggi dari biomassanya dapat diperoleh dengan proses pirolisis. Selain itu, proses pirolisis menyebabkan degradasi biomassa yang menghasilkan senyawa organik berbentuk cair. Senyawa yang dihasilkan yaitu tar, hidrokarbon berat dan asam-asam organik. Proses pirolisis juga menghasilkan gas-gas yaitu karbon monoksida, karbon dioksida, uap air, asetilena, etena, dan etana. Pecahan senyawa yang dihasilkan oleh proses pirolisis pada biomassa ditentukan oleh temperatur akhir pirolisis dan laju pemanasan. [23]

Bioproduk sunting

Biomassa juga digunakan untuk menggantikan bahan bakar minyak pada kendaraan bermotor dengan produksi bioetanol. Selain itu, biomassa dapat menghasilkan energi panas dan energi listrik dengan pembuatan biogas, gas sintesis, dan biopellet.[24] Penerapan teknologi kilang hayati pada biomassa dapat menghasilkan bioetanol dengan biaya produksi yang murah. Selain itu, cara ini dapat menghasilkan energi sekaligus produk sampingan.[25] Bahan baku yang digunakan pada konversi biomassa menjadi bioetanol berasal dari limbah pertanian atau limbah perkebunan yang mengandung pati atau lignoselulosa. Bahan baku ini diubah menjadi etanol melalui tahapan awal yaitu hidrolisis dan fermentasi. Proses hidrolisis memanfaatkan enzim selulase dengan cara enzimatis atau termokimia. Sedangkan proses fermentasi memanfaatkan khamir. Pati digunakan untuk menghasilkan etanol, sedangkan lignin dan hemiselulosa digunakan untuk menghasilkan produk sampingan berupa xilitol, perekat, lignosulfonat, dan biosurfaktan.[26]

Teknologi gasifikasi sunting

Biomassa dimaanfaatkan selama proses gasifikasi untuk menghasilkan gas bahan bakar. Proses pembentukan gas dilakukan melalui reaksi kimia pada temperatur tinggi antara biomassa dengan agen gasifikasi. Bahan agen gasifikasi dapat berupa udara, oksigen, atau uap air.[27] Proses pembentukan gas bahan bakar pada biomassa memanfaatkan proses pirolisis. Biomassa dijadikan sebagai umpan gasifikasi karena memiliki komponen utama berupa karbon, hidrogen dan oksigen.[23]

Pemanfaatan biomassa dalam teknologi gasifikasi memperhatikan karakteristik kadar air, bentuk partikel dan ukuran partikel. Kadar air biomassa tidak lebih dari 30% dan dapat dicapai dengan pengeringan. Pada biomassa kering udara, kadar air berkisar antara 10–15%. Partikel biomassa harus menyerupai bentuk bulat atau kubus. Partikel berbentuk pipih atau serbuk tidak boleh digunakan karena dapat menghambat aliran gas di dalam reaktor. Partikel biomassa yang digunakan sebagai umpan gasifikasi harus berukuran antara 0,5 – 5,0 cm. Kepadatan massal partikel biomassa minimum 250 kg/m2.[28] Ukuran partikel biomassa dibedakan menjadi partikel besar, partikel kecil, partikel serampangan, dan kebun energi atau tumpang sari. Pada partikel besar, densitas partikel tinggi dengan kadar air < 30% dan kadar abu rendah. Partikel kecil memiliki kadar air atau kadar abu yang tinggi, tetapi densitas partikel rendah. Partikel dengan bentuk serampangan memiliki kadar air yang tinggi atau sangat basah basah sekali. Ukuran partikel biomassa yang terbesar ialah kebun energi atau tumpang sari.[29] Persyaratan utama untuk pemanfaatan biomassa sebagai umpan gasifikasi yaitu harus tersedia dalam jumlah yang cukup untuk digunakan secara berkelanjutan.[2]

Dampak penggunaan sunting

Biomassa termasuk bahan bakar karbon netral sehingga tidak menghasilkan efek rumah kaca. Pembakaran biomassa hanya akan menghasilkan karbon dioksida yang sama seperti pada penggunaan bahan bakar fosil. Penyeimbangan karbon dioksida didapatkan melalui penanaman kembali tanaman baru yang akan menyerap karbon dioksida.[30] Biomassa juga memberikan permasalahan pada penggunaan lahan yang luas untuk pembuatan kebun energi. Penggunaan biomassa sebagai sumber energi terbarukan akan mengurangi jumlah lahan pertanian dan hutan produksi.[6]

Referensi sunting

Daftar pustaka sunting

  1. Direktorat Bioenergi (2016). Pedoman Investasi Bioenergi di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 
  2. Hermiati, Euis (4 Desember 2019). Pengembangan Teknologi Konversi Biomassa Menjadi Bioetanol dan Bioproduk sebagai Substitusi Produk Berbahan Baku Fosil (PDF). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISBN 978-602-496-101-5. 
  3. Japan Institute of Energy (2008). Panduan untuk Produksi dan Pemanfaatan Biomassa (PDF). Tokyo: Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang. 
  4. Sutanto, Herri (24 November 2018). Pengembangan Teknologi Gasifikasi untuk Mendukung Kemandirian Energi dan Industri Kimia (PDF). Bandung: Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung. ISBN 978-602-6624-23-9.